Selasa, 27 Agustus 2019

KASUS PELAYANAN VITAMIN B6 ED OLEH APOTEKER


KASUS PELAYANAN VITAMIN B6 ED OLEH APOTEKER
(oleh Suyanto)

Berita yang sangat menarik perhatian di dunia farmasi saat ini adalah terjadinya sebuah pelayanan vitamin B6 ED (expired date) yang dilakukan oleh seorang apoteker di sebuah Puskesmas di wilayah Jakarta. Dari informasi yang saya dapat dari Grup WA, pelayanan vitamin B6 yang ED terjadi di sebuah Puskesmas yang memiliki pasien 60-70 orang dalam satu harinya. Sunggguh fantastis, pelayanan sedemikian banyak dilakukan seorang apoteker tanpa ada pembantu tenaga seorangpun. Untuk kasus ini saya akan membuat sedikit ulasan yang akan saya awali dari dasar ilmu kefarmasian, apoteker sebagai satu satunya profesi yang memiliki kompetensi dalam ilmu farmasi, keterkaitan dengan kebijakan, manajemen pengelolaan obat dan peran serta masyarakat. Mengingat saya bukan praktisi Puskesmas, maka mohon masukan dan koreksi apabila ada hal yang mungkin tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.
Farmasi berasal dari kata farmacon yang berarti racun. Sedangkan orang ahli farmasi biasa disebut sebagai farmasis atau apoteker. Sebagai ahli racun, apoteker harus memiliki kompetensi terkait setiap substansi kimia atau biologi yang berpotensi mempengaruhi kesehatan manusia apabila terjadi kontak dengan tubuh manusia.
Senyawa racun dapat kontak dengan tubuh baik menggunakan alat bantuan atau tidak, dapat disengaja atau tidak. Contoh racun yang dengan sengaja dimasukan ke dalam tubuh adalah obat, sedangkan contoh alat bantuan yang seringkali digunakan  dalam memasukan obat adalah jarum suntik. Mungkin dari uraian diatas ada timbul pertanyaan mengapa obat dikategorikan sebagai racun sehinggga harus dikelola khusus oleh tenaga profesi yang khusus pula? Hal ini karena obat dapat berdampak baik dan sekaligus buruk bagi tubuh dan ilmu yang mempelajari mengenai dampak obat bagi tubuh adalah farmakologi. Farmakologi atau ilmu tentang obat dapat menggambarkan bahwa obat hanya bermanfaat apabila digunakan dengan benar dan akan berbahaya (menjadi racun) apabila digunakan dengan salah.
Setiap substansi kimia atau biologi yang ada di udara, di air atau di tanah yang berpotensi menjadi racun atau merugikan kesehatan tubuh sudah selayaknya menjadi kompetensi seorang ahli racun. Demikian pula halnya dengan setiap substansi kimia atau biologi yang ada di dalam makanan dan minuman adalah kompetensi seorang ahli racun. Adanya kompetensi itu yang menjadikan apoteker dipercaya untuk mengelola racun yang dapat dimanfaatkan dalam kesehatan yang selanjutnya kita kenal dengan obat dan dipercaya mengelola alat-alat kesehatan yang berpotensi menyebarkan racun bagi tubuh baik secara langsung atau tidak.

Expired date (ED) dalam obat
Sesuai peraturan perundangan, obat harus diproduksi sesuai dengan standar, mulai bahan baku obat, proses produksi, distribusi, penyimpanan sampai kepada pelayanan. Bahan baku obat harus sesuai dengan standar farmakope. Produksi harus sesuai dengan standar Cara Pembuatan Obat yang Baik. Penyimpanan harus sesuai dengan Cara Penyimpanan Obat yang Baik dan pelayanan harus sesuai dengan Standar Pelayanan Kefarmasian.
Expired date obat selalu dikaitkan dengan stabilitas bahan kimia obat yang terkandung didalamnya. Secara teoritis, kapan obat dikatakan expired date adalah saat bahan kimia obat yang terkadung didalamnya sudah tidak sesuai lagi dengan yang dipersyaratkan farmakope. Namun secara administrasi expired date dapat dimaknai berbeda, expired date adalah bentuk tanggungjawab pemerintah dalam mengamankan kepentingan masyarakat. Expired date pada label obat hanya akan dapat memastikan kualitas obat jika pengelolaan obat mulai pendisttribusian dan penyimpanan memenuhi apa yang dipersyaratkan. Apabila pengelolaan obat tidak sesuai yang dipersyaratkan maka label ED tidak dapat menjamin, mengapa, karena kualitas obat di lapangan sangat dipengaruhi oleh banyak hal salah satunya penyimpanan. Pada penyimpanan yang baik, obat dapat bertahan lebih lama bahkan pada beberapa obat dapat bertahan beberapa kali lebih lama dari yang di labelkan.   

Peran apoteker pada pelayanan kefarmasian
Tugas utama apoteker pada pelayanan kefarmasian termasuk di Puskesmas adalah memenuhi personal medication need (PMN) atau  kebutuhan pengobatan personal. Kebutuhan tersebut tidak sekedar penyerahan obat namun termasuk segala aspek yang dapat mempengaruhi jalannya pengobatan. Untuk itu apoteker harus mampu menjalankan Personal medication therapy management dengan baik.
Pada kasus ini. Jumlah resep 60-70 lembar perhari adalah sangat fantastis bagi berlangsungnya proses pemenuhan PMN yang ideal. Bila diasumsikan apoteker bekerja 8 jam sehari, maka rata-rata ada 7,5 lembar dalam setiap jamnya dan bekerja sendiri, sungguh luar biasa. Dapat kita bayangkan pengelolaan logistik yang ideal adalah diakukan setiap hari dan itu akan memakan waktu yang tidak sedikit. Penemuan PMN pada pasien baru pada umumnya dapat berlangsung lebih dari 10 menit per kasus. Penyelesaian personal medication therapy problem seringkali butuh watu sangat lama tergantung pada banyak hal. Pemenuhan PMN juga sulit diprediksikan mengingat PMN tidak sekedar obat namun harus sampai pada perilaku pengobatan.
Ujung dari setiap pelayanan kefarmasian adalah Pelayanan Informasi Obat (PIO). PIO tersebut dimaksudkan untuk perubahan perilaku pengobatan agar pengobatan dapat berlangsung aman dan manjur. Pengobatan tidak akan dapat dijamin optimal apabila penggunaan obat salah atau tidak tepat. PIO yang menjadi kunci penting dalam memenuhi PMN dan setidaknya ada 6 kegiatan yang terlibat yaitu edukasi (education), pelayanan informasi (information), konsultasi, petunjuk penggunaan (guide), pendampingan (advocate) dan saran (advice) yang biasa dikenal dengan ECIGAA.
Pentingnya PIO pada setiap pelayanan kefarmasian dikarenakan dalam setiap pengobatan setidaknya ada 35 jenis perilaku yang berpotensi berinteraksi dengan obat. Interaksi obat dengan perilaku ini sangat mempengaruhi keberhasilan pengobatan. Oleh karenanya PIO tidak boleh diisepelekan dalam setiap pelayanan kefarmasian. Meskipun PIO membutuhkan banyak tenaga dan waktu namun tetap harus dijalankan karena menjadi salah satu jaminan bahwa proses pengobatan dapat berlangsung aman dan manjur.

Apa yang menyebabkan terjadinya pelayanan substandard di puskesmas
Pada kasus ini, saya tidak tahu persis mengapa sampai vitamin B6 ED dapat lepas ke masyarakat. Namun setidaknya ada beberapa kemungkinan yang dapat menjadi pemicu pelayanan substandar yang yang diantaranya adalah:
1.       Faktor beban kerja yang fantastis.
Apabila pada kasus ini diasumsikan apoteker bekerja 8 jam tanpa istirahat, dengan jumlah resep lebih dari 60 lembar setiap hari, maka apoteker memiliki waktu rata rata untuk mengerjakan resep kurang dari 8 menit untuk menyelesaikan setiap lembar resep. Waktu tersebut tidak akan cukup untuk melakukan pelayanan kefarmasian yang utuh. ideal adalah setidaknya apoteker memiliki waktu 1 jam untuk persiapan dan monitoring-evaluasi terhadap keseluruhan pelayanan, 1 jam istirahat yang dibagi ke dalam beberapa sesi dan 6 jam pelayanan. Akibat dari beban kerja yang sangat tinggi, pelayanan kefarmasian dilakukan adalah minimalis atau hanya sebatas penyerahan resep dengan informasi alakadarnya saja. Dampak selanjunya adalah adanya potensi jumlah masyarakat tidak dapat menggunakan obat dengan benar meningkat.
Pengerjaan resep sesuai pengalaman saya, untuk setiap lembarnya membutuhkan waktu sekitar 10 menit. Waktu tersebut belum termasuk upaya menemukan PNM secara utuh dan PIO untuk perubahan perilaku. Untuk kasus ini, idealnya dilakukan setidaknya oleh 2 orang apoteker atau setidaknya dibantu 1 orang Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK) dan satu orang tenaga Asisten Tenaga Kefarmasian (ATK)  
2.       Kebijakan farmasi yang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan
Kebijakan pemerintah dalam penggadaan obat di Puskesmas perlu dievaluasi. Pengadaan obat  yang dilakukan pemerintah dengan melalui tender atau pembelian dalam jumlah besar ikut menyebabkan keruwetan di dalam pengelolaan obat di Puskesmas. Pengadaan obat dalam jumlah besar berpotensi terjadi penumpukan obat dan berpotensi obat akan melewati masa ED. Menurut hemat saya, pengadaan obat di pemerintah dilakukan sesuai dengan kebutuhan untuk masa yang lebih pendek. Kebijakan pengadaan dapat dilakukan setiap minggu, dua minggu atau paling sering satu bulan sekali.
Dapat kita bayangkan, apabila kebijakan pengadaan obat dilakukan dalam jumlah yang sangat besar, bisa bisa obat sampai di Puskesmas sudah mendekati ED dan ini tentu saja akan mempersulit apoteker dalam mengelola obat. Mungkin pembelian obat dalam jumlah besar akan mencegah terjadinya kebocoran karena control menjadi lebih mudah, namun hal ini bertolak belakang dengan kepentingan pelayanan kesehatan.
3.       Manajemen logistik yang buruk
Manajemen logistik yang buruk, saya tidak yakin apabila personil yang bertanggungjawab dalam pengelolaan obat tidak memiliki kompetensi yang cukup. Namun akibat berbagai efek beruntun dari suatu kebijakan yang kurang tepat maka manajemen logistic menjadi rumit. Untuk kasus ini akan dapat dihindari apabila ada system IT yang dapat melacak keberadaan obat ED dan otomatis menghentikan kegiatan pelayanan apabila sistem menemukan ada obat ED yang belum dikeluarkan.
4.       Disengaja oleh apoteker atas alasan kemanusiaan
Penentuan ED pada kemasan apotek tidak serta merta dilakukan begitu saja. Penentuan ED dilakukan melalui proses yang panjang yang namanya uji stabilitas. Seperti kita ketahui bahwa stabilitas obat sanngat dipengaruhi oleh berbagai hal yang salah satunya adalah penyimpanan. Pada penyimpanan obat di sarana kefarmasian yang memenuhi standar penyimpanan yang baik, stabilitas obat akan lebih baik atau obat akan stabil pada jangka waktu yang lebih lama yang bahkan dapat dua kali lipat lebih lama dibandingkan penyimpanan pada kondisi biasa.
Alasan penyimpanan yang baik inilah, apotteker menurut pendapat saya boleh menyerahkan obat yang pada labelnya sudah masuk masa ED asalkan dapat memastikan bahwa obat masih dalam kondisi sesuai dengan kondisi farmakope dan secara etika harus menyampaikan ini kepada masyarakat yang menerima layanan dan pada kondisi darurat (tidak ada pilihan, obat kosong dll.)

Saran
1.       Pemerintah selaku pembuat kebijakan
-          Kebijakan pemerintah akan label ED pada kemasan sebaiknya diganti dengan label serahkan obat sebelum. Hal ini karena obat yang sampai ditangan masyarakat seringkali tidak langsung digunakan habis, atau terkadang masih disimpan dalam jangka waktu yang lebih lama yang berpotensi melewati masa ED yang tertera pada label.
-          Pemerintah harus menyediakan software obat ED di setiap puskesmas untuk mencegah pelayanan obat ED ke masyarakat
-          Pengadaan obat dalam jumlah besar oleh pemerintah harus dievaluasi kecuali untuk obat tangggap bencana.
-          Obat tanggap bencana dan obat darurat tetap harus disediakan dalam jumlah yang cukup dan harus segera dipisahkan dari obat yang digunakan untuk pelayanan agar mudah dalam pengelolaan termasuk pemusnahan. Obat tanggap bencana dan obat darurat seperti ATS dan SABU sanggat penting keberadaannya, dan harapan kita obat tersebut adalah dimusnahkan dan tidak digunakan atau dengan kata lain tidak terjadi bencana. Pemusnahan obat oleh pemerintah jangan dimaknai sebagai kegagalan pemerintah, namun justru prestasi dalam mengantisipasi tangggap bencana.
2.       Pemerintah daerah
Pemerintah daerah seharusnya menyediakan tenagan kefarmasian yang cukup di setiap sarana kesehatan yang dimilikinya untuk maksud terus menjaga dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam bidang kesehatan. Tidaklah bijaksana apabila kita melakukan penghematan dengan mengorbankan kepentingan masyarakat.
3.       Masyarakat
Masyarakat harus secara aktif ikut berperan mengawasi kualitas pelayanan kesehatan termasuk bidang farmasi.
4.       IAI (Ikatan Apoteker Indonesia)
IAI harus menampung setiap masukan dari anggotanya termasuk permasalahan yang terjadi pada setiap seminatnya. Selanjutnya tugas IAI adalah mengadvokasi agar kejadian seperti pada ini tidak pernah ada.

Kesimpulan
         Apoteker adalah manusia biasa yang memiliki kemampuan terbatas dalam melakkukan setiap pekerjaannya dalam praktek profesi, meskipun pelepasan obat yang berlabelkan ED pada kondisi tertentu masih memungkinkan namun unsur etika harus dipenuhi dan ini tetap melanggar asas legal, untuk kasus ini apoteker membutuhkan dukungan kebijakan dari pemerintah toh semua itu didedikasikaan untuk kemanusiaan dan kemajuan bangsa, dan masyarakat harus ikut aktif berperan dalam kemajuan pelayanan kefarmasian yang berorientasi kemanusiaan dengan ikut memberikan dukungan sehingga terwujud pelayanan yang optimal.