SEPERTI DOKTER
Dalam pengelolaan apotek yang menerapkan TATAP, apotek saya sering kali di datangi oleh masyarakat yang sebenarnya hanya ingin berkonsultasi saja. Seperti pagi ini, ada pelanggan yang membeli obat sambil bertanya beberapa hal mengenai kesehatan yang dialaminya.
Dari dialog ada hal yang menurut saya cukup layak untuk dimuat di blog ini.
Pasien, "Pak, Bapak yang pakai kaca mata kemarin itu siapa?"
Saya, "Itu teman apoteker yang sering membantu saya bila saya berhalangan hadir."
Pasien, "Patesan pinter, ternyata apoteker. Informasi yang diberikan sama dengan dokter."
dst...
Didalam dialog ini, bukannya kita ingin menggantikan peran dokter, tetapi kita bisa saling melengkapi dalam memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat. Masyarakat sering kali kurang paham dalam penggunaan obat atau yang lain yang terkait farmasi dan kesehatan secara umum, meskipun sudah berkonsultasi dengan dokter. Sering kali juga masyarakan hanya sekedar mencari opini pembanding.
Permintaan konsultasi yang hanya sekedar opini pembanding setiap hari selalu ada. seperti kemarin. Ada keluarga jauh yang hanya sekedar mampir untuk bertanya mengenai masalah gagal ginjal yang dialami oleh istrinya. Istrinya saat ini sedang menjalani rawat inap dan sudah berkonsultasi dengan dokter, tetapi tetap menginginkan opini sekunder dari saya. dan selanjutnya bukannya kita terus menjadi pengobat gagal ginjal, tetapi kita akan memberikan informasi dan anjuran agar pasien dapat mengambil keputusan dengan benar terkait pengobatan penyakitnya, juga harapan kita semua pasien akhirnya lebih patuh untuk secara rutin berobat kepada dokter agar penyakitnya dapat ditangani dengan benar oleh ahlinya (dokter).
Disini peran apoteker adalah mengembalikan pasien keapada dokternya. Oleh karena itu sangat penting apoteker juga menguasai tentang ilmu penyakit, agar dalam memberikan informasi tidak salah. selanjutnya pasien akan diuntungkan karena mendapat informasi yang akurat. Bagi tenaga kesehatan lain seperti dokter tentu saja peran kita akan sangat membantu, karena informasi yang kita berikan dapat saling menguatkan dan pasien akan semakin yakin dengan dokter.
Sebenarnya bukan hal baru, bila apoteker mampu memberikan informasi seperti dokter seperti senior-senior kita yang telah lebih dulu berpraktek profesi.
Rabu, 08 April 2009
KEHILANGAN MUT
KEHILANGAN MUT
Beberapa minggu ini aku tidak menulis di blog ini, bukannya aku kehilangan ide, tetapi lagi kehilangan mut untuk menulis.
Aku biasa menulis disela-sela waktu dalam menjalankan pekerjaan di apotek atau sesaat setelah pulang dari apotek. Saat apotek banyak pekerjaan sering kali mut itu hilang dan selera mengungkapkan ide-ide seakan tidak ada sama sekali. Mungkin aku membutuhkan vitamin penambah selera menulis.
Semoga pengunjung setia blog ini tidak kecewa, toh aku juga manusia biasa yang terkadang juga kehilangan ide-ide.
Dan jangan lupa besok kita gunakan suara kita dengan baik. Semoga pemilu besok sukses dan menjadi pemilu yang damai
Beberapa minggu ini aku tidak menulis di blog ini, bukannya aku kehilangan ide, tetapi lagi kehilangan mut untuk menulis.
Aku biasa menulis disela-sela waktu dalam menjalankan pekerjaan di apotek atau sesaat setelah pulang dari apotek. Saat apotek banyak pekerjaan sering kali mut itu hilang dan selera mengungkapkan ide-ide seakan tidak ada sama sekali. Mungkin aku membutuhkan vitamin penambah selera menulis.
Semoga pengunjung setia blog ini tidak kecewa, toh aku juga manusia biasa yang terkadang juga kehilangan ide-ide.
Dan jangan lupa besok kita gunakan suara kita dengan baik. Semoga pemilu besok sukses dan menjadi pemilu yang damai
Jumat, 20 Maret 2009
DEXTROMETHORPHAN
Seperti kita ketahui banyak penyalahgunaan pemakaian obat bebas terbatas golongan penekan batuk ini dikalangan anak-anak remaja….
Mungkin di apotek teman sejawat pernah/sering didatangi seorang mengaku pasien membeli obat Dextromethorpan tab …
Bagaimana kita menyikapinya sebagai apoteker/tenaga kesehatan?
Apa yang perlu kita informasikan kepada pasien tersebut ?
Apa konsekuensinya terhadap hukum di Negara kita ?
Ada yang punya pengalaman atau dapat memberi saran ???
Mungkin di apotek teman sejawat pernah/sering didatangi seorang mengaku pasien membeli obat Dextromethorpan tab …
Bagaimana kita menyikapinya sebagai apoteker/tenaga kesehatan?
Apa yang perlu kita informasikan kepada pasien tersebut ?
Apa konsekuensinya terhadap hukum di Negara kita ?
Ada yang punya pengalaman atau dapat memberi saran ???
OBAT PUYER ADALAH SOLUSI
OBAT PUYER ADALAH SOLUSI
Beberapa waktu yang lalu obat puyer sempat menjadi perbincangan yang menarik, karena bahaya obat puyer sedang berusaha dikupas.
Menurut saya, bahaya obat tidak hanya pada bentuk sediaan puyer, tetapi terjadi juga pada semua bentuk sediaan obat, oleh karena itu obat secara umum harus dikelola secara profesional demi keselamatan masyarakat banyak.
Mengapa puyer menjadi solusi ? Seperti kita ketahui, dalam penyediaan dosis untuk anak-anak, seringkali dosis disesuaikan dengan berat badan. Oleh karena itu bentuk sediaan puyer menjadi salah satu solusi dalam dunia pengobatan. Perkara bahaya tentu ada tindakan profesi yang seharusnya diambil agar bahaya pemakaian bentuk sediaan puyer dapat ditekan. Dan anehnya dalam memperbincangkan bahaya sediaan puyer umumnya adalah dokter dan apoteker sangatlah jarang. Apakah dalam kasus ini apoteker dianggap kurang peduli terhadap masyarakat sekitarnya ? atau mungkin karena apoteker masih ada yang tidak pernah nongol diapotek sama sekali sehingga masyarakat lebih percaya kepada dokter ?
Secara kompetensi seharusnya apotekerlah yang paling berhak membicarakan masalah bentuk sediaan puyer. Karena dari semua tenaga kesehatan yang ada, hanya apoekerlah yang mempelajari sifat kimia fisik bahan obat. Tetapi kenyataannya tidak hanya apoteker yang mebicarakan masalah bahaya sediaan puyer, sehingga terjadi kekawatiran berlebih dari sebagian masyarakat. Puyer yang seharusnya menjadi salah satu solusi dalam ilmu pengobatan yang seharusnya malah menentramkan masyarakat, justru menjadi sesuatu yang sangat menakutkan karena dibahas dengan cara yang salah. Dan selanjutnya pembicaraan puyer bisa jadi akan lebih sangat membahayakan bila pemahaman dari masyarakat terhadap bentuk sediaan puyer ini semakin salah.
Dari bahasan bahaya sediaan puyer yang saya tangkap, banyak hal-hal yang seharusnya bukan permasalahan formulasi sediaan puyer, tetapi bentuk sediaan puyerlah yang menjadi kambing hitam. Sebagai contoh masalah polifarmasi. Polifarmasi bisa saja terjadi pada peresepan dengan obat dengan bentuk sediaan apapun juga, karena polifarmasi adalah ketrampilan dari dokter dalam terapi yang diwujudkan dalam bentuk resep. Bila ketrampilan dokter dalam mengambil keputusan profesinya lebih mengarah pada poli farmasi, meskipun mereka memberikan resep dalam bentuk sediaan bukan puyerpun sering kali poli farmasi juga terjadi. Disini jelas-jelas bahwa poli farmasi bukan salahnya bentuk sediaan puyer, tetapi masalah ketrampilan dan kemampuan dokter dalam pengobatan.
Bila kita menginginkan polifarmasi tidak terjadi, maka solusinya adalah dengan meningkatkan ketrampian dokter. Bila ketrampilan dokter cukup dalam menghindari polifarmasi maka tidak akan ada polifarmasi dalam sediaan puyer, Kecuali apoteker diberi kewenangan sampai merubah obat atau mengurangi obat. Atau juga suatu semisal dokter hanya menulis diagnosa saja, maka apoteker bisa mengatasi masalah polifarmasi dalam puyer. Disini kelihatan bahwa masalah polifarmasi dinegara kita bukan masalah kefarmasian khususnya bentuk sediaan, tetapi masalah ketrampilan dokter dalam mengambil keputusan. Dan selanjutnya kontroversi masalah bentuk sediaan puyer terkait polifarmasi seharusnya tidak perlu terjadi apalagi sampai pada pelarangan bentuk sediaan puyer.
Pada kaitan puyer dengan masalah kaidah kefarmasian seperti : stabilitas bahan obat, kebersihan ruangan, kebersihan alat, interaksi obat dsb, memang masalah kefarmasian yang seharusnya memang menjadi bagian dalam kegiatan apoteker di apotek. Yang menjadi permasalahan disini adalah tidak hanya apoteker yang melakukan kegiatan pembuatan sediaan puyer ini. Dan secara umum bahasan yang terkait puyer ini juga termasuk kegiatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan lain bukan apoteker.
Seperti pada kasus mortir yang tidak dicuci. Disini sangat jelas bila masalah ini adalah terkait dengan kaidah kefarmasian. Bila puyer dilakukan diapotek sangat dimungkinkan bila setiap habis dipakai untuk membuat sediaan puyer mortir selalu dicuci seperti pada apotek saya, tetapi bagaimana bila pada praktek dokter dan bidan desa atau polindes yang tempat cucinya mungkin tidak menjadi satu dengan ruangan racik yang umumnya juga menjadi satu dengan ruang praktek ? Bila ada kasus seperti ini seharusnya juga menjadi tanggung jawab dari dinas kesehatan sebagai pembina dan pemberi ijin praktek. Seharusnya pada masalah ini dinas kesehatan yang mengambil alih dan menjamin akan melakukan pembinaan sehingga akan terjamin suatu produk layanan kesehatan yang sesuai standart layanan. Dan mungkin yang menjadi masalah pada dinas kesehatan adalah kekurangan jumlah apoteker sebagai pembina yang berkompeten terhadap masalah kefarmasian.
Stabilitas obat. sering kali juga terjadi obat yang tidak stabil juga diinginkan digerus oleh dokter dalam resepnya. Saya terkadang harus menolak dengan persetujuan pasien karena alasan obat kurang rasional untuk digerus. Disini seharusnya dokter tunduk pada aturan kefarmasian, bila apoteker secara keilmu kefarmasian menyatakan obat tidak stabil, maka keputusan profesi ada ditangan apoteker.
Pada kasus yang lain yang terkait kefarmasian seharusnya dokter sebagai penulis resep juga tunduk pada aturan kefarmasian, karena apoteker memang mempunyai kompetensi untuk itu. Disinilah pentingnya untuk saling menghargai diantara para profesi kesehatan demi meningkatkan derajat kesehatan bangsa.
Dari uraian saya ini sebaiknya kita sebagai tenaga kesehatan yang diakui oleh pemerintah seharusnya bekerja sama dalam membangun bangsa tanpa mementingkan kelompok kita sendiri, tetapi kia harus lebih mementingkan kepetingan dari masyarakat. Seperti pada kasus sediaan puyer ini, seharusya puyer menjadi bagian dari solusi bagi pengembangan kesehatan di negara kita. Yang tidak harus dihilangkan, tetapi justru harus dikembangkan dengan arah pengembangan yang lebih rasional. Demikian juga pada kasus dispensing obat oleh dokter dan tenaga kesehatan lain seharusnya mereka dengan rendah hati mau menyadari bila memproduksi puyer atau obat yang lain mempunyai masalah yang sangat rumit yang seharusnya dilakukan atas suatu kompetensi yang dapat dipertanggung jawabkan.
Bukannya kita tidak suka dokter melakukan dispensing, tetapi memproduksi obat atau mencampur obat bukanlah kompetensi dari dokter. Hal yang sangat baik bagi perkembangan keilmuan dan pembangunan kesehatan bangsa bila kita saling menghargai antar profesi kesehatan. Bagaimanapun juga meracik obat puyer merupakan salah satu proses produksi obat yang kompetensinya melekat pada apoteker dan yang boleh meracik obat seharusnya hanya apoteker. Dan selanjutnya bila puyer yang ada diapotek saja masih dianggap ada masalah, bagaimana dengan yang ada diluar apotek yang tidak didasari dengan kompetensi ?
Sudah seharusnya bagi kita untuk melihat kedalam diri kita masing-masing, apakah puyer masih boleh diproduksi atau tidak. Dan seandainya boleh, sudah seharusnya pula kita memikirkan dan menentukan siapa saja yang boleh dan mempunyai kompetensi untuk membuat sediaan puyer. Agar puyer tetap bisa menjadi salah satu alternati dalam mencari solusi dalam pengobatan.
Beberapa waktu yang lalu obat puyer sempat menjadi perbincangan yang menarik, karena bahaya obat puyer sedang berusaha dikupas.
Menurut saya, bahaya obat tidak hanya pada bentuk sediaan puyer, tetapi terjadi juga pada semua bentuk sediaan obat, oleh karena itu obat secara umum harus dikelola secara profesional demi keselamatan masyarakat banyak.
Mengapa puyer menjadi solusi ? Seperti kita ketahui, dalam penyediaan dosis untuk anak-anak, seringkali dosis disesuaikan dengan berat badan. Oleh karena itu bentuk sediaan puyer menjadi salah satu solusi dalam dunia pengobatan. Perkara bahaya tentu ada tindakan profesi yang seharusnya diambil agar bahaya pemakaian bentuk sediaan puyer dapat ditekan. Dan anehnya dalam memperbincangkan bahaya sediaan puyer umumnya adalah dokter dan apoteker sangatlah jarang. Apakah dalam kasus ini apoteker dianggap kurang peduli terhadap masyarakat sekitarnya ? atau mungkin karena apoteker masih ada yang tidak pernah nongol diapotek sama sekali sehingga masyarakat lebih percaya kepada dokter ?
Secara kompetensi seharusnya apotekerlah yang paling berhak membicarakan masalah bentuk sediaan puyer. Karena dari semua tenaga kesehatan yang ada, hanya apoekerlah yang mempelajari sifat kimia fisik bahan obat. Tetapi kenyataannya tidak hanya apoteker yang mebicarakan masalah bahaya sediaan puyer, sehingga terjadi kekawatiran berlebih dari sebagian masyarakat. Puyer yang seharusnya menjadi salah satu solusi dalam ilmu pengobatan yang seharusnya malah menentramkan masyarakat, justru menjadi sesuatu yang sangat menakutkan karena dibahas dengan cara yang salah. Dan selanjutnya pembicaraan puyer bisa jadi akan lebih sangat membahayakan bila pemahaman dari masyarakat terhadap bentuk sediaan puyer ini semakin salah.
Dari bahasan bahaya sediaan puyer yang saya tangkap, banyak hal-hal yang seharusnya bukan permasalahan formulasi sediaan puyer, tetapi bentuk sediaan puyerlah yang menjadi kambing hitam. Sebagai contoh masalah polifarmasi. Polifarmasi bisa saja terjadi pada peresepan dengan obat dengan bentuk sediaan apapun juga, karena polifarmasi adalah ketrampilan dari dokter dalam terapi yang diwujudkan dalam bentuk resep. Bila ketrampilan dokter dalam mengambil keputusan profesinya lebih mengarah pada poli farmasi, meskipun mereka memberikan resep dalam bentuk sediaan bukan puyerpun sering kali poli farmasi juga terjadi. Disini jelas-jelas bahwa poli farmasi bukan salahnya bentuk sediaan puyer, tetapi masalah ketrampilan dan kemampuan dokter dalam pengobatan.
Bila kita menginginkan polifarmasi tidak terjadi, maka solusinya adalah dengan meningkatkan ketrampian dokter. Bila ketrampilan dokter cukup dalam menghindari polifarmasi maka tidak akan ada polifarmasi dalam sediaan puyer, Kecuali apoteker diberi kewenangan sampai merubah obat atau mengurangi obat. Atau juga suatu semisal dokter hanya menulis diagnosa saja, maka apoteker bisa mengatasi masalah polifarmasi dalam puyer. Disini kelihatan bahwa masalah polifarmasi dinegara kita bukan masalah kefarmasian khususnya bentuk sediaan, tetapi masalah ketrampilan dokter dalam mengambil keputusan. Dan selanjutnya kontroversi masalah bentuk sediaan puyer terkait polifarmasi seharusnya tidak perlu terjadi apalagi sampai pada pelarangan bentuk sediaan puyer.
Pada kaitan puyer dengan masalah kaidah kefarmasian seperti : stabilitas bahan obat, kebersihan ruangan, kebersihan alat, interaksi obat dsb, memang masalah kefarmasian yang seharusnya memang menjadi bagian dalam kegiatan apoteker di apotek. Yang menjadi permasalahan disini adalah tidak hanya apoteker yang melakukan kegiatan pembuatan sediaan puyer ini. Dan secara umum bahasan yang terkait puyer ini juga termasuk kegiatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan lain bukan apoteker.
Seperti pada kasus mortir yang tidak dicuci. Disini sangat jelas bila masalah ini adalah terkait dengan kaidah kefarmasian. Bila puyer dilakukan diapotek sangat dimungkinkan bila setiap habis dipakai untuk membuat sediaan puyer mortir selalu dicuci seperti pada apotek saya, tetapi bagaimana bila pada praktek dokter dan bidan desa atau polindes yang tempat cucinya mungkin tidak menjadi satu dengan ruangan racik yang umumnya juga menjadi satu dengan ruang praktek ? Bila ada kasus seperti ini seharusnya juga menjadi tanggung jawab dari dinas kesehatan sebagai pembina dan pemberi ijin praktek. Seharusnya pada masalah ini dinas kesehatan yang mengambil alih dan menjamin akan melakukan pembinaan sehingga akan terjamin suatu produk layanan kesehatan yang sesuai standart layanan. Dan mungkin yang menjadi masalah pada dinas kesehatan adalah kekurangan jumlah apoteker sebagai pembina yang berkompeten terhadap masalah kefarmasian.
Stabilitas obat. sering kali juga terjadi obat yang tidak stabil juga diinginkan digerus oleh dokter dalam resepnya. Saya terkadang harus menolak dengan persetujuan pasien karena alasan obat kurang rasional untuk digerus. Disini seharusnya dokter tunduk pada aturan kefarmasian, bila apoteker secara keilmu kefarmasian menyatakan obat tidak stabil, maka keputusan profesi ada ditangan apoteker.
Pada kasus yang lain yang terkait kefarmasian seharusnya dokter sebagai penulis resep juga tunduk pada aturan kefarmasian, karena apoteker memang mempunyai kompetensi untuk itu. Disinilah pentingnya untuk saling menghargai diantara para profesi kesehatan demi meningkatkan derajat kesehatan bangsa.
Dari uraian saya ini sebaiknya kita sebagai tenaga kesehatan yang diakui oleh pemerintah seharusnya bekerja sama dalam membangun bangsa tanpa mementingkan kelompok kita sendiri, tetapi kia harus lebih mementingkan kepetingan dari masyarakat. Seperti pada kasus sediaan puyer ini, seharusya puyer menjadi bagian dari solusi bagi pengembangan kesehatan di negara kita. Yang tidak harus dihilangkan, tetapi justru harus dikembangkan dengan arah pengembangan yang lebih rasional. Demikian juga pada kasus dispensing obat oleh dokter dan tenaga kesehatan lain seharusnya mereka dengan rendah hati mau menyadari bila memproduksi puyer atau obat yang lain mempunyai masalah yang sangat rumit yang seharusnya dilakukan atas suatu kompetensi yang dapat dipertanggung jawabkan.
Bukannya kita tidak suka dokter melakukan dispensing, tetapi memproduksi obat atau mencampur obat bukanlah kompetensi dari dokter. Hal yang sangat baik bagi perkembangan keilmuan dan pembangunan kesehatan bangsa bila kita saling menghargai antar profesi kesehatan. Bagaimanapun juga meracik obat puyer merupakan salah satu proses produksi obat yang kompetensinya melekat pada apoteker dan yang boleh meracik obat seharusnya hanya apoteker. Dan selanjutnya bila puyer yang ada diapotek saja masih dianggap ada masalah, bagaimana dengan yang ada diluar apotek yang tidak didasari dengan kompetensi ?
Sudah seharusnya bagi kita untuk melihat kedalam diri kita masing-masing, apakah puyer masih boleh diproduksi atau tidak. Dan seandainya boleh, sudah seharusnya pula kita memikirkan dan menentukan siapa saja yang boleh dan mempunyai kompetensi untuk membuat sediaan puyer. Agar puyer tetap bisa menjadi salah satu alternati dalam mencari solusi dalam pengobatan.
Selasa, 10 Maret 2009
OBAT SAMPAH
OBAT SAMPAH
Beberapa waktu yang lalu diberitakan dimedia masa, "polisi menagkap pengedar obat sampah". Obat sampah adalah obat yang sudah dibuang dan sudah sampai TPA sampah, kemudian dikumpulkan oleh para pemulung yang selanjutnya dibersihkan dan diedarkan kembali kepasaran.
Peredaran obat sampah, secara umum tidak lepas dari rendahnya tingkat kesadaran masyarakat akan kesehatan. Juga karena arah pembangunan kesehatan yang hanya lebih mengarah pada satu pilar saja, yaitu pilar ilmu penyakit. Padahal dalam pembangunan kesehatan pemahaman akan penyakit oleh masyarakat tidak berdiri sendiri. Dan usaha pencegahan perkembangan penyakit masih hanya pada penyakit yang disebabkan oleh penyakit itu sendiri, sedangkan perkembangan penyakit yang disebabkan oleh pengunaan obat kurang diperhatikan.
Karena prekuentif dalam masalah kesehatan juga termasuk menghindarkan masyarakat akan bahaya obat. Seperti kita ketahui bahaya akan obat tidak hanya saja dikarenakan oleh penggunaan obat secara langsung tetapi terkait juga dengan cara membuang obat. Bila masyarakat membuang obat secara sembarang, maka bisa jadi peredaran obat sampah ini akan sangat membahayakan masyarakat lain. Mungkin tidak ada gunanya polisi menangkap pengedar obat sampah, bila para pemulung masih bisa mendapatkan obat dari TPA sampah dalam jumlah yang relatif besar.
Bila ingin memutus matarantai peredaran obat sampah yang paling sederhana adalah dengan meningkatkan kesadaran masyarakat akan kesehatan secara menyeluruh. Salah satu yang bisa kita tempuh adalah dengan menggalakan Gerakan Keluarga Sadar Obat, yang beberapa waktu yang lalu dicanangkan sebagai program ISFI jawa timur. Dengan slogannya DAGUSIBU, Dapatkan, Gunakan, Simpan dan Buang obat dengan benar. Memang belum semua apotek mengikuti gerakan ini, tetapi gerakan ini akan baik bila diterapkan secara nasional.
Kelemahan kita dalam mengembangka keilmuan farmasi secara umum juga mengacu pada beberapa pilar saja, semisal Produksi, farmakoterapi, pengembangan obat baru dsb, tetapi aspek sosial apotek seringkali kita kurang memperhatikan. Mungkin sebagian kita masih menganggap bila kita menguasai tehnologi farmasi kita akan mejadi apoteker yang hebat. Sedangkan masalah sosial tidak begitu diperhatikan sehingga dalam pengambangan profesi sering kali kita berjalan pincang.
Seharusnya kita bisa mencegah peredaran obat sampah ini bila dalam pengembangan profesi kesehatan khususnya apoteker juga mempelajari perilaku masyarakat sehat. Sehingga beberapa hal yang seharusnya kita cegah dapat kita cegah. Seperti pada kasus peredaran obat sampah ini, seharusnya dapat kita cegah sejak awal. Untuk lebih lanjut, beberapa hal dibawah ini mungkin bisa digunakan sebagai pertimbangan dalam mencegah peredaran obat sampah :
1. Mengajak masyarakat agar memperlakukan obat sebagai mana mestinya, dengan menjadikan setiap masyarakat sebagai kader obat. Yang mana kedepannya diharapkan setiap anggota masyarakat bisa menjadi kader keluarga sadar obat yang paham akan slogan DAGUSIBU.
2. Mengajak kepada masyarakat agar menjadikan apotek sebagai tempat mencari informasi kesehatan umum dan kesehatan farmasi.
3. Mengajak kepada masyarakat agar menggunakan obat secara tepat dan meningkatkan kepatuhan minum obat. Ketidak tepatan penggunaan obat dan ketidak patuhan minum obat sering kali bisa menjadikan obat sisa (obat sisa penggunaan yang akhirnya terbuang percuma), sehingga bila pada saat kunjungan dokter berikutnya dan ternyata obat diganti atau merek diganti obat yang lama akan dibuang sebagai obat sisa.
4. Mewajibkan apoteker dan tenaga kesehatan lain yang melakukan dispensing obat seperti dokter di daerah pelosok agar melakukan edukasi dengan cukup. Bila apoteker dan dokter hanya melakukan penjualan obat saja tanpa edukasi yang memadai dalam pelepasan obat, maka potensi obat sisa bisa saja meningkat.
5. Jangan melepaskan obat kepada masyarakat dengan jumlah berlebihan. Bila memang dibutuhkan obat dalam jumlah yang relatif besar dalam pengobatan, sebaiknya disertai edukasi termasuk edukasi cara pembuangan obat bila terjadi obat sisa.
6. Mengikutkan semua anggota masyarakat kepada asuransi kesehatan. Bila semua anggota masyarakat diikutkan asuransi kesehatan, maka kedepan masyarakat hanya membutuhkan obat atas dasar resep dan peredaran obat sampah akan dapat sagat ditekan.
Mungkin masih banyak hal-hal lain yang dapat dilakukan untuk menekan jumlah peredaran obat sampah. Dan menurut saya mengikut sertakan seluruh anggota masyarakat akan asuransi kesehatan dengan biaya yang ditanggung pemerintah adalah sangat baik untuk mengatasi banyak hal masalah kesehatan yang dihadapi oleh masyarakat kita.
Dan kesimpulan saya, beredarnya obat sampah adalah tangungn jawab kita bersama yang seharusnya kita selesikan secara bersama-sama. Masyarakatpun ikut bertanggung jawab untuk mengamankan peredaran obat sampah ini. Peran serta masyarakat dibutuhkan dalam menekan peredaran obat sampah ini mulai dari Cara mendapatkan obat sampai cara membuang obat bila terjadi obat sisa. Dan peran serta tenaga kesehatan adalah memberikan edukasi. Dengan saling mengisi dan bekerja sama dalam megatasi permasalahan kesehatan, semoga kedepan tidak ada lagi obat sampah yang beredar di masyarakat.
Beberapa waktu yang lalu diberitakan dimedia masa, "polisi menagkap pengedar obat sampah". Obat sampah adalah obat yang sudah dibuang dan sudah sampai TPA sampah, kemudian dikumpulkan oleh para pemulung yang selanjutnya dibersihkan dan diedarkan kembali kepasaran.
Peredaran obat sampah, secara umum tidak lepas dari rendahnya tingkat kesadaran masyarakat akan kesehatan. Juga karena arah pembangunan kesehatan yang hanya lebih mengarah pada satu pilar saja, yaitu pilar ilmu penyakit. Padahal dalam pembangunan kesehatan pemahaman akan penyakit oleh masyarakat tidak berdiri sendiri. Dan usaha pencegahan perkembangan penyakit masih hanya pada penyakit yang disebabkan oleh penyakit itu sendiri, sedangkan perkembangan penyakit yang disebabkan oleh pengunaan obat kurang diperhatikan.
Karena prekuentif dalam masalah kesehatan juga termasuk menghindarkan masyarakat akan bahaya obat. Seperti kita ketahui bahaya akan obat tidak hanya saja dikarenakan oleh penggunaan obat secara langsung tetapi terkait juga dengan cara membuang obat. Bila masyarakat membuang obat secara sembarang, maka bisa jadi peredaran obat sampah ini akan sangat membahayakan masyarakat lain. Mungkin tidak ada gunanya polisi menangkap pengedar obat sampah, bila para pemulung masih bisa mendapatkan obat dari TPA sampah dalam jumlah yang relatif besar.
Bila ingin memutus matarantai peredaran obat sampah yang paling sederhana adalah dengan meningkatkan kesadaran masyarakat akan kesehatan secara menyeluruh. Salah satu yang bisa kita tempuh adalah dengan menggalakan Gerakan Keluarga Sadar Obat, yang beberapa waktu yang lalu dicanangkan sebagai program ISFI jawa timur. Dengan slogannya DAGUSIBU, Dapatkan, Gunakan, Simpan dan Buang obat dengan benar. Memang belum semua apotek mengikuti gerakan ini, tetapi gerakan ini akan baik bila diterapkan secara nasional.
Kelemahan kita dalam mengembangka keilmuan farmasi secara umum juga mengacu pada beberapa pilar saja, semisal Produksi, farmakoterapi, pengembangan obat baru dsb, tetapi aspek sosial apotek seringkali kita kurang memperhatikan. Mungkin sebagian kita masih menganggap bila kita menguasai tehnologi farmasi kita akan mejadi apoteker yang hebat. Sedangkan masalah sosial tidak begitu diperhatikan sehingga dalam pengambangan profesi sering kali kita berjalan pincang.
Seharusnya kita bisa mencegah peredaran obat sampah ini bila dalam pengembangan profesi kesehatan khususnya apoteker juga mempelajari perilaku masyarakat sehat. Sehingga beberapa hal yang seharusnya kita cegah dapat kita cegah. Seperti pada kasus peredaran obat sampah ini, seharusnya dapat kita cegah sejak awal. Untuk lebih lanjut, beberapa hal dibawah ini mungkin bisa digunakan sebagai pertimbangan dalam mencegah peredaran obat sampah :
1. Mengajak masyarakat agar memperlakukan obat sebagai mana mestinya, dengan menjadikan setiap masyarakat sebagai kader obat. Yang mana kedepannya diharapkan setiap anggota masyarakat bisa menjadi kader keluarga sadar obat yang paham akan slogan DAGUSIBU.
2. Mengajak kepada masyarakat agar menjadikan apotek sebagai tempat mencari informasi kesehatan umum dan kesehatan farmasi.
3. Mengajak kepada masyarakat agar menggunakan obat secara tepat dan meningkatkan kepatuhan minum obat. Ketidak tepatan penggunaan obat dan ketidak patuhan minum obat sering kali bisa menjadikan obat sisa (obat sisa penggunaan yang akhirnya terbuang percuma), sehingga bila pada saat kunjungan dokter berikutnya dan ternyata obat diganti atau merek diganti obat yang lama akan dibuang sebagai obat sisa.
4. Mewajibkan apoteker dan tenaga kesehatan lain yang melakukan dispensing obat seperti dokter di daerah pelosok agar melakukan edukasi dengan cukup. Bila apoteker dan dokter hanya melakukan penjualan obat saja tanpa edukasi yang memadai dalam pelepasan obat, maka potensi obat sisa bisa saja meningkat.
5. Jangan melepaskan obat kepada masyarakat dengan jumlah berlebihan. Bila memang dibutuhkan obat dalam jumlah yang relatif besar dalam pengobatan, sebaiknya disertai edukasi termasuk edukasi cara pembuangan obat bila terjadi obat sisa.
6. Mengikutkan semua anggota masyarakat kepada asuransi kesehatan. Bila semua anggota masyarakat diikutkan asuransi kesehatan, maka kedepan masyarakat hanya membutuhkan obat atas dasar resep dan peredaran obat sampah akan dapat sagat ditekan.
Mungkin masih banyak hal-hal lain yang dapat dilakukan untuk menekan jumlah peredaran obat sampah. Dan menurut saya mengikut sertakan seluruh anggota masyarakat akan asuransi kesehatan dengan biaya yang ditanggung pemerintah adalah sangat baik untuk mengatasi banyak hal masalah kesehatan yang dihadapi oleh masyarakat kita.
Dan kesimpulan saya, beredarnya obat sampah adalah tangungn jawab kita bersama yang seharusnya kita selesikan secara bersama-sama. Masyarakatpun ikut bertanggung jawab untuk mengamankan peredaran obat sampah ini. Peran serta masyarakat dibutuhkan dalam menekan peredaran obat sampah ini mulai dari Cara mendapatkan obat sampai cara membuang obat bila terjadi obat sisa. Dan peran serta tenaga kesehatan adalah memberikan edukasi. Dengan saling mengisi dan bekerja sama dalam megatasi permasalahan kesehatan, semoga kedepan tidak ada lagi obat sampah yang beredar di masyarakat.
Selasa, 17 Februari 2009
OBAT PUYER BERBAHAYA ?
OBAT PUYER BERBAHAYA ?
Bila kita membicarakan masalah bahaya obat, tidak hanya obat dalam bentuk sediaan puyer yang berbahaya. Terutama bila tidak diserahkan dengan benar.
Dalam sediaan puyer yang diresepkan oleh dokter sering kali terjadi polifarmasi, begitu pula pada peresepan non puyer, polifarmasi juga sering kali terjadi. Dan kenyataannya polifarmasi seringkali terjadi pada banyak pola peresepan dokter. Dan menurut saya tidak seharusnya puyer dilarang hanya karena masalah polifarmasi. Karena masalah polifarmasi adalah permasalahan peresepan atau dengan kata lain adalah masalah ketrampilan dokter dalam mengambil keputusan, bukan masalah bentuk sediaan.
Benarkah puyer lebih murah ? Jawabannya tentu saja belum tentu. Banyak hal yang mempengaruhi harga obat. Bagaimanapun juga puyer dibuat dalam skala kecil, sehingga secara umum biaya produksi akan lebih mahal bila dibandingkan dengan diproduksi oleh pabrik obat yang skala industri. Dan seandainya selalu lebih murah tidak bisa digunakan untuk pembenaran keberadaan obat puyer, pembenaran yang seharusnya dipertimbangkan adalah rasionalisasi yang didukung oleh data.
Ada yang tidak setuju dengan puyer karena dianggap tidak bersih karena tidak diproduksi didalam ruang bersih (white area). Pada skala industri obat harus diproduksi didalam ruangan bersih, karena setelah diproduksi obat tidak lekas dikemas. Beda dengan pembuatan puyer skala kecil di apotek, obat berada dalam ruangan terbuka mungkin bisa kurang dari 5 menit, sehingga kemungkinan terkontaminasi juga kecil. Dan saya rasa puyer yang diproduksi kurang dari 5 menit masih layak.
Pembagian dosis lebih mudah dari pada sirup. Pada beberapa kasus puyer lebih disuka untuk anak-anak karena penyesuaian dosisnya mudah. Pada anak-anak seringkali dosis diperhitungkan terhadap berat badan, sehingga dengan membelah obat atau membagi obat sirup dengan sendok takar dianggap dianggap kurang tepat atau kurang ideal. Oleh karena itu bentuk sediaan puyer dianggap lebih luwes terhadap dosis anak-anak. Tetapi alasan inipun belum bisa menjadikan alasan puyer sebagai bentuk sediaan yang paling ideal.
Obat bisa rusak saat penggerusan, sehingga dikawatirkan obat sudah tidak manjur atau berbahaya saat sampai pada tangan pasien. Obat yang rusak pada saat penggerusan kenapa harus di puyer ? Secara umum dokter tidak belajar tentang sifat kimia fisik obat, sehingga pada kasus ini dokter harus tunduk kepada apoteker. Bila ternyata obat tidak layak untuk dipuyer sebaiknya dipilih bentuk sediaan lain. Dokter bukan segala-galanya dalam proses pengobatan, karena masih ada tenaga kesehatan lain yang lebih kompeten pada hal-hal tertentu.
Puyer berbahaya bila mortir tidak dicuci sebelum digunakan lagi. Ya iyalah, bila mortir tidak dicuci setelah digunakan dan langsung digunakan untuk menggerus puyer lain bisa jadi akan terjadi interaksi obat.
Puyer pembagian dosisnya hanya kasat mata. Saya rasa dipabrikpun obat tidak mungkin akan ditimbang satu per satu, Tetapi hanya ditakar dan kontrolnya hanya dengan cara disampling. Dan sama saja dengan pembagian visual, bila pembagian visual ini dilakukan oleh apoteker yang berpengalaman saya rasa penyimpangannya tidak akan jauh dan masih akan ada dalam range yang masih bisa ditoleransi. Saya rasa pembagian kasat mata tidak masalah, apalagi obat yang dibagi mempunyai indek terapi yang luas. Bila sempit ya harus ditimbang satu-per satu.
Ada sejumlah obat yang hilang selama proses penggerusan dan bisa jadi akan mengurangi dosis, sehingga dosis puyer mungkin akan under dose. Bila puyer dilakukan oleh tenaga yang tidak kompeten bisa jadi dosis yang hilang akan sangat signifikan. Tetapi bila pada proses peracikan dilakukan oleh tenaga yang kompeten, tentu saja jumlah yang hilang tersebut lebih dapat terabaikan. Bagaimanapun juga pengambilan obat kembali dari mortir ada tehnik yang dikuasai oleh apoteker.
Dari uraian saya diatas, saya sangat setuju puyer masih ada, tetapi harus dilakukan oleh tenaga yang berkompeten. Dan untuk menekan hal-hal yang tidak diinginkan seharusnya pasien mulai diberi informasi bahwa obat puyer akan relatif aman bila didalam prosesnya dilakukan oleh tenaga yang profesional dan dilakukan pengawasan secara langsung oleh apoteker selama proses pembuatan puyer. Jadi sebelum menebus obat puyer sebaiknya ditanyakan dulu, tentang keberadaan apoteker di apotek. Bila apoteker ternyata tidak ada ditempat, sebaiknya tebuslah resep pada apotek lain yang apotekernya selalu ada setiap jam buka apotek.
Dan ada satu hal lagi, seharusnya tenaga kesehatan lain selain apoteker tidak boleh melakukan proses produksi obat meskipun dengan skala kecil termasuk puyer ini, demi menjaga keamanan pasien. Mengingat dokter bukan tenaga kesehatan yang berkompeten tentang sifat kimia obat dan stabilitas bahan obat maka disarankan kepada dokter untuk mengganti bentuk sediaan lain bila ada didaerah terpencil yang tidak ada apoteker praktek di apotek.
Bila kita membicarakan masalah bahaya obat, tidak hanya obat dalam bentuk sediaan puyer yang berbahaya. Terutama bila tidak diserahkan dengan benar.
Dalam sediaan puyer yang diresepkan oleh dokter sering kali terjadi polifarmasi, begitu pula pada peresepan non puyer, polifarmasi juga sering kali terjadi. Dan kenyataannya polifarmasi seringkali terjadi pada banyak pola peresepan dokter. Dan menurut saya tidak seharusnya puyer dilarang hanya karena masalah polifarmasi. Karena masalah polifarmasi adalah permasalahan peresepan atau dengan kata lain adalah masalah ketrampilan dokter dalam mengambil keputusan, bukan masalah bentuk sediaan.
Benarkah puyer lebih murah ? Jawabannya tentu saja belum tentu. Banyak hal yang mempengaruhi harga obat. Bagaimanapun juga puyer dibuat dalam skala kecil, sehingga secara umum biaya produksi akan lebih mahal bila dibandingkan dengan diproduksi oleh pabrik obat yang skala industri. Dan seandainya selalu lebih murah tidak bisa digunakan untuk pembenaran keberadaan obat puyer, pembenaran yang seharusnya dipertimbangkan adalah rasionalisasi yang didukung oleh data.
Ada yang tidak setuju dengan puyer karena dianggap tidak bersih karena tidak diproduksi didalam ruang bersih (white area). Pada skala industri obat harus diproduksi didalam ruangan bersih, karena setelah diproduksi obat tidak lekas dikemas. Beda dengan pembuatan puyer skala kecil di apotek, obat berada dalam ruangan terbuka mungkin bisa kurang dari 5 menit, sehingga kemungkinan terkontaminasi juga kecil. Dan saya rasa puyer yang diproduksi kurang dari 5 menit masih layak.
Pembagian dosis lebih mudah dari pada sirup. Pada beberapa kasus puyer lebih disuka untuk anak-anak karena penyesuaian dosisnya mudah. Pada anak-anak seringkali dosis diperhitungkan terhadap berat badan, sehingga dengan membelah obat atau membagi obat sirup dengan sendok takar dianggap dianggap kurang tepat atau kurang ideal. Oleh karena itu bentuk sediaan puyer dianggap lebih luwes terhadap dosis anak-anak. Tetapi alasan inipun belum bisa menjadikan alasan puyer sebagai bentuk sediaan yang paling ideal.
Obat bisa rusak saat penggerusan, sehingga dikawatirkan obat sudah tidak manjur atau berbahaya saat sampai pada tangan pasien. Obat yang rusak pada saat penggerusan kenapa harus di puyer ? Secara umum dokter tidak belajar tentang sifat kimia fisik obat, sehingga pada kasus ini dokter harus tunduk kepada apoteker. Bila ternyata obat tidak layak untuk dipuyer sebaiknya dipilih bentuk sediaan lain. Dokter bukan segala-galanya dalam proses pengobatan, karena masih ada tenaga kesehatan lain yang lebih kompeten pada hal-hal tertentu.
Puyer berbahaya bila mortir tidak dicuci sebelum digunakan lagi. Ya iyalah, bila mortir tidak dicuci setelah digunakan dan langsung digunakan untuk menggerus puyer lain bisa jadi akan terjadi interaksi obat.
Puyer pembagian dosisnya hanya kasat mata. Saya rasa dipabrikpun obat tidak mungkin akan ditimbang satu per satu, Tetapi hanya ditakar dan kontrolnya hanya dengan cara disampling. Dan sama saja dengan pembagian visual, bila pembagian visual ini dilakukan oleh apoteker yang berpengalaman saya rasa penyimpangannya tidak akan jauh dan masih akan ada dalam range yang masih bisa ditoleransi. Saya rasa pembagian kasat mata tidak masalah, apalagi obat yang dibagi mempunyai indek terapi yang luas. Bila sempit ya harus ditimbang satu-per satu.
Ada sejumlah obat yang hilang selama proses penggerusan dan bisa jadi akan mengurangi dosis, sehingga dosis puyer mungkin akan under dose. Bila puyer dilakukan oleh tenaga yang tidak kompeten bisa jadi dosis yang hilang akan sangat signifikan. Tetapi bila pada proses peracikan dilakukan oleh tenaga yang kompeten, tentu saja jumlah yang hilang tersebut lebih dapat terabaikan. Bagaimanapun juga pengambilan obat kembali dari mortir ada tehnik yang dikuasai oleh apoteker.
Dari uraian saya diatas, saya sangat setuju puyer masih ada, tetapi harus dilakukan oleh tenaga yang berkompeten. Dan untuk menekan hal-hal yang tidak diinginkan seharusnya pasien mulai diberi informasi bahwa obat puyer akan relatif aman bila didalam prosesnya dilakukan oleh tenaga yang profesional dan dilakukan pengawasan secara langsung oleh apoteker selama proses pembuatan puyer. Jadi sebelum menebus obat puyer sebaiknya ditanyakan dulu, tentang keberadaan apoteker di apotek. Bila apoteker ternyata tidak ada ditempat, sebaiknya tebuslah resep pada apotek lain yang apotekernya selalu ada setiap jam buka apotek.
Dan ada satu hal lagi, seharusnya tenaga kesehatan lain selain apoteker tidak boleh melakukan proses produksi obat meskipun dengan skala kecil termasuk puyer ini, demi menjaga keamanan pasien. Mengingat dokter bukan tenaga kesehatan yang berkompeten tentang sifat kimia obat dan stabilitas bahan obat maka disarankan kepada dokter untuk mengganti bentuk sediaan lain bila ada didaerah terpencil yang tidak ada apoteker praktek di apotek.
ANAK AJAIB
ANAK AJAIB
Banarkah Ponari adalah anak ajaib? Ponari yang bisa mendatangkan pasien sampai lima belas ribu perhari adalah anak ajaib. Bisa anda bayangkan betapa besarnya jumlah pasien tersebut. Jumlah tersebut bisa jadi setara dengan pasien dokter yang mempunyai pasien 10 orang per hari selama lima tahun. Bagaimanapun juga ponari adalah anak ajaib, karena setahu saya belum pernah ada seorang pengobatpun di negara kita yang sampai diantri sampai lebih dari 50 ribu orang, hanya karena praktek pengobatan tutup selama 4 hari. Seharusnya diusulkan untuk untuk dicatat di MURI.
Sungguh suatu hal yang sulit kita bayangkan bila kita harus mengantri dengan antrian sampai puluhan ribu orang. Bahkan untuk mendapatkan kupon antrian bisa jadi lebih dari 24 jam. Berdesak desakan menjadi pemandangan sehari-hari yang mungkin akan sangat menggangu sebagian warga yang akan keluar masuk rumah sendiri. Tetapi dibalik semua kesibukan dan keruwetan yang disebabkan praktek dari si anak ajaib ini adalah munculnya roda ekonomi yang sangat besar bagi ukuran sebuah desa. Bisa anda hitung berapa isi kotak amal ponari yang umumnya hanya diisi 2000 rupiah saja, Biaya konsumsi selama menunggu, biaya menginap meskipun hanya diemperan rumah dan masih ada banyak lagi roda ekonomi yang muncul akibat praktek anak ajaib yang baru berumur 9 tahun ini.
Bisa anda bayangkan bila harus menginap diemperan rumah orang selama satu malam, dimusim hujan. Mungkin yang akan menjadi pertanyaan banyak orang adalah kok mau-maunya? Dampak yang luar biasa ini juga mungkin akan berdampak sampai pada jumlah pasien yang berkunjung ke dokter praktek ataupun ke apotek. Sebagian teman kita yang ada di Jombang dan sekitarnya beranggapan bahwa sepinya kunjungan dokter dan apotek pada bulan ini disebabkan oleh Ponari si anak ajaib.
Meskipun pengobatan Ponari akhirnya ditutup paksa, tetapi pengantri Ponari tetap berharap praktek Ponari tetap dibuka. Kenapa harus ditutup? Alasan mengganggu ketertiban menjadi salah satu alasan selain keamanan pengunjung. Dari alasan alasan tersebut, saya lebih setuju seandainya alasan penutupannya adalah demi masa depan Ponari sendiri, bukan karena alasan lain. Ponari yang akhirnya "di tuakan" atau dengan kata lain dianggap ajaib tentu akan mempunyai beban moral dan psikologi yang sangat besar bila keajaibannya hilang. Apalagi bila justru dieksploitasi demi untuk mendapatkan keuntungan oleh pihak-pihak tertentu. Seharusnya Komnas perlindungan anak harus bisa memastikan akan keselamatan Ponari sendiri dan melakukan perbaikan terhadap praktek Ponari tanpa menghilangkan hak-hak Ponari sebagai anak.
Karena kekuatan ajaib semacam ini umumnya tidak berlangsung lama, seharusnya juga dicarikan solusi terhadap Ponari akan masa depan Ponari agar menjadi lebih baik bila sewaktu-waktu Ponari ditinggalkan keajaibanya.
Salahkah Ponari? mungkin akan ada yang menyalahkan Ponari si anak ajaib dengan meninggalnya beberapa pasiennya karena kelelahan. Menurut saya kita tidak bisa menyalahkan sianak yang belum dewasa, dan kesalahan ini adalah kesalahan kita semua. Baik sebagai masyarakat maupun sebagai unsur dari pemerintah.
Bila kita melihat siaranan TV yang mana salah satu pasien saat diwawancarai, Mengatakan yang intinya kurang lebih karena ketidak percayaan terhadap sistem kesehatan kita. Sebagai anggota masyarakat dan tenaga kesehatan seharusnya kita juga memikirkan kenapa sistem kesehatan kita tidak dipercaya oleh sebagian masyarakat? Apakah karena sistem kesehatan kita hanya mempunyai satu pilar ilmu kedokteran saja? Menurut saya, salah satu penyebab keajaiban Ponari menjadi lebih lebih ajaib lagi karena kita sebagai tenaga kesehatan dan pemeritah kurang mengembangkan sistem kesehatan yang lebih baik yang lebih memperhatikan kualitas pelayanan. Jumlah dokter, perawat, bidan, apoteker dan tenaga kesehatan lain diproduksi dengan sangat-sangat besar, tetapi kualitasnya mungkin harus kita pertanyakan. Kenapa? Karena pilar dalam sistem kesehatan kita hanya satu yaitu pilar kedokteran, tenaga kesehatan lain dianggap tidak penting atau mungkin diangap tidak perlu ada dan mungkin juga dianggap tidak perlu dikembangkan. Sehingga terjadi kesenjangan, yang salah satu contoh kesenjangannya adalah hanya ada Undang-undang praktek kedokteran dinegara kita dan tidak ada undang-undang praktek untuk tenaga kesehatan lain.
Bila kita mengacu pada pembangunan kesehatan yang terintegrasi, maka seharusnya negara kita membuat pula undang-undang praktek kesehatan yang lain satu persatu. Dan yang lebih sederhana adalah mengganti undang-undang praktek kedokteran dengan undang-undang praktek tenaga kesehatan, yang didalamnya mengatur segala macam praktek yang dilakukan oleh semua tenaga kesehatan yang diakui oleh pemerintah kita mulai dokter, apoteker, dokter gigi, perawat dan selanjutnya. Semua ini demi pembangunan kesehatan dan demi memberikan perlindungan kepada masyarakat.
Dalam pembangunan kesehatan yang terintegrasi maka keberadaan semua tenaga kesehatan harus diakui keberadaannya dan dibangun secara bersama-sama agar saling mengisi dan saling memberikan sinergi yang selanjutnya akan terintegrasi menjadi pondasi yang sangat kokoh. Tidak seperti sekarang, yang mana pembangunan kesehatan dan pembangunan tenaga kesehatan hanya mengarah kepada satu pilar saja.
Mungkin dokter ingin menjadi satu-satunya tenaga kesehatan, sehingga tidak memberikan kesempatan kepada tenaga kesehatan lain untuk berperan didalam kesehatan. Sehingga terjadilah ketimpangan dalam masalah kesehatan yang selanjutnya timbul ketidak percayaan masyarakat akan sistem kesehatan kita yang selanjutnya terjadilah keajaiban keajaiban seperti ponari. Keajaiban yang muncul karena ketidak percayaan masyarakat kepada kita semua sebagai tenaga kesehatan.
Sudah sewaktunya kita berpikir lebih rasional dalam mengembangkan profesi kesehatan yang saling berintegrasi. Yang mana semua ilmu kesehatan dari masing-masing profesi harus berkembang maksimal dan tidak bisa diintervensi oleh profesi yang lain.
Banarkah Ponari adalah anak ajaib? Ponari yang bisa mendatangkan pasien sampai lima belas ribu perhari adalah anak ajaib. Bisa anda bayangkan betapa besarnya jumlah pasien tersebut. Jumlah tersebut bisa jadi setara dengan pasien dokter yang mempunyai pasien 10 orang per hari selama lima tahun. Bagaimanapun juga ponari adalah anak ajaib, karena setahu saya belum pernah ada seorang pengobatpun di negara kita yang sampai diantri sampai lebih dari 50 ribu orang, hanya karena praktek pengobatan tutup selama 4 hari. Seharusnya diusulkan untuk untuk dicatat di MURI.
Sungguh suatu hal yang sulit kita bayangkan bila kita harus mengantri dengan antrian sampai puluhan ribu orang. Bahkan untuk mendapatkan kupon antrian bisa jadi lebih dari 24 jam. Berdesak desakan menjadi pemandangan sehari-hari yang mungkin akan sangat menggangu sebagian warga yang akan keluar masuk rumah sendiri. Tetapi dibalik semua kesibukan dan keruwetan yang disebabkan praktek dari si anak ajaib ini adalah munculnya roda ekonomi yang sangat besar bagi ukuran sebuah desa. Bisa anda hitung berapa isi kotak amal ponari yang umumnya hanya diisi 2000 rupiah saja, Biaya konsumsi selama menunggu, biaya menginap meskipun hanya diemperan rumah dan masih ada banyak lagi roda ekonomi yang muncul akibat praktek anak ajaib yang baru berumur 9 tahun ini.
Bisa anda bayangkan bila harus menginap diemperan rumah orang selama satu malam, dimusim hujan. Mungkin yang akan menjadi pertanyaan banyak orang adalah kok mau-maunya? Dampak yang luar biasa ini juga mungkin akan berdampak sampai pada jumlah pasien yang berkunjung ke dokter praktek ataupun ke apotek. Sebagian teman kita yang ada di Jombang dan sekitarnya beranggapan bahwa sepinya kunjungan dokter dan apotek pada bulan ini disebabkan oleh Ponari si anak ajaib.
Meskipun pengobatan Ponari akhirnya ditutup paksa, tetapi pengantri Ponari tetap berharap praktek Ponari tetap dibuka. Kenapa harus ditutup? Alasan mengganggu ketertiban menjadi salah satu alasan selain keamanan pengunjung. Dari alasan alasan tersebut, saya lebih setuju seandainya alasan penutupannya adalah demi masa depan Ponari sendiri, bukan karena alasan lain. Ponari yang akhirnya "di tuakan" atau dengan kata lain dianggap ajaib tentu akan mempunyai beban moral dan psikologi yang sangat besar bila keajaibannya hilang. Apalagi bila justru dieksploitasi demi untuk mendapatkan keuntungan oleh pihak-pihak tertentu. Seharusnya Komnas perlindungan anak harus bisa memastikan akan keselamatan Ponari sendiri dan melakukan perbaikan terhadap praktek Ponari tanpa menghilangkan hak-hak Ponari sebagai anak.
Karena kekuatan ajaib semacam ini umumnya tidak berlangsung lama, seharusnya juga dicarikan solusi terhadap Ponari akan masa depan Ponari agar menjadi lebih baik bila sewaktu-waktu Ponari ditinggalkan keajaibanya.
Salahkah Ponari? mungkin akan ada yang menyalahkan Ponari si anak ajaib dengan meninggalnya beberapa pasiennya karena kelelahan. Menurut saya kita tidak bisa menyalahkan sianak yang belum dewasa, dan kesalahan ini adalah kesalahan kita semua. Baik sebagai masyarakat maupun sebagai unsur dari pemerintah.
Bila kita melihat siaranan TV yang mana salah satu pasien saat diwawancarai, Mengatakan yang intinya kurang lebih karena ketidak percayaan terhadap sistem kesehatan kita. Sebagai anggota masyarakat dan tenaga kesehatan seharusnya kita juga memikirkan kenapa sistem kesehatan kita tidak dipercaya oleh sebagian masyarakat? Apakah karena sistem kesehatan kita hanya mempunyai satu pilar ilmu kedokteran saja? Menurut saya, salah satu penyebab keajaiban Ponari menjadi lebih lebih ajaib lagi karena kita sebagai tenaga kesehatan dan pemeritah kurang mengembangkan sistem kesehatan yang lebih baik yang lebih memperhatikan kualitas pelayanan. Jumlah dokter, perawat, bidan, apoteker dan tenaga kesehatan lain diproduksi dengan sangat-sangat besar, tetapi kualitasnya mungkin harus kita pertanyakan. Kenapa? Karena pilar dalam sistem kesehatan kita hanya satu yaitu pilar kedokteran, tenaga kesehatan lain dianggap tidak penting atau mungkin diangap tidak perlu ada dan mungkin juga dianggap tidak perlu dikembangkan. Sehingga terjadi kesenjangan, yang salah satu contoh kesenjangannya adalah hanya ada Undang-undang praktek kedokteran dinegara kita dan tidak ada undang-undang praktek untuk tenaga kesehatan lain.
Bila kita mengacu pada pembangunan kesehatan yang terintegrasi, maka seharusnya negara kita membuat pula undang-undang praktek kesehatan yang lain satu persatu. Dan yang lebih sederhana adalah mengganti undang-undang praktek kedokteran dengan undang-undang praktek tenaga kesehatan, yang didalamnya mengatur segala macam praktek yang dilakukan oleh semua tenaga kesehatan yang diakui oleh pemerintah kita mulai dokter, apoteker, dokter gigi, perawat dan selanjutnya. Semua ini demi pembangunan kesehatan dan demi memberikan perlindungan kepada masyarakat.
Dalam pembangunan kesehatan yang terintegrasi maka keberadaan semua tenaga kesehatan harus diakui keberadaannya dan dibangun secara bersama-sama agar saling mengisi dan saling memberikan sinergi yang selanjutnya akan terintegrasi menjadi pondasi yang sangat kokoh. Tidak seperti sekarang, yang mana pembangunan kesehatan dan pembangunan tenaga kesehatan hanya mengarah kepada satu pilar saja.
Mungkin dokter ingin menjadi satu-satunya tenaga kesehatan, sehingga tidak memberikan kesempatan kepada tenaga kesehatan lain untuk berperan didalam kesehatan. Sehingga terjadilah ketimpangan dalam masalah kesehatan yang selanjutnya timbul ketidak percayaan masyarakat akan sistem kesehatan kita yang selanjutnya terjadilah keajaiban keajaiban seperti ponari. Keajaiban yang muncul karena ketidak percayaan masyarakat kepada kita semua sebagai tenaga kesehatan.
Sudah sewaktunya kita berpikir lebih rasional dalam mengembangkan profesi kesehatan yang saling berintegrasi. Yang mana semua ilmu kesehatan dari masing-masing profesi harus berkembang maksimal dan tidak bisa diintervensi oleh profesi yang lain.
Langganan:
Postingan (Atom)