Selasa, 27 Agustus 2019

KASUS PELAYANAN VITAMIN B6 ED OLEH APOTEKER


KASUS PELAYANAN VITAMIN B6 ED OLEH APOTEKER
(oleh Suyanto)

Berita yang sangat menarik perhatian di dunia farmasi saat ini adalah terjadinya sebuah pelayanan vitamin B6 ED (expired date) yang dilakukan oleh seorang apoteker di sebuah Puskesmas di wilayah Jakarta. Dari informasi yang saya dapat dari Grup WA, pelayanan vitamin B6 yang ED terjadi di sebuah Puskesmas yang memiliki pasien 60-70 orang dalam satu harinya. Sunggguh fantastis, pelayanan sedemikian banyak dilakukan seorang apoteker tanpa ada pembantu tenaga seorangpun. Untuk kasus ini saya akan membuat sedikit ulasan yang akan saya awali dari dasar ilmu kefarmasian, apoteker sebagai satu satunya profesi yang memiliki kompetensi dalam ilmu farmasi, keterkaitan dengan kebijakan, manajemen pengelolaan obat dan peran serta masyarakat. Mengingat saya bukan praktisi Puskesmas, maka mohon masukan dan koreksi apabila ada hal yang mungkin tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.
Farmasi berasal dari kata farmacon yang berarti racun. Sedangkan orang ahli farmasi biasa disebut sebagai farmasis atau apoteker. Sebagai ahli racun, apoteker harus memiliki kompetensi terkait setiap substansi kimia atau biologi yang berpotensi mempengaruhi kesehatan manusia apabila terjadi kontak dengan tubuh manusia.
Senyawa racun dapat kontak dengan tubuh baik menggunakan alat bantuan atau tidak, dapat disengaja atau tidak. Contoh racun yang dengan sengaja dimasukan ke dalam tubuh adalah obat, sedangkan contoh alat bantuan yang seringkali digunakan  dalam memasukan obat adalah jarum suntik. Mungkin dari uraian diatas ada timbul pertanyaan mengapa obat dikategorikan sebagai racun sehinggga harus dikelola khusus oleh tenaga profesi yang khusus pula? Hal ini karena obat dapat berdampak baik dan sekaligus buruk bagi tubuh dan ilmu yang mempelajari mengenai dampak obat bagi tubuh adalah farmakologi. Farmakologi atau ilmu tentang obat dapat menggambarkan bahwa obat hanya bermanfaat apabila digunakan dengan benar dan akan berbahaya (menjadi racun) apabila digunakan dengan salah.
Setiap substansi kimia atau biologi yang ada di udara, di air atau di tanah yang berpotensi menjadi racun atau merugikan kesehatan tubuh sudah selayaknya menjadi kompetensi seorang ahli racun. Demikian pula halnya dengan setiap substansi kimia atau biologi yang ada di dalam makanan dan minuman adalah kompetensi seorang ahli racun. Adanya kompetensi itu yang menjadikan apoteker dipercaya untuk mengelola racun yang dapat dimanfaatkan dalam kesehatan yang selanjutnya kita kenal dengan obat dan dipercaya mengelola alat-alat kesehatan yang berpotensi menyebarkan racun bagi tubuh baik secara langsung atau tidak.

Expired date (ED) dalam obat
Sesuai peraturan perundangan, obat harus diproduksi sesuai dengan standar, mulai bahan baku obat, proses produksi, distribusi, penyimpanan sampai kepada pelayanan. Bahan baku obat harus sesuai dengan standar farmakope. Produksi harus sesuai dengan standar Cara Pembuatan Obat yang Baik. Penyimpanan harus sesuai dengan Cara Penyimpanan Obat yang Baik dan pelayanan harus sesuai dengan Standar Pelayanan Kefarmasian.
Expired date obat selalu dikaitkan dengan stabilitas bahan kimia obat yang terkandung didalamnya. Secara teoritis, kapan obat dikatakan expired date adalah saat bahan kimia obat yang terkadung didalamnya sudah tidak sesuai lagi dengan yang dipersyaratkan farmakope. Namun secara administrasi expired date dapat dimaknai berbeda, expired date adalah bentuk tanggungjawab pemerintah dalam mengamankan kepentingan masyarakat. Expired date pada label obat hanya akan dapat memastikan kualitas obat jika pengelolaan obat mulai pendisttribusian dan penyimpanan memenuhi apa yang dipersyaratkan. Apabila pengelolaan obat tidak sesuai yang dipersyaratkan maka label ED tidak dapat menjamin, mengapa, karena kualitas obat di lapangan sangat dipengaruhi oleh banyak hal salah satunya penyimpanan. Pada penyimpanan yang baik, obat dapat bertahan lebih lama bahkan pada beberapa obat dapat bertahan beberapa kali lebih lama dari yang di labelkan.   

Peran apoteker pada pelayanan kefarmasian
Tugas utama apoteker pada pelayanan kefarmasian termasuk di Puskesmas adalah memenuhi personal medication need (PMN) atau  kebutuhan pengobatan personal. Kebutuhan tersebut tidak sekedar penyerahan obat namun termasuk segala aspek yang dapat mempengaruhi jalannya pengobatan. Untuk itu apoteker harus mampu menjalankan Personal medication therapy management dengan baik.
Pada kasus ini. Jumlah resep 60-70 lembar perhari adalah sangat fantastis bagi berlangsungnya proses pemenuhan PMN yang ideal. Bila diasumsikan apoteker bekerja 8 jam sehari, maka rata-rata ada 7,5 lembar dalam setiap jamnya dan bekerja sendiri, sungguh luar biasa. Dapat kita bayangkan pengelolaan logistik yang ideal adalah diakukan setiap hari dan itu akan memakan waktu yang tidak sedikit. Penemuan PMN pada pasien baru pada umumnya dapat berlangsung lebih dari 10 menit per kasus. Penyelesaian personal medication therapy problem seringkali butuh watu sangat lama tergantung pada banyak hal. Pemenuhan PMN juga sulit diprediksikan mengingat PMN tidak sekedar obat namun harus sampai pada perilaku pengobatan.
Ujung dari setiap pelayanan kefarmasian adalah Pelayanan Informasi Obat (PIO). PIO tersebut dimaksudkan untuk perubahan perilaku pengobatan agar pengobatan dapat berlangsung aman dan manjur. Pengobatan tidak akan dapat dijamin optimal apabila penggunaan obat salah atau tidak tepat. PIO yang menjadi kunci penting dalam memenuhi PMN dan setidaknya ada 6 kegiatan yang terlibat yaitu edukasi (education), pelayanan informasi (information), konsultasi, petunjuk penggunaan (guide), pendampingan (advocate) dan saran (advice) yang biasa dikenal dengan ECIGAA.
Pentingnya PIO pada setiap pelayanan kefarmasian dikarenakan dalam setiap pengobatan setidaknya ada 35 jenis perilaku yang berpotensi berinteraksi dengan obat. Interaksi obat dengan perilaku ini sangat mempengaruhi keberhasilan pengobatan. Oleh karenanya PIO tidak boleh diisepelekan dalam setiap pelayanan kefarmasian. Meskipun PIO membutuhkan banyak tenaga dan waktu namun tetap harus dijalankan karena menjadi salah satu jaminan bahwa proses pengobatan dapat berlangsung aman dan manjur.

Apa yang menyebabkan terjadinya pelayanan substandard di puskesmas
Pada kasus ini, saya tidak tahu persis mengapa sampai vitamin B6 ED dapat lepas ke masyarakat. Namun setidaknya ada beberapa kemungkinan yang dapat menjadi pemicu pelayanan substandar yang yang diantaranya adalah:
1.       Faktor beban kerja yang fantastis.
Apabila pada kasus ini diasumsikan apoteker bekerja 8 jam tanpa istirahat, dengan jumlah resep lebih dari 60 lembar setiap hari, maka apoteker memiliki waktu rata rata untuk mengerjakan resep kurang dari 8 menit untuk menyelesaikan setiap lembar resep. Waktu tersebut tidak akan cukup untuk melakukan pelayanan kefarmasian yang utuh. ideal adalah setidaknya apoteker memiliki waktu 1 jam untuk persiapan dan monitoring-evaluasi terhadap keseluruhan pelayanan, 1 jam istirahat yang dibagi ke dalam beberapa sesi dan 6 jam pelayanan. Akibat dari beban kerja yang sangat tinggi, pelayanan kefarmasian dilakukan adalah minimalis atau hanya sebatas penyerahan resep dengan informasi alakadarnya saja. Dampak selanjunya adalah adanya potensi jumlah masyarakat tidak dapat menggunakan obat dengan benar meningkat.
Pengerjaan resep sesuai pengalaman saya, untuk setiap lembarnya membutuhkan waktu sekitar 10 menit. Waktu tersebut belum termasuk upaya menemukan PNM secara utuh dan PIO untuk perubahan perilaku. Untuk kasus ini, idealnya dilakukan setidaknya oleh 2 orang apoteker atau setidaknya dibantu 1 orang Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK) dan satu orang tenaga Asisten Tenaga Kefarmasian (ATK)  
2.       Kebijakan farmasi yang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan
Kebijakan pemerintah dalam penggadaan obat di Puskesmas perlu dievaluasi. Pengadaan obat  yang dilakukan pemerintah dengan melalui tender atau pembelian dalam jumlah besar ikut menyebabkan keruwetan di dalam pengelolaan obat di Puskesmas. Pengadaan obat dalam jumlah besar berpotensi terjadi penumpukan obat dan berpotensi obat akan melewati masa ED. Menurut hemat saya, pengadaan obat di pemerintah dilakukan sesuai dengan kebutuhan untuk masa yang lebih pendek. Kebijakan pengadaan dapat dilakukan setiap minggu, dua minggu atau paling sering satu bulan sekali.
Dapat kita bayangkan, apabila kebijakan pengadaan obat dilakukan dalam jumlah yang sangat besar, bisa bisa obat sampai di Puskesmas sudah mendekati ED dan ini tentu saja akan mempersulit apoteker dalam mengelola obat. Mungkin pembelian obat dalam jumlah besar akan mencegah terjadinya kebocoran karena control menjadi lebih mudah, namun hal ini bertolak belakang dengan kepentingan pelayanan kesehatan.
3.       Manajemen logistik yang buruk
Manajemen logistik yang buruk, saya tidak yakin apabila personil yang bertanggungjawab dalam pengelolaan obat tidak memiliki kompetensi yang cukup. Namun akibat berbagai efek beruntun dari suatu kebijakan yang kurang tepat maka manajemen logistic menjadi rumit. Untuk kasus ini akan dapat dihindari apabila ada system IT yang dapat melacak keberadaan obat ED dan otomatis menghentikan kegiatan pelayanan apabila sistem menemukan ada obat ED yang belum dikeluarkan.
4.       Disengaja oleh apoteker atas alasan kemanusiaan
Penentuan ED pada kemasan apotek tidak serta merta dilakukan begitu saja. Penentuan ED dilakukan melalui proses yang panjang yang namanya uji stabilitas. Seperti kita ketahui bahwa stabilitas obat sanngat dipengaruhi oleh berbagai hal yang salah satunya adalah penyimpanan. Pada penyimpanan obat di sarana kefarmasian yang memenuhi standar penyimpanan yang baik, stabilitas obat akan lebih baik atau obat akan stabil pada jangka waktu yang lebih lama yang bahkan dapat dua kali lipat lebih lama dibandingkan penyimpanan pada kondisi biasa.
Alasan penyimpanan yang baik inilah, apotteker menurut pendapat saya boleh menyerahkan obat yang pada labelnya sudah masuk masa ED asalkan dapat memastikan bahwa obat masih dalam kondisi sesuai dengan kondisi farmakope dan secara etika harus menyampaikan ini kepada masyarakat yang menerima layanan dan pada kondisi darurat (tidak ada pilihan, obat kosong dll.)

Saran
1.       Pemerintah selaku pembuat kebijakan
-          Kebijakan pemerintah akan label ED pada kemasan sebaiknya diganti dengan label serahkan obat sebelum. Hal ini karena obat yang sampai ditangan masyarakat seringkali tidak langsung digunakan habis, atau terkadang masih disimpan dalam jangka waktu yang lebih lama yang berpotensi melewati masa ED yang tertera pada label.
-          Pemerintah harus menyediakan software obat ED di setiap puskesmas untuk mencegah pelayanan obat ED ke masyarakat
-          Pengadaan obat dalam jumlah besar oleh pemerintah harus dievaluasi kecuali untuk obat tangggap bencana.
-          Obat tanggap bencana dan obat darurat tetap harus disediakan dalam jumlah yang cukup dan harus segera dipisahkan dari obat yang digunakan untuk pelayanan agar mudah dalam pengelolaan termasuk pemusnahan. Obat tanggap bencana dan obat darurat seperti ATS dan SABU sanggat penting keberadaannya, dan harapan kita obat tersebut adalah dimusnahkan dan tidak digunakan atau dengan kata lain tidak terjadi bencana. Pemusnahan obat oleh pemerintah jangan dimaknai sebagai kegagalan pemerintah, namun justru prestasi dalam mengantisipasi tangggap bencana.
2.       Pemerintah daerah
Pemerintah daerah seharusnya menyediakan tenagan kefarmasian yang cukup di setiap sarana kesehatan yang dimilikinya untuk maksud terus menjaga dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam bidang kesehatan. Tidaklah bijaksana apabila kita melakukan penghematan dengan mengorbankan kepentingan masyarakat.
3.       Masyarakat
Masyarakat harus secara aktif ikut berperan mengawasi kualitas pelayanan kesehatan termasuk bidang farmasi.
4.       IAI (Ikatan Apoteker Indonesia)
IAI harus menampung setiap masukan dari anggotanya termasuk permasalahan yang terjadi pada setiap seminatnya. Selanjutnya tugas IAI adalah mengadvokasi agar kejadian seperti pada ini tidak pernah ada.

Kesimpulan
         Apoteker adalah manusia biasa yang memiliki kemampuan terbatas dalam melakkukan setiap pekerjaannya dalam praktek profesi, meskipun pelepasan obat yang berlabelkan ED pada kondisi tertentu masih memungkinkan namun unsur etika harus dipenuhi dan ini tetap melanggar asas legal, untuk kasus ini apoteker membutuhkan dukungan kebijakan dari pemerintah toh semua itu didedikasikaan untuk kemanusiaan dan kemajuan bangsa, dan masyarakat harus ikut aktif berperan dalam kemajuan pelayanan kefarmasian yang berorientasi kemanusiaan dengan ikut memberikan dukungan sehingga terwujud pelayanan yang optimal.



Rabu, 11 April 2018

WADAH BAGI APOTEKER PRAKTIK MANDIRI


WADAH BAGI APOTEKER PRAKTIK MANDIRI
Oleh : Suyanto


I.                  I. Pendahuluan
1.      Latar Belakang
Apoteker adalah tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan sesuai UU no 36 tahun 2009 tentang Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Untuk itu apoteker harus berproses dengan mengikuti Pendidikan Apoteker. Tugas Pendidikan Apoteker adalah menyiapkan apoteker dengan kompetensi sesuai standar yang ditetapkan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI). Kompetensi apoteker yang ditetapkan IAI adalah kompetensi dalam bidang kesehatan yang menjadi jaminan bahwa praktik apoteker dapat mewujudkan kualitas hidup sehat bagi setiap insan.
Perguruan Tinggi Farmasi dimana sebagai tempat diselenggarakan Pendidikan Apoteker bersama Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) harus dapat mejamin bahwa apoteker yang diluluskan memiliki kompetensi tertentu sehingga dapat lolos Uji Kompetensi Apoteker Indonesia sebagai sarat untuk menjalankan praktik. hal ini karena uji kompetensi adalah jaminan bahwa apoteker baru siap melakukan praktik profesi untuk melayani masyarakat secara profesional. Praktik profesi apoteker dalam pasal 108 UU no 36 tahun 2009 tentang Kesehatan digambarkan sebagai praktik kefarmasian. Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Standar kompetensi apoteker merupakan jaminan praktik kefarmasian yang terukur, ilmiah dan bertanggungjawab. Standar tersebut perlu dilandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan dan etik sehingga orientasi pelayanan kefarmasian oleh apoteker dapat memenuhi nilai-nilai luhur, profesional, memiliki nilai kesejawatan yang tinggi dan berorientasi ke masa depan. Untuk memenuhi nilai-nilai tersebut apoteker harus mendapat bekal sejak di bangku kuliah. Nilai-nilai tersebut merupakan roh dari pelayanan kefarmasian, merupakan dasar dari pelayanan kesehatan yang manusiawi dan harus dimiliki apoteker dalam menjalankan praktik profesi.
Selama menjalankan praktik, apoteker harus selalu dapat menjaga dan mengembangkan kompetemsinya atau profesionalismenya. Untuk itu apoteker dapat melakukan secara mandiri atau secara kolektif. Secara mandiri berarti apoteker bertanggungjawab untuk terus menjaga kompetensinya dengan belajar sendiri sesuai dengan kebutuhan praktiknya. Secara kolektif berarti apoteker harus terorganisasi ke dalam IAI, sehingga IAI dapat melakukan standarisasi profesi yang diterapkan dalam bentuk pembinaan guna menjaga dan meningkatkan profesionalisme apoteker dalam menjalankan praktik kefarmasian.
Apoteker selama menjalankan praktik kefarmasian selalu berproses melalui tahapan yang tidak semuanya dapat dipahami oleh masyarakat. Proses tersebut selalu melalui rangkaian pharmacotherapy workup yang tidak kasat mata dan sulit dipahami masyarakat awam. Tidak jarang masyarakat lebih memahami apoteker praktik sebagai transaksi jual beli. Pemahaman masyarakat tersebut perlu diperbaiki secara bertahap, dan memperbaiki pemahaman masyarakat tersebut membutuhkan peran serta semua pihak. 
Ketidakpahaman masyarakat terhadap serangkaian proses pharmacotherapy workup akan mempersulit praktik apoteker untuk memenuhi personal medication needs, terutama terkait perilaku menggunakan obat. Perilaku tersebut merupakan ujung dari hampir semua pelayanan kefarmasian dan merupakan salah satu kunci keberhasilan pengobatan. Yang dimaksud dengan perilaku tersebut adalah perilaku untuk dapat menggunakan obat dengan benar dan mematuhi aturan penggunaan obat. Pentingnya perilaku tersebut karena dapat mempengaruhi tujuan pengobatan yang mana harus aman, efeksif, efisien dan sesuai.
Tidak ada satupun profesi yang tidak memiliki resiko dalam menjalankan praktiknya. Untuk itu apoteker membutuhkan organisasi profesi untuk mendampingin dan menjaga jalannya praktik profesi. Perbedaan persepsi antara apoteker dengan masyarakat, dengan profesi kesehatan lain dan dengan setiap pihak yang bersentuhan dengan profesi apoteker dapat menjadi kendala dalam menjalankan praktik yang ideal, untuk itu diperlukan kehadiran organisasi profesi.
Berangkat dari permasalah praktik yang ada, IAI sebagai organisasi induk para apoteker harus memiliki arah yang jelas dalam menjaga dan mengembangkan profesi apoteker, untuk itu IAI dapat bekerjasama dengan berbagai pihak. IAI dalam menjaga dan mengembangkan profesi apoteker menuangkan ke dalam Visi-Misi IAI. Visi IAI adalah terwujudnya profesi apoteker yang paripurna, sehingga mampu mewujudkan kualitas hidup sehat bagi setiap manusia. Sedangkan Misi IAI adalah; 1. menyiapkan apoteker yang berbudi luhur, profesional, memiliki kesejawatan yang tinggi dan inovatif serta berorientasi ke masa depan; 2. membina, menjaga dan meningkatkan profesionalisme apoteker sehingga mampu menjalankan praktek kefarmasian secara bertanggung jawab; 3. melindungi Anggota dalam menjalankan profesinya.
Misi IAI dalam menjaga dan meningkatkan profesionalisme apoteker sehingga mampu menjalankan praktek kefarmasian secara maksimal adalah dengan membentuk komunitas apoteker praktik. komunitas untuk apoteker yang praktik di apotek adalah himpunan seminat farmasi masyarakat (HISFARMA). Komunitas yang dapat maknai sebagai ada minat yang sama atau seminat dimaksudkan agar pengembangan profesi dan penanganan isu terkait profesi menjadi lebih fokus, lebih efektif, cepat dan efisien.
Fakta dilapangan, kompetensi apoteker praktik di apotek, setidaknya kompetensi tersebut dapat dikelompokan menjadi dua bagian besar. Kelompoak pertama adalah kompetensi dalam pelayanan kefarmasian dan kelompok kedua kompetensi dalam bidang bisnis farmasi. Akibat ada dua kelompok kompetensi, menjadikan Visi Misi IAI dirasakan kurang menjawab kebutuhan praktik apoteker di apotek. Kurangnya diakibatkan Visi misi IAI memiliki keterbatasan, hanya menyentuh profesi apoteker dalam hal praktik terkait kompetensi kefarmasian, padahal bagi anggota HISFARMA yang memiliki sarana praktik sendiri membutuhkan lebih. Kebutuhan lebih tersebut adalah kebutuhan akan kompetensi untuk mengelola apotek dari sisi bisnis selain harus mengelola apotek dari sisi pelayanan. Oleh karena itu para anggota HISFARMA yang memiliki sarana praktik sendiri merasa perlu menggagas untuk dibetuk wadah bagi Apoteker Praktik Mandiri. Wadah tersebut dimaksudkan untuk komunikasi antar apoteker praktik mandiri dalam menyelesaikan isu terkait bisnis apotek.
Berdasar pada uraian di atas Visi-Misi IAI hanya menyelesaikan isu praktik kefarmasian di apotek terkait pelayanan, sedangkan isu praktik terkait manajemen bisnis apotek belum dirasakan maksimal. Untuk itu perlu dilakukan kajian untuk membahas pentingnya membentuk wadah bagi apoteker praktik mandiri untuk menyelesaikan isu praktik terkait manajemen bisnis apotek yang dilaksanakan sesuai dengan nilai-nilai luhur yang dibangun IAI.


2.      Tujuan Kajian Ilmiah
Tujuan kajian ilmiah ini adalah untuk menemukan masalah pokok yang menjadi dasar akan pentingnya wadah bagi apoteker praktik mandiri.

3.      Manfaat Kajian Ilmiah
Manfaat kajian ilmiah adalah diharapkan dapat menjadi salah satu dasar menentukan arah bagi apoteker praktik mandiri sehingga dapat bersinergi dengan IAI.


II.                II. Bahan dan Metode Kajian
Bahan Kajian :
1.      pasal 108 (1) UU nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang membatasi Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2.      Visi IAI adalah terwujudnya Profesi Apoteker yang paripurna, sehingga mampu mewujudkan kualitas hidup sehat bagi setiap manusia.
3.      Misi IAI adalah ; menyiapkan Apoteker yang berbudi luhur, profesional, memiliki kesejawatan yang tinggi dan inovatif serta berorientasi ke masa depan; membina, menjaga dan meningkatkan profesionalisme Apoteker sehingga mampu menjalankan praktek kefarmasian secara bertanggung jawab; melindungi Anggota dalam menjalankan profesinya.
Rancangan kajian adalah analisis normatif. Analisis dilakukan terhadap pasal 108 (1) UU nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dan Visi-Misi IAI. Analisis dimasudkan menemukan alasan membentuk wadah bagi apoteker praktik mandiri sebagai penguatan praktik yang selaras dengan Visi-Misi IAI.

III.             III. Hasil dan Pembahasan
1.      Kompetensi Apoteker dalam Praktik Kefarmasian di Apotek
Kompetensi apoteker dalam menjalankan praktik kefarmasian diatur dalam Pasal 108 (1) UU nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, yang memberi batasan bahwa praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Apotek merupakan sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh Apoteker. Praktik kefarmasian oleh apoteker di apotek disebut juga praktik apoteker di apotek. Keberadaan praktik apoteker di apotek karena ada suatu kebutuhan akan pengobatan dari anggota masyarakat (Personal Medication Needs/ PMN). Praktik apoteker di apotek dalam memenuhi PMN tidak semata-mata hanya menyerahkan sediaan farmasi begitu saja, namun praktik apoteker harus memahami dan menemukan PMN. Kebutuhan pengobatan yang dipahami masyarakat seringkali berbeda dengan PMN yang menjadi temuan apoteker, perbedaan ini menjadi menjadi salah satu masalah praktik apoteker yang rumit. Akibat rumitnya praktik apoteker, maka apoteker dalam menjalankan praktik harus berbekal keilmuan dan ketrampilan yang paripurna, yang mana setiap tahapan praktik dalam upaya memenuhi PMN harus berdasar keilmuan dan keahlian yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan klinis. Praktik yang paripurna hanya dapat dilakukan oleh apoteker yang paripurna yang sesuai dengan yang tertuang dalam Visi IAI. Visi IAI adalah terwujudnya Profesi Apoteker yang paripurna, sehingga mampu mewujudkan kualitas hidup sehat bagi setiap manusia.
Pada praktik apoteker di apotek, mewujudkan kualitas hidup sehat bagi setiap manusia berarti ada pemenuhan PMN. Tanpa pemenuhan PMN yang paripurna maka pengobatan tidak maksimal atau bahkan gagal. Namun pemenuhan PMN tersebut sangat dipengaruhi oleh sarana dan prasarana apotek yang membutuhkan pengelolaan sendiri seiring dengan pengelolaan praktik apoteker. Akibat dari hal tersebut, Visi IAI untuk mewujudkan kualitas hidup sehat bagi setiap manusia harus selaras dengan kompetensi dalam pengelolaan sarana dan prasarana apotek. Pengelolaan sarana dan prasarana selanjutnya dalam naskah ini dipahami sebagai manajemen bisnis apotek.
Misi IAI dalam hal menyiapkan Apoteker yang berbudi luhur, profesional, memiliki kesejawatan yang tinggi dan inovatif serta berorientasi ke masa depan; membina, menjaga dan meningkatkan profesionalisme Apoteker sehingga mampu menjalankan praktek kefarmasian secara bertanggung jawab; melindungi Anggota dalam menjalankan profesinya.
Misi IAI tersebut akan terwujud apabila dibarengi dengan kompetensi apoteker dalam manajemen bisnis apotek yang memadai. Kompetensi apoteker dalam manajemen bisnis apotek yang memadai penting karena setiap Misi IAI membutuhkan sarana dan prasarana dan juga biaya. Pada kenyataannya, Misi IAI hanya membahas kompetensi apoteker dalam hal pelayanan kefarmasian dan tidak dalam hal manajemen bisnis apotek. Misi IAI yang tidak menggambarkan akan memenuhi kebutuhan apoteker praktik mandiri di apotek terkait kompetensi manajemen bisnis apotek, menjadikan belum terlihat jelas akan siapa yang harus memperjuangkannya, sehingga wadah sangat diperlukan oleh apoteker praktik mandiri yang tergabung dalam Hisfarma.

2.      Praktik Kefarmasian di Apotek Harus Memenuhi Standar
Praktik kefarmasian diapotek sesuai yang dimaksud oleh pasal 108 UU no 36 Tahun 2009 dan yang dimaksud dengan Visi Misi IAI harus sesuai dengan standar. Untuk standar yang dimaksud tersebut, pemerintah telah menggambil tanggungjawab dengan menerbitkan permenkes nomor 73 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolak ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian. Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.
Permenkes no 73 tahun 2016 menetapkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi standar dalam pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai, dan standar dalam pelayanan farmasi klinik. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai meliputi: perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pemusnahan, pengendalian dan pencatatan dan pelaporan.
Pengelolaan sediaan farmasi tersebut di atas dan yang dijalankan sesuai standar tidak serta merta dapat dilakukan begitu saja, diperlukan modal, biaya dan kompetensi dalam manajemen bisnis apotek. Modal dan kompetensi dalam manajemen bisnis farmasi menjadi sarat mutlak yang harus dimiliki apoteker praktik mandiri. Sejak dibangku kuliah atau selama menjadi anggota IAI kompetensi apoteker dalam bidang manajemen bisnis apotek tidaklah diberikan dengan memadai. Untuk menjadi memadai harus diupayakan sendiri oleh apoteker mandiri. Untuk upaya tersebut apoteker dapat melakukan sendiri atau bersama dalam wadah yang  terorganisasi. 
Kebutuhan kompetensi terkait manajemen bisnis apotek menjadi salah satu alasan mengapa apoteker baru tidak mau praktik mandiri, bahkan apoteker yang sudah tidak baru lagi juga enggan praktik mandiri. Kompetensi ini harus diupayakan sendiri, karena IAI dan perguruan tinggi farmasi tidak memiliki kemampuan untuk mengupayakan. Kita tidak dapat menuntut IAI dan atau perguruan tinggi farmasi dalam hal tersebut di atas, karena yang namanya bisnis merupakan ilmu tersendiri yang mana perkembangannya sangat cepat. Perkembangan ilmu bisnis yang sangat cepat menjadikan apoteker praktik mandiri harus selalu belajar dan waspada terhadap setiap perubahan ekonomi, baik makro dan mikro. Untuk itu akan lebih mudah bagi apoteker praktik mandiri apabila memiliki wadah.

3.      Praktik Apoteker di Apotek dalam Pelayanan Farmasi Klinik
Permenkes no 73 tahun 2016 menjelaskan bahwa Pelayanan farmasi klinik meliputi:  pengkajian Resep, dispensing, Pelayanan Informasi Obat (PIO),  konseling,  Pelayanan Kefarmasian di rumah (home pharmacy care), Pemantauan Terapi Obat (PTO), Monitoring Efek Samping Obat (MESO). Pelayanan farmasi klinik tersebut merupakan penjabaran pasal 108 UU no 36 tahun 209 tentang kesehatan dalam pelayanan obat atas resep dokter dan PIO.
Pelayanan obat di apotek oleh apoteker dilakukan atas resep dokter maupun tanpa resep dokter. Praktik kefarmasian dalam hal melayani resep dokter menjadi kewenangan apoteker, sedangkan pelayanan sediaan farmasi non resep tidak harus dilakukan oleh tenaga kefarmasian namun harus tetap sesuai kewenangan yang berjenjang. Praktik kefarmasian di apotek oleh apoteker harus dilandaskan pada pharmacotherapy workup, sehingga standar pelayanan kefarmasian atau pelayanan farmasi klinik di apotek yang ditetapkan IAI dan pemerintah harus didasarkan pada pharmacotherapy workup.
Pengaturan standar pelayanan kefarmasian di apotek menurut Permenkes no 73 tahun 2016 bertujuan untuk meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian, untuk menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian dan untuk melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety). Penerapan standar dalam praktik apoteker di apotek yang berkelanjutann perlu adanya pembinaan oleh pemerintah bersama IAI secara berkelanjutan pula.
Peran IAI dalam mewujudkan pelayanan kefarmasian yang sesuai standar dituangkan dalam Misi IAI. Misi IAI dalam hal menyiapkan  Apoteker yang berbudi luhur, profesional, memiliki kesejawatan yang tinggi dan inovatif serta berorientasi ke masa depan tidak dapat dilakukan sendiri, untuk misi tersebut IAI harus bekerjasama dengan perguruan tinggi farmasi dan praktisi. Menyiapkan apoteker berarti melalui pendidikan apoteker, sedangkan apoteker untuk dapat memiliki sifat yang berbudi luhur, profesional, memiliki kesejawatan yang tinggi dan inovatif serta berorientasi ke masa depan harus dilakukan sendiri oleh IAI melalui seminatnya (HISFARMA).
IAI memegang kunci dalam membentuk apoteker yang berbudi luhur, karena budi luhur adalah perilaku yang hanya dapat diajarkan dengan menyertakan contoh perilaku budi luhur. Pemberian contoh dimaksudkan agar calon apoteker tidak hanya mengetahui namun juga dapat merasakan dan melakukan budi luhur tersebut. Pemberian contoh oleh praktisi dapat diberikan pada saat proses Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) atau istilah lain, juga pada proses magang. Budi luhur tidak dapat diajarkan dengan membaca dan menghafal, namun harus diajarkan dengan melakukan dan membiasakan.
Profesional, pada pelayanan kefarmasian dapat diartikan bahwa apoteker menjalankan praktik didasarkan pada ilmiah, tanggungjawab dan terukur. Membentuk apoteker yang bertanggungjawab tidak dapat hanya dilakukan dengan membaca dan menghafal, namun harus diajarkan dengan praktik. Untuk itu semua, IAI sebagai induk organisasi apoteker bertanggungjawab penuh terhadap kualitas praktik apoteker. Tanggungjawab tersebut yang menjadikan IAI tidak boleh main-main dalam membangun standar kompetensi apoteker. Standar kompetensi apoteker harus dapat menjadi jaminan bahwa setiap apoteker yang memegang sertifikat kompetensi akan memiliki standar yang sama di dalam menjalankan praktik baik secara ilmiah, tanggungjawab dan ukuran. Dengan adanya standar kompetensi tersebut, perguruan tinggi tidak lagi bertanggung jawab terhadap lulusan karena semenjak calon apoteker memegang sertifikat standar kompetensi berarti calon apoteker tersebut resmi menjadi apoteker profesional yang kualitasnya dijamin oleh IAI. Alasan sertifikat kompetensi yang berarti kompetensi apoteker praktik dijamin oleh IAI, maka IAI harus melindungi anggota yang menjalankan standar praktik profesi sesuai amanat yang dituang di dalam Misi IAI.
Kebutuhan apoteker akan profesionalisme dalam menjalankan praktik kefarmasian di apotek sudah sangat sesuai dengan Visi-Misi IAI. Namun untuk menjalankan profesionalisme sesuai Visi-Misi IAI membutuhkan modal dan biaya, sehingga kompetensi dalam manajemen bisnis apotek diperlukan. Terutama bagi apoteker praktik mandiri yang menggunakan sarana dan prasarana milik sendiri.
Dalam pengelolaan apotek, setiap bagian dari kegiatan adalah biaya dan setiap sarana dan prasarana yang digunakan berarti modal. Untuk modal dan setiap biaya yang ada adalah beban bagi pasien yang harus dibayar. Namun tidak serta merta apoteker akan membebankan setiap biaya akibat dari pekerjaan kefarmasian harus dilandaskan pada nilai-nilai luhur dan akibat pekerjaan kefarmasian termasuk bagian dari pekerjaan sosial, meskipun apotek merupakan wahana bisnis. Tentu akan timbul kesulitan tersendiri dalam mengelola apotek sebagai lembaga akibat apotek adalah wahana bisnis yang didalamnya mengelola pekerjaan sosial. Apalagi dalam pendidikan apoteker tidak diberikan matakuliah manajemen bisnis apotek yang memadai.
Dari hal diatas, maka merupakan suatu hal yang tidak rasional apabila apoteker yang baru lulus dengan bekal manajemen bisnis apotek yang minim harus beradu dengan para pebisnis apotek yang sudah lama yang sudah sangat efisien, apalagi beradu dengan apotek jaringan yang secara modal adalah raksasa. Pengelolaan apotek bagi apoteker baru berpotensi menjadi sangat berat dan bahkan juga bagi sebagian apoteker yang sudah tidak baru lagi. Mungkin, ini yang menjadi salah satu alasan banyak apotek lama yang tutup atau apotek baru yang tidak dapat berkembang. Akibat dari hal di atas, para apoteker praktik madiri membutuhkan wadah yang dapat membantu memecahkan masalah manajemen bisnis apotek.

4.      Praktik Apoteker dalam Pelayanan Informasi Obat.
PIO merupakan bagian dari praktek kefarmasian yang diatur dalam pasal 108 Undang undang No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Pada Permenkes no 73 tahun 2016, PIO merupakan bagian dari pelayanan farmasi klinik.
PIO sesuai Permenkes no 73 tahun 2016 merupakan kegiatan yang dilakukan oleh apoteker dalam pemberian informasi mengenai obat yang tidak memihak, dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat. informasi mengenai obat termasuk obat resep, obat bebas dan herbal. Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi khusus, rute dan metoda pemberian, farmakokinetik, farmakologi, terapeutik dan alternatif, efikasi, keamanan penggunaan pada ibu hamil dan menyusui, efek samping, interaksi, stabilitas, ketersediaan, harga, sifat fisika atau kimia dari obat dan lain-lain.
Pada sudut pandang farmasi praktis, PIO merupakan tindakan kefarmasian dalam merubah perilaku kesehatan yang serta merta tidak dapat disederhanakan, namun harus dilaksanakan sesuai standar praktik. PIO oleh apoteker selalu berproses pada pharmacotherapy workup, yang mana proses tersebut tidak sekedar membahas hubungan bahan aktif obat dengan penyakit semata. Keberadaan tingkatan sosial, pendidikan, pekerjaan, gender dan semua yang termasuk data demografi menjadi pertimbangan penting dalam proses pelayanan kefarmasian, oleh sebab itu kompetensi apoteker terhadap budaya dan demografi setempat sangat mempengaruhi keberhasilan dari setiap pelayanan kefarmasian kepada masyarakat. Pentingnya kompetensi apoteker terhadap demografi ini yang menjadi salah satu alasan pentingnya magang bagi apoteker baru dan juga menjadi salah satu alasan mengapa e-farmasi yang dipahami secara dangkal seharusnya tidak boleh dijalankan. Kompetensi apoteker terhadap teknologi farmasi juga menjadi menjadi dasar dalam pelayanan kefarmasian di apotek, karena setiap apoteker harus mampu menjelaskan maksud dari setiap teknologi yang melekat pada setiap sediaan. Pengetahuan apoteker praktik di apotek akan teknologi farmasi menjadi salah satu kompetensi dasar.  
Masalah penting di dalam PIO adalah adanya peningkatan pemahaman yang diikuti perubahan sikap dan perilaku. Tanpa ada perubahan perilaku, PIO adalah tidak efektif. PIO yang tidak efektif berarti sama saja dengan tidak ada pelayanan. Sehingga PIO di apotek yang aman, efektif, efisien dan sesuai yang berproses kepada pharmacotherapy workup harus disampaikan oleh apoteker kepada masyarakat secara langsung. PIO yang tidak sampaikan secara langsung tidak termasuk dalam praktik kefarmasian di apotek.
Pemberian informasi kepada masyarakat dimaksudkan untuk meningkatkan pengetahuan  akan kesehatan. Pemberian informasi untuk edukasi model rasional, strategi sasaran individu dan kelompok dan berusaha untuk dorongan perilaku kesehatan positif dan mencegah pemilihan perilaku kesehatan negatif. Hal ini dilakukan dengan menyajikan informasi yang relatif tidak bias. Model ini, juga dikenal sebagai knowledge, attitudes, practices Model (KAP), didasarkan pada alasan bahwa meningkatkan pengetahuan seseorang akan menghasilkan perubahan perilaku. asumsinya bahwa halangan satu-satunya untuk bertindak rasional dan bertanggung jawab adalah ketidaktahuan, dan informasi itu saja dapat mempengaruhi perilaku dengan melakukan koreksi terhadap kekosongan pengetahuan (WHO, 2012):
Dengan demikian, PIO dalam praktik kefarmasian yang dilakukan oleh apoteker di apotek merupakan pekerjaan yang sangat serius dan berat karena harus berujung pada perubahan perilaku. Namun kebanyakan praktik PIO pada saat ini masih dijalankan dengan gratis, dan merupakan suatu hal yang tidak masuk akal. Tingkat keberhasilan PIO sangat dipengaruhi oleh banyak hal, termasuk persepsi awal masyarakat dan ketrampilan apoteker. Perubahan perilaku masyarakat dalam menggunakan obat seringkali sangat sulit terjadi, meskipun apoteker telah melakukan usaha yang keras. Namun PIO tetap harus dilakukan, karena informasi merupakan bagian dari PMN. Informasi tersebut, secara sederhana, dapat dimaksudkan sebagai edukasi untuk perubahan perilaku sehingga masyarakat dapat menggunakan obat dengan benar dan dapat mematuhi aturan penggunaan obat. Secara luas, PIO yang disampaikan apoteker adalah informasi terkait apa saja yang harus dilakukan masyarakat terkait obat dan kesehatan sehingga masyarakat dapat mengambil keputusan dan tindakan untuk suatu perilaku kesehatan sesuai temuan Pharmacotherapy workup.
Dengan demikian, pemahaman akan ujung praktik apoteker di apotek sebagai pulang membawa obat adalah tidak tepat. Ujung praktik apoteker praktik di apotek adalah perubahan perilaku masyarakat sesuai proses pharmacotherapy workup.
Pemahaman masyarakat yang menganggap praktik kefarmasian adalah pulang membawa obat akan berpotensi terjadi pengobatan yang tidak berhasil yang berujung membahayakan dan mahal. Pengobatan yang tidak berhasil berpotensi terjadi kesalahan dalam indikasi dan keamanan. Akibat dari salah indikasi adalah pengobatan tidak yang tidak menyembuhkan dan berpotensi terjadi perkembangan penyakit yang liar dan mebahayakan jiwa. Akibat dari penggunaan yang salah juga berpotensi berbahaya bagi pengguna. Semua itu dapat berdampak pada biaya pengobatan yang mahal dan tidak terprediksikan. Semua hal tersebut di atas dimungkinkan terjadi apabila proses pharmacotherapy workup diabaikan.
Pemahaman pengusaha apotek yang bukan apoteker terhadap praktik kefarmasian berpotensi pada pemahaman yang tidak tepat, atau pelayanan yang berujung pada pulang membawa obat. Apabila hal ini terjadi, maka akan terjadi pelayanan kefarmasian yang berorientasi pada pelayanan transaksi yang menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan. Potensi terjadinya pelayanan transaksi obat akan menjadikan pelayanan hanya fokus pada tujuan bisnis semata dan mengabaikan nilai nilai kemanusiaan. Apabila apotek hanya dikelola semata berorientasi bisnis, maka upaya pemenuhan PMN yang utuh menjadi tidak penting. Kesalahan penggunaan obat dan ketidak patuhan penggunaan obat akibat pemenuhan PMN yang tidak utuh justru akan mempermaju bisnis apotek, akibat semakin berpotensi menyebabkan sakit lebih lanjut yang berarti berpotensi terjadi transaksi obat yang berulang.
Pemahaman yang salah dari tenaga kesehatan lain terhadap konsep pengobatan yang harus sesuai standar pelayanan kefarmasian berpotensi terjadi. Tenaga kesehatan lain yang hanya menganggap obat sebagai komoditas dagang akan menghilangkan hak hak pasien. Salah satu dari hak pasien adalah PIO. Hak pasien akan informasi obat sering tidak disampaikan dengan benar, yang mana tenaga kesehatan lain sering kali merasa memiliki kewenangan menyerahkan obat dan atau melakukan dispensing namun dengan sengaja melakukan pengaburan terhadap informasi obat. Pengaburan tersebut dimaksudkan olehnya agar masyarakat hanya mendapat informasi dari satu sumber, padahal dalam pandangan saya masyarakat berhak mendapatkan informasi obat dari mana saja terutama dari apoteker untuk setiap obat yang dikonsumsinya.
Mengingat PIO merupakan bagian dari PMN yang melekat dan sangat penting dan merupakan ujung dari hampir setiap pelayanan kefarmasian di apotek, maka harus dilaksanakan secara rasional. Untuk itu perlu dilakukan kajian, kajian sesuai kaidah praktik kefarmasian dan kaidah bisnis. Sedangkan saat ini, hampir setiap PIO di apotek dilakukan dengan gratis, padahal biaya PIO oleh apoteker di apotek sangat tidak murah. Oleh karena tidak murah, PIO di apotek sangat berpotensi untuk dihilangkan oleh pengusaha apotek yang hanya berorientasi bisnis untuk menekan biaya operasional. Untuk itu perlu dibangun wadah untuk mencari solusi agar setiap pelayanan kefarmasian di apotek memiliki ujung yang benar, ujung tersebut adalah pelayanan kognitif untuk merubah perilaku, pelayanan kognitif sering dikenal sebagai PIO.


5.      Pentingnya Keberadaan wadah bagi Apoteker Praktik Mandiri
Penyelenggaraan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek harus didukung oleh ketersediaan sumber daya kefarmasian yang berorientasi kepada keselamatan pasien. Sumber daya kefarmasian tersebut adalah sumber daya manusia dan sumber daya sarana dan prasarana. Pelayanan Kefarmasian di Apotek diselenggarakan oleh Apoteker (Permenkes no 73 tahun 2016).
Apoteker dalam menyelenggarakan apotek membutuhkan IAI sebagai asosiasi. Keberadaan asosiasi bagi apoteker praktik adalah sangat penting. Karena sesuai Visi-Misi IAI, IAI bemberikan jaminan praktik selama praktik berlangsung rasional yang didasarkan pada standar kompetensi yang selalu dijaga dan dikembangkan oleh IAI bersama semua pihak, ada jaminan hukum, ada advokasi dsb. Bahkan untuk kepentingan kompetensi apoteker praktik yang bersifat lebih teknis, IAI membentuk komunitas apoteker praktik sesuai dengan minat atau tempat dimana apoteker menjalankan praktik profesi.
Komunitas untuk apoteker yang praktik di apotek adalah Hisfarma (Himpunan Seminat Farmasi Masyarakat). Hisfarma merupakan bagian dari IAI dan tidak dapat lepas. Hisfarma diharapkan dapat menjawab setiap tantangan yang muncul dalam praktik dan selalu mengikuti perkembangan. Hisfarma yang anggotanya seluruh apoteker yang praktik di apotek tentunya akan lebih pada pengembangan sumber daya manusia. Sedangkan pengembangan sarana dan prasarana atau pengembangan manajemen bisnis apotek yang rasional dan proporsional dengan praktik apoteker belum terjawab oleh Hisfarma dan IAI. Untuk semua itu perlu dibentuk wadah bagi apoteker praktik mandiri.
Mungkin akan ada yang menyarankan apoteker praktik mandiri masuk ke dalam GP Farmasi. Namun yang perlu dipertimbangkan adalah anggota GP Farmasi sesuai anggaran dasarnya adalah pengusaha farmasi yang terdiri dari pengusaha pabrik farmasi, distributor, apotek dan toko obat. Keberadaan GP Farmasi dimaksudkan dapat menjadi wadah dan wahana komunikasi, konsultasi, informasi dan fasilitasi bagi perusahaan farmasi Indonesia, pemerintah dan pihak-pihak lainnya. Sedangkan landasan etika dalam GP Farmasi adalah etika bisnis. Ditinjau dari sisi landasan etika, apoteker praktik mandiri seharusnya berbeda, karena landasan yang digunakan adalah landasan etika pelayanan kefarmasian tanpa mengesampingkan tujuan bisnis. Dari itu perlu dibentuk wadah bagi apoteker praktik mandiri yang didasarkan pada kepentingan bisnis tanpa mengesampingkan pelayanan kefarmasian yang maksimal karena pelayanan kefarmasian adalah tujuan dari keberadaan  setiap apotek..
Asosiasi Apotek Indonesia (ASAPIN)  merupakan asosiasi baru yang dibentuk sebagai wadah bagi apotek untuk bekerjasama dengan BPJS.  Menurut Ketua ASAPIN, Drs. Saleh Rustandi, MM. Apt., BPJS dan Kemenkes akan melakukan akreditasi apotek yang akan bermitra. Undang-Undang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menyatakan bahwa kerjasama fasilitas kesehatan (faskes) dengan BPJS melalui asosiasi resmi faskes, yakni ASAPIN. Selain itu, data apotek di BPJS saat ini kurang transparan berdasarkan temuan KPK. (http://farmasetika.com/2018/01/22/asapin-bantu-apotek-di-indonesia-menjadi-mitra-program-bpjs/  akses tanggal 5/4/2018). Tujuan ASAPIN tidak menggambarkan kepentingan apoteker praktik mandiri, dan tidak semua apoteker mandiri bekerjasama dengan BPJS. Kepentingan apoteker praktik mandiri adalah bisnis pelayanan kefarmasian mencakup semua pelayanan tidak hanya BPJS. Mengingat kepentingan apoteker praktik mandiri tidak sekedar melayani BPJS, maka diperlukan wadah yang dapat memperjuangkan terjadinya pelayanan kefarmasian yang manusiawi dan sesuai hak setiap personal untuk hidup sehat, namun secara bisnis tetap memberikan keuntungan.
Apoteker praktik mandiri secara profesi sudah terwadahi oleh IAI bersama Hisfarma didalamnya, namun sisi pengelolaan sarana dan prasarana untuk dapat terus berlangsung sesuai dengan standar yang ada membutuhkan wadah lain. Bisnis apotek berbeda dengan bisnis pada umumnya, karena bisnis apotek harus meletakan nilai-nilai kemanusiaan sebagai pondasi. Kepentingan kemanusiaan harus lebih utama dari kepentingan bisnis, namun bisnis tidak boleh mati. Disinilah pokok pentingnya wadah bagi apoteker praktik mandiri, yang mana apoteker praktik mandiri harus tetap berkembang bersama idealisme profesi.  

IV.             IV. Kesimpulan
Keberadaan wadah bagi apoteker praktek mandiri sangat diperlukan guna penyelenggaraan pelayanan kefarmasian yang berkelangsungan dengan tetap mengusahakan pelayanan kefarmasian yang maksimal dengan pembiayaan yang rasional.

V. Saran
1.      Setiap pihak untuk terus memberikan dukungan terhadap peradaban pelayanan kefarmasian yang didasarkan pada pelayanan maksimal dengan pembiayaan yang rasional.
2.      Nama organisasi yang mewadahi apoteker praktik mandiri sebaiknya menambahkan kata society atau masyarakat agar lebih menggambarkan anggota oraganisasi, anggota organisasi seluruh masyarakat apoteker praktik mandiri di seluruh Indonesia.