KASUS PELAYANAN VITAMIN B6 ED OLEH APOTEKER
(oleh Suyanto)
Berita yang sangat menarik perhatian
di dunia farmasi saat ini adalah terjadinya sebuah pelayanan vitamin B6 ED
(expired date) yang dilakukan oleh seorang apoteker di sebuah Puskesmas di
wilayah Jakarta. Dari informasi yang saya dapat dari Grup WA, pelayanan vitamin
B6 yang ED terjadi di sebuah Puskesmas yang memiliki pasien 60-70 orang dalam
satu harinya. Sunggguh fantastis, pelayanan sedemikian banyak dilakukan seorang apoteker tanpa ada
pembantu tenaga seorangpun. Untuk kasus ini saya akan membuat sedikit ulasan
yang akan saya awali dari dasar ilmu kefarmasian, apoteker sebagai satu satunya
profesi yang memiliki kompetensi dalam ilmu farmasi, keterkaitan dengan kebijakan,
manajemen pengelolaan obat dan peran serta masyarakat. Mengingat
saya bukan praktisi Puskesmas, maka mohon masukan dan koreksi apabila ada hal yang
mungkin tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.
Farmasi berasal dari kata farmacon
yang berarti racun. Sedangkan orang ahli farmasi biasa disebut sebagai farmasis
atau apoteker. Sebagai ahli racun, apoteker harus memiliki kompetensi terkait
setiap substansi kimia atau biologi yang berpotensi mempengaruhi kesehatan
manusia apabila terjadi kontak dengan tubuh manusia.
Senyawa racun dapat kontak dengan
tubuh baik menggunakan alat bantuan atau tidak, dapat disengaja atau tidak. Contoh
racun yang dengan sengaja dimasukan ke dalam tubuh adalah obat, sedangkan
contoh alat bantuan yang seringkali digunakan dalam memasukan obat adalah jarum suntik. Mungkin
dari uraian diatas ada timbul pertanyaan mengapa obat dikategorikan sebagai racun
sehinggga harus dikelola khusus oleh tenaga profesi yang khusus pula? Hal ini
karena obat dapat berdampak baik dan sekaligus buruk bagi tubuh dan ilmu
yang mempelajari mengenai dampak obat bagi tubuh adalah farmakologi. Farmakologi atau ilmu tentang obat dapat menggambarkan bahwa obat hanya bermanfaat apabila digunakan
dengan benar dan akan berbahaya (menjadi racun) apabila digunakan dengan salah.
Setiap substansi kimia atau biologi
yang ada di udara, di air atau di tanah yang berpotensi menjadi racun atau
merugikan kesehatan tubuh sudah selayaknya menjadi kompetensi seorang ahli
racun. Demikian pula halnya dengan setiap substansi kimia atau biologi yang
ada di dalam makanan dan minuman adalah kompetensi seorang ahli racun. Adanya kompetensi
itu yang menjadikan apoteker dipercaya untuk mengelola racun yang dapat
dimanfaatkan dalam kesehatan yang selanjutnya kita kenal dengan obat dan dipercaya
mengelola alat-alat kesehatan
yang berpotensi menyebarkan racun bagi tubuh baik secara langsung atau tidak.
Expired date (ED) dalam
obat
Sesuai peraturan
perundangan, obat harus
diproduksi sesuai dengan standar, mulai bahan baku obat, proses produksi,
distribusi, penyimpanan sampai kepada pelayanan. Bahan baku obat harus sesuai
dengan standar farmakope. Produksi harus sesuai dengan standar Cara Pembuatan
Obat yang Baik. Penyimpanan harus sesuai dengan Cara Penyimpanan Obat yang Baik
dan pelayanan harus sesuai dengan Standar Pelayanan Kefarmasian.
Expired date obat selalu dikaitkan
dengan stabilitas bahan kimia obat yang terkandung didalamnya. Secara teoritis,
kapan obat dikatakan expired date adalah saat bahan kimia obat yang terkadung
didalamnya sudah tidak sesuai lagi dengan yang dipersyaratkan farmakope. Namun secara
administrasi expired date dapat dimaknai berbeda, expired date adalah bentuk tanggungjawab pemerintah
dalam mengamankan kepentingan masyarakat. Expired date
pada label obat hanya akan dapat memastikan
kualitas obat jika pengelolaan obat mulai pendisttribusian dan
penyimpanan memenuhi apa yang dipersyaratkan. Apabila pengelolaan obat tidak sesuai yang dipersyaratkan maka
label ED tidak dapat menjamin, mengapa,
karena kualitas obat di lapangan sangat dipengaruhi oleh banyak hal
salah satunya penyimpanan. Pada penyimpanan yang baik, obat dapat bertahan
lebih lama bahkan pada beberapa obat dapat bertahan beberapa kali lebih
lama dari yang di labelkan.
Peran apoteker pada
pelayanan kefarmasian
Tugas utama apoteker pada pelayanan
kefarmasian termasuk di Puskesmas adalah memenuhi personal medication need (PMN) atau
kebutuhan pengobatan personal. Kebutuhan tersebut tidak sekedar
penyerahan obat namun termasuk segala aspek yang dapat mempengaruhi jalannya
pengobatan. Untuk itu apoteker harus mampu menjalankan Personal medication therapy management dengan baik.
Pada kasus
ini. Jumlah resep 60-70 lembar
perhari adalah sangat fantastis bagi berlangsungnya proses pemenuhan PMN yang
ideal. Bila diasumsikan apoteker bekerja 8 jam sehari, maka rata-rata ada 7,5
lembar dalam setiap jamnya dan bekerja sendiri, sungguh luar biasa. Dapat kita
bayangkan pengelolaan logistik yang ideal adalah diakukan setiap hari dan itu
akan memakan waktu yang tidak sedikit. Penemuan PMN pada pasien baru pada
umumnya dapat berlangsung lebih dari 10 menit per kasus. Penyelesaian personal medication therapy problem
seringkali butuh watu sangat lama tergantung pada banyak hal. Pemenuhan PMN
juga sulit diprediksikan mengingat PMN tidak sekedar obat namun harus sampai
pada perilaku pengobatan.
Ujung dari setiap pelayanan
kefarmasian adalah Pelayanan Informasi Obat (PIO). PIO tersebut dimaksudkan
untuk perubahan perilaku pengobatan agar pengobatan dapat berlangsung aman dan
manjur. Pengobatan tidak akan dapat dijamin optimal apabila penggunaan obat
salah atau tidak tepat. PIO yang menjadi kunci penting dalam memenuhi PMN dan
setidaknya ada 6 kegiatan yang terlibat yaitu edukasi (education), pelayanan informasi (information), konsultasi, petunjuk penggunaan (guide), pendampingan (advocate)
dan saran (advice) yang biasa dikenal
dengan ECIGAA.
Pentingnya PIO pada setiap pelayanan kefarmasian dikarenakan dalam setiap pengobatan setidaknya ada 35 jenis perilaku yang berpotensi berinteraksi dengan obat. Interaksi
obat dengan perilaku ini sangat
mempengaruhi keberhasilan pengobatan. Oleh karenanya PIO tidak boleh diisepelekan dalam setiap
pelayanan kefarmasian. Meskipun PIO membutuhkan banyak tenaga dan waktu namun
tetap harus dijalankan karena menjadi salah satu jaminan bahwa proses pengobatan dapat berlangsung aman dan manjur.
Apa yang menyebabkan terjadinya pelayanan substandard
di puskesmas
Pada kasus ini, saya tidak tahu
persis mengapa sampai vitamin B6 ED dapat lepas ke masyarakat. Namun setidaknya
ada beberapa kemungkinan yang dapat menjadi pemicu pelayanan substandar yang yang diantaranya adalah:
1. Faktor beban kerja yang fantastis.
Apabila pada kasus ini diasumsikan apoteker bekerja 8 jam tanpa istirahat, dengan jumlah resep lebih
dari 60 lembar setiap hari,
maka apoteker memiliki waktu rata rata untuk mengerjakan resep kurang
dari 8 menit untuk menyelesaikan
setiap lembar resep. Waktu tersebut tidak akan cukup untuk melakukan pelayanan
kefarmasian yang utuh. ideal adalah setidaknya apoteker memiliki waktu 1 jam untuk persiapan dan monitoring-evaluasi
terhadap keseluruhan pelayanan, 1 jam istirahat yang dibagi ke dalam beberapa sesi dan 6 jam pelayanan. Akibat
dari beban kerja yang sangat tinggi, pelayanan kefarmasian dilakukan adalah minimalis atau hanya sebatas penyerahan resep
dengan informasi alakadarnya saja. Dampak selanjunya adalah adanya potensi jumlah masyarakat tidak dapat menggunakan
obat dengan benar meningkat.
Pengerjaan
resep sesuai pengalaman saya, untuk setiap lembarnya membutuhkan waktu sekitar
10 menit. Waktu tersebut belum termasuk upaya menemukan PNM secara utuh dan PIO
untuk perubahan perilaku. Untuk kasus ini, idealnya dilakukan setidaknya
oleh 2 orang apoteker atau
setidaknya dibantu 1 orang
Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK) dan satu orang tenaga Asisten Tenaga
Kefarmasian (ATK)
2. Kebijakan farmasi yang tidak sesuai
dengan kondisi di lapangan
Kebijakan pemerintah
dalam penggadaan obat di Puskesmas perlu dievaluasi. Pengadaan obat yang dilakukan pemerintah dengan melalui
tender atau pembelian dalam jumlah besar ikut menyebabkan keruwetan di dalam
pengelolaan obat di Puskesmas. Pengadaan obat dalam jumlah besar berpotensi
terjadi penumpukan obat dan berpotensi obat akan melewati masa ED. Menurut hemat
saya, pengadaan obat di pemerintah dilakukan sesuai dengan kebutuhan untuk masa
yang lebih pendek. Kebijakan pengadaan dapat dilakukan setiap minggu, dua
minggu atau paling sering satu bulan sekali.
Dapat kita bayangkan, apabila
kebijakan pengadaan obat dilakukan dalam jumlah yang sangat besar, bisa bisa obat
sampai di Puskesmas sudah mendekati ED dan ini tentu saja akan mempersulit
apoteker dalam mengelola obat. Mungkin pembelian obat dalam jumlah besar akan
mencegah terjadinya kebocoran karena control menjadi lebih mudah, namun hal ini
bertolak belakang dengan kepentingan pelayanan kesehatan.
3. Manajemen logistik yang buruk
Manajemen logistik yang
buruk, saya tidak yakin apabila personil yang bertanggungjawab dalam
pengelolaan obat tidak
memiliki kompetensi yang cukup. Namun akibat berbagai efek beruntun
dari suatu kebijakan yang kurang tepat maka manajemen logistic menjadi rumit. Untuk kasus ini akan dapat
dihindari apabila ada system IT yang dapat melacak keberadaan obat ED dan
otomatis menghentikan kegiatan pelayanan apabila sistem menemukan ada obat ED
yang belum dikeluarkan.
4. Disengaja oleh apoteker atas alasan
kemanusiaan
Penentuan ED pada kemasan apotek tidak serta merta dilakukan begitu saja.
Penentuan ED dilakukan melalui proses yang panjang yang namanya uji stabilitas.
Seperti kita ketahui bahwa stabilitas obat sanngat dipengaruhi oleh berbagai
hal yang salah satunya adalah penyimpanan. Pada penyimpanan obat di sarana
kefarmasian yang memenuhi standar penyimpanan yang baik, stabilitas obat akan
lebih baik atau obat akan stabil pada jangka waktu yang lebih lama yang bahkan
dapat dua kali lipat lebih lama dibandingkan penyimpanan pada kondisi biasa.
Alasan penyimpanan yang baik inilah, apotteker menurut pendapat saya
boleh menyerahkan obat yang pada labelnya sudah masuk masa ED asalkan dapat
memastikan bahwa obat masih dalam kondisi sesuai dengan kondisi farmakope dan
secara etika harus menyampaikan ini kepada masyarakat yang menerima layanan dan
pada kondisi darurat (tidak ada pilihan, obat kosong dll.)
Saran
1.
Pemerintah selaku pembuat kebijakan
-
Kebijakan pemerintah akan label ED pada kemasan sebaiknya diganti
dengan label serahkan obat sebelum. Hal
ini karena obat yang sampai ditangan masyarakat seringkali tidak langsung digunakan
habis, atau terkadang masih disimpan dalam jangka waktu yang lebih lama yang
berpotensi melewati masa ED yang tertera pada label.
-
Pemerintah harus menyediakan software obat ED di
setiap puskesmas untuk mencegah pelayanan obat ED ke masyarakat
-
Pengadaan obat dalam jumlah besar oleh
pemerintah harus dievaluasi kecuali untuk obat tangggap bencana.
-
Obat tanggap bencana dan obat darurat tetap
harus disediakan dalam jumlah yang cukup dan harus segera dipisahkan dari obat
yang digunakan untuk pelayanan agar mudah dalam pengelolaan termasuk pemusnahan.
Obat tanggap bencana dan obat darurat seperti ATS dan SABU sanggat penting
keberadaannya, dan harapan kita obat tersebut adalah dimusnahkan dan tidak
digunakan atau dengan kata lain tidak terjadi bencana. Pemusnahan obat oleh
pemerintah jangan dimaknai sebagai kegagalan pemerintah, namun justru prestasi
dalam mengantisipasi tangggap bencana.
2.
Pemerintah daerah
Pemerintah daerah seharusnya menyediakan tenagan kefarmasian yang cukup
di setiap sarana kesehatan yang dimilikinya untuk maksud terus menjaga dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam bidang kesehatan. Tidaklah bijaksana
apabila kita melakukan penghematan dengan mengorbankan kepentingan masyarakat.
3.
Masyarakat
Masyarakat harus secara aktif ikut berperan mengawasi kualitas pelayanan
kesehatan termasuk bidang farmasi.
4.
IAI (Ikatan Apoteker Indonesia)
IAI harus menampung setiap masukan dari anggotanya termasuk permasalahan
yang terjadi pada setiap seminatnya. Selanjutnya tugas IAI adalah mengadvokasi agar
kejadian seperti pada ini tidak pernah ada.
Kesimpulan
Apoteker
adalah manusia biasa yang memiliki kemampuan terbatas dalam melakkukan setiap
pekerjaannya dalam praktek profesi, meskipun pelepasan obat yang berlabelkan ED
pada kondisi tertentu masih memungkinkan namun unsur etika harus dipenuhi dan
ini tetap melanggar asas legal, untuk kasus ini apoteker membutuhkan dukungan
kebijakan dari pemerintah toh semua itu didedikasikaan untuk kemanusiaan dan kemajuan
bangsa, dan masyarakat harus ikut aktif berperan dalam kemajuan pelayanan
kefarmasian yang berorientasi kemanusiaan dengan ikut memberikan dukungan
sehingga terwujud pelayanan yang optimal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar