Sabtu, 24 Januari 2009

PROFESI APOTEKER TIDAK TERGANTIKAN? atau TIDAK DIPERLUKAN?

Begitulah kira-kira argument dari pejabat isfi pada saat memberikan pencerahan kepada anggotanya dan pendapat sebagian orang dalam memandang profesi apoteker .....
Namun benarkah demikian halnya.



simak selengkapnya dan silahkan berkomentar di www.suaraapoteker.blogspot.com

Jumat, 23 Januari 2009

PERAN APOTEKER DALAM PENANGGULANGAN PENYAKIT MENULAR

PERAN APOTEKER DALAM PENANGGULANGAN PENYAKIT MENULAR


Saat saya menemukan situs www.penyakitmenular.info , saya semakin yakin bila apoteker sangat penting perannya untuk ikut serta dalam penanggulangan penyakit menular. Apalagi bagi apoteker yang ada didaerah. Meskipun apoteker tidak harus mengobati secara langsung, tetapi tetap harus terlibat dalam proses pengobatan, pemberian informasi dan edukasi. Mungkin selama ini tidak dipikiran oleh banyak pihak akan peran apoteker dalam ikut menanggulangi penyakit menular, tetapi peran apoteker yang telah berjalan dalam menanggulagi peyakit menular tetap harus dipertahankan dan seharusnya juga dibina.

Pembinaan seharusnya diakukan baik oleh pemerintah ataupun oleh ISFI sebagai organisasi profesi agar peran ini menjadi lebih terorganisasi dan tidak berjalan sendiri-sendiri, karena bagaimanapun juga apoteker adalah bagian yang terintegrasi dalam sistem kesehatan. Dengan pembinaan diharapkan peran apoteker juga akan semakin memudahkan pemerintah dalam menanggulangi penyakit menular.

Ada beberapa kelebihan apoteker dalam edukasi dalam penanggulangan penyakit menular yang antara lain adalah lebih murah, mungkin lebih murah dari pada program kaderisasi kesehatan ataupun program desa siaga. Karena disini apoteker tidak mengharapkan gaji dari pemeritah seperti bidan desa. Apoteker hanya butuh kemudahan saja dalam mendirian apotek sampai ke tingkat desa.

Bagaimanapun juga penyakit menular harus ditanggulangi sebelum menjadi wabah. Dan penanggulangan dapat bersifat kuratif ataupun prekuentif. Baik pada kuratif dan prekuentif apoteker dapat berperan, karena apoteker memang seharusnya terlibat pada keduanya. Pada prekuentif apoteker dapat berperan dalam edukasi dengan mempertajam pemahaman masyarakat karena apotek tempat apoteker bekerja juga merupakan pusat informasi tentang obat dan sediaan farmasi lain, serta menjadi pusat informasi penyakit bagi masyarakat sekitarnya.

Apoteker tidak mengobati penyakit secara langsung, kecuali pada beberapa kasus sederhana. Tetapi dengan wawasannya apoteker dapat ikut terlibat secara langsung dan tidak langsung dalam penangguangan penyakit menular. Sebagai contoh pada saat pasien meminta obat turun panas pada swamedikasi, apoteker juga dapat menyertakan informasi tentang demam pelana kuda atau disebut juga demam punggung unta, agar masyarakat menjadi lebih waspada. Disini, apoteker juga dapat memberikan informasi kapan harus kedokter bila demam tidak kunjung sembuh.

Saya suka mengatakan bila peran apoteker secara umum juga mengamankan masyarakat dari bahaya obat dan bahaya penyakit. Baik dalam mengamankan masyarakat dari bahaya penyakit maupun bahaya obat apoteker harus mampu memberikan informasi yang akurat. Untuk dapat menjadi akurat apoteker harus selalu mengaktualkan diri agar dapat mengakomodasi kebutuhan masyarakat akan informasi. Karena informasi tersebut adalah salah satu yang harus disediakan diapotek, dan informasi merupakan komoditas yang penting di apotek.

Sebenarnya dalam pemahaman saya, penyakit menular dalam kesehatan tidak hanya DB, malaria, diare dsb, tetapi juga penyakit menular yang disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan kesehatan masyarakat. Penyakit menular ini lebih bersifat sosial, yang mana salah satunya adalah kesalahan pemahaman masyarakat akan obat, penyakit dan lain-lain terkait kesehatan. Bagaimanapun juga manusia adalah makhluk sosial, yang mana bila melakukan kesalahan seringkali juga akan berpotensi menular kepada masyarakat disekitarnya. Oleh karena itu kesadaran masyarakat untuk mengakses informasi kepada para apoteker yang berpraktek profesi diapotek seharusya juga menjadi salah satu program pemerintah dan ISFI untuk menekan penyebaran penyakit menular sosial.

Kamis, 01 Januari 2009

BAGAIMANA KONSEP TATAP YANG IDEAL ?

BAGAIMANA IDEALNYA KONSEP TATAP ?

Saya rasa Pengurus ISFI pusat sudah punya konsep bagaimana bentuk kongkret TATAP.
Jangan hanya dibuat wacana konsep harus sudah dibuat tinggal di dalam Rakernas 2009 bulan januari ini di Surabaya di sahkan
Saya yakin Pejabat ISFI pasti tahu dan pasti sedikit banyak pernah melihat bagaimana pelayanan apotek/Pharmacy di negara lain seluruh dunia ...
tinggal bagaimana kita mengadopnya ...
Apakah kita menganut konsep saat apotek buka ada apoteker ? berarti satu apotek minimal harus ada 2 - 3 Apoteker ...
Atau kita menganut beberapa negara yang lebih extrem lagi semua pekerja di apotek adalah apoteker...
berarti di apotek bisa ada minimal 2 apoteker bahkan bisa 6 apoteker untuk apotek yang ramai dan cukup besar ...mana yang perlu diperdebatkan ?

Kalau di Negara lain bisa kenapa Indonesia Tidak ?

Banyak kasus keberadaan apoteker dipertanyakan oleh profesi lain dan kita bingung mencari pembenaran dan pembelaan mati-matian. apa masih tetap seperti itu ...

Please mari kita bersikap sayangi profesi kita ...


ingin info lebih jauh ?foto-foto dan ulasannya ?
tunggu tayangannya di www.suaraapoteker.blogspot.com

TUKANG UKREK

TUKANG UKREK


Ada komentar menarik dari pengunjung blog saya. Saya sangat-sangat menghargai cara pandang yang berbeda dan menurut perkiraan saya adalah seorang apoteker. Tetapi saya percaya kita semua mempunyai tujuan yang sama yaitu kemajuan profesi apoteker guna mendukung pembangunan kesehatan yang lebih manusiawi.

Karena anonim dan hanya meningalkan jejak sebagai tukang ukrek, maka selanjutnya akan saya kenali sebagai "tukang ukrek". Siapapun anda, anda mempunyai cara pandang sebagai mana sebagian apoteker memandang profesi apoteker. Bagaimanapun pandangan anda sebelum ada pembuktian secara ilmiah adalah benar dan pandangan saya juga benar. Memang selama ini saya selalu mengusulkan kepada pengurus ISFI daerah agar dilakukan penelitian terhadap hipotesa yang berkembang terkait profesi apoteker agar kita kedepan dalam memajukan profesi apoteker tidak hanya terjebak pada debat kusir. Karena bermain argumentasi yang didasarkan pada debat kusir sering kali justru membawa kita berjalan mundur. Apa lagi debat kusir yang hanya didasari data empiris individu profesi.

Saya selalu mengatakan kepada siapa saja bahwa profesi kita akan berkembang lebih jauh dan lebih maju bila dasar pijakan kita dalam menjalankan profesi adalah penelitian dan ilmiah. Dan saya mengakui bila dasar pemikiran saya dalam blog ini juga empiris dari apa yang telah saya alami diapotek saya sendiri. Terkadang kita juga berbagi empiris dari apotek lain atau profesi lain. Banyak yang harus bisa digali tentang profesi kita demi kemajuan bangsa dan negara kita. Siapapun anda saya menghormati anda.

Kembali pada pandangan anda, saya menangkap pandangan anda sama dengan sebagian teman-teman apoteker yang lain. Tetapi sebagian lagi juga setuju dengan pandangan saya. Tetapi apalah artinya perbedaan bila kita mempunyai tujuan yang sama?

Pandangan anda yang saya tangkap al:

1. Apotek adalah pedagang obat yang hanya berperan mendistribusikan obat. Mungkin seperti toko bangunan seperti anda contohkan.
Pendapat saya ==> Pada kasus bangunan, bila kita ingin membangun rumah, maka kita akan mencari kosultan tentang material dan desain juga struktur. Kita tidak mungkin akan membangun asal membangun. Dan membangunpun ada aturan yang mengatur dalam artian produk hukumya. Disini ada kesamaan memang, tetapi ada perbedaan. Untuk membahas ini saya akan ceritakan satu kasus, ada seorang bapak yang anaknya baru satu, anaknya baru minum susu dan anaknya baru satu hari tak bisa BAB. Datang keapotek minta obat pelancar BAB, Dengan PD saya tolak permintaannya dan saya suruh tunggu sampai 3 hari dan bila tidak BAB saya suruh kedokter, dan sorenya bapak tersebut datang lagi membeli obat lain dan mengatakan anaknya sudah BAB. Pada kasus ini bisa saja saya bohongi dengan memberikaan obat apa saja, tetapi tidak saya lakukan, karena saya merasa profesional. Saya menjaga harga diri profesi apoteker, dan dampaknya adalah kepuasan tentu saja. Dari cara pandang seorang pedagang, hukumnya haram menolak uang apalagi orang sudah datang sendiri seperti pada kasus ini. Pada kasus seperti ini umumnya para pedagang akan memberikan apa saja asal mereka dapat uang. Oleh karena itu saya tidak suka dianggap sekedar pedagang, karena saya menggunakan dasar ilmiah dalam melakukan segala tindakan profesi. Saya lebih suka mengangap obat adalah alat dalam kita menjalankan profesi apoteker, seperti bengkel mobil yang harus mengganti suku cadang. Montir tidak akan mau dianggap sebagai pedagang suku cadang seandainya mereka mempunyai toko suku cadang.

2. TATAP menyerap omset? omset siapa yang terserap?
Pendapat saya ==> Pandangan anda disini menurut saya lebih cenderung anda melihat pola lama pengelolaan apotek. Saya selalu mengatakan kepada semua pihak bahwa kita bisa menjadi play maker diapotek dengan menciptakan pasar. Mungkin juga kita bisa berharap dari pertumbuhan belanja obat perkapita, karena belanja obat perkapita masyarakat kita masih kecil dan masih mungkin untuk tumbuh dan kita tangkap. Suatu tantangan yang lain bagi kita adalah kesadaran kesehatan masyarakat kita yang masih rendah, sehingga belanja obat diapotek masih dianggap mewah. Kalau anda berasal dari daerah pinggiran, mungkin anda akan mengetahui kasus tentang masih banyaknya masarakat yang tidak merawat penyakitnya yang dikarenakan salah satunya adalah rendahnya tingkat pendidikan kesehatan mereka, ini adalah salah satu peluang. Peluang memajukan profesi. Yang selanjutnya kompetisi dalam profesi adalah hal yang wajar, seperti dokter dengan dokter atau arsitek dengan arsitek. Karena kompetisi justru akan memajukan profesi itu sendiri. Arsitekpun juga berkompetisi dengan tukang bangunan seperti kita berkompetisi dengan toko obat, kita juga berkompettisi dengan toko kelontong. Jangan kompetisi dianggap suatu hal yang tabu, tetapi bagaimana membuat kompetisi yang fair.

3. Pembeli obat sebenarnya bukan pasien, tetapi dokter.
Pendapat saya ==> Pada sebagian apoteker mengangap seperti ini, dan pada umumnya ini adalah pandangan apoteker kuno. Maaf saya menyebut kuno, karena pola kelola apotek tempo dulu adalah lebih mengarah pada layanan atas resep. Hal ini mengingatkan pada saat saya pertama membuka apotek, semua orang mencibir, termasuk dari sebagian famili saya. Dan memang terbukti omset resep saya kecil dan saya tidak menyesal karena omset non resep saya lebih dari 90%nya omset resep saya. Saya cukup puas melayani masyarakat, karena merekalah yang sebenarnya lebih menghargai kita karena pelayanan kita. Meskipun omset tersebut sudah termasuk susu dan kosmetik, toh kita lebih berkompetensi untuk menjelaskan kedua hal tesebut dari pada tetangga saya yang buka toko kelontong.

4. Dokter suka ganti-ganti merek.
Pendapat saya ===> Tak usah ambil pusing dengan merek yang diganti-ganti dokter. Biar obat buatan pabrik A,B,C atau D semuanya produk teman sejawat kita para apoteker anggota HISFARIN yang profesional, toh semua produk tersebut diawasi pemerintah. Kalau menurut saya, ganti saja merek tersebut asal pasiennya mengetahui bila kita ganti merek, toh kita para apoteker secara umum lebih paham dari pada dokter tentang formulasi. Ditempat saya, mungkin karena sudah sangat percaya kepada saya sering kali kalau obat bermerek dianggap kemahalan justru pasiennya yang minta diganti generik berlogo. Dan juga menurut pengalaman saya, hanya pada obat-obat tertentu saja yang biasanya ada perbedaan BA/BE. Harga mahal bukan suatu jaminan akan lebih manjur,dan ini terbukti pada banyak kasus diapotek saya. Asal kita bisa menjamin kualitas obat dan penyerahan obat yang benar, menurut saya boleh saja kita ganti.

5. TATAP menyebabkan biaya operasional apotek tinggi.
Pendapat saya ==> Saya sudah buktikan untuk apotek yang melakukan TATAP biaya operasional justru lebih hemat. Dan mungkin kedepan akan saya buktikan lagi untuk beberapa apotek lagi.

6. Pelayanan TATAP akan lambat.
Pendapat saya ==> Saya sudah buktikan tidak lambat asal apotekernya cukup dan strategi pelayanan yang digunakan tepat. Dari pengalaman saya, kebutuhan konsultasi dan konseling umumnya hanya sekitar kurang dari 10%. Kecuali banyak kasus baru. Suatu misal pada resep kasus hipertensi, bila pasien sudah patuh tidak perlu kita mengulang-ulang konseling dan konsultasi. Saya lebih suka menggunakan tehnik konseling pertanyaan tertutup dan tehnik konseling eksplorasi untuk menggali apakah pasien membutuhkan konseling atau tidak. Banyak ilmu sosial yang harus dikuasai oleh apoteker, meskipun dulu saat kuliah tidak diajarkan, ternyata tak ada salahnya belajar sendiri. Ini semua demi kita sendiri, demi eksistensi profesi kita.

7. Yang mengambil obat bukan penderita ataupun keluarga penderita.
Pendapat saya ==> Disinilah letak perjuangan kita, bagaimana caranya agar pasien atau setidaknya keluarga pasien yang mengambil resep. Untuk memperjuangkan hal ini tentu saja kita harus melakukan penelitian kenapa ini terjadi? Bisa jadi hal ini disebabkan yang salah satunya karena apoteker tempo dulu tidak pernah aktif diapotek, sehingga pada saat ditanya tentang informasi yang berkaitan dengan obat dan penyakit mereka tidak atau kurang faham. Atau ada penyebab lain, di apotek saya umumnya diambil sendiri oleh pasien atau keluarga pasien. Terkadang untuk orang yang tinggal sendiri dan dalam keadaan yang tidak memungkinkan mengambil obat, yang mengambil obat tetap kita beri informasi obat yang memadai dan bila harus ada penekanan-penekan informasi biasanya sering saya ulang-uang sampai beberapa kali, terkadang bila mereka takut lupa ditulis sendiri. Saya juga tidak menutup mata bila sebagian informasi yang saya berikan mungkin juga tidak dimengerti yang disebabkan olah banyak hal. Tetapi sekali lagi inilah perjuangan dalam menjalankan profesi apoteker.

Sebanarnya dalam menjalankan profesi apoteker di apotek kita tidak boleh hanya terlalu tergantung kepada resep dokter. Segmen pasar obat resep cuman 22% dan segmen obat bebas adalah 38%. Kenapa kita harus berebut resep? Kelemahan apotek yang mengandalkan omset dari seorang dokter spesialis suatu misal, adalah bila dokter tersebut mendapat kompetitor sehingga jumlah pasiennya turun maka apoteknya juga akan menjadi sepi, atau dengan kata lain bila dokternya mati apotek juga mati. Kasus seperti ini sudah banyak contohnya.

Berbeda bila kita mengandalkan obat bebas. Kompetitor kita yang paling kuat hanya sesama apoteker. Dokter bisa jadi justru tergantung kita, karena sering kita kirimi pasien. Dalam membina swamedikasi kepada masyarakat awam, saya seringkali merujuk kepada dokter. Suatu misal pada kasus ispa non spesipik, saya tidak pernah menyarankan menggunakan antibiotik, hanya saya kasih obat untuk gejalanya saja dan yang penting tingkatkan istirahat atau tambah vitamin. Pasien umumnya saya beri pesan agar kedokter bila penyakit tak kunjung sembuh. Atau pada kasus yang kita duga harus kita rujuk kedokter, kita harus langsung rujuk saja, tetapi sebaiknya kita rujuk kepada dokter-dokter yang lebih menghormati profesi kita.

Pada kasus swamedikasi kita tidak boleh memaksakan diri harus sembuh pada semua kasus. Pasien umumnya saya konseling bila keamanan adalah lebih penting dari pada sekedar sembuh. Dan juga yang menjadi PR kita para apoteker di apotek pada kasus swamedikasi adalah bagaimana kita bisa mengamankan masyarakat dari bahaya obat dan penyakit. Untuk mengamankan masyarakat dari bahaya obat semua apoteker bisa, tetapi untuk mengamankan pasien dari bahaya penyakit mungkin belum semua apoteker bisa. Karena sangat tergantung juga pada jam terbang.

Pasien saya sebagian juga mengkonsultasikan dulu penyakitnya kepada saya sebelum kedokter. Disinilah kesempatan kita untuk membuat dokter berhutang budi dengan kita, karena ada kesempatan kita mengirimi rejeki dengan mengirimi pasien. Banyak hal yang saya lakukan agar kita bisa menjadi play maker dalam dunia kesehatan, tergantung kita mau atau tidak. Kesempatan sebenarnya selalu ada tetapi permasalahan utama kita adalah kesiapan kita menghadapi tantangan. Memang harus saya akui bila tidak semua ilmu saya yang saya terapkan didalam praktek profesi saya adalah saya dapatkan dari kursi kuliah, tetapi sebagian kita kejar dan kita kejar. Sebagian kita dapatkan dari Dinas Kesehatan yang sering mengadakan pembinaan, juga dari BPOM, juga dari ISFI.

Dan yang lain yang penting yang mempengaruhi perkembangan ilmu kita, adalah penerapan ilmu kita. Dengan diterapkannya ilmu kita setiap hari, maka akan terjadi penajaman. Yang berikutnya adalah adanya interaksi kita dengan lingkungan kita. Bila kita melakukan praktek profesi diapotek, maka kita akan berinteraksi dengan sesama profesi apoteker, profesi kesehatan lain dan masyarakat. Dari interaksi tersebut sering kali terjadi aliran ilmu pengetahuan seperti mengalirnya air dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah. Inilah salah satu kelebihan penerapan TATAP.

Saya akui bila uraian saya ini adalah hanya berdasarkan dari data empiris diapotek saya dan sebagian karena interaksi saya dengan sesama apoteker. Dan saya berterima kasih atas tanggapan tukang ukrek, bagaimanapun juga pendapat anda adalah kenyataan dari sebagian permasalahan yang kita hadapi yang menjadi PR bagi kita semua. Dan menurut saya tidak ada salahnya bila kita mulai sekarang mengkondisikan apotek kita dengan TATAP, meskipun belum dengan TATAP yang ideal. Dan menurut saya TATAP ADALAH SATU SATUNYA PILIHAN YANG PALING IDEAL untuk menjawab masalah kesehatan bidang kefarmasian di apotek.