Sabtu, 29 Agustus 2009

MENCERMATI RANCANGAN FINAL SKN 2009 (bagian III) (www.hisfarma.blogspot.com)

MENCERMATI RANCANGAN FINAL SKN 2009
(bagian III) (www.hisfarma.blogspot.com)

Banyak hal yang mungkin harus dicermati didalam Rancangan Final SKN beberapa hal tersebut juga terkadang menjadi pertanyaan didalam praktek profesi sehari-hari saya yang mana seakan-akan SKN seringkali saya anggap kurang tepat. Kekurang tepatan itu akan saya cermati dalam blog saya secara seri yang bersambung disela-sela saya menjalankan profesi saya.



Sediaan farmasi seri 3

4. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Makanan
Minuman
Pasar sediaan farmasi masih didominasi oleh produksi
domestik, bahan baku impor mencapai 85% dari
kebutuhan. Sementara itu di Indonesia terdapat 9.600
jenis tanaman berpotensi mempunyai efek
pengobatan, dan baru 300 jenis tanaman yang telah
digunakan sebagai bahan baku.
Pemerintah telah berusaha untuk menurunkan harga
obat, namun masih banyak kendala yang dihadapi.
Upaya perlindungan masyarakat terhadap
penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan
makanan minuman telah dilakukan secara
komprehensif.
Penggunaan obat rasional belum dilaksanakan di
seluruh fasilitas pelayanan kesehatan, masih banyak
pengobatan yang dilakukan tidak sesuai dengan
formularium.
Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) telah disusun
sejak tahun 1980 dan direvisi secara berkala sampai
tahun 2008. DOEN digunakan sebagai dasar
penyediaan obat di pelayanan kesehatan publik.
Lebih dari 90% obat yang diresepkan di Puskesmas
merupakan obat esensial generik. Namun tidak diikuti
oleh sarana pelayanan kesehatan lainnya, seperti: di
rumah sakit pemerintah kurang dari 76%, rumah sakit
swasta 49%, dan apotek kurang dari 47%. Hal ini
menunjukkan bahwa konsep obat esensial generik
belum sepenuhnya dipahami dan diterapkan.
10


Bukannya obat esensial generik belum sepenuhnya dipahami dan diterapkan, tetapi karena memang kebijakan pemerintah tentang obat atau sediaan farmasi belum mendukung praktek profesi kefarmasian. Formularium dan DOEN seharusya memang menjadi dasar dalam pelayanan kuratif kesehatan. Tetapi kebijakan yang menurut saya kurang tepat yang menyebabkan formularium sering kali kurang digunakan sebagai acuan dalam pelayanan kesehatan kuratif.

Pelayanan kesehatan yang bersifat kuratif seringkali masih menjadi primadona didalam layanan kesehatan pada sebagian sarana kesehatan, karena mampu menghasilkan uang yang lebih. Sehingga banyak kebijakan yang sering kali hanya lebih berpihak pada layanan kuratif dan layanan prekuentif sering kali justru tidak tampak pada sebagian dari layanan kesehatan oleh sarana kesehatan. Seharusnya layanan kesehatan lebih bersinergis lagi agar tujuan dari SKN lebih maksimal.

Seperti pernyataan obat tradisional, 300 tanaman telah menjadi bahan baku. Kalau tidak semua sarana kesehatan primer menggunakan tanaman obat pada layanan kesehatan baik pada kuratif dan prekuentif apa gunanya pernyataan tersebut? Dan apa gunanya bila sarana kesehatan primer seperti apotek yang mengunakan obat tradisional sebagai layanan kesehatan baik pada kuratif maupun prekuentif tidak diakui sebagai sarana kesehatan primer? Kebijakan yang kurang tepat seperti ini yang menyebabkan penggunaan obat tradisional tidak berkembang dengan baik.

Mungkin saat ini bisa dikatakan secara umum hanya profesi apoteker satu satunya profesi kesehatan yang bisa diangap paling kompeten didalam layanan kesehatan yang menggunakan tanamam obat, sedangan dokter dan tenaga kesehatan lain sangat minim didalam kurikulumnya. Tetapi kenyataannya apoteker didalam menjalankan pelayanannya belum bisa dikatakan primer didalam SKN karena orientasi pembangunan kesehatan kita masih berdiri pada satu pilar ilmu kedokteran saja dan dokter dianggap satu satunya tenaga kesehatan yang paling superior, sehingga sebagai dampaknya ilmu kesehatan lain kurang atau tidak berkembang. Seharusnya bisa kita cermati bila pada awalnya pemisahan ilmu kefarmasian dan kedokteran adalah untuk mengoptimalkan layanan kesehatan, dan ilmu kefarmasian bisa dikatakan adalah spesialisasi dari ilmu kedokteran.

Oleh karena itu adalah sangat wajar bila sebagian apoteker merasa bisa mengobati pasien dan sebagian dokter merasa bisa meracik obat, karena dasar ilmu yang dikuasai sama dan yang membedakan dokter lebih mengarah pada ilmu penyakit dan apoteker lebih mengarah pada ilmu obat (formuasi). Sebagian dari para apoteker juga merasa bahwa dirinya juga bisa dikatakan sebagai dokter yang mengambil spesialis ilmu obat sehingga merasa juga mampu memberikan pengobatan.

Kenyataannya memang apoteker seringkali melakukan pengobatan di apotek dan umumnya hanya menggunakan obat-obat sederhana (obat bebas sampai obat wajib apotek, juga obat tradisional) dan karena apoteker memang diberi kewenangan untuk itu. Dan sudah sepatasnya bila apoteker adalah satu satunya tenaga kesehatan yang paling pantas mengawal swamedikasi. Mengingat swamedikasi melibatkan lebih dari 40% anggota masyarakat. Dan tidak mungkin kita akan membiarkan masyarakat melakukan swamedikasi dengan cara sembarangan sampai terjadi kecelakaan akibat swamedikasi. Oleh karena itu peran apoteker dalam edukasi sangat-sangat diperlukan baik pada swamedikasi ataupun pada saat pengambilan obat atas resep.

Disinilah peran apoteker didalam SKN, adalah berperan pada “Upaya perlindungan masyarakat terhadap penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan minuman telah dilakukan secara komprehensif” seperti yang dinyatakan didalam SKN. Seharusnya ungkapan melindungi ini diartikan sebagai praktek profesi kefarmasian yang berbasiskan kompetensi. Megingat jumlah apoteker yang telah melampaui angka 27.000, saya rasa kedepan sudah saatnya bila pemerintah mulai memfasilitasi berdirinya apotek sampai pada tinggkat desa. Agar usaha pemerintah dalam melindungi masyarakat terhadap pengunaan sediaan farmasi lebih dapat dimaksimalkan.


5. Manajemen dan Informasi Kesehatan
Perencanaan antara Pusat dan Daerah belum sinkron
dan begitu juga dengan perencanaan jangka
panjang/menengah belum menjadi acuan dalam
menyusun perencanaan jangka pendek. Demikian
juga dengan kebijakan yang belum banyak disusun
berbasis bukti. Banyak kebijakan yang menimbulkan
kesenjangan dan tidak sinergi baik di Pusat dan atau
Daerah.
Sistem informasi kesehatan setelah desentralisasi
menjadi lemah. Data dan informasi kesehatan untuk
perencanaan tidak tersedia tepat waktu. Sistem
Informasi Kesehatan Nasional (Siknas) yang berbasis
fasilitas sudah mencapai tingkat kabupaten/kota
namun belum dimanfaatkan. Hasil penelitian
kesehatan, seperti: Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas), belum banyak dimanfaatkan sebagai
dasar perumusan kebijakan dan perencanaan
program. Surveilans belum dilaksanakan secara
menyeluruh.
Hukum kesehatan belum tertata secara sistematis dan
belum mendukung pembangunan kesehatan secara
utuh, terutama dalam menghadapi desentralisasi dan
globalisasi. Regulasi bidang kesehatan pada saat ini
belum cukup, baik jumlah, jenis, maupun
efektifitasnya.
Pemerintah belum sepenuhnya dapat
menyelenggarakan pembangunan kesehatan yang
efektif, efisien, dan bermutu sesuai dengan prinsipprinsip
kepemerintahan yang baik (Good Governance).
11

Bila kita kutip pernyataan “Pemerintah belum sepenuhnya dapat menyelenggarakan pembangunan kesehatan yang efektif, efisien, dan bermutu sesuai dengan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik (Good Governance)” dikarenakan kebijakan pemerintah yang masih terpotong-potong dan kurang bersinergis. Dan sering kali justru saling menghambat. Juga dikarenakan dalam pembangunan kesehatan masih bertumpu pada satu pilar ilmu kedokteran saja.

Bila kita mencermati uraian “Manajemen dan Informasi Kesehatan”, tidak pernah apotek dilibatkan didalam program informasi kesehatan meskipun itu dalam informasi yan terkait obat dan sediaan farmasi lain sekalipun. Padahal bisa dikatakan bila setiap apotek bisa menjadi pusat informasi obat yang lebih baik dari pada sarana kesehatan lain. Karena memang apotek seharusna dikawal oleh apoteker yang mempunyai kompetensi untuk itu. Tetapi sangat kelihatan bila praktek profesi kesehatan bidang kefarasian seperti informasi obat belum menjadi target didalam SKN. Apakah menunggu sampai masyarakat celaka akibat penggunaan obat? Saya rasa janganlah kita menunggu sampai terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Dan sudah saatnya bila peran dari tenaga kesehatan selain dokter lebih diberi peran dan “otonomi profesi” yang lebih baik agar jalannya pembangunan kesehatan lebih optimal.

Banyak kasus kecelakaan akibat kesalahan penggunaan obat oleh masyarakat, mulai penggunaan obat bebas sampai obat keras. Disinilah seharusnya peran apoteker didalam meningkatkan pendidikan kesehatan dilibatkan. Peran pendidikan kesehatan adalah tangung jawab dari semua profesi kesehatan, oleh karena itu peran mulia ini seharusnya diemban dengan penuh dedikasi. Pendidikan kesehatan tidak selalu identik dengan informasi, tetapi lebih jauh dari itu. Peran pendidikan kesehatan bisa saja untuk kuratif dan prekuentif. Salah satu penyebab kecelakaan penggunaan obat dan sediaan farmasi lain salah satunya akibat rendahnya tingkat pendidikan kesehatan masyarakat.

Pada masyarakat, semakin rendah tingkat pendidikannya, maka kecenderungan kecelakaan akibat obat atau penyakit atau apa saja terkait kesehatan akan semakin besar yang ujung-ujungnya justru akan meningkatkan biaya kuratif. Disinilah seharusnya peran tenaga kesehatan dalam meningkatkatkan derajat kesehatan semakin diperhatikan.

Dari uraian saya diatas seharusnya mualilah peran setiap tenaga kesehatan lebih disinergiskan dan janganlah menjadikan salah satu atau salah dua tenaga kesehatan dijadikan superior. Seperti pada ungkapan “tidak bisa seorang pembalap pada formula I bisa menjadi juara bila tidak didukung oleh mesin yang handal, mekanik yang handal, tim yang handal, ban yang handal dan lain sebagainya”. Janganlah kita merasa yang paling superior, padahal tanpa orang lain kita tidak ada apa-apanya. Oleh karena itu setiap tenaga kesehatan harus berlaku profesional sesuai kompetensinya masing-masing dan janganlah diintervensi oleh kepentingan-kepentingan ekonomi semata. Denga demikian biaya kesehatan bisa ditekan karena kesadaran akan profesionalisme dari tenaga kesehatan yang semakin baik dan kesadaran masyarakat utuk meningkatkan derajat kesehatan juga semakin baik. Harga obat bukan satu-satunya mekanisme didalam menurunkan biaya pengobatan, tetapi profesionalisme dari masing-masing tenaga kesehatan inilah yang merupakan faktor yang paling dominan didalam menurunkan biaya pengobatan dan biaya kesehatan secara umum.

Bagaimanapun juga sediaan farmasi adalah bagian dari sistem kesehatan yang berperan sebagai alat dari suatu profesi dalam menjalakan praktek profesi kefarmasian, sehingga keberadaan sediaan farmasi sudah seharusnya menjadi perhatian khusus yang kebijaksanaannya disusun berdasarkan bukti profesi kefarmasian.

Kamis, 20 Agustus 2009

MENCERMATI RANCANGAN FINAL SKN 2009 (bagian II) (www.hisfarma.blogspot.com)

MENCERMATI RANCANGAN FINAL SKN 2009
(bagian II) (www.hisfarma.blogspot.com)

Banyak hal yang mungkin harus dicermati didalam Rancangan Final SKN beberapa hal tersebut juga terkadang menjadi pertanyaan didalam praktek profesi sehari-hari saya yang mana seakan-akan SKN seringkali saya anggap kurang tepat. Kekurang tepatan itu akan saya cermati dalam blog saya secara seri yang bersambung disela-sela saya menjalankan profesi saya.


Seri 2

Pemberdayaan masyarakat
Pemberdayaan masyarakat juga perlu dicermati agar jalannya pemberdayaan masyarakat justru tidak kontra produktif. Bagaimanapun juga didalam pemberdayaan masyarakat, masyarakat yang berperan serta secara aktif tetap harus mengikuti kaidah-kaidah yag berlaku dan bukannya mengikuti keinginan sendiri-sendiri yang akhirnya justru kontra produktif. Disinilah pemerintah harus berlakuk bijak dan cerdas sehingga seluruh lapisan masyarakat merasa ikut andil didalam pembangunan kesehatan sehingga menimbulkan kebanggaan, meningatkan nasionalisme, dan sebagainya sehingga jalannya SKN akan terasakan dampaknya oleh masyarakat. Sehigga timbul kesadaran yang lebih baik pada dari masyarakat itu sendiri baik secara individu atau kelompok.


Uraian dari SKN sebagaimana berikut :

6. Pemberdayaan Masyarakat
Rumah tangga yang telah melaksanakan perilaku
hidup bersih dan sehat (PHBS) meningkat dari 27%
pada tahun 2005 menjadi 36,3% pada tahun 2007
namun masih jauh dari sasaran yang harus dicapai
pada tahun 2009 yakni dengan target 60%.
Jumlah UKBM, seperti Posyandu dan Poskesdes
semakin meningkat, tapi pemanfaatan dan kualitasnya
masih rendah. Hingga tahun 2007 sudah terbentuk
33.910 Desa Siaga dimana terdapat 20.986 buah Pos
Kesehatan Desa (Poskesdes). UKBM lainnya yang
terus berkembang pada tahun 2007 adalah Posyandu
yang telah berjumlah 269.202 buah, dan 600 Pos
Kesehatan Pesantren (Poskestren). Di samping itu,
Pemerintah telah memberikan pula bantuan stimulan
untuk pengembangan 229 Musholla Sehat. Sampai
dewasa ini dirasakan bahwa masyarakat masih lebih
banyak sebagai objek dari pada sebagai subjek
pembangunan kesehatan.
Hasil Riskesdas tahun 2007 menunjukkan bahwa
alasan utama rumah tangga tidak memanfaatkan
Posyandu/Poskesdes walaupun sebenarnya sangat
memerlukan adalah karena: pelayanannya tidak
lengkap (49,6%), lokasinya jauh (26%), dan tidak
tersedianya Posyandu/Poskesdes (24%).


Dari uraian diatas, masyarakat diuraikan secara sempit, hanya sebatas masyarakat awam belaka. Padahal masyarakat bisa berarti lebih luas lagi, semisal masyarakat profesi kesehatan, masyarakat kota, dan lain sebagainya. Oleh karena itu peran masyarakat seharusnya bisa untuk lebih digali lagi dan di sinergiskan didalam pembangunan kesehatan yang lebih baik dan lebih merata.


Seperti juga pada uraian dibawah ini :


2. Pemberdayaan dan Kemandirian
Setiap orang dan masyarakat bersama dengan
pemerintah berperan, berkewajiban dan bertanggung
jawab untuk memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan perorangan, keluarga, masyarakat, dan
lingkungannya. Pembangunan kesehatan harus
mampu membangkitkan dan mendorong peran aktif
masyarakat. Pembangunan kesehatan dilaksanakan
dengan berlandaskan pada kepercayaan atas
kemampuan dan kekuatan sendiri serta kepribadian
bangsa dan semangat solidaritas sosial serta gotongroyong.
Pembangunan kesehatan diarahkan memberi
manfaat yang sebesar-besarnya bagi peningkatan
derajat kesehatan masyarakat dengan perhatian
khusus pada penduduk rentan, antara lain: ibu, bayi,
anak, manusia usia lanjut dan keluarga miskin.

Pada uraian diatas kata bergotong royong tidak bisa dilakukan oleh masyarakat awam saja, tetapi tetap harus melibatkan masyarakat profesi. Ibarat bergotong royong membangun rumah, kita tetap melibatkan tukang sebagai tenaga ahli, bukannya masyarakat awan disuruh membuat rumah yang ujung-ujungnya akan saling menyalahkan bila rumah itu roboh. Seharusnya ada penekanan tentang siapa masyarakat itu secara lebih luas.


Uraian lain :

3. Adil dan Merata
Dalam pembangunan kesehatan setiap orang
mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya, tanpa memandang
suku, golongan, agama, dan status sosial ekonominya.
Setiap orang berhak memperoleh pelayanan
kesehatan. Setiap anak berhak atas kelangsungan
hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Disini akan tercapai bila sistem yang kita terapkan mengarah ke arah yang lebih ideal dengan saling mensinergiskan unsur-unsur yang terlibat dalam SKN..


4. Kedudukan SKN terhadap berbagai sistem
kemasyarakatan termasuk swasta
Keberhasilan pembangunan kesehatan sangat
ditentukan oleh dukungan sistem nilai dan budaya
masyarakat yang secara bersama terhimpun dalam
berbagai sistem kemasyarakatan. Di pihak lain,
berbagai sistem kemasyarakatan merupakan bagian
integral dari SKN. Dalam kaitan ini SKN dipergunakan
sebagai acuan bagi masyarakat dalam berbagai upaya
kesehatan.
Keberhasilan pembangunan kesehatan juga ditentukan
oleh peran aktif swasta. Dalam kaitan ini potensi
swasta merupakan bagian integral dari SKN. Untuk
keberhasilan pembangunan kesehatan perlu digalang
kemitraan yang setara, terbuka, dan saling
menguntungkan dengan berbagai potensi swasta. SKN
dapat mewarnai potensi swasta, sehingga sejalan
dengan tujuan pembangunan nasional yang
berwawasan kesehatan.
Dengan mengacu terutama pada kedudukan SKN diatas
dan pencapaian tujuan nasional, dalam Gambar 1
dikemukakan alur pikir dari SKN termaksud.

Peran swata diatas tetap harus dicermati dengan kewajiban swasta untuk tetap memegang aturan yang berlaku dan tidak boleh justru kontra produktif dengan arah pembangunan kesehatan. Ada baiknya bila peran swasta yag tetap harus mengikuti peraturan juga dimunculan didalam SKN. Dan seharusnya definisi masyarakat swasta juga tidak dipisahkan dari masyarakat awam, karena semua yang diluar pemerintah bisa diartikan sebagai swasta. Dengan lebih memberikan arti masyarakat yang lebih luas, masyarakat secara umum bisa merasa ikut memiliki dan bertanggung jawab terhadap pembangunan kesehatan.


6. Subsistem Pemberdayaan Masyarakat
SKN akan berfungsi optimal apabila ditunjang oleh
pemberdayaan masyarakat. Masyarakat termasuk
swasta bukan semata-mata sebagai sasaran
pembangunan kesehatan, melainkan juga sebagai
subjek atau penyelenggara dan pelaku pembangunan
kesehatan. Oleh karenanya pemberdayaan masyarakat
menjadi sangat penting, agar masyarakat termasuk
swasta dapat mampu dan mau berperan sebagai
pelaku pembangunan kesehatan. Dalam pember-
dayaan masyarakat meliputi pula upaya peningkatan
lingkungan sehat dari masyarakat sendiri.
Pemberdayaan masyarakat dan upaya kesehatan pada
hakekatnya merupakan fokus dari pembangunan
kesehatan.

Masyarakat dan termasuk masyarakat profesi kesehatan dan swasta seharusnya memang bukan sebagai obyek, tetapi juga sebagai subyek. Agar masyarakat bisa sebagai subyek maka arah pembangunan harus lebih jelas dan lebih mengarahkan pada pendidikan kesehatan sebagai pondasi dalam membangun kesehatan bangsa. Seperti pada jaminan kesehatan, jaminan kesehatan hanya bisa diterapkan bila tingkat pendidikan kesehatan masyarakat cukup. Bila tingkat pendidikan kesehatan masyarakat rendah, maka masyarakat aka engan menjaga kesehatannya termasuk kesehatan lingkungan. Bila kesadaran tinggi, maka masyarakat akan lebih mampu menjaga dirinya dan lebih mampu menjaga kesehatan linkungannya. Harapan kedepannya masalah kuratif lebih dapat diminimalkan dan dananya sebagian harus diarahkan kepada pendidikan kesehatan.


F. SUBSISTEM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
1. Pengertian
Subsistem pemberdayaan masyarakat adalah bentuk
dan cara penyelenggaraan berbagai upaya kesehatan,
baik perorangan, kelompok, maupun masyarakat
secara terencana, terpadu, dan berkesinambungan
guna tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya.
2. Tujuan
Tujuan subsistem pemberdayaan masyarakat adalah
meningkatnya kemampuan masyarakat untuk
berperilaku hidup sehat, mampu mengatasi masalah
kesehatan secara mandiri, berperanserta dalam setiap
upaya kesehatan serta dapat menjadi penggerak
dalam mewujudkan pembangunan berwawasan
kesehatan.

Meningkatkan kemampuan masyarakat untuk berperilaku hidup sehat adalah peran dari pendidikan kesehatan. Bila arah tujuannya adalah menaikan tingkat pendidikan kesehatan seharusnya lebih ditekankan pada hal ini adalah masalah pendidikan kesehatan.

3. Unsur-unsur
Subsistem pemberdayaan masyarakat terdiri dari
empat unsur, yaitu:
a. Penggerak Pemberdayaan
Pemerintah, masyarakat, dan swasta menjadi
inisiator, motivator dan fasilitator yang mempunyai
kompetensi memadai dan dapat membangun
komitmen dengan dukungan para pemimpin, baik
formal maupun non formal.
b. Sasaran Pemberdayaan
Perorangan (tokoh masyarakat, tokoh agama,
politisi, figur masyarakat, dan sebagainya),
kelompok (organisasi kemasyarakatan, organisasi
profesi, kelompok masyarakat) dan masyarakat
luas, serta pemerintah yang akan berperan sebagai
agen perubahan untuk penerapan perilaku hidup
sehat (subjek pembangunan kesehatan).
c. Kegiatan Hidup Sehat
Kegiatan hidup sehat yang dilakukan sehari-hari
oleh masyarakat, sehingga membentuk kebiasaan
dan pola hidup, tumbuh dan berkembang, serta
melembaga dan membudaya dalam kehidupan
bermasyarakat.
d. Sumberdaya
Potensi yang dimiliki oleh masyarakat, swasta dan
pemerintah yang meliputi dana, sarana dan
prasarana, budaya, metode, pedoman, dan media
untuk terselenggaranya proses pemberdayaan di
bidang kesehatan.
4. Prinsip
Terdapat enam prinsip dalam mewujudkan
pemberdayaan masyarakat, yaitu:
72
a. Berbasis Masyarakat
Pembangunan kesehatan berbasis pada tata nilai
perorangan, keluarga dan masyarakat, sesuai
dengan keragaman sosial budaya, kebutuhan,
permasalahan, serta potensi masyarakat (modal
sosial).
b. Edukatif
Pemberdayaan masyarakat dilakukan atas dasar
untuk menumbuhkan kesadaran, kemauan dan
kemampuannya, serta menjadi penggerak dalam
pembangunan kesehatan.
c. Kesempatan Mengemukakan Pendapat dan
Memilih Pelayanan Kesehatan
Masyarakat mempunyai kesempatan untuk
menerima pembaharuan tanggap terhadap aspirasi
masyarakat dan bertanggungjawab, serta
kemudahan akses informasi, mengemukakan
pendapat dan terlibat dalam proses pengambilan
keputusan yang berkaitan dengan kesehatan diri,
keluarga, masyarakat, dan lingkungannya.
d. Kemitraan
Semua pelaku pembangunan kesehatan baik
sebagai penyelenggara maupun sebagai pengguna
jasa kesehatan, dengan masyarakat yang dilayani,
kebersamaan, kesetaraan dan saling memperoleh
manfaat.
73
e. Kemandirian
Kemampuan masyarakat untuk mengoptimalkan
dan menggerakkan segala sumberdaya setempat
serta tidak bergantung kepada pihak lain.
Kemandirian bermakna sebagai upaya kesehatan
dari, oleh, dan untuk masyarakat.
f. Gotong-royong
Tumbuhnya rasa kepedulian, tenggang rasa,
solidaritas, empati, dan kepekaan masyarakat
dalam menghadapi potensi dan masalah
kesehatan, yang akhirnya bermuara dalam
semangat gotong-royong sesuai dengan nilai luhur
bangsa.

Kesimpulan saya pada pemberdayaan masyarakat, pada pemberdayaan masyarakat, masyarakat seharusnya bisa diartikan dalam artian yang lebih luas sehingga peran pemerintah bisa lebih kelihatan karena peran masyarakat yang lebih luas lebih dapat difasilitasi dan lebih berharga diri. Sehingga peran swasta tidak hanya diartikan sebagai bisnis saja, tetapi juga sebagai rasa tangung jawab moral bersama terhadap setiap permasalahan kesehatan yang muncul disetiap sendi hidup berbangsa.

Rabu, 05 Agustus 2009

ADAKAH HAL YANG BARU TENTANG "TEORI PHARMACEUTICAL CARE"

Tiga tahun yang lalu saya Pernah mengikuti pelatihan Kefarmasian dan salah satu materi yang dipaparkan adalah tentang pharmaceutical care. DIdalam materi Pharmaceutical care dibahas tentang pendahuluan, konsep dasar konseling, tahapan konseling, kepatuhan penggunaan obat, peran apoteker/farmasis dll.

Di dalam kesempatan lain saya juga mendapat undangan tentang Pharmaceutical care didalam pokok bahasannya menyinggung tentang aturan dasar pendukung pharmaceutical care “SK menkes 1027/Menkes/SK/2004 – tentang standat pelayanan kefarmasian di apotek, SK Menkes no: 1197/Menkes/SK/X/2004 – tentang standart pelayanan farmasi di RS”, standar kemampuan SDM Apoteker harus bagaimana, dibumbuhi sedikit tentang Pelayanan dan penggunaan obat secara rasional, pelayanan farmasi klinik dsb…

Kalau kita cermati teori dasar yang dipakai tentang bahasan Pharmaceutical Cere adalah berasal dari Daftar Pustaka seputar Hepler, Strand, ASHP yang terbit sekitar tahun 1990-2000 ditambah SK menkes Tentang Standart pelayanan Kefarmasian di Apotek/RS. Teori ini bagi sejawat apoteker pemula atau calon apoteker tentunya sangat menarik untuk diperbincangkan & dibahas lebih detail.

Namun bagi sejawat apoteker yang sudah malang melintang mengikuti Seminar, pelatihan, di tambah bekal perkuliahan S1 atau bahkan S2 mungkin akan terlihat stagnan bila mengikuti teori tentang Pharmaceutical Care.

Belum lagi dengan semakin banyaknya seminar tentang kefarmasian akhir-akhir ini sebagai nara sumber tentunya dituntut untuk menampilkan teori/paparan yang lebih berbobot agar tidak terkesan paparan yang disampaikan bisa dikatakan “basi” (karena sudah terlalu sering di bahas) atau ada peserta apoteker baru yang mengomentari setelah mengikuti seminar “materinya sama dengan yang dikuliahkan” karena kebetulan yang memaparkan bekas dosennya. …

Adakah yang Salah dengan Fenomena seperti diatas …Teori mana lagi yang akan kita bahas?
Ada masukan Sejawat?

Sabtu, 25 Juli 2009

MENERMATI RANCANGAN FINAL SKN 2009 BAGIAN 1

MENERMATI RANCANGAN FINAL SKN 2009
(bagian I) (www.hisfarma.blogspot.com)

Banyak hal yang mungkin harus dicarmati didalam Rancangan Final SKN beberapa hal tersebut juga terkadang menjadi pertanyaan didalam praktek profesi sehari-hari saya yang mana seakan-akan SKN seringkali saya anggap kurang tepat. Kekurang tepatan itu akan saya cermati dalam blog sayaS secara seri yang bersambung disela-sela saya menjalankan profesi saya.


Upaya pelayanan kesehatan didalam SKN dijelaskan sebagai berikut :

Upaya Kesehatan
Pelayanan kesehatan meliputi peningkatan, pencegahan, pengobatan dan pemulihan, baik pelayanan kesehatan konvensional maupun pelayanan kesehatan yang terdiri dari pengobatan tradisional dan komplementer melalui pendidikan dan pelatihan dengan selalu mengutamakan keamanan dan efektifitas yang tinggi.
Upaya kesehatan diutamakan pada berbagai upaya yang mempunyai daya ungkit tinggi dalam pencapaian sasaran pembangunan kesehatan
utamanya penduduk rentan, antara lain ibu, bayi, anak, manusia usia lanjut, dan keluarga miskin.

Dari uraian diatas, maka peran apoteker diapotek memenui syarat sebagai salah satu tenaga kesehatan yang juga berperan secara aktif didalam upaya kesehatan secara langsung. Mengingat peran apoteker didalam swamedikasi sangat penting dan tak bisa dipandang sebelah mata oleh siapapun bila peran itu sangat dibutuhkan masyarakat. Pada swamedikasi sering kali juga meliputi pencegahan, pengobatan (meskipun pada penyakit ringan), juga mungkin pemulihan. Bahkan pengobatan dengan obat tradisional sering juga dilakukan diapotek dan sering kali juga memberikan dampak yang bagus bagi perkembangan pembangunan kesehatan.

Mungkin peran apoteker didalam swamedikasi masih dipandang sebelah mata, tetapi coba kita cermati hal berikut dari SKN, “ …kunjungan baru (contact rate) ke fasilitas pelayanan kesehatan meningkat dari 34,4% pada tahun 2005 menjadi 41,8% pada tahun 2007. Disamping itu, masyarakat yang mencari pengobatan sendiri sebesar 45% dan yang tidak berobat sama sekali sebesar 13,3% (2007).” Ada 45% anggota masyarakat yang mencari pengobatan sendiri, disinilah peran apoteker didalam swamedikasi akan sangat menonjol. Oleh karena itu seharusnya keberadaan apoteker diapotek didalam mengawal swamedikasi seharusnya sudah menjadi kebutuhan dan perhatian dari pemerintah agar peran apoteker dalam lebih bisa dirasakan oleh masyarakat.

Jumlah masyarakat yang melakukan swameduikasi justru lebih besar dari pada yang mengunjungi sarana kesehatan lain selain apotek. Seperti didalam praktek profesi yang saya lakukan jumlah resep yang saya terima baik dari segi nilai ataupun dari segi jumlah pelayanan tidak lebih dari 3%. Disini saya merasakan bahwa peran apoteker diapotek adalah sebagai pelayanan primer seperti didalam SKN.

Hal lain yang coba saya cermati adalah upaya kesehatan primer dalam SKN dijelaskan sebagai berikut :

1) Upaya Kesehatan Primer
Upaya Kesehatan Primer adalah upaya kesehatan dasar, yang terdiri dari pelayanan kesehatan perorangan dan masyarakat.
Pelayanan kesehatan perorangan primer
memberikan penekanan pada pelayanan pengobatan, pemulihan tanpa mengabaikan upaya peningkatan, dan pencegahan, termasuk di dalamnya pelayanan kebugaran dan gaya hidup sehat (healthy life style).
Diselenggarakan oleh tenaga kesehatan yang dibutuhkan dan mempunyai kompetensi yang ditetapkan sesuai ketentuan berlaku dan dapat
dilaksanakan di rumah, tempat kerja maupun fasilitas kesehatan perorangan primer baik
Puskesmas dan jaringannya, serta fasilitas kesehatan lainnya milik pemerintah, masyarakat maupun swasta. Dilaksanakan dengan dukungan pelayanan kesehatan perorangan sekunder dalam sistem rujukan yang timbal
balik. Diselenggarakan berdasarkan norma, standar, prosedur dan kriteria pelayanan yang ditetapkan oleh Pemerintah dengan memperhatikan
masukan dari organisasi profesi dan masyarakat. Pelayanan kesehatan perorangan primer akan didukung oleh fasilitas kesehatan penunjang,
antara lain: Apotik, Optik, laboratorium dan lain sebagainya.

Dapat diselenggarakan sebagai pelayanan yang bergerak (ambulatory) atau menetap, dapatdikaitkan dengan tempat kerja seperti; klinik
perusahaan, dapat disesuaikan dengan lingkungan atau kondisi tertentu (kesehatan matra seperti: kesehatan haji, kesehatan kelautan, kesehatan penerbangan, kesehatan wisata). Pemerintah wajib menyediakan pelayanan
kesehatan perorangan primer di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai kebutuhan, terutama bagi orang miskin, daerah terpencil, perbatasan, pulau-pulau terluar dan terdepan, serta yang tidak diminati swasta.
Pembiayaan pelayanan kesehatan perorangan primer untuk kelompok miskin dibiayai oleh pemerintah, sedangkan golongan ekonomi lainnya dibiayai dalam sistem pembiayaan yang diatur oleh pemerintah. Dalam pelayanan kesehatan perorangan termasuk pula pelayanan kesehatan berbasis masyarakat dalam bentuk seperti Pos Kesehatan Desa (Poskesdes), dan pengobatan tradisional serta pengobatan alternatif yang secara ilmiah telah terbukti terjamin keamanan
dan khasiatnya.

Upaya kesehatan masyarakat primer adalah
pelayanan peningkatan dan pencegahan tanpa mengabaikan pengobatan dan pemulihan dengan sasaran keluarga, kelompok dan masyarakat.

Penyelenggaraan upaya kesehatan masyarakat primer mendukung upaya kesehatan berbasis masyarakat dan didukung oleh upaya kesehatan
masyarakat sekunder Penyelenggaraan upaya kesehatan masyarakat
primer menjadi tanggung jawab Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang pelaksanaan operasionalnya dapat didelegasikan kepada Puskesmas. Masyarakat termasuk swasta dapat menyelenggarakan pelayanan kesehatan
masyarakat primer sesuai peraturan yang berlaku dan dapat berkerjasama dengan Pemerintah.

Pembiayaan kegiatan pelayanan kesehatan masyarakat primer ditanggung oleh pemerintah bersama dengan masyarakat. Pemerintah wajib membiayai pelayanan kesehatan masyarakat yang ditujukan untuk menangani masalah
kesehatan masyarakat yang menjadi prioritas pembangunan. Pemerintah dapat membentuk fasilitas kesehatan yang secara khusus ditugaskan untuk melaksanakan upaya kesehatan masyarakat sesuai keperluan.
Pemerintah wajib melaksanakan pelayanan kesehatan masyarakat primer yang
berhubungan dengan prioritas pembangunan melalui kegiatan perbaikan lingkungan, peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit dan kematian serta paliatif. Pelaksanaan pelayanan kesehatan masyarakat primer didukung upaya kesehatan penunjang seperti: surveilans, pencatatan dan pelaporan.

Seperti uraian diatas pekerjaan apoteker diapotek juga memenuhi syarat sebagai bagian dari upaya pelayanan kesehatan primer. Karena pekerjaan apoteker bukan hanya melayani resep saja oleh karena itu penempatan apotek sebagai upaya pelayanan kesehatan penunjang sangat tidak tepat. Demi 45% anggota masyarakat yang mencari pengoatan sendiri. Memang tidak disebutkan apoteker sebagai pengobat final, tetapi bagaimanapun juga 45% anggota masarakat itu mencari pengobatan yang sering kita kenal dengan swamedikasi. Dan saya slalu menyarankan agar apotek jangan sampai dijadikan pengobatan final sehingga peran apoteker dalam edukasi tidak hilang dan peran sinergisme dengan dokter lebih optimal karena pada kasus-kasus yag sudah masuk wilayah dokter harus kita rujuk e dokter.

Dari uraian saya diatas saya hanya ingin mencermati saja bahwa apa yang kita lakukan dan pahami didalam praktek profesi bisa jadi akan sangat berbeda apa yang dipahami oleh profesi lain sehingga dalam mendifinisikan perkerjaan kefarmasian bisa jadi sangat berbeda. Seperti pada uraian dari SKN dibawah :

Pelayanan Kefarmasian
Pelayanan kefarmasian ditujukan untuk dapat menjamin penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan, secara rasional, aman, dan bermutu di semua sarana pelayanan kesehatan dengan mengikuti norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan.

Pekerjaan kefarmasian yang kita pahami tidak sesederhana itu. Ada KIE, konseling dan sebagainya. Konseling yang dilakukan apoteker diapotek sangat berbeda dengan yang dilakukan oleh sejawat kita semisal dokter. Konseling apoteker di apotek, adalah upaya apoteker agar pasien memahami permasalahan yang dialami, yang terkait kesehatan dan sediaan farmasi, sehingga pasien mampu mengambil keputusan terbaik sesuai kemampuannya.

Pada saat pasien datang ke apotek seringkali pasien kurang mengerti dan bahkan sebagian tidak memahami apa sebenarnya permasalahan dan bagaimana seharusnya permasalahan diselesaikan. Untuk itu diperlukan suatu konseling kefarmasian. Dalam melakukan konseling di apotek, seorang apoteker harus mampu menguasai tehnik-tehnik konseling. Karena keberhasilan konseling salah satunya ditentukan oleh kemampuan apoteker dalam penguasaan tehnik-tehnik tersebut. Dan seringkali dalam konseling diperlukan beberapa tehnik sekaligus yang dikombinasi. selain itu keberhasilan konseling juga dipengaruhi oleh pengalaman apoteker dalam konseling.

Permasalahan dalam konseling apoteker diapotek seing kali lebih rumit dari pada yang diperkirakan kebanyakan orang. Karena tidak jarang kita harus erubah perilaku hidup sehat. Sudah sewajarnya bila dalam menjelaskan peran apotek didalam SKN ada redefinisi disesuaikan keadaan yang sesungguhnya dan tetap tidak boleh menyalahi aturan perundangan yang lain.

Disinilah salah satu perbedaan cara pandang sehingga didalam membuat kebijakan dan sebagainya sering kali kontra produktif dan sering kali justru sangat merugikan masyarakat itu sendiri termasuk masyarakat profesi. Semoga kedepan jerih payah para apoteker lebih dapat dihargai sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam upaya kesehatan.

Minggu, 19 Juli 2009

PELAYANAN KEFARMASIAN DIAPOTEK ADALAH PELAYANAN KESEHATAN DASAR

PELAYANAN KEFARMASIAN DIAPOTEK ADALAH PELAYANAN KESEHATAN DASAR
(www.hisfarma.blogspot.com)


Pelayanan kefarmasian belum menjadi ikon dalam pembangunan kesehatan dinegara kita, belum pula dilihat sebagai pelayanan yang penting dan belum dianggap signifikan dalam perannya pada pembangunan kesehatan. Meskipun sebagian masyarakat semakin merasakan peran apoteker didalam usaha-usaha kesehatannya, baik dalam swamedikasi ataupun didalam pelayanan atas dasar resep. Dengan semakin tingginya tingkat pendidikan kesehatan masyarakatakan semakin menyadari betapa pentingnya peran dari pada apoteker didalam usaha-usaha kesehatannya. Baik pada usaha kesehatan yang bersifat promotif, kuratif maupun pada prekuentif.

Sebagian masyarakat mungkin masih ada yang mengangap peran apoteker hanya sebatas penyaluran obat, hal ini disebabkan karena peran apoteker dimasyarakat kurang dilibatkan didalam usaha-usaha kesehatan masyarakat oleh pemerintah. Padahal seharusnya pada usaha kesehatan masyarakat peran apoteker sering kali dibutukan. Seharusnya pemerintah bertanggung jawab didalam memasyarakatkan profesi apoteker karena bagaimanapun juga peran apoteker seharusnya juga dilibatkan didalam membangun kesehatan bangsa.

Organisasi profesi (ISFI) dan pemerintah dalam memasyarakatkan profesi bisa jadi akan semakin memudahkan dari profesi itu sendiri didalam mendukung sinergise pembangunan kesehatan. Bila profesi memasyarakatkan dirinya sendiri-sendiri tanpa didukung banyak pihak hasil yang diharapkan dalam memberikan dampak yang sangat signifikan didalam pembanguna kesehatan akan sulit tercapai. Seperti keadaan sekarang, apoteker sebagai tenaga kesehatan kurang mendapat perhatian dari pemerintah, dan kurang disenergiskan dengan profesi lain sehingga sering terjadi pelayanan kesehatan yang kurang ideal. Kurang idealnya salah satunya bisa dicontohkan masih adanya sarana kesehatan seperti apotek yang lebih menonjolkan bisnisnya, bukannya menonjolkan peran sosialnya yang salah satunya edukasi. Padahal edukasi adalah salah satu yang seharusnya ada didalam semua jenis pelayanan kesehatan.

Sudah seharusnya bila pemerintah memulai untuk lebih memberdayakan apoteker dan apotek sebagai bagian yang tak terpisahkan didalam usaha kesehatan bangsa. Karena bagaimanapun juga apotek adalah salah satu sarana kesehatan yang keberadaannya seagian besar diusahakan oleh peran serta masyarakat secara mandiri. Pemberdayaan peran serta masyarakat ini bila dapat dioptimalkan akan menjadi usaha kesehatan yang murah dan terjankau dan pemerintah tidak perlu mengeluarkan banyak anggaran, tetapi pemerintah cukup memfasilitasi dan menata saja. Bagaimanapun juga peran apoteker di apotek perlu difasilitasi yang salah satunya dengan UU praktek kefarmasian. Seharusnya para wakil rakyat yang terhormat juga mulai memikirkan cara bagaimana agar peran serta masyarakat dapat bersinergis dengan pemerintah didalam upaya-upaya kesehatan agar dicapai hasil yang optimal..

Mungkin kita bisa mulai untuk memikirkan beberapa hal yang seharusya bisa mendukung apoteker sebagai pelayan kesehatan dasar. Bukan sesuatu hal yang diada-adakan tetapi adalah berdasarkan apa yang sudah dilakukan oleh para profesional. Beberapa hal yang bisa menjadi alasan apoteker adalah pelayan kesehatan dasar adalah :
1. Pelayanan kefarmasian oleh apoteker diapotek adalah pelayanan kesehatan dasar yang meliputi promotif, kuratif dan prekuentif, baik pada swamedikasi ataupun pada pelayanan atas dasar resep.
2. Pelayanan diapotek harus melakukan KIE (komunikasi, informasi dan edukasi), pada peran edukasi pelayanan kefarmasian diapotek juga berperan dalam meningkatkan kecerdasan masyarakat dalam hal kesehatan. Seperti kita ketahui tanpa pendidikan kesehatan yang cukup tidak ada gunanya sarana kesehatan yang bagus, obat yang bagus dan lain sebagainya yang bagus pula. Dan bagaimanapun juga edukasi adalah salah satu peran yang dapat meningkatkan kecerdasan masyarakat didalam kesehatan yang ujungnya dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
3. Apoteker juga mempunyai resiko profesi yang sama dengan sejawat yang lain. Baik resiko hukum, tertular penyakit dsb.
4. Apoteker didalam melakukan peayanan kesehatan mempunyai kompetensi yang spesifik yang setara dengan profesi lain. Kompetensi inilah yang menjadikan dasar profesionalisme apoteker diapotek, dan kompetensi yang spesifik ini yang tidak dipunyai oleh tenaga kesehatan lain.

Bagaimanapun juga kita para apoteker dan profesi kesehtan lain harus dapat belajar untuk menghargai orang lain atau profesi lain, sehingga kita bisa lebih meningkatkan pelayanan kesehatan dengan meningkatkan sinergisme. Hal yang harus kita jaga adalah jangan sampai idealisme profesi justru menghambat profesi lain yang ujung-ujungnya justru masyarakat yang menjadi korban. Seperti kita ketahui tidak ada orang didunia modern ini yang dapat hidup sendiri untuk eksis, tetapi tetap membutuhkan orang lain. Demikian juga dengan profesi, tak ada satupun profesi yang dapa eksis tanpa profesi yang lain. Bila profesi berjalan sendii-sendiri tanpa ada kerja sama dengan bersinergi mungkin kita akan kembali kepada jaman batu, atau mungkin lebih primitif lagi.

Didalam membangun suatu bangsa tidak ada satupun profesi yang lebih penting dari yang lain, tetapi kita harus bekerja sama secara maksimal demi pelayanan kepada masyarakat yang lebih modern dan manusiawi. Sinergisme harus dimunculkan dengan bekerja sama dan saling menghargai. Dan sudah sepantasnya bila didalam SKN apoteker menjadi tenaga kerja kesehatan pada pelayanan dasar dan apotek menjadi sarana kesehatan dasar. Tak ada susahnya menjadikan apoteker menjadi pelayan kesehatan dasar dan apotek sebagai sarana kesehatan dasar karena hal ini sudah dibuktikan, yang susah adalah mendorong untuk memunculkan UU praktek kefarmasian meskipun ini sangat penting bagi pembangunan kesehatan bangsa.

Susahnya memunculkan UU praktek kefarmasian sebagai salah satu pilar didalam sistem kesehatan kita salah satunya dikarenakannya kekurang pahaman pada beberapa pihak akan pentingnya melndungi masyarakat dari bahaya akibat sediaan farmasi. Semua setuju bila sediaan farmasi adalah berbahaya karena secara definisi bagaimanapun juga obat didifinisikan sebagai racun. Oleh karena Sudah sewajarnya bila obat pada golongan tertentu harus diserahkan langsung dan diawasi oleh tenaga profesional. Seperti kita ketahui pada kemasan obat keras selalu ditulis “harus dengan resep dokter” mengingat betapa bahayanya obat bila pemakaiannya tidak didasarkan pada ilmu pengetahuan dan kompetensi. Jadi adalah hal yang wajar bila disini tenaga kefarmasian sangat diperlukan didalam pengobatan dasar, karena tenaga kesehatan bidang kefarmasian yang berkompetesi dibidang obat.

Bila UU praktek kefarmasian tidak diadakan mendampingi UU praktek kedokteran saya rasa jalannya pembangunan kesehatan tidak akan bisa optimal. Karena bagaimanapun juga pilar ilmu kefarmasia akan sagat diperlukan didalam mendorong perjalanan pembangunan kesehatan kita dengan arah yang lebih cepat, lebih tepat, lebih manusiawi dsb.

Pada akhirnya, semoga nasib masyarakat semakin diperhatikan kepentingannya dengan lebih banyak peraturan yang mengatur profesi, agar profesi lebih berdedikasi didalam melayani masyarakat. Ada atau tidak ada UU praktek kefarmasian apoteker tetap harus eksis, tetapi dengan adanya UU praktek kefarmasian masyarakat lebih terlindungi. Bagaimanapun juga pelayanan kefarmasian adalah pelayanan dasar yang sudah berjalan sagat lama dan seharusnya menjadi perhatian dari pemerintah.

Jumat, 17 Juli 2009

DISKUSI SEPUTAR FARMASI KOMUNITAS & KLINIK

Asetosal dosis rendah kenapa berbeda pelabelannya : satu obat Keras satu Bebas ?

Mungkin pertanyaan ini sering kita temui di apotek tempat kita praktek.
Apalagi saat kita membimbing Mahasiswa PKP / Apoteker Magang
atau menjelaskan langsung kepada pasien.

Kedua obat ini sama-sama mempunyai kandungan bahan aktif asam asetil salisilat 80 mg

ASPILET
Ditujukan menurunkan panas/demam pada anak-anak
Dosis ½ - 2 Tablet 3x sehati tergantung umur dan berat badan.
Mekanisme yang diharapkan : bekerja dengan mempengaruhi pusat pengatur suhu di hipotalamus sehingga dapat menurunkan demam dan penghambat pembentukan prostaglandin sehingga dapat meringankan rasa sakit.
sifat terapinya jangka pendek (2-5 hari), absorbsi cepat (lewat lambung).
Apakah sediaan ini bisa menyebabkan perdarahan?
Jawabannya bisa. Apalagi bila dikonsumsi jangka panjang.
Untuk itu di kontraindikasikan terhadap Penderita tukak lambung (maag), haemofilia dan trompositopenia karena dapat meningkatkan terjadinya resiko perdarahan.

THROMBO ASPILET
Di Tujukan untuk pasien miokard akut atau paska stroke.
Umumnya 1 tablet setiap hari namun terkadang bisa 2 tablet setiap hari.
Pemakaiaannya jangka panjang dan bisa bertahun-tahun, untuk itu bentuk sediaan dibuat Salut Enteric yang diharapkan pecah di usus bukan lambung. Sehingga resiko perdarahan lambung dapat di cegah.

Mekanisme yang diharapkan adalah terjadinya penghambatan terbentuknya tromboksan A2, suatu senyawa yang berfungsi sebagai vaso konstriktor yang menyebabkan penimbunan platelet dan kemungkinan besar menyebabkan pembekuan darah. Dalam dinding-dinding pembuluh darah penghambatan enzim tersebut mencegah pembentukan prostasiklin yang berfungsi sebagai vasodilator dan mempunyai anti agregasi yang berpotensi sebagai anti trombosis

Pada pasien Miocard Akud atau pasca stroke pun obat ini juga tetap di kontra indikasi kan bila penderita mengalami riwayat tukak lambung (maag), haemofilia dan trompositopenia karena dapat meningkatkan terjadinya resiko perdarahan dan penderita yang sedang diterapi dengan anti koagulan.

Lalu kenapa satu obat bebas satunya obat keras ?
Karena dalam satu bahan aktif bisa ditujukan dengan tujuan berbeda :
Penurun panas & Anti thrombosis/Anti Platelet.
Dan ini diproduksi dengan maksud dan tujuan yang berbeda sehingga muncul dua bentuk sediaan dan dua pelabelan.


Atau ada alasan lain ?

Ada komentar sejawat?

Selasa, 14 Juli 2009

MENYUSUN MATERI UJI KOMPETENSI

MENYUSUN MATERI UJI KOMPETENSI


Menyusun materi uji kompetensi bukanlah hal mudah, karena harus dapat digunakan sebagai parameter kompetensi. Oleh karena itu sebelum materi uji kompetensi disusun, maka harus ditentukan dulu hal-hal yang seharusnya dikuasasi oleh profesi yang dinyatakan kompeten dengan profesinya. Hal-hal tersebut bisa berupa, organisasi dan etik, penguasaan sain profesi, hukum, adminstrasi pemerintahan, manajemen profesi dll.

Dalam menyusun terkait hal yang harus dikuasai oleh profesi apoteker yang berkompeten, maka ISFI sebagai organisasi profesi apoteker harus mengumpulkan para praktisi senior, Organisatoris senior, pakar hukum kesehatan farmasi, pakar manajemen farmasi, birokrat senior, dosen farmasi senior dll. Dari semua ini maka disusun masukan untuk draf uji kompetensi. Belum kearah materi, tetapi lebih mengarah pada perumusan tentang uji kompetensi itu sendiri yang selanjutnya dikirimkan kesemua cabag ISFI agar ada umpan balik guna penyempurnaan draf uji kompetensi itu sendiri. Dengan melibatkan hampir semua anggota ISFI diharapkan kompetensi akan berjalan dengan lebih baik.

Setelah darf uji kompetensi mendapat umpan balik, maka disusun draf uji kompetensi yang siap untuk diputuskan secara nasional ataupun regional. Bisa jadi kedepan uji kompetensi untuk apoteker hanya berlaku regional mengingat perbedaan geografis dan budaya masyarakat Indonesia yang beragam. Hasil uji kompetensi ini yang selanjutnya digunakan menyusun materi uji kompetensi.

Dalam menyusun uji materi kompetensi juga seharusnya kita melibatkan lebih banyak pihak lagi, karena beragamnya pekerjaan kefarmasian. Dan dalam penyusunan materi uji kompetensi ini peran praktisi senior tak bisa digantikan oleh orang lain atau profesi kesehatan lain, mengingat pada masing masing kompeten sangat spesifik. Para dosen perguruan tinggi yang bukan praktisi aktifpun tak boleh menggantikan peran dari para praktisi senior ini. Bila peran praktisi senior digantikan bisa jadi uji kompetensi tak akan tersusun dengan baik dan besar kemungkinan justru akan merugikan masyarakat sebagai pengguna jasa profesi. Bagaimanapun juga roh dari profesi apoteker adalah data, yang mana data didapatkan setelah profesi melakukan praktek profesi secara aktif.

Praktisi senior adalah praktisi aktif yang mempunyai pengalaman kerja sekurang-kurangnya 15 tahun atau setara dengan 36.000 jam. Karena dengan lama pengalaman kerja profesi yang berkualitas akan sangat menentukan kualitas materi uji kompetensi. Materi uji kompetensi yang berkualitas adalah yang dapat menggambarkan kompetensi kerja profesi yang sesungguhnya.

Praktisi aktif senior bisa saja para apoteker yang mengabdikan profesinya di apotek, industri dan rumah sakit. Karena tempat pengabdiannya berbeda, maka materi uji kompetensi yang diberikan seharusnya juga berbeda, yang mana perbedaan pokoknya ada pada konsentrasi atau pembobotan. Hal yang seharusnya juga dilakukan dalam uji kompetensi adalah memisahkan kompetensi pada apoteker yang bekerja pada industri farmasi, baik pada industri obat maupun pada obat tradisional adalah berdasarkan bahan yang digunakan dan bentuk sediaan yang dibuat oleh industri farmasi. Mungkin disini akan terkesan ribet, tetapi disinilah bentuk spesifikasi dari profesi apoteker. Bila apoteker mengabdikan diri pada industri farmasi yang membuat sediaan steril, maka apoteker harus menguasai kompetensi sediaan steril. Demikian juga bila apoteker bekerja pada industri yang membuat sediaan tablet, sirup, suppositoria dll, maka apoteker harus mempunyai kompetensi pada masing-masing sediaan tersebut.

Mungkin akan ribet demgan uji kompetensi, tetapi bila pekerjaan tersebut sudah dilakukan selama menjalankan profesinya tentunya hal tersebut akan sangat mudah. Dan hal tersebut juga untuk memberikan rasa keadilan bagi para profesi, semisal para apoteker yang dalam menjalankan profesinya pada industri yang hanya membuat tablet, maka tidak perlu mengikuti kompetensi untuk sediaan steril dsb. Bila ternyata apoteker ingin pindah tempat kerja ke industri lain yang membuat bentuk sediaan lain maka apoteker harus mengikuti uji kompetensi untuk bentuk sediaan lain tersebut.

Demikian juga dengan para professional yang menjalankan profesinya di rumah sakit dan apotek. Sudah seharusnya bila kompetensi disesuaikan dengan tempat dimana apoteker menjalankan tugasnya. Sekali lagi ini bukan untuk mempersulit apoteker, tetapi ini demi melindungi masyarakat dan masyarakat profesi itu sendiri. Mungkin juga uji kompetensi pada apoteker yang bekerja pada rumah sakit dengan tipe yang berbeda akan berbeda pula uji kompetensinya. Hal semacam ini tergantung pada kesepakatan para professional senior aktif dan tim penyusun materi Uji kompetensi.

Demikian juga denga apoteker yang bekerja pada apotek tidak menutup kemungkinan bila kedepan uji kompetensi juga akan mempertimbangkan kondisi apotek tempat menjalankan profesi yang mulia ini. Sekali lagi semua tergantung kesepakatan antara praktisi senior dan para tim.

Dari gambaran diatas, maka sudah seharusnya bila dalam penyusunan materi uji kompetensi harus melibatkkan banyak sekali apoteker dengan segala kompetensinya. Dan dalam pengelolaan data dan dalam pengorganisasiannya, ISFI sangat bertanggung jawab. Jangan sampai ISFI meletakkan tanggung jawab ini kepada orang lain, sehingga ISFI kelihatan tak mampu mengelola anggotanya sendiri.

Bagaimanapun juga uji kompetensi adalah sangat penting, oleh karena itu uji kompetensi harus disusun dengan cermat dan sangat sungguh-sungguh sehingga benar-benar mampu mencerminkan kompetensi itu sendiri. Oleh karena itu harus melibatkan semua unsur profesi yang berkompeten dibidangnya masing-masing.