APOTEK MOBILE
Pada saat saudara kita terkena bencana akibat apa saja, seperti gempa bumi saat ini, rasa sakit juga akan menimpa seluruh bangsa. Mungkin juga seluruh dunia. Semua ingin ikut berpartisipasi termasuk para apoteker sebagai salah satu dari tenaga kesehatan.
Seringkali apoteker tidak dilibatkan dalam masalah bencana seperti ini, karena peran apoteker kurang dirasakan oleh masyarakat, mungkin juga karena sepertinya peran apoteker dapat tergantikan oleh profesi lain. Bagaimanapun juga pada masalah kesehatan seperti gempa bumi atau gunung meletus akan timbul masalah kesehatan yang ujung-ujungnya memerlukan obat. Dengan demikian disadari atau tidak, apoteker diperlukan untuk ikut membantu. Karena bagaimanaun juga masalah obat meskipun diberikan secara gratis seharusnya tetap ditangani dengan profesional.
Satu hal yang saya usulkan, seharusnya pemerintah atau organisasi para apoteker (ISFI) membuat apotek yang bersifat mobile. Karena dengan apotek mobile penanganan obat bisa menjadi lebih baik. Dan hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang terbaik dan profesional tetap dapat terpenuhi.
Bila rumah sakit mobile, entah dengan bentuk apa saja sudah dibuat, meskipun biayanya sangat mahal demi sebagian saudara kita yang terkena bencana. Maka alangkah baiknya juga disiapkan apotek mobile yang memenuhi persyaratan kefarmasian agar penanganan bencana juga akan menjadi lebih baik lagi.
Semoga saudara kita yang sedang terkena bencana diberikan ketabahan oleh Tuhan.
Tampilkan postingan dengan label PERAN APOTEKER DALAM DUNIA KESEHATAN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PERAN APOTEKER DALAM DUNIA KESEHATAN. Tampilkan semua postingan
Jumat, 02 Oktober 2009
Selasa, 17 Februari 2009
ANAK AJAIB
ANAK AJAIB
Banarkah Ponari adalah anak ajaib? Ponari yang bisa mendatangkan pasien sampai lima belas ribu perhari adalah anak ajaib. Bisa anda bayangkan betapa besarnya jumlah pasien tersebut. Jumlah tersebut bisa jadi setara dengan pasien dokter yang mempunyai pasien 10 orang per hari selama lima tahun. Bagaimanapun juga ponari adalah anak ajaib, karena setahu saya belum pernah ada seorang pengobatpun di negara kita yang sampai diantri sampai lebih dari 50 ribu orang, hanya karena praktek pengobatan tutup selama 4 hari. Seharusnya diusulkan untuk untuk dicatat di MURI.
Sungguh suatu hal yang sulit kita bayangkan bila kita harus mengantri dengan antrian sampai puluhan ribu orang. Bahkan untuk mendapatkan kupon antrian bisa jadi lebih dari 24 jam. Berdesak desakan menjadi pemandangan sehari-hari yang mungkin akan sangat menggangu sebagian warga yang akan keluar masuk rumah sendiri. Tetapi dibalik semua kesibukan dan keruwetan yang disebabkan praktek dari si anak ajaib ini adalah munculnya roda ekonomi yang sangat besar bagi ukuran sebuah desa. Bisa anda hitung berapa isi kotak amal ponari yang umumnya hanya diisi 2000 rupiah saja, Biaya konsumsi selama menunggu, biaya menginap meskipun hanya diemperan rumah dan masih ada banyak lagi roda ekonomi yang muncul akibat praktek anak ajaib yang baru berumur 9 tahun ini.
Bisa anda bayangkan bila harus menginap diemperan rumah orang selama satu malam, dimusim hujan. Mungkin yang akan menjadi pertanyaan banyak orang adalah kok mau-maunya? Dampak yang luar biasa ini juga mungkin akan berdampak sampai pada jumlah pasien yang berkunjung ke dokter praktek ataupun ke apotek. Sebagian teman kita yang ada di Jombang dan sekitarnya beranggapan bahwa sepinya kunjungan dokter dan apotek pada bulan ini disebabkan oleh Ponari si anak ajaib.
Meskipun pengobatan Ponari akhirnya ditutup paksa, tetapi pengantri Ponari tetap berharap praktek Ponari tetap dibuka. Kenapa harus ditutup? Alasan mengganggu ketertiban menjadi salah satu alasan selain keamanan pengunjung. Dari alasan alasan tersebut, saya lebih setuju seandainya alasan penutupannya adalah demi masa depan Ponari sendiri, bukan karena alasan lain. Ponari yang akhirnya "di tuakan" atau dengan kata lain dianggap ajaib tentu akan mempunyai beban moral dan psikologi yang sangat besar bila keajaibannya hilang. Apalagi bila justru dieksploitasi demi untuk mendapatkan keuntungan oleh pihak-pihak tertentu. Seharusnya Komnas perlindungan anak harus bisa memastikan akan keselamatan Ponari sendiri dan melakukan perbaikan terhadap praktek Ponari tanpa menghilangkan hak-hak Ponari sebagai anak.
Karena kekuatan ajaib semacam ini umumnya tidak berlangsung lama, seharusnya juga dicarikan solusi terhadap Ponari akan masa depan Ponari agar menjadi lebih baik bila sewaktu-waktu Ponari ditinggalkan keajaibanya.
Salahkah Ponari? mungkin akan ada yang menyalahkan Ponari si anak ajaib dengan meninggalnya beberapa pasiennya karena kelelahan. Menurut saya kita tidak bisa menyalahkan sianak yang belum dewasa, dan kesalahan ini adalah kesalahan kita semua. Baik sebagai masyarakat maupun sebagai unsur dari pemerintah.
Bila kita melihat siaranan TV yang mana salah satu pasien saat diwawancarai, Mengatakan yang intinya kurang lebih karena ketidak percayaan terhadap sistem kesehatan kita. Sebagai anggota masyarakat dan tenaga kesehatan seharusnya kita juga memikirkan kenapa sistem kesehatan kita tidak dipercaya oleh sebagian masyarakat? Apakah karena sistem kesehatan kita hanya mempunyai satu pilar ilmu kedokteran saja? Menurut saya, salah satu penyebab keajaiban Ponari menjadi lebih lebih ajaib lagi karena kita sebagai tenaga kesehatan dan pemeritah kurang mengembangkan sistem kesehatan yang lebih baik yang lebih memperhatikan kualitas pelayanan. Jumlah dokter, perawat, bidan, apoteker dan tenaga kesehatan lain diproduksi dengan sangat-sangat besar, tetapi kualitasnya mungkin harus kita pertanyakan. Kenapa? Karena pilar dalam sistem kesehatan kita hanya satu yaitu pilar kedokteran, tenaga kesehatan lain dianggap tidak penting atau mungkin diangap tidak perlu ada dan mungkin juga dianggap tidak perlu dikembangkan. Sehingga terjadi kesenjangan, yang salah satu contoh kesenjangannya adalah hanya ada Undang-undang praktek kedokteran dinegara kita dan tidak ada undang-undang praktek untuk tenaga kesehatan lain.
Bila kita mengacu pada pembangunan kesehatan yang terintegrasi, maka seharusnya negara kita membuat pula undang-undang praktek kesehatan yang lain satu persatu. Dan yang lebih sederhana adalah mengganti undang-undang praktek kedokteran dengan undang-undang praktek tenaga kesehatan, yang didalamnya mengatur segala macam praktek yang dilakukan oleh semua tenaga kesehatan yang diakui oleh pemerintah kita mulai dokter, apoteker, dokter gigi, perawat dan selanjutnya. Semua ini demi pembangunan kesehatan dan demi memberikan perlindungan kepada masyarakat.
Dalam pembangunan kesehatan yang terintegrasi maka keberadaan semua tenaga kesehatan harus diakui keberadaannya dan dibangun secara bersama-sama agar saling mengisi dan saling memberikan sinergi yang selanjutnya akan terintegrasi menjadi pondasi yang sangat kokoh. Tidak seperti sekarang, yang mana pembangunan kesehatan dan pembangunan tenaga kesehatan hanya mengarah kepada satu pilar saja.
Mungkin dokter ingin menjadi satu-satunya tenaga kesehatan, sehingga tidak memberikan kesempatan kepada tenaga kesehatan lain untuk berperan didalam kesehatan. Sehingga terjadilah ketimpangan dalam masalah kesehatan yang selanjutnya timbul ketidak percayaan masyarakat akan sistem kesehatan kita yang selanjutnya terjadilah keajaiban keajaiban seperti ponari. Keajaiban yang muncul karena ketidak percayaan masyarakat kepada kita semua sebagai tenaga kesehatan.
Sudah sewaktunya kita berpikir lebih rasional dalam mengembangkan profesi kesehatan yang saling berintegrasi. Yang mana semua ilmu kesehatan dari masing-masing profesi harus berkembang maksimal dan tidak bisa diintervensi oleh profesi yang lain.
Banarkah Ponari adalah anak ajaib? Ponari yang bisa mendatangkan pasien sampai lima belas ribu perhari adalah anak ajaib. Bisa anda bayangkan betapa besarnya jumlah pasien tersebut. Jumlah tersebut bisa jadi setara dengan pasien dokter yang mempunyai pasien 10 orang per hari selama lima tahun. Bagaimanapun juga ponari adalah anak ajaib, karena setahu saya belum pernah ada seorang pengobatpun di negara kita yang sampai diantri sampai lebih dari 50 ribu orang, hanya karena praktek pengobatan tutup selama 4 hari. Seharusnya diusulkan untuk untuk dicatat di MURI.
Sungguh suatu hal yang sulit kita bayangkan bila kita harus mengantri dengan antrian sampai puluhan ribu orang. Bahkan untuk mendapatkan kupon antrian bisa jadi lebih dari 24 jam. Berdesak desakan menjadi pemandangan sehari-hari yang mungkin akan sangat menggangu sebagian warga yang akan keluar masuk rumah sendiri. Tetapi dibalik semua kesibukan dan keruwetan yang disebabkan praktek dari si anak ajaib ini adalah munculnya roda ekonomi yang sangat besar bagi ukuran sebuah desa. Bisa anda hitung berapa isi kotak amal ponari yang umumnya hanya diisi 2000 rupiah saja, Biaya konsumsi selama menunggu, biaya menginap meskipun hanya diemperan rumah dan masih ada banyak lagi roda ekonomi yang muncul akibat praktek anak ajaib yang baru berumur 9 tahun ini.
Bisa anda bayangkan bila harus menginap diemperan rumah orang selama satu malam, dimusim hujan. Mungkin yang akan menjadi pertanyaan banyak orang adalah kok mau-maunya? Dampak yang luar biasa ini juga mungkin akan berdampak sampai pada jumlah pasien yang berkunjung ke dokter praktek ataupun ke apotek. Sebagian teman kita yang ada di Jombang dan sekitarnya beranggapan bahwa sepinya kunjungan dokter dan apotek pada bulan ini disebabkan oleh Ponari si anak ajaib.
Meskipun pengobatan Ponari akhirnya ditutup paksa, tetapi pengantri Ponari tetap berharap praktek Ponari tetap dibuka. Kenapa harus ditutup? Alasan mengganggu ketertiban menjadi salah satu alasan selain keamanan pengunjung. Dari alasan alasan tersebut, saya lebih setuju seandainya alasan penutupannya adalah demi masa depan Ponari sendiri, bukan karena alasan lain. Ponari yang akhirnya "di tuakan" atau dengan kata lain dianggap ajaib tentu akan mempunyai beban moral dan psikologi yang sangat besar bila keajaibannya hilang. Apalagi bila justru dieksploitasi demi untuk mendapatkan keuntungan oleh pihak-pihak tertentu. Seharusnya Komnas perlindungan anak harus bisa memastikan akan keselamatan Ponari sendiri dan melakukan perbaikan terhadap praktek Ponari tanpa menghilangkan hak-hak Ponari sebagai anak.
Karena kekuatan ajaib semacam ini umumnya tidak berlangsung lama, seharusnya juga dicarikan solusi terhadap Ponari akan masa depan Ponari agar menjadi lebih baik bila sewaktu-waktu Ponari ditinggalkan keajaibanya.
Salahkah Ponari? mungkin akan ada yang menyalahkan Ponari si anak ajaib dengan meninggalnya beberapa pasiennya karena kelelahan. Menurut saya kita tidak bisa menyalahkan sianak yang belum dewasa, dan kesalahan ini adalah kesalahan kita semua. Baik sebagai masyarakat maupun sebagai unsur dari pemerintah.
Bila kita melihat siaranan TV yang mana salah satu pasien saat diwawancarai, Mengatakan yang intinya kurang lebih karena ketidak percayaan terhadap sistem kesehatan kita. Sebagai anggota masyarakat dan tenaga kesehatan seharusnya kita juga memikirkan kenapa sistem kesehatan kita tidak dipercaya oleh sebagian masyarakat? Apakah karena sistem kesehatan kita hanya mempunyai satu pilar ilmu kedokteran saja? Menurut saya, salah satu penyebab keajaiban Ponari menjadi lebih lebih ajaib lagi karena kita sebagai tenaga kesehatan dan pemeritah kurang mengembangkan sistem kesehatan yang lebih baik yang lebih memperhatikan kualitas pelayanan. Jumlah dokter, perawat, bidan, apoteker dan tenaga kesehatan lain diproduksi dengan sangat-sangat besar, tetapi kualitasnya mungkin harus kita pertanyakan. Kenapa? Karena pilar dalam sistem kesehatan kita hanya satu yaitu pilar kedokteran, tenaga kesehatan lain dianggap tidak penting atau mungkin diangap tidak perlu ada dan mungkin juga dianggap tidak perlu dikembangkan. Sehingga terjadi kesenjangan, yang salah satu contoh kesenjangannya adalah hanya ada Undang-undang praktek kedokteran dinegara kita dan tidak ada undang-undang praktek untuk tenaga kesehatan lain.
Bila kita mengacu pada pembangunan kesehatan yang terintegrasi, maka seharusnya negara kita membuat pula undang-undang praktek kesehatan yang lain satu persatu. Dan yang lebih sederhana adalah mengganti undang-undang praktek kedokteran dengan undang-undang praktek tenaga kesehatan, yang didalamnya mengatur segala macam praktek yang dilakukan oleh semua tenaga kesehatan yang diakui oleh pemerintah kita mulai dokter, apoteker, dokter gigi, perawat dan selanjutnya. Semua ini demi pembangunan kesehatan dan demi memberikan perlindungan kepada masyarakat.
Dalam pembangunan kesehatan yang terintegrasi maka keberadaan semua tenaga kesehatan harus diakui keberadaannya dan dibangun secara bersama-sama agar saling mengisi dan saling memberikan sinergi yang selanjutnya akan terintegrasi menjadi pondasi yang sangat kokoh. Tidak seperti sekarang, yang mana pembangunan kesehatan dan pembangunan tenaga kesehatan hanya mengarah kepada satu pilar saja.
Mungkin dokter ingin menjadi satu-satunya tenaga kesehatan, sehingga tidak memberikan kesempatan kepada tenaga kesehatan lain untuk berperan didalam kesehatan. Sehingga terjadilah ketimpangan dalam masalah kesehatan yang selanjutnya timbul ketidak percayaan masyarakat akan sistem kesehatan kita yang selanjutnya terjadilah keajaiban keajaiban seperti ponari. Keajaiban yang muncul karena ketidak percayaan masyarakat kepada kita semua sebagai tenaga kesehatan.
Sudah sewaktunya kita berpikir lebih rasional dalam mengembangkan profesi kesehatan yang saling berintegrasi. Yang mana semua ilmu kesehatan dari masing-masing profesi harus berkembang maksimal dan tidak bisa diintervensi oleh profesi yang lain.
Senin, 02 Februari 2009
RESISTENSI ANTIBIOTIKA
RESISTENSI ANTIBIOTIKA
Seperti kita ketahui resistensi antibiotik bisa menyebabkan pengobatan menjadi sangat mahal dan bahaya lainnya yang lebih berbahaya adalah bisa mengancam jiwa. Sedangkan resistensi antibiotik sampai beberapa tahun kedepan mungkin tetap akan menjadi salah satu permasalahan kesehatan bangsa, yang mana bahaya dari resistensi antibiotika ini mungkin akan semakin berbahaya sebahaya penyakit menular lain seperti flu burung suatu misal bila tidak ditangani dengan tepat. Sebenarnya kita tahu apa penyebab resistensi antibiotika ini, tetapi apa yang dilakukan oleh pemerintah belumlah sampai pengatasan yang sistematis.
Belum sitematisnya ini, karena resistensi antibiotika masih belum dianggap barbahaya dan mungkin juga sebagaian dari tenaga kesehatan kita masih berpikir " toh selalu ada penelitian antibiotika baru". Apalagi bila dikaitkan dengan "komisi hasil KS dengan pabrik obat", resistensi mungkin justru menjadi sumber uang. Karena dengan resistensi akan terjadi pembenaran terhadap pemakaian antibiotika generasi lanjut untuk mengatasi infeksi sederhana. Dan ujung-ujungnya masyarakat lagi yang dirugikan.
Saya sangat menghargai usaha dari pemerintah yang berusaha menurunkan harga obat, dan pengendalian harga obat adalah sangat sangat penting. Tetapi bila pengendalian pemakaian obat yang rasional tidak ditingkatkan apa gunanya harga obat murah? Karena bila resistensi berlanjut karena penggunaan tidak tepat dan obat mahal, bisa jadi pilihannya adalah obat murah tetapi tidak manjur karena resistensi atau tak terbeli dan tidak ada resistensi, toh hasilnya pada masyarakat miskin mungkin sama saja, yaitu infeksi tak terobati. Dan yang sangat berbahaya adalah justru antibiotik terbeli dan tidak ada satupun yang efektif karena resistensi.
Pemakaian obat yang tidak terkendali akan sangat membahayakan masyarakat dan mungkin juga menyebabkan pengobatan menjadi lebih mahal, bahkan mahalnya bisa berlipat-lipat. Berlipat-lipatnya bisa disebabkan karena pengulangan biaya perawatan, pengulangan penggunaan obat, pengulangan penggunaan alat kesehatan, pengobatan lebih lama dan lain sebagainya. Oleh karena itu resistensi antibiotika seharusnya menjadi perhatian nasional.
Pada umumnya penyebab resistensi antibiotika adalah akibat pelepasan antibiotika yang tidak disertai edukasi yang benar. Yang selanjutnya terjadi pemakaian antibiotika yang sangat tidak terkendali.
Ketidak terkendalian pemakaian antibiotika bisa terjadi pada :
1. Peresepan dokter yang kurang rasional
2. Peresepan rumah sakit yang kurang rasional
3. Peresepan puskesmas yang kurang rasional
4. Pelepasan antibiotika yang tidak disertai edukasi yang benar oleh apotek
5. Pengulangan resep antibotika yang sebenarnya sudah tidak diperlukan lagi.
6. Mengikuti saran dari yang tidak berkompeten untuk mengonsumsi antibiotika.
7. Pemakaian antibiotika pada hewan ternak dan perikanan
8 dan mungkin masih banyak lagi
Menurut hemat saya, untuk menekan terjadinya resistensi antibiotika atau kalau mungkin menurunkannya, adalah :
1. Apoteker diberdayakan untuk datang keapotek setiap jam buka apotek. Dan diwajibkan bagi para apoteker untuk melakukan edukasi yang benar setiap kali melepas antibiotika..
2. Mempekerjakan apoteker di tiap puskesmas di Indonesia.
3. Menambah tenaga penyuluh kesehatan apoteker di tiap dinas kesehatan.
4. Meningkatkan jumlah apotek sampai tingkat desa.
5. Menekan pemalsuan obat dengan membatasi sarana kesehatan yang boleh melakukan dispensing obat terutama antibiotika.
Mungkin masih banyak lagi hal-hal yang dapat diprioritaskan dalam mengatasi resistensi antibiotika. Seperti misal antibiotika di apotek harus dilepaskan oleh apoteker secara langsung dan tidak boleh diwakilkan untuk menjamin kenyamanan pemakaian obat, kemanan pemakaian obat, ketepatan pemakaian obat dan lain sebagainya. Bila sistem kesehatan terutama dalam bidang kefarmasian masih seperti sekarang, saya tidak yakin masalah resistensi antibiotika dapat terselesaikan dengan baik. Bagaimanapun juga masalah resistensi ini memerlukan uluran tangan apoteker, uluran tangan untuk melakukan tugas-tugas kefarmasian diapotek dan menjadi pendamping masyarakat dalam swamedikasi agar masyarakat dapat teramankan dari bahaya obat.
Semoga kedepan pelayanan kesehatan dibidang kefarmasian lebih menjadi perhatian pemerintah. Demi pembangunan kesehatan seutuhnya dan tidak ada lagi terjadi pengkotak-kotakan tenaga kesehatan karena semua tenaga kesehatan dibutuhkan untuk saling bersinergi dan saling terkait. Yang kesemuanya ini adalah untuk membangun bangsa.
Ibarat permainan sepak bola yang bagus dan profesional, maka kita akan membutuhkan pemain yang bagus, tidak bisa sebelas pemain adalah penyerang semua tanpa kiper. Permainan tidak akan bagus bila tidak ada play maker yang mendistribusikan bola. Demikian juga dengan peran manajer dan pelatih adalah sangat penting pula. Bila dalam menyelesaikan masalah kesehatan tidak bersinergi maka masyarakat yang akan dirugikan. Besar harapan masyarakat kita akan kesehatan yang berkualitas yang seharusnya disuguhkan oleh tim kesehatan kita.
"MARILAH WASPADA TERHADAP PEMAKAIAN ANTIBIOTIKA DAN SELALULAH BERKONSULTASI DENGAN APOTEKER ANDA DI APOTEK"
Seperti kita ketahui resistensi antibiotik bisa menyebabkan pengobatan menjadi sangat mahal dan bahaya lainnya yang lebih berbahaya adalah bisa mengancam jiwa. Sedangkan resistensi antibiotik sampai beberapa tahun kedepan mungkin tetap akan menjadi salah satu permasalahan kesehatan bangsa, yang mana bahaya dari resistensi antibiotika ini mungkin akan semakin berbahaya sebahaya penyakit menular lain seperti flu burung suatu misal bila tidak ditangani dengan tepat. Sebenarnya kita tahu apa penyebab resistensi antibiotika ini, tetapi apa yang dilakukan oleh pemerintah belumlah sampai pengatasan yang sistematis.
Belum sitematisnya ini, karena resistensi antibiotika masih belum dianggap barbahaya dan mungkin juga sebagaian dari tenaga kesehatan kita masih berpikir " toh selalu ada penelitian antibiotika baru". Apalagi bila dikaitkan dengan "komisi hasil KS dengan pabrik obat", resistensi mungkin justru menjadi sumber uang. Karena dengan resistensi akan terjadi pembenaran terhadap pemakaian antibiotika generasi lanjut untuk mengatasi infeksi sederhana. Dan ujung-ujungnya masyarakat lagi yang dirugikan.
Saya sangat menghargai usaha dari pemerintah yang berusaha menurunkan harga obat, dan pengendalian harga obat adalah sangat sangat penting. Tetapi bila pengendalian pemakaian obat yang rasional tidak ditingkatkan apa gunanya harga obat murah? Karena bila resistensi berlanjut karena penggunaan tidak tepat dan obat mahal, bisa jadi pilihannya adalah obat murah tetapi tidak manjur karena resistensi atau tak terbeli dan tidak ada resistensi, toh hasilnya pada masyarakat miskin mungkin sama saja, yaitu infeksi tak terobati. Dan yang sangat berbahaya adalah justru antibiotik terbeli dan tidak ada satupun yang efektif karena resistensi.
Pemakaian obat yang tidak terkendali akan sangat membahayakan masyarakat dan mungkin juga menyebabkan pengobatan menjadi lebih mahal, bahkan mahalnya bisa berlipat-lipat. Berlipat-lipatnya bisa disebabkan karena pengulangan biaya perawatan, pengulangan penggunaan obat, pengulangan penggunaan alat kesehatan, pengobatan lebih lama dan lain sebagainya. Oleh karena itu resistensi antibiotika seharusnya menjadi perhatian nasional.
Pada umumnya penyebab resistensi antibiotika adalah akibat pelepasan antibiotika yang tidak disertai edukasi yang benar. Yang selanjutnya terjadi pemakaian antibiotika yang sangat tidak terkendali.
Ketidak terkendalian pemakaian antibiotika bisa terjadi pada :
1. Peresepan dokter yang kurang rasional
2. Peresepan rumah sakit yang kurang rasional
3. Peresepan puskesmas yang kurang rasional
4. Pelepasan antibiotika yang tidak disertai edukasi yang benar oleh apotek
5. Pengulangan resep antibotika yang sebenarnya sudah tidak diperlukan lagi.
6. Mengikuti saran dari yang tidak berkompeten untuk mengonsumsi antibiotika.
7. Pemakaian antibiotika pada hewan ternak dan perikanan
8 dan mungkin masih banyak lagi
Menurut hemat saya, untuk menekan terjadinya resistensi antibiotika atau kalau mungkin menurunkannya, adalah :
1. Apoteker diberdayakan untuk datang keapotek setiap jam buka apotek. Dan diwajibkan bagi para apoteker untuk melakukan edukasi yang benar setiap kali melepas antibiotika..
2. Mempekerjakan apoteker di tiap puskesmas di Indonesia.
3. Menambah tenaga penyuluh kesehatan apoteker di tiap dinas kesehatan.
4. Meningkatkan jumlah apotek sampai tingkat desa.
5. Menekan pemalsuan obat dengan membatasi sarana kesehatan yang boleh melakukan dispensing obat terutama antibiotika.
Mungkin masih banyak lagi hal-hal yang dapat diprioritaskan dalam mengatasi resistensi antibiotika. Seperti misal antibiotika di apotek harus dilepaskan oleh apoteker secara langsung dan tidak boleh diwakilkan untuk menjamin kenyamanan pemakaian obat, kemanan pemakaian obat, ketepatan pemakaian obat dan lain sebagainya. Bila sistem kesehatan terutama dalam bidang kefarmasian masih seperti sekarang, saya tidak yakin masalah resistensi antibiotika dapat terselesaikan dengan baik. Bagaimanapun juga masalah resistensi ini memerlukan uluran tangan apoteker, uluran tangan untuk melakukan tugas-tugas kefarmasian diapotek dan menjadi pendamping masyarakat dalam swamedikasi agar masyarakat dapat teramankan dari bahaya obat.
Semoga kedepan pelayanan kesehatan dibidang kefarmasian lebih menjadi perhatian pemerintah. Demi pembangunan kesehatan seutuhnya dan tidak ada lagi terjadi pengkotak-kotakan tenaga kesehatan karena semua tenaga kesehatan dibutuhkan untuk saling bersinergi dan saling terkait. Yang kesemuanya ini adalah untuk membangun bangsa.
Ibarat permainan sepak bola yang bagus dan profesional, maka kita akan membutuhkan pemain yang bagus, tidak bisa sebelas pemain adalah penyerang semua tanpa kiper. Permainan tidak akan bagus bila tidak ada play maker yang mendistribusikan bola. Demikian juga dengan peran manajer dan pelatih adalah sangat penting pula. Bila dalam menyelesaikan masalah kesehatan tidak bersinergi maka masyarakat yang akan dirugikan. Besar harapan masyarakat kita akan kesehatan yang berkualitas yang seharusnya disuguhkan oleh tim kesehatan kita.
"MARILAH WASPADA TERHADAP PEMAKAIAN ANTIBIOTIKA DAN SELALULAH BERKONSULTASI DENGAN APOTEKER ANDA DI APOTEK"
Jumat, 23 Januari 2009
PERAN APOTEKER DALAM PENANGGULANGAN PENYAKIT MENULAR
PERAN APOTEKER DALAM PENANGGULANGAN PENYAKIT MENULAR
Saat saya menemukan situs www.penyakitmenular.info , saya semakin yakin bila apoteker sangat penting perannya untuk ikut serta dalam penanggulangan penyakit menular. Apalagi bagi apoteker yang ada didaerah. Meskipun apoteker tidak harus mengobati secara langsung, tetapi tetap harus terlibat dalam proses pengobatan, pemberian informasi dan edukasi. Mungkin selama ini tidak dipikiran oleh banyak pihak akan peran apoteker dalam ikut menanggulangi penyakit menular, tetapi peran apoteker yang telah berjalan dalam menanggulagi peyakit menular tetap harus dipertahankan dan seharusnya juga dibina.
Pembinaan seharusnya diakukan baik oleh pemerintah ataupun oleh ISFI sebagai organisasi profesi agar peran ini menjadi lebih terorganisasi dan tidak berjalan sendiri-sendiri, karena bagaimanapun juga apoteker adalah bagian yang terintegrasi dalam sistem kesehatan. Dengan pembinaan diharapkan peran apoteker juga akan semakin memudahkan pemerintah dalam menanggulangi penyakit menular.
Ada beberapa kelebihan apoteker dalam edukasi dalam penanggulangan penyakit menular yang antara lain adalah lebih murah, mungkin lebih murah dari pada program kaderisasi kesehatan ataupun program desa siaga. Karena disini apoteker tidak mengharapkan gaji dari pemeritah seperti bidan desa. Apoteker hanya butuh kemudahan saja dalam mendirian apotek sampai ke tingkat desa.
Bagaimanapun juga penyakit menular harus ditanggulangi sebelum menjadi wabah. Dan penanggulangan dapat bersifat kuratif ataupun prekuentif. Baik pada kuratif dan prekuentif apoteker dapat berperan, karena apoteker memang seharusnya terlibat pada keduanya. Pada prekuentif apoteker dapat berperan dalam edukasi dengan mempertajam pemahaman masyarakat karena apotek tempat apoteker bekerja juga merupakan pusat informasi tentang obat dan sediaan farmasi lain, serta menjadi pusat informasi penyakit bagi masyarakat sekitarnya.
Apoteker tidak mengobati penyakit secara langsung, kecuali pada beberapa kasus sederhana. Tetapi dengan wawasannya apoteker dapat ikut terlibat secara langsung dan tidak langsung dalam penangguangan penyakit menular. Sebagai contoh pada saat pasien meminta obat turun panas pada swamedikasi, apoteker juga dapat menyertakan informasi tentang demam pelana kuda atau disebut juga demam punggung unta, agar masyarakat menjadi lebih waspada. Disini, apoteker juga dapat memberikan informasi kapan harus kedokter bila demam tidak kunjung sembuh.
Saya suka mengatakan bila peran apoteker secara umum juga mengamankan masyarakat dari bahaya obat dan bahaya penyakit. Baik dalam mengamankan masyarakat dari bahaya penyakit maupun bahaya obat apoteker harus mampu memberikan informasi yang akurat. Untuk dapat menjadi akurat apoteker harus selalu mengaktualkan diri agar dapat mengakomodasi kebutuhan masyarakat akan informasi. Karena informasi tersebut adalah salah satu yang harus disediakan diapotek, dan informasi merupakan komoditas yang penting di apotek.
Sebenarnya dalam pemahaman saya, penyakit menular dalam kesehatan tidak hanya DB, malaria, diare dsb, tetapi juga penyakit menular yang disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan kesehatan masyarakat. Penyakit menular ini lebih bersifat sosial, yang mana salah satunya adalah kesalahan pemahaman masyarakat akan obat, penyakit dan lain-lain terkait kesehatan. Bagaimanapun juga manusia adalah makhluk sosial, yang mana bila melakukan kesalahan seringkali juga akan berpotensi menular kepada masyarakat disekitarnya. Oleh karena itu kesadaran masyarakat untuk mengakses informasi kepada para apoteker yang berpraktek profesi diapotek seharusya juga menjadi salah satu program pemerintah dan ISFI untuk menekan penyebaran penyakit menular sosial.
Saat saya menemukan situs www.penyakitmenular.info , saya semakin yakin bila apoteker sangat penting perannya untuk ikut serta dalam penanggulangan penyakit menular. Apalagi bagi apoteker yang ada didaerah. Meskipun apoteker tidak harus mengobati secara langsung, tetapi tetap harus terlibat dalam proses pengobatan, pemberian informasi dan edukasi. Mungkin selama ini tidak dipikiran oleh banyak pihak akan peran apoteker dalam ikut menanggulangi penyakit menular, tetapi peran apoteker yang telah berjalan dalam menanggulagi peyakit menular tetap harus dipertahankan dan seharusnya juga dibina.
Pembinaan seharusnya diakukan baik oleh pemerintah ataupun oleh ISFI sebagai organisasi profesi agar peran ini menjadi lebih terorganisasi dan tidak berjalan sendiri-sendiri, karena bagaimanapun juga apoteker adalah bagian yang terintegrasi dalam sistem kesehatan. Dengan pembinaan diharapkan peran apoteker juga akan semakin memudahkan pemerintah dalam menanggulangi penyakit menular.
Ada beberapa kelebihan apoteker dalam edukasi dalam penanggulangan penyakit menular yang antara lain adalah lebih murah, mungkin lebih murah dari pada program kaderisasi kesehatan ataupun program desa siaga. Karena disini apoteker tidak mengharapkan gaji dari pemeritah seperti bidan desa. Apoteker hanya butuh kemudahan saja dalam mendirian apotek sampai ke tingkat desa.
Bagaimanapun juga penyakit menular harus ditanggulangi sebelum menjadi wabah. Dan penanggulangan dapat bersifat kuratif ataupun prekuentif. Baik pada kuratif dan prekuentif apoteker dapat berperan, karena apoteker memang seharusnya terlibat pada keduanya. Pada prekuentif apoteker dapat berperan dalam edukasi dengan mempertajam pemahaman masyarakat karena apotek tempat apoteker bekerja juga merupakan pusat informasi tentang obat dan sediaan farmasi lain, serta menjadi pusat informasi penyakit bagi masyarakat sekitarnya.
Apoteker tidak mengobati penyakit secara langsung, kecuali pada beberapa kasus sederhana. Tetapi dengan wawasannya apoteker dapat ikut terlibat secara langsung dan tidak langsung dalam penangguangan penyakit menular. Sebagai contoh pada saat pasien meminta obat turun panas pada swamedikasi, apoteker juga dapat menyertakan informasi tentang demam pelana kuda atau disebut juga demam punggung unta, agar masyarakat menjadi lebih waspada. Disini, apoteker juga dapat memberikan informasi kapan harus kedokter bila demam tidak kunjung sembuh.
Saya suka mengatakan bila peran apoteker secara umum juga mengamankan masyarakat dari bahaya obat dan bahaya penyakit. Baik dalam mengamankan masyarakat dari bahaya penyakit maupun bahaya obat apoteker harus mampu memberikan informasi yang akurat. Untuk dapat menjadi akurat apoteker harus selalu mengaktualkan diri agar dapat mengakomodasi kebutuhan masyarakat akan informasi. Karena informasi tersebut adalah salah satu yang harus disediakan diapotek, dan informasi merupakan komoditas yang penting di apotek.
Sebenarnya dalam pemahaman saya, penyakit menular dalam kesehatan tidak hanya DB, malaria, diare dsb, tetapi juga penyakit menular yang disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan kesehatan masyarakat. Penyakit menular ini lebih bersifat sosial, yang mana salah satunya adalah kesalahan pemahaman masyarakat akan obat, penyakit dan lain-lain terkait kesehatan. Bagaimanapun juga manusia adalah makhluk sosial, yang mana bila melakukan kesalahan seringkali juga akan berpotensi menular kepada masyarakat disekitarnya. Oleh karena itu kesadaran masyarakat untuk mengakses informasi kepada para apoteker yang berpraktek profesi diapotek seharusya juga menjadi salah satu program pemerintah dan ISFI untuk menekan penyebaran penyakit menular sosial.
Jumat, 26 September 2008
PERAN APOTEKER DALAM DUNIA KESEHATAN
PERAN APOTEKER DALAM DUNIA KESEHATAN
Saat ini peran apoteker dalam dunia kesehatan sudah mulai banyak kelihatan. Peran ini tidak hanya dalam mengawal resep tetapi juga dalam swamedikasi, termasuk dalam mengawal masyarakat dalam penggunaan sediaan farmasi lain. Cuman sayangnya belum semua apoteker mempunyai kesempatan untuk berperan lebih jauh yang dikarenakan berbagai hal dan belum ada standart jelas tentang pelayanan kefarmasian yang didasarkan pada praktek profesi yang nyata.
Farmasi klinis memang kelihatan lebih elegan bagi seorang apoteker karena dengan farmasi klinis apoteker lebih merasa dapat menunjukan kemampuannya akan kemampuannya yang sesunggunhnya. Tetapi pekerjaan apoteker diapotek tidak sekedar farmasi klinis. Banyak ilmu sosial lain penunjang profesi yang harus dikuasai. Seringkali apoteker hanya terjebak dalam farmasi klinis sebagai "menara gading" yang mana farmasi klinis dianggap sebagai pencapaian kemampuan profesi yang paling tinggi dalam pelayanan kefarmasian, tetapi benarkah?
Banyak apoteker baru sekarang yang saya tanya tentang kasus swamedikasi, yang terkait konsultasi obat dan penyakit yang terjadi pada swamedikasi. Hasilnya menurut saya, seringkali mereka membicarakan farmasi klinis yang kurang rasional dengan kebutuhan swamedikasi. Mengapa? karena sang dosen pengajarnya adalah apoteker rumah sakit yang mempunyai keterbatasan dalam penanganan kasus swamedikasi. Farmasi klinis saja tentu saja tidak cukup, karena farmaekonomi mungkin akan menjadi ilmu baru dalam dunia farmasi, diikuti oleh ilmu farmasosial, farmasbudaya dan lain sebagainya.
Pada peran apoteker dalam dunia kesehatan bangsa ini yang terkait pelayanan swamedikasi, bisa jadi menjadi sangat penting dan sangat berharga diri sebagai apoteker bila kita mengambil peran ini dengan sangat serius dan penuh dedikasi. Cuman sayangnya peran ini umumnya belum digali dengan sangat baik oleh dunia pendidikan, mungkin dikarenakan kasusnya dianggap kurang mercusuar untuk menunjukan kemampuan kita sebagai apoteker. Mungkin juga karena kasus pada swamedikasi seringkali hanya menghasilkan uang receh dari masyarakat.
Berperan tidaknya apoteker dalam dunia kesehatan sangat tergatung pada diri kita sendiri sebagai apoteker dalam mengambil kesempatan yang ada, bukan menunggu apa yang diberikan kepada kita. Saya selalu mengatakan kepada semua orang bila apotek juga merupakan salah satu sarana pendidikan kesehatan masyarakat, setiap hari kita bisa berhubungan dengan masyarakat awam yang membutuhkan informasi kesehatan terutama yang berkaitan dengan obat dan sediaan farmasi lain. Dari sinilah kita seharusnya memulai mengambil peran kita dalam dunia kesehatan. Sering kali pasien atau klien datang keapotek tanpa menyadari akan kebutuhan mereka yang sebenarnya, disinilah peran kita untuk mengambil konseling dan mendampingi mereka agar memahami permasalahannya.
Peran-peran kita didalam dunia kesehatan harus kita ambil bukan kita tunggu, demikian pula bila kita ingin berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain. Kita tidak bisa hanya menunggu permintaan dari mereka agar kita berperan, tetapi kita harus berani mengambil peran kita. Menurut saya selama praktek profesi diapotek, peran kita tidaklah lebih ringan dari tenaga kesehatan lain. Resiko kita tertular penyakit suatu misal juga sangat tinggi. Mungkin kedepan, sudah sepantasnya bila kita juga mendapatkan perhatian dari departemen pendidikan dan kebudayaan, toh yang kita kerjakan tidak lebih ringan dari para guru ataupun dokter dan kita bisa menjadi peyuluh kesehatan atau pendidik kesehatan masyarakat yang mandiri yang tidak perlu digaji oleh negara, tetapi cukup digaji dari jasa profesi kita.
Seringkali pada masyarakat yang membutuhkan obat untuk swamedikasi, obat kita lepas begitu saja tanpa ada asuhan kefarmasian yang cukup. Kasus semacam ini masih sangat umum dan menurut saya bisa sangat berbahaya. Sebagai contoh yang sering saya lontarkan kepada siapa saja, cobalah anda datang ke apotek sejawat anda yang belum melakukan TATAP atau belum memberlakukan Tiada Apoteker Tiada Pelayanan, kemudian anda tanya obat batuk yang baik, tentu anda dapat memperkirakan sendiri apa jawabnya. Meskipun masih ada sejawat kita yang belum melakukan TATAP, tetapi janganlah kita menganggap semua apotek adalah sama saja, karena sudah banyak apotek yang mulai mengarah ke TATAP, meskipun belum ke TATAP yang ideal.
Karena makin berkembangnya permasalahan profesi apoteker dalam perannya di dunia kesehatan dan semakin kreatifnya para apoteker dalam menghadapi permasalahan profesinya yang terkait perannya dalam dunia kesehatan, maka dibentuklah HISFARMA oleh para aktifis ISFI, yang harapan kedepannya bisa sebagai ajang forum diskusi profesi bagi para praktisi diapotek. Penuh harapan kita para praktisi kepada HISFARMA, agar kedepan HISFARMA mampu mengambil perannya dengan benar.
Selanjutnya marilah mengambil peran kita, karena kita sudah menjadi apoteker berarti kita sudah diberi peran dalam dunia kesehatan. Tinggal mau atau tidak kita menggunakan peran kita dan janganlah jasa profesi yang kecil dijadikan alasan agar kita menjadi kurang berperan. Dunia tahu peran kita dalam dunia kesehatan, tetapi jangan sampai kita sendiri justru tidak memahami peran kita dalam dunia kesehatan. Peran kita sangat besar, sebesar yang kita mau dan bisa kerjakan, tetapi peran kita akan hilang sama sekali bila kita tidak mau mengambil peran kita. Kesimpulannya berperan atau tidaknya kita dalam dunia kesehatan tergantung diri kita sendiri, bukan tergantung pada orang lain, pemilik modal apotek, profesi kesehatan lain atau siapa saja.
Semoga kita para apoteker kedepan bisa lebih dapat berperan dalam dunia kesehatan dan dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan lain meskipun kita hanya ada di farmasi masyarakat yang umumnya masih dipandang sebelah mata. Dan untuk dapat lebih berperan sudah seharusnya bila kita mengawali dari diri kita sendiri dengan langsung mengambil peran dengan menerapkan TATAP, tanpa tunjuk-tunjuk kepada sejawat kita yang lain. Dan peran kita akan menunjukan sinergisme bila kita dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan lain, pemerintah dan siapa saja yang terlibat dalam dunia kesehatan.
Saat ini peran apoteker dalam dunia kesehatan sudah mulai banyak kelihatan. Peran ini tidak hanya dalam mengawal resep tetapi juga dalam swamedikasi, termasuk dalam mengawal masyarakat dalam penggunaan sediaan farmasi lain. Cuman sayangnya belum semua apoteker mempunyai kesempatan untuk berperan lebih jauh yang dikarenakan berbagai hal dan belum ada standart jelas tentang pelayanan kefarmasian yang didasarkan pada praktek profesi yang nyata.
Farmasi klinis memang kelihatan lebih elegan bagi seorang apoteker karena dengan farmasi klinis apoteker lebih merasa dapat menunjukan kemampuannya akan kemampuannya yang sesunggunhnya. Tetapi pekerjaan apoteker diapotek tidak sekedar farmasi klinis. Banyak ilmu sosial lain penunjang profesi yang harus dikuasai. Seringkali apoteker hanya terjebak dalam farmasi klinis sebagai "menara gading" yang mana farmasi klinis dianggap sebagai pencapaian kemampuan profesi yang paling tinggi dalam pelayanan kefarmasian, tetapi benarkah?
Banyak apoteker baru sekarang yang saya tanya tentang kasus swamedikasi, yang terkait konsultasi obat dan penyakit yang terjadi pada swamedikasi. Hasilnya menurut saya, seringkali mereka membicarakan farmasi klinis yang kurang rasional dengan kebutuhan swamedikasi. Mengapa? karena sang dosen pengajarnya adalah apoteker rumah sakit yang mempunyai keterbatasan dalam penanganan kasus swamedikasi. Farmasi klinis saja tentu saja tidak cukup, karena farmaekonomi mungkin akan menjadi ilmu baru dalam dunia farmasi, diikuti oleh ilmu farmasosial, farmasbudaya dan lain sebagainya.
Pada peran apoteker dalam dunia kesehatan bangsa ini yang terkait pelayanan swamedikasi, bisa jadi menjadi sangat penting dan sangat berharga diri sebagai apoteker bila kita mengambil peran ini dengan sangat serius dan penuh dedikasi. Cuman sayangnya peran ini umumnya belum digali dengan sangat baik oleh dunia pendidikan, mungkin dikarenakan kasusnya dianggap kurang mercusuar untuk menunjukan kemampuan kita sebagai apoteker. Mungkin juga karena kasus pada swamedikasi seringkali hanya menghasilkan uang receh dari masyarakat.
Berperan tidaknya apoteker dalam dunia kesehatan sangat tergatung pada diri kita sendiri sebagai apoteker dalam mengambil kesempatan yang ada, bukan menunggu apa yang diberikan kepada kita. Saya selalu mengatakan kepada semua orang bila apotek juga merupakan salah satu sarana pendidikan kesehatan masyarakat, setiap hari kita bisa berhubungan dengan masyarakat awam yang membutuhkan informasi kesehatan terutama yang berkaitan dengan obat dan sediaan farmasi lain. Dari sinilah kita seharusnya memulai mengambil peran kita dalam dunia kesehatan. Sering kali pasien atau klien datang keapotek tanpa menyadari akan kebutuhan mereka yang sebenarnya, disinilah peran kita untuk mengambil konseling dan mendampingi mereka agar memahami permasalahannya.
Peran-peran kita didalam dunia kesehatan harus kita ambil bukan kita tunggu, demikian pula bila kita ingin berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain. Kita tidak bisa hanya menunggu permintaan dari mereka agar kita berperan, tetapi kita harus berani mengambil peran kita. Menurut saya selama praktek profesi diapotek, peran kita tidaklah lebih ringan dari tenaga kesehatan lain. Resiko kita tertular penyakit suatu misal juga sangat tinggi. Mungkin kedepan, sudah sepantasnya bila kita juga mendapatkan perhatian dari departemen pendidikan dan kebudayaan, toh yang kita kerjakan tidak lebih ringan dari para guru ataupun dokter dan kita bisa menjadi peyuluh kesehatan atau pendidik kesehatan masyarakat yang mandiri yang tidak perlu digaji oleh negara, tetapi cukup digaji dari jasa profesi kita.
Seringkali pada masyarakat yang membutuhkan obat untuk swamedikasi, obat kita lepas begitu saja tanpa ada asuhan kefarmasian yang cukup. Kasus semacam ini masih sangat umum dan menurut saya bisa sangat berbahaya. Sebagai contoh yang sering saya lontarkan kepada siapa saja, cobalah anda datang ke apotek sejawat anda yang belum melakukan TATAP atau belum memberlakukan Tiada Apoteker Tiada Pelayanan, kemudian anda tanya obat batuk yang baik, tentu anda dapat memperkirakan sendiri apa jawabnya. Meskipun masih ada sejawat kita yang belum melakukan TATAP, tetapi janganlah kita menganggap semua apotek adalah sama saja, karena sudah banyak apotek yang mulai mengarah ke TATAP, meskipun belum ke TATAP yang ideal.
Karena makin berkembangnya permasalahan profesi apoteker dalam perannya di dunia kesehatan dan semakin kreatifnya para apoteker dalam menghadapi permasalahan profesinya yang terkait perannya dalam dunia kesehatan, maka dibentuklah HISFARMA oleh para aktifis ISFI, yang harapan kedepannya bisa sebagai ajang forum diskusi profesi bagi para praktisi diapotek. Penuh harapan kita para praktisi kepada HISFARMA, agar kedepan HISFARMA mampu mengambil perannya dengan benar.
Selanjutnya marilah mengambil peran kita, karena kita sudah menjadi apoteker berarti kita sudah diberi peran dalam dunia kesehatan. Tinggal mau atau tidak kita menggunakan peran kita dan janganlah jasa profesi yang kecil dijadikan alasan agar kita menjadi kurang berperan. Dunia tahu peran kita dalam dunia kesehatan, tetapi jangan sampai kita sendiri justru tidak memahami peran kita dalam dunia kesehatan. Peran kita sangat besar, sebesar yang kita mau dan bisa kerjakan, tetapi peran kita akan hilang sama sekali bila kita tidak mau mengambil peran kita. Kesimpulannya berperan atau tidaknya kita dalam dunia kesehatan tergantung diri kita sendiri, bukan tergantung pada orang lain, pemilik modal apotek, profesi kesehatan lain atau siapa saja.
Semoga kita para apoteker kedepan bisa lebih dapat berperan dalam dunia kesehatan dan dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan lain meskipun kita hanya ada di farmasi masyarakat yang umumnya masih dipandang sebelah mata. Dan untuk dapat lebih berperan sudah seharusnya bila kita mengawali dari diri kita sendiri dengan langsung mengambil peran dengan menerapkan TATAP, tanpa tunjuk-tunjuk kepada sejawat kita yang lain. Dan peran kita akan menunjukan sinergisme bila kita dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan lain, pemerintah dan siapa saja yang terlibat dalam dunia kesehatan.
Langganan:
Postingan (Atom)