Jumat, 08 Oktober 2010

PERAN EVIDENCE BASED PRACTICE DALAM MENGOPTIMALKAN PENGUNAAN OBAT PADA SWAMEDIKASI

PERAN EVIDENCE BASED PRACTICE DALAM MENGOPTIMALKAN PENGUNAAN OBAT PADA SWAMEDIKASI



Bergesernya orientasi bisnis pelayanan kesehatan pada farmasi komunitas, yang dulu berorientasi pada resep dan barang, sekarang sebagian mulai berorientasi pada produk otc dengan konseling selain sekedar resp. Pergeseran ini menyebabkan juga ada pergeseran akan kebutuhan manajemen didalam pengelolaan apotek juga pergeseran kompetensi yang dibutuhkan. Bila dulu lebih mengarah hanya sekedar PIO yang mana jalannya komunikasi lebih sering mengalir dari atas kebawah, sekarang komunikasi harus berajalan seimbang antara apoteker dan klien.

Komunikasi dua arah inilah yang akhirnya menjadi dasar pada pengembangan ilmu konseling di farmasi komunitas. Banyak diantara kita para praktisi komunitas mulai mengembangkan teknik-teknik konseling guna meningkatkan efektifitas pada proses konseling. Dan untuk mendapatkan koseling yang efektif, para apoteker praktisi di komunitas harus selalu melatih menggunakan teknik-teknik konseling yang dibutuhkan pada praktek komunitas.

Konseling kefarmasian yang merupakan usaha dari apoteker didalam membantu masyarakat dalam menyelesaikan masalahnya kesehatan yang umumnya terkait dengan sediaan farmasi agar masyarakat mampu menyelesaikan masalahnya sendiri sesuai dengan kemampuan dan kondisi masyarakat itu sendiri.. Konseling kefarmasian bukan sekedar PIO dan konsultasi, tetapi lebih jauh dari itu.

Pada swamedikasi yang umumya menggunakan produk otc, konseling sangat berperan dalam mengoptimalkan pengunaan obat. Pada praktek apoteker komunitas, konseling tidak boleh dilepaskan dari“evidence based practice”. Eviden Based Practice tidak hanya berperan pada swamedikasi tetapi juga pada pelayanan resep. Tetapi pada kali ini saya hanya membahas keterkaitan Evidence Based Practice dalam mengoptimalkan penggunaan obat pada swamedikasi.

Swamedikasi adalah usaha masyarakat di dalam memenuhi kebutuhan kesehatannya terkait sediaan farmasi. Yang mana di dalam menentukan keputusannya dilakukan sendiri atau dengan bantuan orang lain. Didalam membantu penentuan keputusan agar jalannya swamedikasi berjalan optimal maka apoteker harus melakukan tindakan profesi yang dinamakan konseling yang didalam prosesnya melibatkan evidence based practice.

Pada evidence based medicine, pengobatan didasar pada bukti ilmah yang dapat dipertanggung jawabkan. Sedangkan eviden based practis, bukti tidak dapat hanya dikaitkan dengan bukti-bukti ilmiah saja, tetapi juga harus dikaitkan dengan bukti/data yang ada pada saat pratek profesi dilakukan. Dengan demikian perbedaan waktu, situasi, kondisi, tempat dan lain-lain, mungkin akan mempengaruhi tindakan profesi, keputusan profesi dan hasil dari swamedikasi. Dan jalannya parktek profesi apoteker tetap harus berjalan optimal pada setiap situasi dan kondisi termasuk pada swamedikasi. Agar tetap menghasilkan praktek profesi yang optimal, setiap apoteker atau calon apoteker harus terlatih dalam penguasaan dan penerapan skill dan knowledge dalam prakek profesi sesuai kebutuhan.

Setiap apoteker bisa jadi mempunyai kebutuhan yang berbeda dalam skill dan knowledge, hal ini tergantung dari banyak hal, termasuk model, manajemen, lokasi, orientasi dll. Tetapi semua mempunyai kesamaan dalam standar profesi. Oleh karena itu pada apoteker komunitas, jam terbang apoteker dapat mempengaruhi kualitas penguasaan skill dan kwnledge dari seorang apoteker. Apoteker yang sangat cerdas bisa jadi akan kalah dengan apoteker yang sangat aktif di dalam pelayanan komunitas.

Salah satu standar yang digunakan untuk mendapatkan kualitas layanan yang ‘ajeg’ adalah ‘Standar Prosedur Operasional (SPO). Yang mana standar ini harus disusun sesuai praktek profesi yang telah dilakukan, bukan hanya sekedar teori belaka yang belum diuji coba, yang ujung-ujungnya adalah membikin susah dalam penerapannya. Selanjutnya SPO ini harus diuji cobakan secara luas dan proprosional sebelum dijadikan stanadar secara nasional.


Mengoptimalkan Penggunaan Obat

Mengoptimalkan pengunaan obat pada swamedikasi ditujukan untuk mendapatkan hasil yang maksimal dengan resiko yang paling ringan, dengan tetap melibatkan kaidah-kaidah layanan yang profesionalisme.

Resiko yang dimaksud disini adalah resiko bagi pasien, bagi profesi dan investasi juga bagi pemerintah. Hal ini menjadi penting, karena kita tidak mungkin melakukan proses pelayanan yang merugikan pasien, diri kita atau nilai-nilai investasi. Oleh karena itu, menghindarkan klien dari ESO menjadi sangat penting.

Demikian juga terhadap profesi, kita tetap harus menjaga dan mengembangkan profesi. Kita tidak mungkin mengembangkan profesi secara asal-asalan, semisal hanya asal mendapatkan uang atau hanya sekedar melakukan tugas. Hal yang perlu dicermati pada masyarakat modern adalah semua profesi mempunyai resiko hukum sebagai bagian kemajuan jaman.

Investasi juga mempunyai peranan penting didalam kemajuan suatu profesi, dan bisa dikatakan semua profesional membutuhkan investasi meskipun kecil, misal kantor tempat bekerja. Bagi para sebagian apoteker, investasi yang masih dianggap menjadi faktor penghambat kemajuan praktek profesi, terutama sarana dan prasarana, sedangkan obat mungkin masih bisa diatasi. Nilai investasi dalam membuka praktek profesi apoteker masih danggap mahal. Oleh karena itu, investasi yang mahal ini harus mendapatkan penjagaan yang salah satunya dengan praktek profesi yang lebih baik dan benar.

Dengan praktek profesi yang lebih baik, diharapkan resiko ikutan akibat praktek profesi seperti resiko hukum suatu misal menjadi dapat ditekan seminimal mungkin. Dengan Evidence Based Practice pelayanan yang rasional bisa diharapkan menjadi lebih baik dan akhirnya menjadi kebutuhan bagi profesi apoteker, investor, masyarakat dan pemeritah. Dengan demikian bisa ditarik kesimpulan bila Evidence Based Practice adalah suatu kebutuhan bagi kita semua.

Swamedikasi yang optimal adalah swamedikasi yang menggunakan sediaan farmasi secukupnya dan tidak berlebihan, sehingga rasio manfaat dibanding kerugian yang ditimbulkan akibat swamedikasi sangat besar, juga yang merupakan halpenting adalah tidak mengganggu diagnosa bila pasien dirujuk. Sering kali pasien meminum obat yang bertujuan menghilangkan gejala penyakit, padahal dengan hilangnya salah satu atau lebih gejala, penegakan diagnosa oleh dokter bisa terganggu.


Penerapan Evidence Based Practice Farmasi Pada Swamedikasi.

Pada penerapannya, Eviden Based Practice Farmasi berarti menkombinasikan semua data yang diperlukan didalam mengambil keputusan profesi oleh apoteker, dan di dalam pengkombinsian itu diperlukan skill dan knowledge yang memadai yang selanjutnya dinamakan kompetensi dalam swamedikasi.

Langkah-langkah didalam penerapan Evidence Based Practis Farmasi pada komunitas pada awalnya saya kembangkan dengan melibatkan mahasiswa PKP di Apotek. Dengan tujuan mempermudah proses pembelajaran dan sistematis. Dengan membuat tabulasi kasus perkasus terhadap permintaan swamedikasi yang didasarkan pada permintaan atas nama obat dan atas nama penyakit.

Dari tabulasi itulah saya menyusun SPO swamedikasi yang didasarkan pada 2 hal tersebut. Dengan harapan pemetaan permasalahan pada swamedikasi menjadi lebih baik dan lebih optimal. Prinsip yang di kembangkan adala 4 tepat 2 waspada.

Pada umumnya kita mengenal 4 tepat 1 waspada pada pengobatan rasional, yaitu; tepat indikasi, tepat pasien tepat obat tepat dosis dan waspada terhadap ESO. Pada penerapan Evidence Based Practice Farmasi pada swamedikasi setidaknya ditambah dengan “waspada terhadap bahaya perkembangan penyakit”. Dengan lebih waspada terhadap bahaya perkembangan penyakit, diharapkan semua resiko dapat diantisipasi dengan baik.

SPO terkait swamedikasi yang pernah saya usulkan pada himpunan seminat apoteker komunitas jatim adalah sebagai berikut :

A. SPO pelayanan swamedikasi berdasarkan permintaan pasien atas nama penyakit

1. Menyapa dan menanyakan kebutuhan pasien
2. eksplorasi (4w1h)mengenai data pasien, penyakit dan gejala penyakit yang diderita, obat obat yang biasa digunakan dan sedang digunakan
3. Identifikasi permasalahan, kemungkinan penyakit dan perkembangan penyakit, menangkap pesan utama.
4. Penilaian masalah, penilaian terhadap kemungkinan perkembangan penyakit dan penilaian terhadap resiko bila swamedikasi dijalankan
5. Keputusan profesi, kuratif, prekuentif, promotif, informatif, edukatif dan rujukan.
6. Informasi penyerta yang disesuaikan dengan keputusan profesi dan target profesi.



A. SPO pelayanan swamedikasi berdasarkan permintaan pasien atas nama obat

1. Menyapa dan menanyakan kebutuhan pasien.
2. Eksplorasi (4w1h) mengenai data pasien yang jadi pengguna obat, pemahaman penggunaan obat, penyakit dan gejala penyakit yang diderita terhadap permintaan obat, obat-obat lain yang sedang digunakan.
3. Identifikasi permasalahan, rasionalisasi penggunaan obat, menangkap pesan utama.
4. Penilaian masalah, penilaian terhadap pemahaman ESO oleh pasien dan rasio manfaat terhadap resiko bila obat diberikan
5. Keputusan profesi, kuratif, prekuentif, promotif, informatif, edukatif dan rujukan.
6. Informasi penyerta yang disesuaikan dengan keputusan profesi dan target profesi.


Pada prinsipnya kedua SPO tersebut adalah sama, yang mana sama-sama didasarkan pada nilai-nilai yang berkembang pada praktek profesi komunitas. Yang membedakan secara teknis adalah perlakuan pada eksplorasi, dan detail-detail pertanyaannya. Hal tersebut terjadi karena Evidence Based Practice yang terlibat sering kali berbeda.

Pentingnya peran Evidence Based Practice dalam mengoptimalkan pengunaan obat, menjadi salah satu judul seminar yang saya tawarkan pada Konfercab IAI Kab. Kediri. Semoga kedepannya kita bisa saling berbagi terkait skill dan knowledge terapan, agar profesi apoteker semakin maju dan perannya didalam pembangunan kesehatan bangsa semakin bermakna.