Tampilkan postingan dengan label UJI KOMPETENSI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label UJI KOMPETENSI. Tampilkan semua postingan

Jumat, 01 Januari 2010

UJI KOMPETENSI APOTEKER TERKAIT SWAMEDIKASI

UJI KOMPETENSI APOTEKER TERKAIT SWAMEDIKASI



Secara umum uji kompetensi dari suatu profesi adalah untuk melindungi masyarakat pengguna jasa profesi, dengan melakukan standarisasi layanan, juga melindungi profesi itu sendiri dan juga untuk memudahkan didalam pembinaan dan pengawasan.

Swamedikasi adalah salah satu bentuk layanan kefarmasian diapotek. Yang mana swamedikasi diapotek adalah usaha dari masyarakat yang ingin mengatasi masalah kesehatannya sendiri dengan bantuan apoteker, baik menggunakan sediaan farmasi atau hanya sekedar informasi dan edukasi tanpa sediaan farmasi.

Karena kesehatan adalah salah satu hak asasi manusia yang paling dasar, maka layanan kesehatan harus memenuhi kaidah kaidah kemanusiaan dan kaidah kaidah layanan. Pemenuhan ini juga termasuk pada layanan swamedikasi di apotek. Oleh karena itu layanan swamedikasi diapotek harus mampu mengamankan masyarakat dari bahaya penggunaan sediaan farmasi dan mengamankan masyarakat dari bahaya penyakit.

Agar kaidah kaidah kemanusiaan dan layanan dapat terpenuhi, maka uji kompetensi harus diberlakukan kepada apoteker. Dan uji kompetensi terkait swamedikasi bisa meliputi hal hal yang antara lain :
- Pemahaman apoteker tehadap obat obat yang digunakan dalam swamedikasi
- Pemahaman apoteker terhadap penyakit penyakit dasar
- Pemahaman apoteker terhadap bahaya dan resiko bila terlambat merujuk.
- Pemahaman apoteker terhadap ilmu manajemen berbasis profesi
- Pemahaman terhadap dasar dasar ilmu edukasi, yang didalamnya termasuk komunikasi psikologi
- Pemahaman apoteker terhadap perkembangan IPTEK kefarmasian

Selanjutnya tujuan dari uji kompetensi terkait swamedikasi bagi apoteker adalah :
1. Apoteker mampu melakukan edukasi masyarakat dan mampu ikut dalam usaha usaha meningkatkan tingkat pendidikan kesehatan masyarakat.
2. Apoteker mampu berperan secara aktif mengamankan masyarakat dari bahaya akibat penggunaan sediaan farmasi dan penyakit.
3. Sehingga apoteker mampu merujuk pada saat yang tepat.
4. Apoteker mampu mengelola apotek secara profesional, karena memahami ilmu manajemen terapan yang berbasis profesi.
5. Apoteker mampu berperan secara aktif dalam pembangunan kesehatan.

Penyusunan materi uji kompetensi, penyusunan materi uji kompetensi terkait swamedikasi harus melibatkan masukan dari para praktisi aktif. Sehingga materi uji kompetensi dapat menggambarkan kenyataan praktek yang harus dikuasai dan tidak mengada ada. Karena materi uji kompetensi adalah kenyataan prakter apoteker setiap hari, maka uji kompetensi tentu tidak akan memberatkan apoteker, tetapi justru mampu menambah wawasan apoteker. Mampu menambah wawasan, karena dalam uji kompetensi juga terkait perkembangan IPTEK kefarmasian terbaru.

Pelatihan dan pendidikan berkelanjutan tetap harus diadakan guna penyegaran dan menambah wawasan. Dan harus berbasiskan praktek layanan kefarmasian sehari hari apoteker. Jangan sampai pelatihan dan pendidikan berkelanjutan ini hanya terkesan formalitas belaka dalam mengejar SKP, tetapi benar benar merupakan ilmu terapan. Sehingga bisa digunakan sebagai landasan didalam menjalankan praktek layanan sehari hari apoteker.

Sabtu, 04 Juli 2009

UJI KOMPETENSI

UJI KOMPETENSI
(www.hisfarma.blogspot.com)


Apoteker adalah tenaga kesehatan yang spesifik, yang keberadaannya seharusnya tidak tergantikan oleh orang lain atau profesi lain. Spesifik, karena apoteker harus menguasai tehnologi, farmakologi, sekaligus ilmu sosial pendukung profesi. Bisa dikatakan apoteker satu-satunya profesi kesehatan yang dalam pendidikannya sangat sarat dengan ilmu tehnologi, atau dengan kata lain tehnologi farmasi adalah salah satu sarat yang harus dikuasai oleh apoteker.

Tehnologi farmasi yang sangat luas dan berkembang sangat pesat menjadi salah satu pertimbangan kenapa uji kompetensi menjadi salah satu sarat yang harus ada, sehingga apoteker tidak ketinggalan jaman. Penguasaan tehnologi tidak hanya harus dikuasai oleh apoteker yang bekerja di industri saja, tetapi juga yang mengabdikan diri diapotek. Dalam menjalankan profesi diapotek sering kali pengetahuan kita juga diuji, meskipun sering kali sebatas informasi bukan pada pekerjaan peracikan secara langsung. Sering kali didalam edukasi diperlukan wawasan tentang industri dan tehnologi farmasi agar dalam proses pengobatan dapat berjalan dengan optimal.

Diagnosa sangat penting, langkah terapi juga sangat penting, tetapi bila didalam produksi obatnya tidak memenuhi standard dan sampai pada penyerahan obatnya tidak disertai dengan edukasi yang benar bisa jadi jalannya pengobatan tidak optimal. Sifat kimia fisik obat dan bahan tambahan obat, bentuk formulasi, rute pemakaian dan lain sebagainya tetap menjadi salah satu kompetensi yang harus dikuasai oleh para praktisi diapotek. Dari sini sangat kelihatan bila profesi apoteker sangat spesifik sehingga uji kompetensi juga harus dilakukan dengan menyesuaikan kompetensi apoteker yang sangat spesifik.

Berbeda dengan temannya diapotek, apoteker industri juga harus mempunyai kompetensi yang sangat spesifik pula. Penguasaan ilmu sosial mungkin sudah sangat minim, tetapi kompetensi dibidang tehnologi menjadi sangat dalam. Dan apoteker adalah satu-satunya tenaga kesehatan yang dipercaya mampu mengawal kualitas obat dinegeri tercinta ini. Disinilah peran apoteker sangat kelihatan betapa pentingnya bagi pembangunan kesehatan bangsa ini. Hampir setiap tindakan pengobatan membutuhkan obat yang secara tidak langsung berarti membutuhkan apoteker.

Didalam perannya pada industri farmasi, apoteker harus menguasai tehnologi farmasi yang ditunjukan dengan uji kompetensi. Dalam perannya pada industri farmasi, apoteker akan sangat terikat dengan kode etik farmasi industri. Apoteker yang bekerja diindustri, baik pada industri obat maupun industri obat tradisional harus menunjukan kompetensinya karena demi keselamatan penggunaan produk hasil industri. Seperti yang kita pahami bila obat secara definisi kefarmaian adalah racun. Karena bahaya dari obat yang bisa jadi akan sangat membahayakan bila didalam proses pengolahan sampai penyerahan kepada pasien tidak didasari dengan kompetensi yang benar.

Pada apoteker yang bekerja di rumah sakit bisa jadi kompetensi yang diperlukan juga akan berbeda dengan yang bekerja di industri ataupun di apotek. Beda dengan di apotek adalah kebutuhan ilmu sosial dan manajemen yang lebih sedikit, sedangkan beda dengan yang bekerja di industri adalah kemampuan produksi yang lebih sedikit. Tetapi ada hal yang sangat dominan, yaitu bioavailabilitas, farmakoterapi dsb. Disini ilmu tentang tehnologi tetap harus dikuasai meskipun dengan porsi yang lebih kecil.

Dari ketiga kelompok tersebut sangat terlihat bila pekerjaan kefarmasian sangat spesifik dan seharusnya memang tidak tergantikan oleh orang lain, demi kemajuan pembangunan kesehatan nasional. Dan ketiganya mempunyai peran yang sangat spesifik yang terkonsentrasi tergantung dimana mereka bekerja. Seperti ilmu sosial yang dikuasai apoteker apotek bisa akan sangat berbeda dengan yang di rumah sakit. Oleh karena itu seharusnya uji kompetensi yang diberikan kepada mereka mempunyai pembobotan yang berbeda dan didesain secara khusus.

Dari uraian diatas, menurut hemat saya kompetensi apoteker harus dilakukan oleh tim yang terdiri dari banyak pihak yang seperti PT, Praktisi senior yang setidaknya menjadi praktisi aktif sekurang kurangnya 15 tahun (setara 36.000 jam), Pemerintah dan tokoh masyarakat. Dengan melibatkan banyak pihak diharapkan kompetensi lebih dapat dipertanggung jawabkan. Sehingga kepentingan dari masyarakat lebih dapat terakomodasi. Janganlah kita menyusun kompetensi hanya didasarkan pada kepentingan-kepentingan pihak-pihak tertentu saja atau berdasarkan asumsi-asumsi belaka yang akhirnya justru masyarakat yang akan dirugikan.

Saya rasa tidak ada dari semua pihak yang menginginkan uji kompetensi hanya menjadi cara untuk pembodohan masyarakat demi tujuan-tujuan tertentu yang hanya ingin mengeruk uang masyarakat. Tetapi uji kompetensi adalah cara agar praktek profesi menjadi salah satu cara dari pemerintah dalam mengatasi rendahnya tingkat pendidikan kesehatan. Atau dengan kata lain seharusnya praktek profesi juga mengemban fungsi pendidikan kesehatan masyarakat. Karena didalam pembangunan kesehatan pendidikan adalah salah satu pondasi yang harus ada. Tak ada gunanya apoteker pandai, apotek besar obat murah dan lain sbagainay bila tingkat pendidikan kesehatan masyarakat rendah.

Kita juga tidak ingin jalannya pembangunan kesehatan berjalan pincang. Karena jalannya pembangunan kesehatan yang hanya mengarah pada satu pilar saja. Seperti kita ketahui bila dinegara kita pembangunan kesehatan masih berjalan dengan satu pilar, yaitu pilar kedokteran. Kita baru mempunyai UU praktek kedokteran, dan kita belum punya UU praktek kefarmasian, UU praktek keperawatan, UU praktek konsultasi gizi dll. Mengapa ini penting? Seperti kita ketahui bahwa unsur dari pembangunan kesehatan harus melibatkan seluruh elemen masyarakat, bukannya hanya elemen kedokteran saja.

Suatu misal tentang keberadaan obat generic. Citra obat generic yang selalu digembar gemborkan sebagai alternatif obat murah yang berkualitas kurang mendapat dukungan dari masyarakat luas. Hal tersebut dikarenakan yang salah satu sebabnya adalah dinegara kita lebih mengutamakan pebangunan yang mengarah pada satu pilar saja. Seharusnya kita biarkan profesi lain berkembang menjadi dirinya sendiri yang eksis demi meningkatkan sinergisme antar tenaga kesehatan dalam mencapai Negara yang sehat. Ketidak percayaan tehadap obat generic ini juga menyebabkab pengobatan menjadi lebih mahal yang belum tentu lebih berkualitas.

Disinilah pentingnya pemerintah membuat UU praktek kefarmasian yang benar-benar memihak kepentingan rakyat. Bagaimanapun pekerjaan profesi adalah amanah dari rakyat, mengingat pekerjaan profesi seharusnya juga dijalankan sesuai UU hasil kerja keras dari wakil rakyat yang terhormat. Seharusnya rakyatlah yang lebih berhak menentukan kualitas pelayanan dengan membuat aturan-aturan yang lebih memihak dirinya. Salah satu contoh rendahnya tingkat pendidikan kesehatan kita adalah dianggapnya kurang pentingnya UU yang mengatur praktek profesi kesehatan selain dokter. Padahal seperti kitaq ketahui dokter tidak akan berjalan bila tidak ada tenaga kesehatan lain. Janganlah kita sebagai apoteker menutup mata akan pentingnya peran dari tenaga kesehatan lain.

Dengan memberi uji kompetensi yang sesuai dengan pekerjaan kefarmasian kepada apoteker, berarti pula kita mengangkat perekonomian meskipun pengaruhnya mungkin tidak besar. Beberapa hal tersebut al: citra obat generic naik, obat produk PMDN naik, tertekannya peredaran obat palsu, peredaran obat substandart juga dapat ditekan, turunnya biaya pengobatan, dsb. Dengan naiknya derajat kesehatan dan tingkat pendidikan kesehatan masyarakat berarti pula kita ikut meningkatkan perekonomian masyarakat.

Oleh karena itu adalah sangat wajar bila uji kompetensi hanya dilakukan oleh ISFI sebagai induk organisasi dengan membentuk tim penguji yang terdiri dari beberapa pihak diatas. Dan akan lebih baik bila Pemerintah dengan kesadarannya menyusun UU praktek kefarmasian yang lebih memihak kepentingan rakyat. Seperti kita ketahui, bahwa separo dari masalah kuratif dalam kesehatan adalah berkaitan dengan sediaan farmasi. Oleh karena itu sangat manusiawi bila kita juga mengusahakan uji kompetensi yang benar-benar berbasis praktek profsi, dan bukannya berdasarkan imajinasi.

Bila uji kompetensi hanya disusun oleh para apoteker yang hanya praktek profesi dengan duduk dibelakang meja, maka profesi yang akan terbentuk juga profesi imajinasi yang hanya duduk dibelakang kursi. Menurut hemat saya, profesi yang dasar kompetensinya benar-benar disusun oleh para praktisi dengan mempertimbangkan segala hal yang terkait kepentingan masyarakat dan profesi itu sendiri juga pihak lain yang terlibat merupakan sesuatu hal yang sudah seharusnya. Bukannya untuk mempersulit profesi itu sendiri, tetapi adalah semata-mata demi eksistensi profesi itu sendiri dan demi kepentingan masyarakat luas.

UU praktek kefarmasian sebenarnya adalah hal yang mutlak harus ada bila kita ingin memperbaiki layanan kesehatan yang khususnya terkait bidang kefarmasian. Bukannya para apoteker meminta hak istimewa, tetapi hanya sekedar pengakuan dari semua pihak bahwa peran apoteker didalam Sistem Kesehatan Nasional ada pada jajaran garis depan. Para apoteker mempunyai resiko yang sama dengan profesi kesehatan lain dan mempunya beban tanggung jawab yang setara atau bahkan lebih bila dibandingkan dengan tenaga kesehatan lain. Kekurang pekaan masyarakat dan pemerintah akan pentingnya peran apoteker dapat kita sadari karena memang arah pembangunan kesehatan masih mangacu pada satu pilar.

Penyusunan materi uji kompetensi yang seharusnya disusun oleh ISFI tidak bisa didasarkan pada satu atau dua apoteker yang ada tetapi kita harus melibatkan semua praktisi aktif, semua PT farmasi dan pemerintah. Disini seharusnya pemerintah juga menyadari bila perkembangan Iptek pendukung profesi yang sangat pesat memerlukan standarisasi dengan uji kompetensi yang mana dalam menyusun uji kompetensinya diserahkan kepada organisasi profesi itu sendiri. Dan sudah sewajarnya bila pemerintah menyerahkan pekerjaan professional kembali kepada professional itu sendiri, dan pemerintah harus mempercayai profesional sebagai profesional.

Uji kompetensi sudah sewajarnya diberlakukan, tetapi uji kompetensi harus dapat mencerminkan kompetensi itu sendiri. Dan yang dapat menyusun kompetensi yang bebasis profesi adalah profesi itu sendiri. Bukan pemerintah atau profesi lain.

Kamis, 12 Februari 2009

UJI KOMPETENSI BERBASIS LOKASI

UJI KOMPETENSI BERBASIS LOKASI


Saat ini kebanyakan apoteker yang menjadi pengelola apotek sudah mengikuti PUKA sebagai pengganti uji kompetensi yang rencananya mulai akan diterapkan diawal tahun ini. Tetapi banyak pertanyaan tentang PUKA yang dipakai sebagai tolok ukur kompetensi dari para apoteker ini. Apakah benar, apoteker yang sudah memdapatkan sertifikat uji kompetensi sudah kompeten? Bila hal ini kita mintakan tanggapan kepada semua sejawat apoteker, maka jawabannya akan beragam.

Menjadi suatu yang wajar, bila kita menanggapi beragam mengenai PUKA dan uji kompetensi. Bagaimanapun juga uji kompetensi adalah suatu langkah maju dari ISFI dalam kepeduliaanya mengembangkan profesi anggotanya untuk menjadi profesi yang lebih berbasis layanan dan profesinal yang rasional. Sehingga kita sebagai anggota ISFI diharapkan dapat mendukung uji kompetensi, mesti bentuk dukungan dari kita berbeda-beda. Semua dukungan tentu saja akan kita sesuai dengan peran kita masing-masing sebagai anggota. Dan diantara bentuk dukungan yang berdeda beda tersebut akan bertemu pada satu titik yang mana merupakan tujuan bersama kita, yaitu memajukan profesi, meningkakan kesejahteraan anggota, mendukung pemerintah dalam pembangunan kesehatan bangsa dan lain sebagainya.

Dari uraian tersebut, maka bila ada tanggapan yang berbeda tentang PUKA dan uji kompetensi adalah hal yang wajar. Dan penyelesaian dari perbedaan tersebut adalah kebersamaan dalam tujuan yang didasarkan pada ilmu pengetahuan. Karena dasar dari profesioal salah satunya adalah pengetahuan, maka tidak salah bila dalam UJI, ISFI menggandeng perguruan tinggi. Dan kedepan ISFI tidak boleh melepas perguruan tinggi dalam mengembangkan profesi. Karena bagaimanapun juga peran perguruan tinggi farmasi dalam megembangkan profesi apoteker baik pada saat lampau, saat ini dan saat yang akan datang adalah sangat besar.

Kedepannya dalam peran ISFI dalam mengembangkan profesi harus lebih baik lagi, karena uji kompetensi sudah menjadi keharusan dan kewajiban bagi anggota yang ingin berpraktek profesi. Bila dalam PUKA lebih berbasis perguruan tinggi, kedepan dalam uji kompetensi ISFI harus lebih mengutamakan berbasis lokasi. Bagaimanakah uji kompetensi yan berbasis lokasi?

Uji kompetensi yang berbasis lokasi adalah uji kompetensi yang materinya lebih mempertimbangkan lokasi dimana keberadaan apoteker menjalankan praktek disamping materi standar minimal yang harus dikuasai. Mengingat pengetahuan dasar dari seorang apoteker tetap harus dikuasai dan pendalaman sebagai profesi dimana apoteker bekerja juga harus dikuasai. Memang penggodogannya mungkin tetap dilakukan di pergururan tinggi, tetapi dasar pengembangannya adalah pekerjaan profesi yang sudah dilakukan dilapangan. Dengan mengembangkan uji kompetensi yang berbasis lokasi, menurut saya akan lebih mengakomodasi kepentingan semua pihak yang terlibat dalam praktek profesi kefarmasian.

Bila dalam PUKA sertifikat boleh digunakan dimana saja apoteker bekerja, maka dengan uji kompetens yang berbasis lokasi mungkin sertifikat tidak bisa digunakan dimana saja. Yang mana kompetensi industri bisa jadi beda dengan kompetensi apotek dan mungkin juga beda dengan kompetensi rumah sakit. Oleh karena itu ada baiknya bila ISFI dalam membuat standar kompetensi dengan mempertimbangkan kebutuhan anggota agar uji kompetensi lebih dapat mencerminkan akan kompetensi apoteker.