Sabtu, 25 Juli 2009

MENERMATI RANCANGAN FINAL SKN 2009 BAGIAN 1

MENERMATI RANCANGAN FINAL SKN 2009
(bagian I) (www.hisfarma.blogspot.com)

Banyak hal yang mungkin harus dicarmati didalam Rancangan Final SKN beberapa hal tersebut juga terkadang menjadi pertanyaan didalam praktek profesi sehari-hari saya yang mana seakan-akan SKN seringkali saya anggap kurang tepat. Kekurang tepatan itu akan saya cermati dalam blog sayaS secara seri yang bersambung disela-sela saya menjalankan profesi saya.


Upaya pelayanan kesehatan didalam SKN dijelaskan sebagai berikut :

Upaya Kesehatan
Pelayanan kesehatan meliputi peningkatan, pencegahan, pengobatan dan pemulihan, baik pelayanan kesehatan konvensional maupun pelayanan kesehatan yang terdiri dari pengobatan tradisional dan komplementer melalui pendidikan dan pelatihan dengan selalu mengutamakan keamanan dan efektifitas yang tinggi.
Upaya kesehatan diutamakan pada berbagai upaya yang mempunyai daya ungkit tinggi dalam pencapaian sasaran pembangunan kesehatan
utamanya penduduk rentan, antara lain ibu, bayi, anak, manusia usia lanjut, dan keluarga miskin.

Dari uraian diatas, maka peran apoteker diapotek memenui syarat sebagai salah satu tenaga kesehatan yang juga berperan secara aktif didalam upaya kesehatan secara langsung. Mengingat peran apoteker didalam swamedikasi sangat penting dan tak bisa dipandang sebelah mata oleh siapapun bila peran itu sangat dibutuhkan masyarakat. Pada swamedikasi sering kali juga meliputi pencegahan, pengobatan (meskipun pada penyakit ringan), juga mungkin pemulihan. Bahkan pengobatan dengan obat tradisional sering juga dilakukan diapotek dan sering kali juga memberikan dampak yang bagus bagi perkembangan pembangunan kesehatan.

Mungkin peran apoteker didalam swamedikasi masih dipandang sebelah mata, tetapi coba kita cermati hal berikut dari SKN, “ …kunjungan baru (contact rate) ke fasilitas pelayanan kesehatan meningkat dari 34,4% pada tahun 2005 menjadi 41,8% pada tahun 2007. Disamping itu, masyarakat yang mencari pengobatan sendiri sebesar 45% dan yang tidak berobat sama sekali sebesar 13,3% (2007).” Ada 45% anggota masyarakat yang mencari pengobatan sendiri, disinilah peran apoteker didalam swamedikasi akan sangat menonjol. Oleh karena itu seharusnya keberadaan apoteker diapotek didalam mengawal swamedikasi seharusnya sudah menjadi kebutuhan dan perhatian dari pemerintah agar peran apoteker dalam lebih bisa dirasakan oleh masyarakat.

Jumlah masyarakat yang melakukan swameduikasi justru lebih besar dari pada yang mengunjungi sarana kesehatan lain selain apotek. Seperti didalam praktek profesi yang saya lakukan jumlah resep yang saya terima baik dari segi nilai ataupun dari segi jumlah pelayanan tidak lebih dari 3%. Disini saya merasakan bahwa peran apoteker diapotek adalah sebagai pelayanan primer seperti didalam SKN.

Hal lain yang coba saya cermati adalah upaya kesehatan primer dalam SKN dijelaskan sebagai berikut :

1) Upaya Kesehatan Primer
Upaya Kesehatan Primer adalah upaya kesehatan dasar, yang terdiri dari pelayanan kesehatan perorangan dan masyarakat.
Pelayanan kesehatan perorangan primer
memberikan penekanan pada pelayanan pengobatan, pemulihan tanpa mengabaikan upaya peningkatan, dan pencegahan, termasuk di dalamnya pelayanan kebugaran dan gaya hidup sehat (healthy life style).
Diselenggarakan oleh tenaga kesehatan yang dibutuhkan dan mempunyai kompetensi yang ditetapkan sesuai ketentuan berlaku dan dapat
dilaksanakan di rumah, tempat kerja maupun fasilitas kesehatan perorangan primer baik
Puskesmas dan jaringannya, serta fasilitas kesehatan lainnya milik pemerintah, masyarakat maupun swasta. Dilaksanakan dengan dukungan pelayanan kesehatan perorangan sekunder dalam sistem rujukan yang timbal
balik. Diselenggarakan berdasarkan norma, standar, prosedur dan kriteria pelayanan yang ditetapkan oleh Pemerintah dengan memperhatikan
masukan dari organisasi profesi dan masyarakat. Pelayanan kesehatan perorangan primer akan didukung oleh fasilitas kesehatan penunjang,
antara lain: Apotik, Optik, laboratorium dan lain sebagainya.

Dapat diselenggarakan sebagai pelayanan yang bergerak (ambulatory) atau menetap, dapatdikaitkan dengan tempat kerja seperti; klinik
perusahaan, dapat disesuaikan dengan lingkungan atau kondisi tertentu (kesehatan matra seperti: kesehatan haji, kesehatan kelautan, kesehatan penerbangan, kesehatan wisata). Pemerintah wajib menyediakan pelayanan
kesehatan perorangan primer di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai kebutuhan, terutama bagi orang miskin, daerah terpencil, perbatasan, pulau-pulau terluar dan terdepan, serta yang tidak diminati swasta.
Pembiayaan pelayanan kesehatan perorangan primer untuk kelompok miskin dibiayai oleh pemerintah, sedangkan golongan ekonomi lainnya dibiayai dalam sistem pembiayaan yang diatur oleh pemerintah. Dalam pelayanan kesehatan perorangan termasuk pula pelayanan kesehatan berbasis masyarakat dalam bentuk seperti Pos Kesehatan Desa (Poskesdes), dan pengobatan tradisional serta pengobatan alternatif yang secara ilmiah telah terbukti terjamin keamanan
dan khasiatnya.

Upaya kesehatan masyarakat primer adalah
pelayanan peningkatan dan pencegahan tanpa mengabaikan pengobatan dan pemulihan dengan sasaran keluarga, kelompok dan masyarakat.

Penyelenggaraan upaya kesehatan masyarakat primer mendukung upaya kesehatan berbasis masyarakat dan didukung oleh upaya kesehatan
masyarakat sekunder Penyelenggaraan upaya kesehatan masyarakat
primer menjadi tanggung jawab Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang pelaksanaan operasionalnya dapat didelegasikan kepada Puskesmas. Masyarakat termasuk swasta dapat menyelenggarakan pelayanan kesehatan
masyarakat primer sesuai peraturan yang berlaku dan dapat berkerjasama dengan Pemerintah.

Pembiayaan kegiatan pelayanan kesehatan masyarakat primer ditanggung oleh pemerintah bersama dengan masyarakat. Pemerintah wajib membiayai pelayanan kesehatan masyarakat yang ditujukan untuk menangani masalah
kesehatan masyarakat yang menjadi prioritas pembangunan. Pemerintah dapat membentuk fasilitas kesehatan yang secara khusus ditugaskan untuk melaksanakan upaya kesehatan masyarakat sesuai keperluan.
Pemerintah wajib melaksanakan pelayanan kesehatan masyarakat primer yang
berhubungan dengan prioritas pembangunan melalui kegiatan perbaikan lingkungan, peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit dan kematian serta paliatif. Pelaksanaan pelayanan kesehatan masyarakat primer didukung upaya kesehatan penunjang seperti: surveilans, pencatatan dan pelaporan.

Seperti uraian diatas pekerjaan apoteker diapotek juga memenuhi syarat sebagai bagian dari upaya pelayanan kesehatan primer. Karena pekerjaan apoteker bukan hanya melayani resep saja oleh karena itu penempatan apotek sebagai upaya pelayanan kesehatan penunjang sangat tidak tepat. Demi 45% anggota masyarakat yang mencari pengoatan sendiri. Memang tidak disebutkan apoteker sebagai pengobat final, tetapi bagaimanapun juga 45% anggota masarakat itu mencari pengobatan yang sering kita kenal dengan swamedikasi. Dan saya slalu menyarankan agar apotek jangan sampai dijadikan pengobatan final sehingga peran apoteker dalam edukasi tidak hilang dan peran sinergisme dengan dokter lebih optimal karena pada kasus-kasus yag sudah masuk wilayah dokter harus kita rujuk e dokter.

Dari uraian saya diatas saya hanya ingin mencermati saja bahwa apa yang kita lakukan dan pahami didalam praktek profesi bisa jadi akan sangat berbeda apa yang dipahami oleh profesi lain sehingga dalam mendifinisikan perkerjaan kefarmasian bisa jadi sangat berbeda. Seperti pada uraian dari SKN dibawah :

Pelayanan Kefarmasian
Pelayanan kefarmasian ditujukan untuk dapat menjamin penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan, secara rasional, aman, dan bermutu di semua sarana pelayanan kesehatan dengan mengikuti norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan.

Pekerjaan kefarmasian yang kita pahami tidak sesederhana itu. Ada KIE, konseling dan sebagainya. Konseling yang dilakukan apoteker diapotek sangat berbeda dengan yang dilakukan oleh sejawat kita semisal dokter. Konseling apoteker di apotek, adalah upaya apoteker agar pasien memahami permasalahan yang dialami, yang terkait kesehatan dan sediaan farmasi, sehingga pasien mampu mengambil keputusan terbaik sesuai kemampuannya.

Pada saat pasien datang ke apotek seringkali pasien kurang mengerti dan bahkan sebagian tidak memahami apa sebenarnya permasalahan dan bagaimana seharusnya permasalahan diselesaikan. Untuk itu diperlukan suatu konseling kefarmasian. Dalam melakukan konseling di apotek, seorang apoteker harus mampu menguasai tehnik-tehnik konseling. Karena keberhasilan konseling salah satunya ditentukan oleh kemampuan apoteker dalam penguasaan tehnik-tehnik tersebut. Dan seringkali dalam konseling diperlukan beberapa tehnik sekaligus yang dikombinasi. selain itu keberhasilan konseling juga dipengaruhi oleh pengalaman apoteker dalam konseling.

Permasalahan dalam konseling apoteker diapotek seing kali lebih rumit dari pada yang diperkirakan kebanyakan orang. Karena tidak jarang kita harus erubah perilaku hidup sehat. Sudah sewajarnya bila dalam menjelaskan peran apotek didalam SKN ada redefinisi disesuaikan keadaan yang sesungguhnya dan tetap tidak boleh menyalahi aturan perundangan yang lain.

Disinilah salah satu perbedaan cara pandang sehingga didalam membuat kebijakan dan sebagainya sering kali kontra produktif dan sering kali justru sangat merugikan masyarakat itu sendiri termasuk masyarakat profesi. Semoga kedepan jerih payah para apoteker lebih dapat dihargai sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam upaya kesehatan.

Minggu, 19 Juli 2009

PELAYANAN KEFARMASIAN DIAPOTEK ADALAH PELAYANAN KESEHATAN DASAR

PELAYANAN KEFARMASIAN DIAPOTEK ADALAH PELAYANAN KESEHATAN DASAR
(www.hisfarma.blogspot.com)


Pelayanan kefarmasian belum menjadi ikon dalam pembangunan kesehatan dinegara kita, belum pula dilihat sebagai pelayanan yang penting dan belum dianggap signifikan dalam perannya pada pembangunan kesehatan. Meskipun sebagian masyarakat semakin merasakan peran apoteker didalam usaha-usaha kesehatannya, baik dalam swamedikasi ataupun didalam pelayanan atas dasar resep. Dengan semakin tingginya tingkat pendidikan kesehatan masyarakatakan semakin menyadari betapa pentingnya peran dari pada apoteker didalam usaha-usaha kesehatannya. Baik pada usaha kesehatan yang bersifat promotif, kuratif maupun pada prekuentif.

Sebagian masyarakat mungkin masih ada yang mengangap peran apoteker hanya sebatas penyaluran obat, hal ini disebabkan karena peran apoteker dimasyarakat kurang dilibatkan didalam usaha-usaha kesehatan masyarakat oleh pemerintah. Padahal seharusnya pada usaha kesehatan masyarakat peran apoteker sering kali dibutukan. Seharusnya pemerintah bertanggung jawab didalam memasyarakatkan profesi apoteker karena bagaimanapun juga peran apoteker seharusnya juga dilibatkan didalam membangun kesehatan bangsa.

Organisasi profesi (ISFI) dan pemerintah dalam memasyarakatkan profesi bisa jadi akan semakin memudahkan dari profesi itu sendiri didalam mendukung sinergise pembangunan kesehatan. Bila profesi memasyarakatkan dirinya sendiri-sendiri tanpa didukung banyak pihak hasil yang diharapkan dalam memberikan dampak yang sangat signifikan didalam pembanguna kesehatan akan sulit tercapai. Seperti keadaan sekarang, apoteker sebagai tenaga kesehatan kurang mendapat perhatian dari pemerintah, dan kurang disenergiskan dengan profesi lain sehingga sering terjadi pelayanan kesehatan yang kurang ideal. Kurang idealnya salah satunya bisa dicontohkan masih adanya sarana kesehatan seperti apotek yang lebih menonjolkan bisnisnya, bukannya menonjolkan peran sosialnya yang salah satunya edukasi. Padahal edukasi adalah salah satu yang seharusnya ada didalam semua jenis pelayanan kesehatan.

Sudah seharusnya bila pemerintah memulai untuk lebih memberdayakan apoteker dan apotek sebagai bagian yang tak terpisahkan didalam usaha kesehatan bangsa. Karena bagaimanapun juga apotek adalah salah satu sarana kesehatan yang keberadaannya seagian besar diusahakan oleh peran serta masyarakat secara mandiri. Pemberdayaan peran serta masyarakat ini bila dapat dioptimalkan akan menjadi usaha kesehatan yang murah dan terjankau dan pemerintah tidak perlu mengeluarkan banyak anggaran, tetapi pemerintah cukup memfasilitasi dan menata saja. Bagaimanapun juga peran apoteker di apotek perlu difasilitasi yang salah satunya dengan UU praktek kefarmasian. Seharusnya para wakil rakyat yang terhormat juga mulai memikirkan cara bagaimana agar peran serta masyarakat dapat bersinergis dengan pemerintah didalam upaya-upaya kesehatan agar dicapai hasil yang optimal..

Mungkin kita bisa mulai untuk memikirkan beberapa hal yang seharusya bisa mendukung apoteker sebagai pelayan kesehatan dasar. Bukan sesuatu hal yang diada-adakan tetapi adalah berdasarkan apa yang sudah dilakukan oleh para profesional. Beberapa hal yang bisa menjadi alasan apoteker adalah pelayan kesehatan dasar adalah :
1. Pelayanan kefarmasian oleh apoteker diapotek adalah pelayanan kesehatan dasar yang meliputi promotif, kuratif dan prekuentif, baik pada swamedikasi ataupun pada pelayanan atas dasar resep.
2. Pelayanan diapotek harus melakukan KIE (komunikasi, informasi dan edukasi), pada peran edukasi pelayanan kefarmasian diapotek juga berperan dalam meningkatkan kecerdasan masyarakat dalam hal kesehatan. Seperti kita ketahui tanpa pendidikan kesehatan yang cukup tidak ada gunanya sarana kesehatan yang bagus, obat yang bagus dan lain sebagainya yang bagus pula. Dan bagaimanapun juga edukasi adalah salah satu peran yang dapat meningkatkan kecerdasan masyarakat didalam kesehatan yang ujungnya dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
3. Apoteker juga mempunyai resiko profesi yang sama dengan sejawat yang lain. Baik resiko hukum, tertular penyakit dsb.
4. Apoteker didalam melakukan peayanan kesehatan mempunyai kompetensi yang spesifik yang setara dengan profesi lain. Kompetensi inilah yang menjadikan dasar profesionalisme apoteker diapotek, dan kompetensi yang spesifik ini yang tidak dipunyai oleh tenaga kesehatan lain.

Bagaimanapun juga kita para apoteker dan profesi kesehtan lain harus dapat belajar untuk menghargai orang lain atau profesi lain, sehingga kita bisa lebih meningkatkan pelayanan kesehatan dengan meningkatkan sinergisme. Hal yang harus kita jaga adalah jangan sampai idealisme profesi justru menghambat profesi lain yang ujung-ujungnya justru masyarakat yang menjadi korban. Seperti kita ketahui tidak ada orang didunia modern ini yang dapat hidup sendiri untuk eksis, tetapi tetap membutuhkan orang lain. Demikian juga dengan profesi, tak ada satupun profesi yang dapa eksis tanpa profesi yang lain. Bila profesi berjalan sendii-sendiri tanpa ada kerja sama dengan bersinergi mungkin kita akan kembali kepada jaman batu, atau mungkin lebih primitif lagi.

Didalam membangun suatu bangsa tidak ada satupun profesi yang lebih penting dari yang lain, tetapi kita harus bekerja sama secara maksimal demi pelayanan kepada masyarakat yang lebih modern dan manusiawi. Sinergisme harus dimunculkan dengan bekerja sama dan saling menghargai. Dan sudah sepantasnya bila didalam SKN apoteker menjadi tenaga kerja kesehatan pada pelayanan dasar dan apotek menjadi sarana kesehatan dasar. Tak ada susahnya menjadikan apoteker menjadi pelayan kesehatan dasar dan apotek sebagai sarana kesehatan dasar karena hal ini sudah dibuktikan, yang susah adalah mendorong untuk memunculkan UU praktek kefarmasian meskipun ini sangat penting bagi pembangunan kesehatan bangsa.

Susahnya memunculkan UU praktek kefarmasian sebagai salah satu pilar didalam sistem kesehatan kita salah satunya dikarenakannya kekurang pahaman pada beberapa pihak akan pentingnya melndungi masyarakat dari bahaya akibat sediaan farmasi. Semua setuju bila sediaan farmasi adalah berbahaya karena secara definisi bagaimanapun juga obat didifinisikan sebagai racun. Oleh karena Sudah sewajarnya bila obat pada golongan tertentu harus diserahkan langsung dan diawasi oleh tenaga profesional. Seperti kita ketahui pada kemasan obat keras selalu ditulis “harus dengan resep dokter” mengingat betapa bahayanya obat bila pemakaiannya tidak didasarkan pada ilmu pengetahuan dan kompetensi. Jadi adalah hal yang wajar bila disini tenaga kefarmasian sangat diperlukan didalam pengobatan dasar, karena tenaga kesehatan bidang kefarmasian yang berkompetesi dibidang obat.

Bila UU praktek kefarmasian tidak diadakan mendampingi UU praktek kedokteran saya rasa jalannya pembangunan kesehatan tidak akan bisa optimal. Karena bagaimanapun juga pilar ilmu kefarmasia akan sagat diperlukan didalam mendorong perjalanan pembangunan kesehatan kita dengan arah yang lebih cepat, lebih tepat, lebih manusiawi dsb.

Pada akhirnya, semoga nasib masyarakat semakin diperhatikan kepentingannya dengan lebih banyak peraturan yang mengatur profesi, agar profesi lebih berdedikasi didalam melayani masyarakat. Ada atau tidak ada UU praktek kefarmasian apoteker tetap harus eksis, tetapi dengan adanya UU praktek kefarmasian masyarakat lebih terlindungi. Bagaimanapun juga pelayanan kefarmasian adalah pelayanan dasar yang sudah berjalan sagat lama dan seharusnya menjadi perhatian dari pemerintah.

Jumat, 17 Juli 2009

DISKUSI SEPUTAR FARMASI KOMUNITAS & KLINIK

Asetosal dosis rendah kenapa berbeda pelabelannya : satu obat Keras satu Bebas ?

Mungkin pertanyaan ini sering kita temui di apotek tempat kita praktek.
Apalagi saat kita membimbing Mahasiswa PKP / Apoteker Magang
atau menjelaskan langsung kepada pasien.

Kedua obat ini sama-sama mempunyai kandungan bahan aktif asam asetil salisilat 80 mg

ASPILET
Ditujukan menurunkan panas/demam pada anak-anak
Dosis ½ - 2 Tablet 3x sehati tergantung umur dan berat badan.
Mekanisme yang diharapkan : bekerja dengan mempengaruhi pusat pengatur suhu di hipotalamus sehingga dapat menurunkan demam dan penghambat pembentukan prostaglandin sehingga dapat meringankan rasa sakit.
sifat terapinya jangka pendek (2-5 hari), absorbsi cepat (lewat lambung).
Apakah sediaan ini bisa menyebabkan perdarahan?
Jawabannya bisa. Apalagi bila dikonsumsi jangka panjang.
Untuk itu di kontraindikasikan terhadap Penderita tukak lambung (maag), haemofilia dan trompositopenia karena dapat meningkatkan terjadinya resiko perdarahan.

THROMBO ASPILET
Di Tujukan untuk pasien miokard akut atau paska stroke.
Umumnya 1 tablet setiap hari namun terkadang bisa 2 tablet setiap hari.
Pemakaiaannya jangka panjang dan bisa bertahun-tahun, untuk itu bentuk sediaan dibuat Salut Enteric yang diharapkan pecah di usus bukan lambung. Sehingga resiko perdarahan lambung dapat di cegah.

Mekanisme yang diharapkan adalah terjadinya penghambatan terbentuknya tromboksan A2, suatu senyawa yang berfungsi sebagai vaso konstriktor yang menyebabkan penimbunan platelet dan kemungkinan besar menyebabkan pembekuan darah. Dalam dinding-dinding pembuluh darah penghambatan enzim tersebut mencegah pembentukan prostasiklin yang berfungsi sebagai vasodilator dan mempunyai anti agregasi yang berpotensi sebagai anti trombosis

Pada pasien Miocard Akud atau pasca stroke pun obat ini juga tetap di kontra indikasi kan bila penderita mengalami riwayat tukak lambung (maag), haemofilia dan trompositopenia karena dapat meningkatkan terjadinya resiko perdarahan dan penderita yang sedang diterapi dengan anti koagulan.

Lalu kenapa satu obat bebas satunya obat keras ?
Karena dalam satu bahan aktif bisa ditujukan dengan tujuan berbeda :
Penurun panas & Anti thrombosis/Anti Platelet.
Dan ini diproduksi dengan maksud dan tujuan yang berbeda sehingga muncul dua bentuk sediaan dan dua pelabelan.


Atau ada alasan lain ?

Ada komentar sejawat?

Selasa, 14 Juli 2009

MENYUSUN MATERI UJI KOMPETENSI

MENYUSUN MATERI UJI KOMPETENSI


Menyusun materi uji kompetensi bukanlah hal mudah, karena harus dapat digunakan sebagai parameter kompetensi. Oleh karena itu sebelum materi uji kompetensi disusun, maka harus ditentukan dulu hal-hal yang seharusnya dikuasasi oleh profesi yang dinyatakan kompeten dengan profesinya. Hal-hal tersebut bisa berupa, organisasi dan etik, penguasaan sain profesi, hukum, adminstrasi pemerintahan, manajemen profesi dll.

Dalam menyusun terkait hal yang harus dikuasai oleh profesi apoteker yang berkompeten, maka ISFI sebagai organisasi profesi apoteker harus mengumpulkan para praktisi senior, Organisatoris senior, pakar hukum kesehatan farmasi, pakar manajemen farmasi, birokrat senior, dosen farmasi senior dll. Dari semua ini maka disusun masukan untuk draf uji kompetensi. Belum kearah materi, tetapi lebih mengarah pada perumusan tentang uji kompetensi itu sendiri yang selanjutnya dikirimkan kesemua cabag ISFI agar ada umpan balik guna penyempurnaan draf uji kompetensi itu sendiri. Dengan melibatkan hampir semua anggota ISFI diharapkan kompetensi akan berjalan dengan lebih baik.

Setelah darf uji kompetensi mendapat umpan balik, maka disusun draf uji kompetensi yang siap untuk diputuskan secara nasional ataupun regional. Bisa jadi kedepan uji kompetensi untuk apoteker hanya berlaku regional mengingat perbedaan geografis dan budaya masyarakat Indonesia yang beragam. Hasil uji kompetensi ini yang selanjutnya digunakan menyusun materi uji kompetensi.

Dalam menyusun uji materi kompetensi juga seharusnya kita melibatkan lebih banyak pihak lagi, karena beragamnya pekerjaan kefarmasian. Dan dalam penyusunan materi uji kompetensi ini peran praktisi senior tak bisa digantikan oleh orang lain atau profesi kesehatan lain, mengingat pada masing masing kompeten sangat spesifik. Para dosen perguruan tinggi yang bukan praktisi aktifpun tak boleh menggantikan peran dari para praktisi senior ini. Bila peran praktisi senior digantikan bisa jadi uji kompetensi tak akan tersusun dengan baik dan besar kemungkinan justru akan merugikan masyarakat sebagai pengguna jasa profesi. Bagaimanapun juga roh dari profesi apoteker adalah data, yang mana data didapatkan setelah profesi melakukan praktek profesi secara aktif.

Praktisi senior adalah praktisi aktif yang mempunyai pengalaman kerja sekurang-kurangnya 15 tahun atau setara dengan 36.000 jam. Karena dengan lama pengalaman kerja profesi yang berkualitas akan sangat menentukan kualitas materi uji kompetensi. Materi uji kompetensi yang berkualitas adalah yang dapat menggambarkan kompetensi kerja profesi yang sesungguhnya.

Praktisi aktif senior bisa saja para apoteker yang mengabdikan profesinya di apotek, industri dan rumah sakit. Karena tempat pengabdiannya berbeda, maka materi uji kompetensi yang diberikan seharusnya juga berbeda, yang mana perbedaan pokoknya ada pada konsentrasi atau pembobotan. Hal yang seharusnya juga dilakukan dalam uji kompetensi adalah memisahkan kompetensi pada apoteker yang bekerja pada industri farmasi, baik pada industri obat maupun pada obat tradisional adalah berdasarkan bahan yang digunakan dan bentuk sediaan yang dibuat oleh industri farmasi. Mungkin disini akan terkesan ribet, tetapi disinilah bentuk spesifikasi dari profesi apoteker. Bila apoteker mengabdikan diri pada industri farmasi yang membuat sediaan steril, maka apoteker harus menguasai kompetensi sediaan steril. Demikian juga bila apoteker bekerja pada industri yang membuat sediaan tablet, sirup, suppositoria dll, maka apoteker harus mempunyai kompetensi pada masing-masing sediaan tersebut.

Mungkin akan ribet demgan uji kompetensi, tetapi bila pekerjaan tersebut sudah dilakukan selama menjalankan profesinya tentunya hal tersebut akan sangat mudah. Dan hal tersebut juga untuk memberikan rasa keadilan bagi para profesi, semisal para apoteker yang dalam menjalankan profesinya pada industri yang hanya membuat tablet, maka tidak perlu mengikuti kompetensi untuk sediaan steril dsb. Bila ternyata apoteker ingin pindah tempat kerja ke industri lain yang membuat bentuk sediaan lain maka apoteker harus mengikuti uji kompetensi untuk bentuk sediaan lain tersebut.

Demikian juga dengan para professional yang menjalankan profesinya di rumah sakit dan apotek. Sudah seharusnya bila kompetensi disesuaikan dengan tempat dimana apoteker menjalankan tugasnya. Sekali lagi ini bukan untuk mempersulit apoteker, tetapi ini demi melindungi masyarakat dan masyarakat profesi itu sendiri. Mungkin juga uji kompetensi pada apoteker yang bekerja pada rumah sakit dengan tipe yang berbeda akan berbeda pula uji kompetensinya. Hal semacam ini tergantung pada kesepakatan para professional senior aktif dan tim penyusun materi Uji kompetensi.

Demikian juga denga apoteker yang bekerja pada apotek tidak menutup kemungkinan bila kedepan uji kompetensi juga akan mempertimbangkan kondisi apotek tempat menjalankan profesi yang mulia ini. Sekali lagi semua tergantung kesepakatan antara praktisi senior dan para tim.

Dari gambaran diatas, maka sudah seharusnya bila dalam penyusunan materi uji kompetensi harus melibatkkan banyak sekali apoteker dengan segala kompetensinya. Dan dalam pengelolaan data dan dalam pengorganisasiannya, ISFI sangat bertanggung jawab. Jangan sampai ISFI meletakkan tanggung jawab ini kepada orang lain, sehingga ISFI kelihatan tak mampu mengelola anggotanya sendiri.

Bagaimanapun juga uji kompetensi adalah sangat penting, oleh karena itu uji kompetensi harus disusun dengan cermat dan sangat sungguh-sungguh sehingga benar-benar mampu mencerminkan kompetensi itu sendiri. Oleh karena itu harus melibatkan semua unsur profesi yang berkompeten dibidangnya masing-masing.

Sabtu, 04 Juli 2009

UJI KOMPETENSI

UJI KOMPETENSI
(www.hisfarma.blogspot.com)


Apoteker adalah tenaga kesehatan yang spesifik, yang keberadaannya seharusnya tidak tergantikan oleh orang lain atau profesi lain. Spesifik, karena apoteker harus menguasai tehnologi, farmakologi, sekaligus ilmu sosial pendukung profesi. Bisa dikatakan apoteker satu-satunya profesi kesehatan yang dalam pendidikannya sangat sarat dengan ilmu tehnologi, atau dengan kata lain tehnologi farmasi adalah salah satu sarat yang harus dikuasai oleh apoteker.

Tehnologi farmasi yang sangat luas dan berkembang sangat pesat menjadi salah satu pertimbangan kenapa uji kompetensi menjadi salah satu sarat yang harus ada, sehingga apoteker tidak ketinggalan jaman. Penguasaan tehnologi tidak hanya harus dikuasai oleh apoteker yang bekerja di industri saja, tetapi juga yang mengabdikan diri diapotek. Dalam menjalankan profesi diapotek sering kali pengetahuan kita juga diuji, meskipun sering kali sebatas informasi bukan pada pekerjaan peracikan secara langsung. Sering kali didalam edukasi diperlukan wawasan tentang industri dan tehnologi farmasi agar dalam proses pengobatan dapat berjalan dengan optimal.

Diagnosa sangat penting, langkah terapi juga sangat penting, tetapi bila didalam produksi obatnya tidak memenuhi standard dan sampai pada penyerahan obatnya tidak disertai dengan edukasi yang benar bisa jadi jalannya pengobatan tidak optimal. Sifat kimia fisik obat dan bahan tambahan obat, bentuk formulasi, rute pemakaian dan lain sebagainya tetap menjadi salah satu kompetensi yang harus dikuasai oleh para praktisi diapotek. Dari sini sangat kelihatan bila profesi apoteker sangat spesifik sehingga uji kompetensi juga harus dilakukan dengan menyesuaikan kompetensi apoteker yang sangat spesifik.

Berbeda dengan temannya diapotek, apoteker industri juga harus mempunyai kompetensi yang sangat spesifik pula. Penguasaan ilmu sosial mungkin sudah sangat minim, tetapi kompetensi dibidang tehnologi menjadi sangat dalam. Dan apoteker adalah satu-satunya tenaga kesehatan yang dipercaya mampu mengawal kualitas obat dinegeri tercinta ini. Disinilah peran apoteker sangat kelihatan betapa pentingnya bagi pembangunan kesehatan bangsa ini. Hampir setiap tindakan pengobatan membutuhkan obat yang secara tidak langsung berarti membutuhkan apoteker.

Didalam perannya pada industri farmasi, apoteker harus menguasai tehnologi farmasi yang ditunjukan dengan uji kompetensi. Dalam perannya pada industri farmasi, apoteker akan sangat terikat dengan kode etik farmasi industri. Apoteker yang bekerja diindustri, baik pada industri obat maupun industri obat tradisional harus menunjukan kompetensinya karena demi keselamatan penggunaan produk hasil industri. Seperti yang kita pahami bila obat secara definisi kefarmaian adalah racun. Karena bahaya dari obat yang bisa jadi akan sangat membahayakan bila didalam proses pengolahan sampai penyerahan kepada pasien tidak didasari dengan kompetensi yang benar.

Pada apoteker yang bekerja di rumah sakit bisa jadi kompetensi yang diperlukan juga akan berbeda dengan yang bekerja di industri ataupun di apotek. Beda dengan di apotek adalah kebutuhan ilmu sosial dan manajemen yang lebih sedikit, sedangkan beda dengan yang bekerja di industri adalah kemampuan produksi yang lebih sedikit. Tetapi ada hal yang sangat dominan, yaitu bioavailabilitas, farmakoterapi dsb. Disini ilmu tentang tehnologi tetap harus dikuasai meskipun dengan porsi yang lebih kecil.

Dari ketiga kelompok tersebut sangat terlihat bila pekerjaan kefarmasian sangat spesifik dan seharusnya memang tidak tergantikan oleh orang lain, demi kemajuan pembangunan kesehatan nasional. Dan ketiganya mempunyai peran yang sangat spesifik yang terkonsentrasi tergantung dimana mereka bekerja. Seperti ilmu sosial yang dikuasai apoteker apotek bisa akan sangat berbeda dengan yang di rumah sakit. Oleh karena itu seharusnya uji kompetensi yang diberikan kepada mereka mempunyai pembobotan yang berbeda dan didesain secara khusus.

Dari uraian diatas, menurut hemat saya kompetensi apoteker harus dilakukan oleh tim yang terdiri dari banyak pihak yang seperti PT, Praktisi senior yang setidaknya menjadi praktisi aktif sekurang kurangnya 15 tahun (setara 36.000 jam), Pemerintah dan tokoh masyarakat. Dengan melibatkan banyak pihak diharapkan kompetensi lebih dapat dipertanggung jawabkan. Sehingga kepentingan dari masyarakat lebih dapat terakomodasi. Janganlah kita menyusun kompetensi hanya didasarkan pada kepentingan-kepentingan pihak-pihak tertentu saja atau berdasarkan asumsi-asumsi belaka yang akhirnya justru masyarakat yang akan dirugikan.

Saya rasa tidak ada dari semua pihak yang menginginkan uji kompetensi hanya menjadi cara untuk pembodohan masyarakat demi tujuan-tujuan tertentu yang hanya ingin mengeruk uang masyarakat. Tetapi uji kompetensi adalah cara agar praktek profesi menjadi salah satu cara dari pemerintah dalam mengatasi rendahnya tingkat pendidikan kesehatan. Atau dengan kata lain seharusnya praktek profesi juga mengemban fungsi pendidikan kesehatan masyarakat. Karena didalam pembangunan kesehatan pendidikan adalah salah satu pondasi yang harus ada. Tak ada gunanya apoteker pandai, apotek besar obat murah dan lain sbagainay bila tingkat pendidikan kesehatan masyarakat rendah.

Kita juga tidak ingin jalannya pembangunan kesehatan berjalan pincang. Karena jalannya pembangunan kesehatan yang hanya mengarah pada satu pilar saja. Seperti kita ketahui bila dinegara kita pembangunan kesehatan masih berjalan dengan satu pilar, yaitu pilar kedokteran. Kita baru mempunyai UU praktek kedokteran, dan kita belum punya UU praktek kefarmasian, UU praktek keperawatan, UU praktek konsultasi gizi dll. Mengapa ini penting? Seperti kita ketahui bahwa unsur dari pembangunan kesehatan harus melibatkan seluruh elemen masyarakat, bukannya hanya elemen kedokteran saja.

Suatu misal tentang keberadaan obat generic. Citra obat generic yang selalu digembar gemborkan sebagai alternatif obat murah yang berkualitas kurang mendapat dukungan dari masyarakat luas. Hal tersebut dikarenakan yang salah satu sebabnya adalah dinegara kita lebih mengutamakan pebangunan yang mengarah pada satu pilar saja. Seharusnya kita biarkan profesi lain berkembang menjadi dirinya sendiri yang eksis demi meningkatkan sinergisme antar tenaga kesehatan dalam mencapai Negara yang sehat. Ketidak percayaan tehadap obat generic ini juga menyebabkab pengobatan menjadi lebih mahal yang belum tentu lebih berkualitas.

Disinilah pentingnya pemerintah membuat UU praktek kefarmasian yang benar-benar memihak kepentingan rakyat. Bagaimanapun pekerjaan profesi adalah amanah dari rakyat, mengingat pekerjaan profesi seharusnya juga dijalankan sesuai UU hasil kerja keras dari wakil rakyat yang terhormat. Seharusnya rakyatlah yang lebih berhak menentukan kualitas pelayanan dengan membuat aturan-aturan yang lebih memihak dirinya. Salah satu contoh rendahnya tingkat pendidikan kesehatan kita adalah dianggapnya kurang pentingnya UU yang mengatur praktek profesi kesehatan selain dokter. Padahal seperti kitaq ketahui dokter tidak akan berjalan bila tidak ada tenaga kesehatan lain. Janganlah kita sebagai apoteker menutup mata akan pentingnya peran dari tenaga kesehatan lain.

Dengan memberi uji kompetensi yang sesuai dengan pekerjaan kefarmasian kepada apoteker, berarti pula kita mengangkat perekonomian meskipun pengaruhnya mungkin tidak besar. Beberapa hal tersebut al: citra obat generic naik, obat produk PMDN naik, tertekannya peredaran obat palsu, peredaran obat substandart juga dapat ditekan, turunnya biaya pengobatan, dsb. Dengan naiknya derajat kesehatan dan tingkat pendidikan kesehatan masyarakat berarti pula kita ikut meningkatkan perekonomian masyarakat.

Oleh karena itu adalah sangat wajar bila uji kompetensi hanya dilakukan oleh ISFI sebagai induk organisasi dengan membentuk tim penguji yang terdiri dari beberapa pihak diatas. Dan akan lebih baik bila Pemerintah dengan kesadarannya menyusun UU praktek kefarmasian yang lebih memihak kepentingan rakyat. Seperti kita ketahui, bahwa separo dari masalah kuratif dalam kesehatan adalah berkaitan dengan sediaan farmasi. Oleh karena itu sangat manusiawi bila kita juga mengusahakan uji kompetensi yang benar-benar berbasis praktek profsi, dan bukannya berdasarkan imajinasi.

Bila uji kompetensi hanya disusun oleh para apoteker yang hanya praktek profesi dengan duduk dibelakang meja, maka profesi yang akan terbentuk juga profesi imajinasi yang hanya duduk dibelakang kursi. Menurut hemat saya, profesi yang dasar kompetensinya benar-benar disusun oleh para praktisi dengan mempertimbangkan segala hal yang terkait kepentingan masyarakat dan profesi itu sendiri juga pihak lain yang terlibat merupakan sesuatu hal yang sudah seharusnya. Bukannya untuk mempersulit profesi itu sendiri, tetapi adalah semata-mata demi eksistensi profesi itu sendiri dan demi kepentingan masyarakat luas.

UU praktek kefarmasian sebenarnya adalah hal yang mutlak harus ada bila kita ingin memperbaiki layanan kesehatan yang khususnya terkait bidang kefarmasian. Bukannya para apoteker meminta hak istimewa, tetapi hanya sekedar pengakuan dari semua pihak bahwa peran apoteker didalam Sistem Kesehatan Nasional ada pada jajaran garis depan. Para apoteker mempunyai resiko yang sama dengan profesi kesehatan lain dan mempunya beban tanggung jawab yang setara atau bahkan lebih bila dibandingkan dengan tenaga kesehatan lain. Kekurang pekaan masyarakat dan pemerintah akan pentingnya peran apoteker dapat kita sadari karena memang arah pembangunan kesehatan masih mangacu pada satu pilar.

Penyusunan materi uji kompetensi yang seharusnya disusun oleh ISFI tidak bisa didasarkan pada satu atau dua apoteker yang ada tetapi kita harus melibatkan semua praktisi aktif, semua PT farmasi dan pemerintah. Disini seharusnya pemerintah juga menyadari bila perkembangan Iptek pendukung profesi yang sangat pesat memerlukan standarisasi dengan uji kompetensi yang mana dalam menyusun uji kompetensinya diserahkan kepada organisasi profesi itu sendiri. Dan sudah sewajarnya bila pemerintah menyerahkan pekerjaan professional kembali kepada professional itu sendiri, dan pemerintah harus mempercayai profesional sebagai profesional.

Uji kompetensi sudah sewajarnya diberlakukan, tetapi uji kompetensi harus dapat mencerminkan kompetensi itu sendiri. Dan yang dapat menyusun kompetensi yang bebasis profesi adalah profesi itu sendiri. Bukan pemerintah atau profesi lain.