Sabtu, 29 Agustus 2009

MENCERMATI RANCANGAN FINAL SKN 2009 (bagian III) (www.hisfarma.blogspot.com)

MENCERMATI RANCANGAN FINAL SKN 2009
(bagian III) (www.hisfarma.blogspot.com)

Banyak hal yang mungkin harus dicermati didalam Rancangan Final SKN beberapa hal tersebut juga terkadang menjadi pertanyaan didalam praktek profesi sehari-hari saya yang mana seakan-akan SKN seringkali saya anggap kurang tepat. Kekurang tepatan itu akan saya cermati dalam blog saya secara seri yang bersambung disela-sela saya menjalankan profesi saya.



Sediaan farmasi seri 3

4. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Makanan
Minuman
Pasar sediaan farmasi masih didominasi oleh produksi
domestik, bahan baku impor mencapai 85% dari
kebutuhan. Sementara itu di Indonesia terdapat 9.600
jenis tanaman berpotensi mempunyai efek
pengobatan, dan baru 300 jenis tanaman yang telah
digunakan sebagai bahan baku.
Pemerintah telah berusaha untuk menurunkan harga
obat, namun masih banyak kendala yang dihadapi.
Upaya perlindungan masyarakat terhadap
penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan
makanan minuman telah dilakukan secara
komprehensif.
Penggunaan obat rasional belum dilaksanakan di
seluruh fasilitas pelayanan kesehatan, masih banyak
pengobatan yang dilakukan tidak sesuai dengan
formularium.
Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) telah disusun
sejak tahun 1980 dan direvisi secara berkala sampai
tahun 2008. DOEN digunakan sebagai dasar
penyediaan obat di pelayanan kesehatan publik.
Lebih dari 90% obat yang diresepkan di Puskesmas
merupakan obat esensial generik. Namun tidak diikuti
oleh sarana pelayanan kesehatan lainnya, seperti: di
rumah sakit pemerintah kurang dari 76%, rumah sakit
swasta 49%, dan apotek kurang dari 47%. Hal ini
menunjukkan bahwa konsep obat esensial generik
belum sepenuhnya dipahami dan diterapkan.
10


Bukannya obat esensial generik belum sepenuhnya dipahami dan diterapkan, tetapi karena memang kebijakan pemerintah tentang obat atau sediaan farmasi belum mendukung praktek profesi kefarmasian. Formularium dan DOEN seharusya memang menjadi dasar dalam pelayanan kuratif kesehatan. Tetapi kebijakan yang menurut saya kurang tepat yang menyebabkan formularium sering kali kurang digunakan sebagai acuan dalam pelayanan kesehatan kuratif.

Pelayanan kesehatan yang bersifat kuratif seringkali masih menjadi primadona didalam layanan kesehatan pada sebagian sarana kesehatan, karena mampu menghasilkan uang yang lebih. Sehingga banyak kebijakan yang sering kali hanya lebih berpihak pada layanan kuratif dan layanan prekuentif sering kali justru tidak tampak pada sebagian dari layanan kesehatan oleh sarana kesehatan. Seharusnya layanan kesehatan lebih bersinergis lagi agar tujuan dari SKN lebih maksimal.

Seperti pernyataan obat tradisional, 300 tanaman telah menjadi bahan baku. Kalau tidak semua sarana kesehatan primer menggunakan tanaman obat pada layanan kesehatan baik pada kuratif dan prekuentif apa gunanya pernyataan tersebut? Dan apa gunanya bila sarana kesehatan primer seperti apotek yang mengunakan obat tradisional sebagai layanan kesehatan baik pada kuratif maupun prekuentif tidak diakui sebagai sarana kesehatan primer? Kebijakan yang kurang tepat seperti ini yang menyebabkan penggunaan obat tradisional tidak berkembang dengan baik.

Mungkin saat ini bisa dikatakan secara umum hanya profesi apoteker satu satunya profesi kesehatan yang bisa diangap paling kompeten didalam layanan kesehatan yang menggunakan tanamam obat, sedangan dokter dan tenaga kesehatan lain sangat minim didalam kurikulumnya. Tetapi kenyataannya apoteker didalam menjalankan pelayanannya belum bisa dikatakan primer didalam SKN karena orientasi pembangunan kesehatan kita masih berdiri pada satu pilar ilmu kedokteran saja dan dokter dianggap satu satunya tenaga kesehatan yang paling superior, sehingga sebagai dampaknya ilmu kesehatan lain kurang atau tidak berkembang. Seharusnya bisa kita cermati bila pada awalnya pemisahan ilmu kefarmasian dan kedokteran adalah untuk mengoptimalkan layanan kesehatan, dan ilmu kefarmasian bisa dikatakan adalah spesialisasi dari ilmu kedokteran.

Oleh karena itu adalah sangat wajar bila sebagian apoteker merasa bisa mengobati pasien dan sebagian dokter merasa bisa meracik obat, karena dasar ilmu yang dikuasai sama dan yang membedakan dokter lebih mengarah pada ilmu penyakit dan apoteker lebih mengarah pada ilmu obat (formuasi). Sebagian dari para apoteker juga merasa bahwa dirinya juga bisa dikatakan sebagai dokter yang mengambil spesialis ilmu obat sehingga merasa juga mampu memberikan pengobatan.

Kenyataannya memang apoteker seringkali melakukan pengobatan di apotek dan umumnya hanya menggunakan obat-obat sederhana (obat bebas sampai obat wajib apotek, juga obat tradisional) dan karena apoteker memang diberi kewenangan untuk itu. Dan sudah sepatasnya bila apoteker adalah satu satunya tenaga kesehatan yang paling pantas mengawal swamedikasi. Mengingat swamedikasi melibatkan lebih dari 40% anggota masyarakat. Dan tidak mungkin kita akan membiarkan masyarakat melakukan swamedikasi dengan cara sembarangan sampai terjadi kecelakaan akibat swamedikasi. Oleh karena itu peran apoteker dalam edukasi sangat-sangat diperlukan baik pada swamedikasi ataupun pada saat pengambilan obat atas resep.

Disinilah peran apoteker didalam SKN, adalah berperan pada “Upaya perlindungan masyarakat terhadap penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan minuman telah dilakukan secara komprehensif” seperti yang dinyatakan didalam SKN. Seharusnya ungkapan melindungi ini diartikan sebagai praktek profesi kefarmasian yang berbasiskan kompetensi. Megingat jumlah apoteker yang telah melampaui angka 27.000, saya rasa kedepan sudah saatnya bila pemerintah mulai memfasilitasi berdirinya apotek sampai pada tinggkat desa. Agar usaha pemerintah dalam melindungi masyarakat terhadap pengunaan sediaan farmasi lebih dapat dimaksimalkan.


5. Manajemen dan Informasi Kesehatan
Perencanaan antara Pusat dan Daerah belum sinkron
dan begitu juga dengan perencanaan jangka
panjang/menengah belum menjadi acuan dalam
menyusun perencanaan jangka pendek. Demikian
juga dengan kebijakan yang belum banyak disusun
berbasis bukti. Banyak kebijakan yang menimbulkan
kesenjangan dan tidak sinergi baik di Pusat dan atau
Daerah.
Sistem informasi kesehatan setelah desentralisasi
menjadi lemah. Data dan informasi kesehatan untuk
perencanaan tidak tersedia tepat waktu. Sistem
Informasi Kesehatan Nasional (Siknas) yang berbasis
fasilitas sudah mencapai tingkat kabupaten/kota
namun belum dimanfaatkan. Hasil penelitian
kesehatan, seperti: Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas), belum banyak dimanfaatkan sebagai
dasar perumusan kebijakan dan perencanaan
program. Surveilans belum dilaksanakan secara
menyeluruh.
Hukum kesehatan belum tertata secara sistematis dan
belum mendukung pembangunan kesehatan secara
utuh, terutama dalam menghadapi desentralisasi dan
globalisasi. Regulasi bidang kesehatan pada saat ini
belum cukup, baik jumlah, jenis, maupun
efektifitasnya.
Pemerintah belum sepenuhnya dapat
menyelenggarakan pembangunan kesehatan yang
efektif, efisien, dan bermutu sesuai dengan prinsipprinsip
kepemerintahan yang baik (Good Governance).
11

Bila kita kutip pernyataan “Pemerintah belum sepenuhnya dapat menyelenggarakan pembangunan kesehatan yang efektif, efisien, dan bermutu sesuai dengan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik (Good Governance)” dikarenakan kebijakan pemerintah yang masih terpotong-potong dan kurang bersinergis. Dan sering kali justru saling menghambat. Juga dikarenakan dalam pembangunan kesehatan masih bertumpu pada satu pilar ilmu kedokteran saja.

Bila kita mencermati uraian “Manajemen dan Informasi Kesehatan”, tidak pernah apotek dilibatkan didalam program informasi kesehatan meskipun itu dalam informasi yan terkait obat dan sediaan farmasi lain sekalipun. Padahal bisa dikatakan bila setiap apotek bisa menjadi pusat informasi obat yang lebih baik dari pada sarana kesehatan lain. Karena memang apotek seharusna dikawal oleh apoteker yang mempunyai kompetensi untuk itu. Tetapi sangat kelihatan bila praktek profesi kesehatan bidang kefarasian seperti informasi obat belum menjadi target didalam SKN. Apakah menunggu sampai masyarakat celaka akibat penggunaan obat? Saya rasa janganlah kita menunggu sampai terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Dan sudah saatnya bila peran dari tenaga kesehatan selain dokter lebih diberi peran dan “otonomi profesi” yang lebih baik agar jalannya pembangunan kesehatan lebih optimal.

Banyak kasus kecelakaan akibat kesalahan penggunaan obat oleh masyarakat, mulai penggunaan obat bebas sampai obat keras. Disinilah seharusnya peran apoteker didalam meningkatkan pendidikan kesehatan dilibatkan. Peran pendidikan kesehatan adalah tangung jawab dari semua profesi kesehatan, oleh karena itu peran mulia ini seharusnya diemban dengan penuh dedikasi. Pendidikan kesehatan tidak selalu identik dengan informasi, tetapi lebih jauh dari itu. Peran pendidikan kesehatan bisa saja untuk kuratif dan prekuentif. Salah satu penyebab kecelakaan penggunaan obat dan sediaan farmasi lain salah satunya akibat rendahnya tingkat pendidikan kesehatan masyarakat.

Pada masyarakat, semakin rendah tingkat pendidikannya, maka kecenderungan kecelakaan akibat obat atau penyakit atau apa saja terkait kesehatan akan semakin besar yang ujung-ujungnya justru akan meningkatkan biaya kuratif. Disinilah seharusnya peran tenaga kesehatan dalam meningkatkatkan derajat kesehatan semakin diperhatikan.

Dari uraian saya diatas seharusnya mualilah peran setiap tenaga kesehatan lebih disinergiskan dan janganlah menjadikan salah satu atau salah dua tenaga kesehatan dijadikan superior. Seperti pada ungkapan “tidak bisa seorang pembalap pada formula I bisa menjadi juara bila tidak didukung oleh mesin yang handal, mekanik yang handal, tim yang handal, ban yang handal dan lain sebagainya”. Janganlah kita merasa yang paling superior, padahal tanpa orang lain kita tidak ada apa-apanya. Oleh karena itu setiap tenaga kesehatan harus berlaku profesional sesuai kompetensinya masing-masing dan janganlah diintervensi oleh kepentingan-kepentingan ekonomi semata. Denga demikian biaya kesehatan bisa ditekan karena kesadaran akan profesionalisme dari tenaga kesehatan yang semakin baik dan kesadaran masyarakat utuk meningkatkan derajat kesehatan juga semakin baik. Harga obat bukan satu-satunya mekanisme didalam menurunkan biaya pengobatan, tetapi profesionalisme dari masing-masing tenaga kesehatan inilah yang merupakan faktor yang paling dominan didalam menurunkan biaya pengobatan dan biaya kesehatan secara umum.

Bagaimanapun juga sediaan farmasi adalah bagian dari sistem kesehatan yang berperan sebagai alat dari suatu profesi dalam menjalakan praktek profesi kefarmasian, sehingga keberadaan sediaan farmasi sudah seharusnya menjadi perhatian khusus yang kebijaksanaannya disusun berdasarkan bukti profesi kefarmasian.

Kamis, 20 Agustus 2009

MENCERMATI RANCANGAN FINAL SKN 2009 (bagian II) (www.hisfarma.blogspot.com)

MENCERMATI RANCANGAN FINAL SKN 2009
(bagian II) (www.hisfarma.blogspot.com)

Banyak hal yang mungkin harus dicermati didalam Rancangan Final SKN beberapa hal tersebut juga terkadang menjadi pertanyaan didalam praktek profesi sehari-hari saya yang mana seakan-akan SKN seringkali saya anggap kurang tepat. Kekurang tepatan itu akan saya cermati dalam blog saya secara seri yang bersambung disela-sela saya menjalankan profesi saya.


Seri 2

Pemberdayaan masyarakat
Pemberdayaan masyarakat juga perlu dicermati agar jalannya pemberdayaan masyarakat justru tidak kontra produktif. Bagaimanapun juga didalam pemberdayaan masyarakat, masyarakat yang berperan serta secara aktif tetap harus mengikuti kaidah-kaidah yag berlaku dan bukannya mengikuti keinginan sendiri-sendiri yang akhirnya justru kontra produktif. Disinilah pemerintah harus berlakuk bijak dan cerdas sehingga seluruh lapisan masyarakat merasa ikut andil didalam pembangunan kesehatan sehingga menimbulkan kebanggaan, meningatkan nasionalisme, dan sebagainya sehingga jalannya SKN akan terasakan dampaknya oleh masyarakat. Sehigga timbul kesadaran yang lebih baik pada dari masyarakat itu sendiri baik secara individu atau kelompok.


Uraian dari SKN sebagaimana berikut :

6. Pemberdayaan Masyarakat
Rumah tangga yang telah melaksanakan perilaku
hidup bersih dan sehat (PHBS) meningkat dari 27%
pada tahun 2005 menjadi 36,3% pada tahun 2007
namun masih jauh dari sasaran yang harus dicapai
pada tahun 2009 yakni dengan target 60%.
Jumlah UKBM, seperti Posyandu dan Poskesdes
semakin meningkat, tapi pemanfaatan dan kualitasnya
masih rendah. Hingga tahun 2007 sudah terbentuk
33.910 Desa Siaga dimana terdapat 20.986 buah Pos
Kesehatan Desa (Poskesdes). UKBM lainnya yang
terus berkembang pada tahun 2007 adalah Posyandu
yang telah berjumlah 269.202 buah, dan 600 Pos
Kesehatan Pesantren (Poskestren). Di samping itu,
Pemerintah telah memberikan pula bantuan stimulan
untuk pengembangan 229 Musholla Sehat. Sampai
dewasa ini dirasakan bahwa masyarakat masih lebih
banyak sebagai objek dari pada sebagai subjek
pembangunan kesehatan.
Hasil Riskesdas tahun 2007 menunjukkan bahwa
alasan utama rumah tangga tidak memanfaatkan
Posyandu/Poskesdes walaupun sebenarnya sangat
memerlukan adalah karena: pelayanannya tidak
lengkap (49,6%), lokasinya jauh (26%), dan tidak
tersedianya Posyandu/Poskesdes (24%).


Dari uraian diatas, masyarakat diuraikan secara sempit, hanya sebatas masyarakat awam belaka. Padahal masyarakat bisa berarti lebih luas lagi, semisal masyarakat profesi kesehatan, masyarakat kota, dan lain sebagainya. Oleh karena itu peran masyarakat seharusnya bisa untuk lebih digali lagi dan di sinergiskan didalam pembangunan kesehatan yang lebih baik dan lebih merata.


Seperti juga pada uraian dibawah ini :


2. Pemberdayaan dan Kemandirian
Setiap orang dan masyarakat bersama dengan
pemerintah berperan, berkewajiban dan bertanggung
jawab untuk memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan perorangan, keluarga, masyarakat, dan
lingkungannya. Pembangunan kesehatan harus
mampu membangkitkan dan mendorong peran aktif
masyarakat. Pembangunan kesehatan dilaksanakan
dengan berlandaskan pada kepercayaan atas
kemampuan dan kekuatan sendiri serta kepribadian
bangsa dan semangat solidaritas sosial serta gotongroyong.
Pembangunan kesehatan diarahkan memberi
manfaat yang sebesar-besarnya bagi peningkatan
derajat kesehatan masyarakat dengan perhatian
khusus pada penduduk rentan, antara lain: ibu, bayi,
anak, manusia usia lanjut dan keluarga miskin.

Pada uraian diatas kata bergotong royong tidak bisa dilakukan oleh masyarakat awam saja, tetapi tetap harus melibatkan masyarakat profesi. Ibarat bergotong royong membangun rumah, kita tetap melibatkan tukang sebagai tenaga ahli, bukannya masyarakat awan disuruh membuat rumah yang ujung-ujungnya akan saling menyalahkan bila rumah itu roboh. Seharusnya ada penekanan tentang siapa masyarakat itu secara lebih luas.


Uraian lain :

3. Adil dan Merata
Dalam pembangunan kesehatan setiap orang
mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya, tanpa memandang
suku, golongan, agama, dan status sosial ekonominya.
Setiap orang berhak memperoleh pelayanan
kesehatan. Setiap anak berhak atas kelangsungan
hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Disini akan tercapai bila sistem yang kita terapkan mengarah ke arah yang lebih ideal dengan saling mensinergiskan unsur-unsur yang terlibat dalam SKN..


4. Kedudukan SKN terhadap berbagai sistem
kemasyarakatan termasuk swasta
Keberhasilan pembangunan kesehatan sangat
ditentukan oleh dukungan sistem nilai dan budaya
masyarakat yang secara bersama terhimpun dalam
berbagai sistem kemasyarakatan. Di pihak lain,
berbagai sistem kemasyarakatan merupakan bagian
integral dari SKN. Dalam kaitan ini SKN dipergunakan
sebagai acuan bagi masyarakat dalam berbagai upaya
kesehatan.
Keberhasilan pembangunan kesehatan juga ditentukan
oleh peran aktif swasta. Dalam kaitan ini potensi
swasta merupakan bagian integral dari SKN. Untuk
keberhasilan pembangunan kesehatan perlu digalang
kemitraan yang setara, terbuka, dan saling
menguntungkan dengan berbagai potensi swasta. SKN
dapat mewarnai potensi swasta, sehingga sejalan
dengan tujuan pembangunan nasional yang
berwawasan kesehatan.
Dengan mengacu terutama pada kedudukan SKN diatas
dan pencapaian tujuan nasional, dalam Gambar 1
dikemukakan alur pikir dari SKN termaksud.

Peran swata diatas tetap harus dicermati dengan kewajiban swasta untuk tetap memegang aturan yang berlaku dan tidak boleh justru kontra produktif dengan arah pembangunan kesehatan. Ada baiknya bila peran swasta yag tetap harus mengikuti peraturan juga dimunculan didalam SKN. Dan seharusnya definisi masyarakat swasta juga tidak dipisahkan dari masyarakat awam, karena semua yang diluar pemerintah bisa diartikan sebagai swasta. Dengan lebih memberikan arti masyarakat yang lebih luas, masyarakat secara umum bisa merasa ikut memiliki dan bertanggung jawab terhadap pembangunan kesehatan.


6. Subsistem Pemberdayaan Masyarakat
SKN akan berfungsi optimal apabila ditunjang oleh
pemberdayaan masyarakat. Masyarakat termasuk
swasta bukan semata-mata sebagai sasaran
pembangunan kesehatan, melainkan juga sebagai
subjek atau penyelenggara dan pelaku pembangunan
kesehatan. Oleh karenanya pemberdayaan masyarakat
menjadi sangat penting, agar masyarakat termasuk
swasta dapat mampu dan mau berperan sebagai
pelaku pembangunan kesehatan. Dalam pember-
dayaan masyarakat meliputi pula upaya peningkatan
lingkungan sehat dari masyarakat sendiri.
Pemberdayaan masyarakat dan upaya kesehatan pada
hakekatnya merupakan fokus dari pembangunan
kesehatan.

Masyarakat dan termasuk masyarakat profesi kesehatan dan swasta seharusnya memang bukan sebagai obyek, tetapi juga sebagai subyek. Agar masyarakat bisa sebagai subyek maka arah pembangunan harus lebih jelas dan lebih mengarahkan pada pendidikan kesehatan sebagai pondasi dalam membangun kesehatan bangsa. Seperti pada jaminan kesehatan, jaminan kesehatan hanya bisa diterapkan bila tingkat pendidikan kesehatan masyarakat cukup. Bila tingkat pendidikan kesehatan masyarakat rendah, maka masyarakat aka engan menjaga kesehatannya termasuk kesehatan lingkungan. Bila kesadaran tinggi, maka masyarakat akan lebih mampu menjaga dirinya dan lebih mampu menjaga kesehatan linkungannya. Harapan kedepannya masalah kuratif lebih dapat diminimalkan dan dananya sebagian harus diarahkan kepada pendidikan kesehatan.


F. SUBSISTEM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
1. Pengertian
Subsistem pemberdayaan masyarakat adalah bentuk
dan cara penyelenggaraan berbagai upaya kesehatan,
baik perorangan, kelompok, maupun masyarakat
secara terencana, terpadu, dan berkesinambungan
guna tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya.
2. Tujuan
Tujuan subsistem pemberdayaan masyarakat adalah
meningkatnya kemampuan masyarakat untuk
berperilaku hidup sehat, mampu mengatasi masalah
kesehatan secara mandiri, berperanserta dalam setiap
upaya kesehatan serta dapat menjadi penggerak
dalam mewujudkan pembangunan berwawasan
kesehatan.

Meningkatkan kemampuan masyarakat untuk berperilaku hidup sehat adalah peran dari pendidikan kesehatan. Bila arah tujuannya adalah menaikan tingkat pendidikan kesehatan seharusnya lebih ditekankan pada hal ini adalah masalah pendidikan kesehatan.

3. Unsur-unsur
Subsistem pemberdayaan masyarakat terdiri dari
empat unsur, yaitu:
a. Penggerak Pemberdayaan
Pemerintah, masyarakat, dan swasta menjadi
inisiator, motivator dan fasilitator yang mempunyai
kompetensi memadai dan dapat membangun
komitmen dengan dukungan para pemimpin, baik
formal maupun non formal.
b. Sasaran Pemberdayaan
Perorangan (tokoh masyarakat, tokoh agama,
politisi, figur masyarakat, dan sebagainya),
kelompok (organisasi kemasyarakatan, organisasi
profesi, kelompok masyarakat) dan masyarakat
luas, serta pemerintah yang akan berperan sebagai
agen perubahan untuk penerapan perilaku hidup
sehat (subjek pembangunan kesehatan).
c. Kegiatan Hidup Sehat
Kegiatan hidup sehat yang dilakukan sehari-hari
oleh masyarakat, sehingga membentuk kebiasaan
dan pola hidup, tumbuh dan berkembang, serta
melembaga dan membudaya dalam kehidupan
bermasyarakat.
d. Sumberdaya
Potensi yang dimiliki oleh masyarakat, swasta dan
pemerintah yang meliputi dana, sarana dan
prasarana, budaya, metode, pedoman, dan media
untuk terselenggaranya proses pemberdayaan di
bidang kesehatan.
4. Prinsip
Terdapat enam prinsip dalam mewujudkan
pemberdayaan masyarakat, yaitu:
72
a. Berbasis Masyarakat
Pembangunan kesehatan berbasis pada tata nilai
perorangan, keluarga dan masyarakat, sesuai
dengan keragaman sosial budaya, kebutuhan,
permasalahan, serta potensi masyarakat (modal
sosial).
b. Edukatif
Pemberdayaan masyarakat dilakukan atas dasar
untuk menumbuhkan kesadaran, kemauan dan
kemampuannya, serta menjadi penggerak dalam
pembangunan kesehatan.
c. Kesempatan Mengemukakan Pendapat dan
Memilih Pelayanan Kesehatan
Masyarakat mempunyai kesempatan untuk
menerima pembaharuan tanggap terhadap aspirasi
masyarakat dan bertanggungjawab, serta
kemudahan akses informasi, mengemukakan
pendapat dan terlibat dalam proses pengambilan
keputusan yang berkaitan dengan kesehatan diri,
keluarga, masyarakat, dan lingkungannya.
d. Kemitraan
Semua pelaku pembangunan kesehatan baik
sebagai penyelenggara maupun sebagai pengguna
jasa kesehatan, dengan masyarakat yang dilayani,
kebersamaan, kesetaraan dan saling memperoleh
manfaat.
73
e. Kemandirian
Kemampuan masyarakat untuk mengoptimalkan
dan menggerakkan segala sumberdaya setempat
serta tidak bergantung kepada pihak lain.
Kemandirian bermakna sebagai upaya kesehatan
dari, oleh, dan untuk masyarakat.
f. Gotong-royong
Tumbuhnya rasa kepedulian, tenggang rasa,
solidaritas, empati, dan kepekaan masyarakat
dalam menghadapi potensi dan masalah
kesehatan, yang akhirnya bermuara dalam
semangat gotong-royong sesuai dengan nilai luhur
bangsa.

Kesimpulan saya pada pemberdayaan masyarakat, pada pemberdayaan masyarakat, masyarakat seharusnya bisa diartikan dalam artian yang lebih luas sehingga peran pemerintah bisa lebih kelihatan karena peran masyarakat yang lebih luas lebih dapat difasilitasi dan lebih berharga diri. Sehingga peran swasta tidak hanya diartikan sebagai bisnis saja, tetapi juga sebagai rasa tangung jawab moral bersama terhadap setiap permasalahan kesehatan yang muncul disetiap sendi hidup berbangsa.

Rabu, 05 Agustus 2009

ADAKAH HAL YANG BARU TENTANG "TEORI PHARMACEUTICAL CARE"

Tiga tahun yang lalu saya Pernah mengikuti pelatihan Kefarmasian dan salah satu materi yang dipaparkan adalah tentang pharmaceutical care. DIdalam materi Pharmaceutical care dibahas tentang pendahuluan, konsep dasar konseling, tahapan konseling, kepatuhan penggunaan obat, peran apoteker/farmasis dll.

Di dalam kesempatan lain saya juga mendapat undangan tentang Pharmaceutical care didalam pokok bahasannya menyinggung tentang aturan dasar pendukung pharmaceutical care “SK menkes 1027/Menkes/SK/2004 – tentang standat pelayanan kefarmasian di apotek, SK Menkes no: 1197/Menkes/SK/X/2004 – tentang standart pelayanan farmasi di RS”, standar kemampuan SDM Apoteker harus bagaimana, dibumbuhi sedikit tentang Pelayanan dan penggunaan obat secara rasional, pelayanan farmasi klinik dsb…

Kalau kita cermati teori dasar yang dipakai tentang bahasan Pharmaceutical Cere adalah berasal dari Daftar Pustaka seputar Hepler, Strand, ASHP yang terbit sekitar tahun 1990-2000 ditambah SK menkes Tentang Standart pelayanan Kefarmasian di Apotek/RS. Teori ini bagi sejawat apoteker pemula atau calon apoteker tentunya sangat menarik untuk diperbincangkan & dibahas lebih detail.

Namun bagi sejawat apoteker yang sudah malang melintang mengikuti Seminar, pelatihan, di tambah bekal perkuliahan S1 atau bahkan S2 mungkin akan terlihat stagnan bila mengikuti teori tentang Pharmaceutical Care.

Belum lagi dengan semakin banyaknya seminar tentang kefarmasian akhir-akhir ini sebagai nara sumber tentunya dituntut untuk menampilkan teori/paparan yang lebih berbobot agar tidak terkesan paparan yang disampaikan bisa dikatakan “basi” (karena sudah terlalu sering di bahas) atau ada peserta apoteker baru yang mengomentari setelah mengikuti seminar “materinya sama dengan yang dikuliahkan” karena kebetulan yang memaparkan bekas dosennya. …

Adakah yang Salah dengan Fenomena seperti diatas …Teori mana lagi yang akan kita bahas?
Ada masukan Sejawat?