Kamis, 31 Juli 2008

SELAMAT & SUKSES

TEMU ILMIAH & ORGANISASI HISFARMA I
1-3 Agustus 2008
Di PROBOLINGGO JAWA TIMUR

TATAP SEBAGAI UPAYA REFUNGSIONALISASI APOTEKER

Info Seputar temu Ilmiah & organisasi Hisfarma 1-3 Agustus 2008

Konsep Tiada Apoteker Tiada Pelayanan (TATAP) dalam pekerjaan kefarmasian tidak bisa dilepaskan dari perkembangan konsep dan pemahaman tentang Farmasi Komunitas (Community Pharmacy). Dalam kenyataannya, perkembangan Farmasi Komunitas di Indonesia telah berjalan seiring dengan keberadaan usaha kefarmasian di bidang apotek ....TATAP dalam farmasi komunitas memang merupakan keniscayaan agar pekerjaan kefarmasian sempurna diwujudkan .....
Selengkapnya simak ulasan: Amir Hamzah Pane, Drs, Apt, MM, MH (Tenaga Ahli Komisi IX DPR RI, Ketua Bidang Umum dan Usaha BPP ISFI, Ketua Komite Advokasi dan Bantuan Hukum GP Farmasi Indonesia dan Doses FMIPA Farmasi UHAMKA)


Sementara itu drs Ahaditomo,MS,Apt dalam penyampaian makalahnya berjudul :MEMAHAMI APOTEKER SEBAGAI PROFESI KESEHATAN

menegaskan :APOTEKER MENGALAMI PROSES “DE-PROFESI” OLEH KARENA TELAH TERJADI PERGESERAN CARA PANDANG DALAM PEMBUATAN OBAT.TAMPILAN APOTEKER MENGALAMI PERUBAHAN BESAR DARI SEMULA “PEMBUAT OBAT JADI” MENJADI “ PENJUAL OBAT JADI BUATAN PABRIK” DI APOTEK,APOTEK BERUBAH DARI SEMULA TEMPAT PELAYANAN PROFESI MENJADI TOKO PENJUALAN OBAT JADI ....

Bagaimana komentar anda ?
Datang & sampaikan pendapat anda dalam Acara
Temu ilmiah & organisasi Hisfarma I
Di Probolinggo jawa Timur1-3 Agustus 2008

info selengkapnya hub. 08123208562

Rabu, 30 Juli 2008

PERAN HISFARMA DALAM MENGEMBANGKAN PROFESI APOTEKER

PERAN HISFARMA DALAM MENGEMBANGKAN PROFESI APOTEKER


Didalam mengembangkan profesi apoteker tidak bisa hanya didasarkan pada apa kata pemilik modal saja atau apoteker saja, tetapi harus didasarkan pada apa yang seharusnya profesi apoteker dapat lakukan. maksudnya, kita harus melihat kenyataan akan apa yang dapat dilakukan dan seharusnya dilakukan oleh seorang apoteker dalam menjalamkan profesinya demi kemajuan pembangunan kesehatan, termasuk kemajuan dalam pendidikan kesehatan masyarakat.

Pihak Terkait Pengembangan Profesi

Dalam mengembangkan profesi apoteker tidak bisa apoteker berdiri sendiri, tetapi harus melibatkan semua pihak yang terkait. Adapun pihak yang terkait tersebut antara lain: tenaga kesehatan lain, pemilik modal, masyarakat sebagai pengguna jasa, pemerintah, perguuan tinggi dan profesional apoteker sendiri.

1. Masyarakat
Dari semua pihak terkait tersebut, masyarakatlah yang seharusnya paling dulu dipertimbangkan kepentingannya, baru disusun aturannya. Disini masyarakat adalah pengguna jasa apoteker yang mana harus dilayani sepenuhnya oleh apoteker dan hak-haknya harus diperhatikan.

Dalam membuat standart profesi tidak boleh hanya didasarkan pada apa kata kita saja sebagai apoteker atau pihak tertentu saja, tetapi kita harus mengkaji dulu apa yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat dari sebuah profesi apoteker. Untuk dapat mengetahui apa kebutuhan masyarakat kita harus melakukan penelitian terkait kebutuhan pelayanan kefarmasian mulai dari obat atau non sediaan farmasi yang mana kesemua itu harus bertujuan optimalisasi pengobatan. Opimalisasi pengobatan berarti aman, efektif, efesien dan manusiawi.

Sudah sehausnya bila kita memperlakukan pasien sebagai klien kita secara manusiawi dan beradab. disinilah peran HISFARMA seharusnya dilibatkan yang mana HISFARMA harus melakukan penelitian dan pengkajian secara mendalam akan apa tindakan profesional apoteker yang dibutuhkan masyarakat dan bagaimana menjalankan profesi secara manusiawi.

Sebagai pelayan masyarakat, apoteker harus melakukan profesi secara manusiawi dan berperikemanusiaan. Agar dapat terjadi profesi apoteker yang dapat melakukan pelayanan secara profesional masyarakat harus dilibatkan. meskipun dalam penglibatannya hanya sebatas data.

2. Pemerintah
Bagaimanapun pemerintah perannya adalah sangat besar. Disini pemerintah harus mampu memfasilitasi kepentingan semua pihak. kepentingan masyarakat agar dapat menikmati pelayanan yang manusiawi dan berperikemanusiaan, kepentingan profesi agar dapat berkembang dan dapat terus menjadi pelayan yang manusiawi, kepentingan pemilik modal agar ada jaminan berinvestasi dan seterusnya.

Tanpa ada pemerintah, maka semua jenis pelayanan akan berjalan seperti hukum rimba dan akan semrawut dan tak jelas arahnya. Yang menjadi permasalahan saat ini adalah "mampukah pemerintah memfasilitasi perkemangan profesi apoteker demi optimalisasi tujuan pemerintah membangun kesehatan bangsa?" Bila pemerintah mau tidak ada alasan tidak mampu, tinggal apa dan siapa yang mampu memberikan masukan kepada pemerintah, masukan yang benar-benar berdasarkan suatu kepentingan dalam pembangunan kesehatan yang seutuhnya.

3. Perguruan Tinggi
Saat saya masih kuliah dulu, dunia pendidikan farmasi menurut saya hanya akrab dengan laboratorium yang jauh dari sifat sosial. Hampir setiap hari kita hanya menghadapi praktikum-praktikum yang seakan tiada habisnya. Padahal dunia kita setelah bekerja di apotek adalah sangat akrab dengan masalah sosial, ekonomi, psikologi, pendidikan kesehatan masyarakat atau penyuluhan, hukum dan lain lain.

Disinilah perguruan tinggi harus mampu mencetak apoteker yang benar-benar siap menjadi pelayan masyarakat, yang mana apoteker mampu melakukan praktek profesi secara nyata dan tidak hanya dibelakang layar saja. Seharusnya yang menjadi pengajar apoteker di perguruan tinggi pencetak apoteker adalah para praktisi yang benar-benar melakukan praktek profesi dibantu oleh para pakar bidang tertentu pendukung profesi. Jadi janganlah apoteker hanya dididik oleh para pengajar yang tidak paham betul tentang praktek profesi.

Menurut saya, seharusnya dari sekian SKS mata kuliah profesi apoteker sebagian diserahkan kepada ISFI yang selanjutnya oleh ISFI diserahkan kepada HISFARMA sebagai salah satu pengolah kurikulum atau dengan kata lain sudah sewajarnya bila para profesional dilibatkan dalam mengembangkan profesi lewat pendidikan profesi. Karena dengan melibatkan para praktisi dengan ikut mengajar diruang kuliah, maka akan memberikan pengalaman profesi yang lebih nyata dan tidak hanya sekedar ilustrasi.

4. Profesi kesehatan Lain
Menurut hemat saya, para anggota profesi kesehatan harus mampu menimbulkan sinergi yang nyata dalam pembangunan kesehatan bangsa. Sinergi antara semua tenaga kesehatan harus diciptakan dan dioptimalkan agar memberikan dampak yang sangat bermakna dalam membangun kesehatan bangsa.

Dilema yang saat ini terjadi adalah terjadinya perebutan lahan dalam menjalankan profesi. Dan penyebabnya yang paling umum adalah ego profesi yang sangat dan ketidak mau mengertian trehadap profesi lain dan dilema ini juga terkait histori yang sangat pamjamg. Karena panjangnya histori ini yang menyebabkan sangat sulit dalam mencari pemecahan yang benar-benar dapat diterima oleh semua profesi kesehatan.

Pernah suatu saat kita bicara dengan lintas profesi, saat itu ada dokter yang menyinggung tentang "bidan rasa dokter, perawat rasa dokter dan seterusnya". Saat itu saya hanya memberi tanggapan agar sebaiknya kita sebagai anggota profesi kesehatan mengembangkan profesi kita masing-masing dengan melihat rumah tangga kita sendiri, dan menata diri kita sendiri-sendiri dengan saling menyadari dan bukannya saling mengkritik. Hal ini saya lakukan agar tidak terjadi pembicaraan yang memanas.

Memang sudah seharusnya bila kita dalam menjalakan praktek profesi tidak saling menyalahkan, tetapi bagaimana agar kita dapat menciptakan sinergisme demi pembangunan kesehatan bangsa. Meskipun banyak dokter dispensing, sebaiknya kita jangan mengatakan "dokter rasa apoteker". Lebih baik kita menjalankan profesi kita dengan lebih dewasa dan lebih profesional. Dan tidak perlu pula kita membalas dengan melakukan "apoteker rasa dokter", karena ini juga bukan suatu penyelesaian.

Marilah kita menunjukan kepada profesi lain peran kita dan kita harus mampu melakukan pelayanan kepada masyarakat seperti mereka. Dengan melakukan pelayanan secara langsung, kita akan dikenal masyarakat dan kedepan semoga masyarakat akan memberikan penghargaan kepada kita dan mempercayakan masalah kesehatannya yang terkait kefarmasian kepada kita. Adalah lebih baik bila kita mulai berlomba dengan tenaga kesehatan lain dalam menunjukan peran kita kepada masyarakat. Dan janganlah kita berlomba hanya ingin mengeruk uang masyarakat dengan pembohongan-pembohongan profesi.

5. Pemilik Modal
Salah satu tantangan kita dalam menjalankan profesi apoteker diapotek adalah permasalahan modal. Modal adalah masalah klasik yang belum sepenuhnya terselesaikan oleh profesi kita. Banyak teman sejawat kita yang cukup sukses dalam menjalankan apotek meskipun dimulai dari modal yang sangat kecil. Tetapi tidak semua apoteker berbakat menjalankan sisi bisnis dari suatu apotek.

Meskipun tidak semua apoteker mampu menjalankan apotek dari sisi bisnis tidak seharusnya para penanam modal diapotek boleh melakukan apa saja asal mendapatkan untung. Pemilik modal tetap harus memperhatikan hak-hak pasien dalam mendapatkan pelayanan prima dari seorang apoteker tanpa mengurangi hak-hak mereka. Disinilah seharusnya HISFARMA juga mampu mampu memberikan masukan kepada semua pihak termasuk pemilik modal agar dapat menjalankan etika bisnis perapotekan dengan benar.

Pemilik modalpun harus bersinergi dengan semua pihak agar pembangunan kesehatan dapat berjalan dengan optimal. bersinergi dengan menghormati hak-hak dan etika. Disini pemilik modal harus ikut serta dalam pengembangan pofesi apoteker dengan mendukung terhadap usaha-usaha memajukan profesi, toh semua ini juga akan kembali demi kemajuan apotek sendiri.

6. Profesional Apoteker
Apoteker sebagai obyek pengembangan profesi harus bekerja keras dan siap melakukan profesi yang berbasis pelayanan. Yang mana profesi apoteker adalah pelayan masyarakat yang berdiri sama tingi dengan profesi lain.

Sebagai pelayan masyarakat, tentu saja kita harus bermuka-muka kepada masyarakat agar masyarakat memberikan penghagaan yang setinggi-tingginya. Bermuka-muka dengan melakukanpelayanan profesi yang kontinyu, konsisten dan konsekuen.

PERAN HISFARMA
HISFARMA atau Himpinan Seminat Farmasi Masyarakat adalah forum Ikatan Sarjana Farmasi Indnesia atau ISFI yang beranggotakan para praktisi harus mampu meningkatkan komunikasi antar profesi apoteker guna membantu menyelesaikan masalah profesi. Peran ini harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan penuh dedikasi dan perjuangan demi tujuan kemanusiaan dan pembangunan kesehatan dan pendidikan kesehatan masyarakat.

Disini HISFARMA harus mampu membuat atau merumuskan profesi apoteker yang lebih modern dan canggih. Agar hal ini dapat terjadi, maka HISFARMA dan ISFI harus mampu melakukan penelitian-penelitian yang lebih memenuhi kebutuhan masyarakat akan jasa profesi. Selanjutnya penelitian-penelitian ini yang akan dijadikan data dan dasar pengembangan profesi.

Karena HISFARMA adalah forum dari para praktisi, maka suaranya tidak boleh diabaikan sama sekali dalam pengembangan profesi apoteker yang berorientasi pembangunan kesehatan bangsa. Karena merekalah yang setiap hari bersentuhan langsung dengan masyarakat dan merekalah yang dapat merasakan apa yang dirasakan masyarakat. Disiniah pentingnya mereka dan tidak ada yang dapat menggantikan.

Peran HISFARMA dalam pengembangan profesi apoteker tak tergantikan oleh siapapun juga, karena apa yang menjadi dasar pikirannya adalah apa yang telah dilakukan, bukan atas dasar apa yang dilihat atau dibaca. Karena didasarkan pada apa yang telah dilakukan, maka para anggota forum ini lebih tahu akan apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang sehausnya tidak dilakukan dalam menjalankan profesi. Anggota forum inilah yang lebih dapat merasakan tentang suka duka sebagai apoteker komunitas.

KESIMPULAN
HISFARMA harus mampu berperan dalam memberikan masukan tentang pengembangan profesi apoteker yang ilmiah dengan mengadakan penelitian-penelitian profesi yang berbasis layanan masyarakat dan profesional. Dengan bersinergi dengan berbagai pihak yang terkait. Karena kepentingan pasien sebagai klien adalah tujuan dari profesi yang berbasis layanan dan kepentingan pasien adalah tujuan pemerintah dalam membangun kesehatan bangsa.

( SAMPAI JUMPA DI PROBOLINGGO 1-3 AGUSTUS 2008)

Rabu, 16 Juli 2008

KESALAHAN MEMAHAMI INDIKASI

KESALAHAN MEMAHAMI INDIKASI


Kesalahan memahami indikasi oleh pasien pada penggunaan obat bebas seringkali terjadi. Sebagai contoh pada obat bebas yang mengandung parasetamol, seringkali pada brosur dan kemasan ada tulisan yang berbunyi kurang lebih "Indikasi : dapat menurunkan panas atau demam akibat influenza".

Akibatnya setiap anaknya sakit influensa yang disertai panas hanya diberi obat parasetamol yang dibeli dari toko kelontong didekat rumahnya, tanpa diberi obat yang mengindikasikan influenza oleh orang tuanya. Umumnya mereka menganggap parasetamol sebagai obat influenza atau batuk, setelah di edukasi baru mengerti dan sebagian tetap tak mau mengerti. Dan seringkali mereka terlambat dan akan mendatangi puskesmas, dokter langganannya atau apoteker langganannya setelah penyakitnya berkembang lebih jauh.

Menurut saya, seharusnya pada kemasan parasetamol cukup ditulis "indikasi adalah analgetik-antipiretik" tanpa diembel-embeli oleh yang lain apalagi cenderung melebih-lebihkan. Agar masyarakat tidak salah persepsi, apalagi kondisi tingkat pendidikan kesehatan masyarakat kita yang ada di daerah umumnya masih rendah. Dan bila masyarakat tidak paham kita arahkan berkonsultasi kepada apotekernya, karena konsultasi yang bersifat privat tentu akan lebih efesien. Kalau perlu pada kemasan parasetamol ditulis " Indikasi : analgetik-antipiretik, dapat anda hubungi apoteker anda bila ingin keterangan lebih jauh". atau gunakan istilah lain, yang penting masyarakat tahu kemana bila ada kesulitan dalam penggunaan obat bebas tersebut.

Dalam praktek diapotek, meskipun hanya obat bebas sebaiknya apoteker tetap melakukan edukasi. Seperti hal diatas meski hanya pelayanan terhadap obat bebas apoteker seharusnya mengerti apa kesalahan masyarakat yang sering terjadi terhadap produk yang dibeli. pada kasus parasetamol seringkali saya tanya "untuk apa? ada batuk pileknya? dsb". Demikian terhadap obat-obat bebas yang lain, apoteker jangan segan-segan untuk menggali pemahaman pasien tentang obat yang dibeli. Meskipun obat bebas, seringkali brosurnya tidak dibaca, asal ada iklan obat itu dibeli.

Kesalahan-kesalahan seperti ini sering terjadi dimasyarakat. Oleh karena itu meskipun obat bebas sebaiknya tetap dilakukan KIE, cuma hambatannya adalah biaya operasioal apotek akan membengkak. Semoga masalah penulisan indikasi pada kemasan obat bebas oleh pabrik obat kedepan didasarkan oleh hal yang lebih simple tetapi jelas. tak perlu dilebih-lebihkan. Dan kesalahan minum obat karena kesalahan pemahaman indikasi sudah terjadi sangat luas dan pada beberapa kasus sulit diedukasi.

Tantangan kita sebagai apoteker memang, edukasi merupakan salah satu hal yang sulit dalam menjalankan profesi apoteker. Apalagi bila kita kurang memahami metode-metode konseling. Seringkali terlihat mudah, tetapi sebenarnya sangat sulit. Salah satu kesulitannya karena edukasi mengharapkan perubahan perilaku kearah penggunaan obat yang lebih rasional oleh masyarakat.

Sabtu, 12 Juli 2008

PEMAKSAAN PROFESI

PEMAKSAAN PROFESI

Banyak bentuk pemaksaan profesi apoteker diapotek yang salah satunya adalah iklan. Sebagai seorang yang profesional tentu saja dalam menyediakan barang dan jasa diapotek tidak boleh didasarkan pada ada dan tidaknya iklan untuk produk tersebut.

Salah satu contoh yang sering kita temukan adalah bahasa iklan seperti "sudah tersedia di apotek sekitar anda" atau dengan kalimat lain yang menunjukan seakan-akan produk tersebut sudah tersedia disetiap apotek diseluruh pelosok negeri. Iklan semacam ini menurut saya adalah suatu hal yang berdampak sebagai pembodohan terhadap masyarakat dan pemaksaan terhadap profesi.

Seharusnya para pemasang iklan menyadari bahwa penyediaan barang dan jasa diapotek adalah didasarkan pada hal-hal yang rasional yang terkait profesi dan akan dikelola demi kepentingan masyarakat banyak. Dan harusnya mereka menyadari bila produk yang merekan iklankan belum tentu menjadi plihan rasional dari seorang apoteker yang praktek profesi diapotek.

Pertimbangan rasional yang dipakai oleh para apteker yang berpraktek profesi diapotek biasanya disesuaikan dengan daerah setempat. Dan setiap daerah adalah spesifik, jadi janganlah iklan seperti tersebut diatas diadakan. Satu hal lagi yang mengganggu adalah tidak semua PBF atau distributor yang membawa produk tersebut menjangkau apotek didaerah.

Bentuk pemaksaan lain adalah konsinyasi yang ditentukan sepihak oleh PBF, hal semacam ini tentu saja sangat mengganggu. Biasanya saya tegur salesnya, karena seringkali konsinyasi dilakukan tanpa seijin apotekernya. Sebagai apoteker biasanya saya menolak konsinyasi dan saya biasanya memberikan penilaian terhadap produk konsinyasi. Bila produk tersebut saya anggap baik dan layak akan saya beli saja dan bila produk tersebut menurut saya tak rasional tentu saja saya tolak. Bila tetap memaksa biasanya saya tawarkan untuk memakai biaya sewa tempat.

Bagaimanapun bentuk pemaksaan terhadap profesi sebaiknya jangan dilakukan, karena sangat mengganggu. Dan menurut saya sebaiknya semua pihak menyadari termasuk iklan obat yang tidak rasional yang dapat menjadikan pemaksaan seharusnya dilarang. Karena bagaimanapun juga pemaksaan profesi akan mendukung terjadinya ketidak rasionalan pelayanan.

Rabu, 09 Juli 2008

SAKIT RABUN MATA, MATI DISUNTIK MANTRI

SAKIT RABUN MATA, MATI DISUNTIK MANTRI


Berita koran surya tanggal 9 juli 2008, "Sakit Rabun Mata, Mati Disuntik Mantri". Kasus semacam ini adalah salah satu cermin rendahnya tingkat pendidikan kesehatan masyarakat. Pada berita diatas orang yang hanya lulusan SD, karena bisa menyuntik maka disebut mantri oleh masyarakat dan dimintai tolong untuk mengobati.

Suatu kenyataan pahit dalam dunia kesehatan kita, yang mana masyarakat kurang mengerti apa itu arti kesehatan dan tenaga kesehatan. Pada kasus ini masyarakat tidak bisa membedakan mantri (perawat) atau bukan, suatu cerminan ketidak mampuan masyarakat mengenali profesional atau bukan.

Pada kasus-kasus yang yang lain adalah masyarakat tidak bisa membedakan antara dokter dan perawat, atau sering kali dokter wanita yang praktek didesa diangap bidan. Pada kasus semacam ini sering terjadi dan suatu pekerjaan yang melelahkan dalam konseling diapotek bila kasus semacam ini kita harus menjelaskan berulang-ulang.

Hanya karena memegang jarum suntik dikatakan mantri, bila pada kasus tersebut sang mantri gadungan mengatakan dirinya dokterpun, mungkin masyarakat juga akan percaya. Hal tersebut disebabkan sangat rendahnya tingkat pendidikan kesehatan masyarakat. Dengan pendidikan kesehatan yang rendah, maka sangat-sangat sulit bila kita sebagai tenaga kesehatan untuk meningkatkan tingkat pendidikan kesehatan masyarakat bila tidak bekerja sama dan saling menimbulkan sinergis.

Tak jarang pula masyarakat tidak bisa membedakan antara apotek dan toko obat liar yang tak berijin. Sehinga siapapun juga yang ada di apotek atau toko obat liar diangap sebagai tenaga yang mengerti akan obat. Meskipun kenyataannya beda, beda dalam kapasitas dan kompetensinya.

Dari ketidak mengertian masyarakat akan beda tenaga kesehatan dan non tenaga kesehatan juga akan ketidak mengertian masyarakat dalam membedakan sarana kesehatan dan non sarana kesehatan sangat mudah untuk dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Dan tidak jarang pula masyarakat mendapatkan informasi yang menyesatka terkait obat dan kesehatan. kadang sangat sulit bagi kita, bila ingin menjelaskan untuk meluruskan informasi.

Semoga kedepan kita sebagai tenaga kesehatan bisa menjadi lebih bertangung jawab dalam mengembangkan profesi dan ikut menjaga informasi yang berkembang dimasyarakat agar masyarakat lebih dapat berpikir lebih rasional dalam menghadapi masalah kesehatannya. Bagaimanapun juga tenaga kesehatan harus bisa mencerahkan masalah kesehatan masyarakat.

PEMILIHAN BAHASA DALAM KIE

PEMILIHAN BAHASA DALAM KIE

Sebagai apoteker yang setiap hari berkecimpung dalam apotek dan melakukan profesi secara penuh tentunya sering kali akan menghadapai hal-hal yang terkait KIE. Hal tersebut salah satunya adalah bahasa.

Kemampuan apoteker dalam memilih bahasa atau perbendaharaan kata bisa jadi menjadi sangat menentukan keberhasilan KIE. Sebagai contoh adalah pada apotek saya yang berada di daerah. Masyarakat sering kali kurang paham bila pesan disampaikan dengan bahasa indonesia baku, bahkan pada masyarakat yang strata sosialnya rendah menggunakan bahasa daerah halus juga sulit dimengerti. Dan yang paling pas adalah menggunakan bahasa kasar sehari-hari.

Pada mulanya saya menggunakan bahasa kasar ada rasa tidak enak, tetapi berjalan seiring dengan waktu saya bisa merasakan lebih baik setelah kita kemas dengan sikap yang tetap menghormati meski kita pakai bahasa kasar. Ada baiknya bila kata pembuka dan penutup KIE tetap menggunakan bahasa halus.

Untuk menutupi rasa bersalah akibat penggunaan bahasa kasar, boleh juga kita mengadakan dialog hal-hal lain diluar KIE yang menggunakan bahasa halus. Supaya masyarakat tetap merasa dihargai atau dihormati oleh profesi.

Masalah di apotek tidak lagi hanya terkait formulasi, tetapi juga masalah sosial. Bahkan pada beberapa kasus swamedikasi, ketrampilan formulasi tidak diperlukan tetapi ketrampilan KIE dan masalah sosial lain yang diperlukan.

Rabu, 02 Juli 2008

MENGATASI DAYA BELI MASYARAKAT

MENGATASI DAYA BELI MASYARAKAT

Pada saat semua harga barang-barang menjadi lebih mahal yang disebabkan oleh tingginya harga energi dunia, kita sebagai apoteker juga dihadapkan terhadap permasalahan yang sama. Kita dihadapkan terhadap kenaikan harga sediaan farmasi yang umumnya ada korelasi langsung terhadap kenaikan harga energi.

Pada saat harga barang kebutuhan naik, otomatis daya beli akan turun. Dampak turunnya harga beli ini bisa jadi akan menurunkan omset dari apotek. Meskipun mungkin tidak terhadap semua jenis apotek. Pada saat semacam ini, kita apoteker akan dituntut untuk mempertahankan omset, tetapi daya beli turun.

Pada saat ini kita harus dapat berlaku lebih cerdas dalam mengatasi daya beli. Salah satu hal yang saya lakukan pada saat terjadi penurunan daya beli adalah menawarkan obat non promo kepada masyarakat. Karena obat non promo secara umum mempunyai harga yang lebih rendah karena tidak ada biaya promosi, atau biaya promosi digunakan untuk menekan harga.

Pada saat kita berpraktek profesi diapotek, permasalahan daya beli adalah hal biasa yang kita temui, apalagi didaerah yang pada umumnya daya belinya sudah rendah meskipun tak ada kenaikan harga energi. Dan yang menjadi PRnya adalah pada penyediaan obat non promo yang berkualitas.

Banyak obat non promo yang berkualitas, dan harganya relatif lebih murah. Dan yang menjadi pertimbangan dalam memilih produk non promo yang jumlanya sangat banyak didasarkan pada hal-hal yang antara lain sebagai berikut :
1. Kemasan
2. Harga
3. Pabrikan
4. dsb

Kemasan, meskipun obat berkualitas baik, tetapi bila kemasan jelek, tidak menarik dan tidak meyakinkan untuk ditawarkan jangan diambil. Karena obat dengan kemasan yang dibawah standar akan sulit kita tawarkan kemasyarakat. Meskipun kita tetap bisa memberikan pengertian tetapi kita akan boros waktu.

Harga, kemasan baik, tetapi harga tak terjangkau juga tidak ada gunanya. Pada saat seperti ini kita harus bisa mengukur berapa kira-kira kemampuan daya beli masarakat. Mengukur kemampuan adalah hal yang sangat sulit, dan dibutuhkan pengalaman tersendiri diluar ilmu kefarmasian. Semakin tepat kemampuan kia dalam memilihkan harga, maka akan semakin senang masyarakat dalam menggunakan jasa kita.

Pabrikan, lebih mudah menawarkan produk obat non promo dari pabrikan besar yang mempunyai nama dari pada pabrikan kecil. Cuman biasanya harga mereka juga sedikit lebih mahal meskipun belum tentu mempunyai kualitas lebih baik.

Dari semua hal diatas, kejujuran adalah hal yang paling penting. Karena kejujuran adalah cerminan dari profesi yang profesional.

Perubahan daya beli adalah salah satu hal yang harus diantisipasi oleh para apoteker diapotek agar apotek dapat bertahan. Daya beli bisa naik atau turun dan keduanya harus mampu diatasi oleh apoteker yang berpraktek profesi di apotek. Bila kita sebagai profesi mampu mengatasi perubahan daya beli maka masyarakat akan diuntungkan dengan kesehatan yang lebih terjaga karena obat terjankau dan tetap produktif, maskipun mengunakan obat non promo. Dan hasil akhirnya apotek menjadi lebih eksis karena masyarakat menjadi lebih puas dan tetap mengunakan jasa kita.

MENOLAK TAWARAN DETAILER

MENOLAK TAWARAN DETAILER


Beberapa waktu yang lalu saya menolak tawaran obat dari detailer. Saat itu sang detailer membawa kemasan produk yang ditawarkan, karena dari awal memang saya tidak tertarik, maka saya cuma lihat kemasan itu. Saya bolak balik dan tertera dalam kemasan obat "simpan pada suhu antara 25 -30 derajat C". Saya ngomong saja ke detailer "coba baca ini, suhu di negara kita rata-rata berapa? obat kamu rusak apa enggak?". Sang detaier spontan menjawab "rusak". Terus saya lanjutkan, "kalau rusak kenapa dijual?" sambil saya tertawa. sang detailer diam tersenyum.

Banyak pada kemasan obat yang tetera tentang cara penyimpanan pada suhu antara 25-30 derajat Celcius atau bahkan lebih rendah dari itu. Tetapi kenyataanya secara umum tak sesuai dengan suhu lingkungan negara kita. Dalam hal ini sebenarnya tidak ada kesalahan pada obat, bila obat mulai proses sampai siap digunakan pada masyarakat disimpan pada suhu tersebut.

Yang menjadi pertanyaan apakah mungkin? jawabnya secara umum adalah "hampir tidak mungkin". PBF mungkin bisa menyediaakan AC pada gudangnya, tetapi pada PBF kecil akan kesulitan untuk menyiapkan mobil box yang dilengkapi AC pada boxnya. Padahal mobil box yang dijemur saat parkir bisa jadi mempunyai suhu yang mendekati 50 derajat Celius.

Seandainya mobil box pengiriman obat di pasang AC, maka apotek, toko obat, warung-warung, toko kelontong dan lain-lain penjual obat tak mungkin semuanya dipasangi AC. Seandainya semua itu dipasangi AC, tak mungkin semua masyarakat yang menyimpan obat dirumah akan menyiapkan AC atau lemari pendingin.

Suhu penyimpanan obat terkait dengan stabilitas. Dan seharusnya kita mengadakan penelitian ulang terhadap stabilitas obat yang disesuaikan suhu diberbagai tempat di negara kita. Mungkin range suhunya diperluas sampai beberapa derajat diatas 30 derajat Celcius. Seperti kita ketahui, dengan kenaikan suhu berarti waktu stabilitas obat atau bahan obat turun. Stabilitas turun berarti obat lebih cepat rusak, dan jangan-jangan sebenarnya obat sudah rusak saat sampai dipasien meskipun tanggal kedaluwarsa pada kemasan belum terlampaui.

Oleh karena itu sudah seharusnya bila ISFI dan HISFARMA juga perguruan tinggi farmasi ikut mengadakan penelitian akan hal tersebut agar masa hidup obat menjadi lebih sesuai dengan yang ditulis di kemasan, yang selanjutnya akan menjadi masukan buat pemerintah . Dengan ikut melakukan penelitian yang berbasis profesi di apotek seperti di atas, baik secara kuantitas maupun kualitas, maka pengembangan profesi akan menjadi lebih sesuai kebutuhan.