WEB ISFI JATIM
Selamat atas terbitnya web resmi ISFI Jatim di hari jadi ISFI, www.isfijatim.org karena dengan web ini ISFI Jatim bisa lebih mengekspresikan diri. Suatu hal yang tidak berlebihan bila web ini kedepan bisa diharapkan menjadi suatu forum resmi dari para profesional dari Jatim atau bahkan bisa juga diikuti oleh profesional dari daerah lain.
Kedepan web ini saya rasa akan melengkapi web yang sudah ada punya ISFI pusat. Permasalahan yang ada didaerah juga semakin terpantau secara nasional dan web ini juga akan menjadi ajang saling belajar dari berbagai daerah.
Sekali lagi selamat buat para profesional di Jawa Timur.
Jumat, 26 Juni 2009
Minggu, 07 Juni 2009
PRITA MULYASARI
PRITA MULYASARI
Kasus hukum yang dialami oleh Prita Mulyasari secara umum disebabkan karena rendahnya tingkat pemahaman masyarakat akan kesehatan. Kasus semacam ini bisa jadi akan menimpa kita siapa saja tenaga kesehatan. Bukannya saya ingin bicara soal benar atau salah secara hukum, tetapi bagaimana seharusnya kode etik dan fungsi pendidikan kesehatan dari sebuah sarana kesehatan yang seharusnya dihidupkan.
Rendahnya pemahaman akan kesehatan oleh masyarakat seringkali menyebabkan masyarakat memahami kesehatan dengan salah. Bisa jadi masyarakat akan menganggap pergi ke dokter umum ibarat naik becak dan pergi ke RS berkelas internasional ibarat naik pesawat terbang. Sehingga bila menemukan sesuatu yang dianggapnya salah, masyarakat umumnya langsung teriak2 dan menuduh jelek terhadap layanan tersebut. Hal tersebut dibuktikan dengan dukungan luas terhadap ibu Prita Mulyasari saat beliau dijatuhi vonis kurungan.
Yang kedua adalah kode etik, dimana dalam memberikan opini sekunder kita tidak boleh semena mena sehingga akan memperucing permasalahan. Meskipun pada kenyataannya diagnosa awal salah, pemberi opini sekunder seharusnya jangan sampai memperuncing permasalahan yang akhirnya bisa jadi justru akan merugikan pasien itu sendiri. Disini pentingnya kita sebagai tenaga kesehatan bersikap santun dan memberikan empati kepada masyarakat pengguna jasa. Karena bisa jadi kesalahan diagnosa awal adalah sikap kehati hatian dari sejawat kita.
Karena permasalahan semacam inilah maka sudah seharusnya bila sarana kesehatan yang ada dalam naungan departemen kesehatan seharusnya juga menghidupkan fungsi pendidikan kesehatan kepada masyarakat sekitar. Pendidikan kesehatan pada sarana kesehatan dengan memberikan edukasi, informasi dsb, dengan jelas dan jujur. Saya rasa bila diberikan edukasi dengan benar akan kecil kemungkinan terjadinya komplain. Sebagai sarana yang melayani masyarakat sering kali kita mendapat komplain, tetapi dengan komunikasi yang baik biasanya masyarakat mau mengerti.
Pada kasus ini, seharusnya komplain yang ditulis lewat email tak perlu dipermasalahkan, karena justru akan memperbesar permasalahan dan akan menurunkan citra dari layanan kesehatan secara umum. Mungkin yang akan turun citranya tidak hanya RS tersebut, tetapi juga pelayanan sejenis. Pada kasus ini menang atau kalah citra dari RS tetap akan kalah.
Seharusnya pada kasus ini justru kita belajar bagaimana memuaskan pasien, bukannya menuntut pasien untuk puas.
Kasus hukum yang dialami oleh Prita Mulyasari secara umum disebabkan karena rendahnya tingkat pemahaman masyarakat akan kesehatan. Kasus semacam ini bisa jadi akan menimpa kita siapa saja tenaga kesehatan. Bukannya saya ingin bicara soal benar atau salah secara hukum, tetapi bagaimana seharusnya kode etik dan fungsi pendidikan kesehatan dari sebuah sarana kesehatan yang seharusnya dihidupkan.
Rendahnya pemahaman akan kesehatan oleh masyarakat seringkali menyebabkan masyarakat memahami kesehatan dengan salah. Bisa jadi masyarakat akan menganggap pergi ke dokter umum ibarat naik becak dan pergi ke RS berkelas internasional ibarat naik pesawat terbang. Sehingga bila menemukan sesuatu yang dianggapnya salah, masyarakat umumnya langsung teriak2 dan menuduh jelek terhadap layanan tersebut. Hal tersebut dibuktikan dengan dukungan luas terhadap ibu Prita Mulyasari saat beliau dijatuhi vonis kurungan.
Yang kedua adalah kode etik, dimana dalam memberikan opini sekunder kita tidak boleh semena mena sehingga akan memperucing permasalahan. Meskipun pada kenyataannya diagnosa awal salah, pemberi opini sekunder seharusnya jangan sampai memperuncing permasalahan yang akhirnya bisa jadi justru akan merugikan pasien itu sendiri. Disini pentingnya kita sebagai tenaga kesehatan bersikap santun dan memberikan empati kepada masyarakat pengguna jasa. Karena bisa jadi kesalahan diagnosa awal adalah sikap kehati hatian dari sejawat kita.
Karena permasalahan semacam inilah maka sudah seharusnya bila sarana kesehatan yang ada dalam naungan departemen kesehatan seharusnya juga menghidupkan fungsi pendidikan kesehatan kepada masyarakat sekitar. Pendidikan kesehatan pada sarana kesehatan dengan memberikan edukasi, informasi dsb, dengan jelas dan jujur. Saya rasa bila diberikan edukasi dengan benar akan kecil kemungkinan terjadinya komplain. Sebagai sarana yang melayani masyarakat sering kali kita mendapat komplain, tetapi dengan komunikasi yang baik biasanya masyarakat mau mengerti.
Pada kasus ini, seharusnya komplain yang ditulis lewat email tak perlu dipermasalahkan, karena justru akan memperbesar permasalahan dan akan menurunkan citra dari layanan kesehatan secara umum. Mungkin yang akan turun citranya tidak hanya RS tersebut, tetapi juga pelayanan sejenis. Pada kasus ini menang atau kalah citra dari RS tetap akan kalah.
Seharusnya pada kasus ini justru kita belajar bagaimana memuaskan pasien, bukannya menuntut pasien untuk puas.
Langganan:
Postingan (Atom)