BENCANA PCC
Telah terjadi korban akibat penyalahgunaan bahan
berbahaya dalam bentuk tablet pcc. Sudah selayaknya kejadian ini dimaknai
sebagai bencana nasional akibat penggunaan bahan berbahaya. Ibarat gunung
berapi, kasus ini mungkin merupakan letusan kecil yang dapat diikuti letusan
besar sewaktu-waktu. Seharusnya pemerintah menetapkan kasus ini sebagai bencana
nasional yang harus kita sikapi bersama sebagai anak bangsa agar nanti tidak
terjadi lagi meskipun dalam bentuk lain.
Bila kita sandingkan dengan bencana thalidomide, bencana ini
dapat saja lebih berbahaya apabila kita tidak menangani dengan benar. Meskipun
kasus berbeda namun korban masal dapat saja terjadi disaat-saat yang akan
datang. Keduanya dikemas dalam bentuk “obat” namun carisoprodol bukan lagi
dapat dikategorikan sebagai obat. Dulu memang kategori obat, namun saat ini
dalam kategori bahan berbahaya.
Thalidomid menjadi bencana karena disaat itu persaratan
bahan kimia menjadi bahan kimia obat belum sedetail sekarang sehingga efek
samping thalidomide yang berupa teratogenik tidak dapat dihindarkan. Sedangkan
PCC justru terjadi dengan peristiwa terbalik, yang mana bahan kimia yang sudah
diketahui efek jahatnya justru sengaja diperdagangkan. Sungguh suatu ironi.
Penyimpangan perilaku masyarakatlah merupakan menjadi
faktor menyebabkan utama bencana bahan berbahaya. Mungkin korban meninggal akibat
bahan berbahaya “oplosan” sudah mencapai ribuan, oplosan tersebut telah
dikonsumsi secara menyimpang oleh masyarakat. Saat ini ada model baru bahan
berbahaya yang namanya PCC yang tidak kalah berbahaya dibanding oplosan.
PCC mungkin merupakan salah satu perubahan perilaku
menyimpang masyarakat dalam mengkonsumsi bahan berbahaya dan mungkin masih
banyak perilaku menyimpang lain. Perubahan tersebut karena PCC berbentuk
tablet, kecil, mudah dibawa, transaksi online gampang dan sebagainya. Untuk
itulah penanganan PCC harus cepat dan menyeluruh.
Kemasan PCC yang lebih praktis dibandingkan oplosan memungkinkan
menjadi alasan utama perubahan perilaku menyimpang. Sehingga patut dicurigai jalur ditribusi dan penggunanya
mempunyai kesamaan atau mungkin memang sama. Apalagi menyamarkan bahan
berbahaya dalam bentuk tablet dapat menjadi salah satu cara untuk lebih
memudahkan pemasaran PCC karena lebih meyakinkan bahwa seakan PCC memang produk
industri farmasi yang berkualitas.
PERAN APOTEKER DALAM BENCANA BAHAN BERBAHAYA
Sebagai tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dibidang
farmasi, apoteker sudah seharusnya ikut berperan dalam menanggulangi bencana
bahan berbahaya. Sesuai porsi tentunya. Sesuai keahlian dan kewenangannya.
Mungkin aka ada pertanyaan tentang peran apoteker dalam
membantu menanggulangi bahan berbahaya karena bahan berbahaya tidak berada di
apotek dan apoteker tidak terlibat menangani kasus. Namun kekuatan apoteker
untuk memberikan pelayanan kognitif kepada masyarakat akan meningkatkan
pengetahuan kesadaran dan bagaimana masyarakat dapat berperilaku sehat di bidang
farmasi. Perilaku sehat farmasi adalah ujung dari pelayanan kefarmasian.
Masyarakat yang mendapatkan obat tanpa pelayanan kognitif bisa jadi tidak ada
gunanya atau bahkan hanya akan membahayakan jiwanya. Kata lain untuk
menggambarkan hal tersebut adalah apoteker di apotek tidak hanya menyediakan
obat untuk masyarakat namun yang lebih penting adalah membantu masyarakat agar
dapat menggunakan obat dengan benar dan mematuhi penggunaan obat.
Pelayanan kefarmasian tidak hanya berhenti sampai disitu,
masih ada evaluasi dan monitoring. Evaluasi dan monitoring merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dalam pelayanan kognitif. Peran evaluasi dan monitoring
dapat mengontrol penggunaan obat oleh masyarakat. Penggunaan obat oleh
masyarakat yang didapat dari berbagai sumber. Penggunaan obat palsu, substandar
atau penggunaan bahan berbahaya mungkin
bisa ditemukan di tahap ini. Namun temuan ini belum ada mekanisme bagaimana dan
kemana melaporkannya.
Pelayanan kognotif merupakan salah satu cara yang efektif untuk membantu menangulangi bencana
bahan berbahaya. Untuk melengkapi peran tersebut apotek tempat apoteker praktek
dapat menjadi pusat informasi obat masyarakat termasuk bahan berbahaya.
Kelebihan apotek sebagai pusat informasi obat masyarakat adalah mudah diakses
dan saat ini gratis. Hal tersebut sudah terjadi di apotek saya sejak apotek
saya buka lebih dari 20 tahun yang lalu.
Beberapa hal yang sering menjadi masalah di masyarakat
adalah pemahaman obat yang berkualitas. Obat yang berkualitas di mata masyarakat
seringkali hanya dimaknai sebagai “cespleng” dan mahal. Obat yang berkualitas
di mata apoteker adalah obat yang disajikan dengan pelayanan kognitif yang
cukup, diproduksi dan dikelola secara profesional, penyajian yang manusiawi,
tetap terjaga keamanan dalam penggunaannya serta penggunaan yang sesuai
indikasi.
Pelayanan kefarmasian jika dilihat dari kaca mata
masyarakat, pelayanan kefarmasian yang telah dilakukan oleh siapa saja mungkin akan
sama dengan yang dilakukan apoteker. Namun sebenarya sangat jauh berbeda. Penyalur
obat tidak resmi seringkali hanya menyerahkan obat dengan pertimbangan ekonomi,
berbeda dengan apoteker yang akan menyajikan obat setelah proses “pharmacotherapy
workup” dilampaui yang diikuti pelayanan kognitif yang manusiawi sehingga
masyarakat dapat berperilaku dan mematuhi penggunaan obat yang lebih menjamin
kemanjuran dan keamanan. Proses inilah yang seringkali dianggap masyarakat
birokratis dan mempersulit dan atau bertele-tele, sedikit intonasi tegas seringkali
dianggap memarahi. Tidak jarang masyarakat akan berkomentar, “pak saya ini mau
beli obat, bukan ingin dimarahi atau digurui”.
Persepsi sakit dan pengalaman menggunakan obat sendiri
oleh masyarakat seringkali menjadi kendala yang harus diselesaikan serius dalam
membangun kognitif masyarakat. Semua itu butuh keahlian apoteker dalam
berkomunikasi. Komunikasi apoteker tentu saja akan menggunakan bahasa awam
namun sarat dengan ilmu farmasi. Ilmu farmasi yang sangat luas yang
menghabiskan masa muda apoteker.
Penyajian obat oleh apoteker komunitas seringkali
dipandang sebelah mata, dengan kerendahan hati kita hampir tidak pernah
melakukan protes karena akan menghabiskan energi. Sebagai misal pada perilaku
penggunaan obat, apoteker harus menyelesaikan masalah kimia obat dapat mencapai
reseptor, apoteker harus menyampaikan bagaimana berperilaku sesuai harapan teknologi
farmasi, apoteker harus menyampaikan interaksi obat termasuk dengan perilaku
dan makanan, dan sebagainya. Hanya apoteker yang memahami kimia obat sehingga
berproses menjadi obat. Namun ujungnya sama dengan yang dilakukan oleh mereka
yang tidak memiliki kompetensi yaitu menyerahkan obat. Mengingat proses
kognitif apoteker dalam menyelesaikan “personal medication needs” tidak
terlihat mengharuskan apoteker tetap rendah hati.
Apa yang telah dilakukan pemerintah dalam menangani kasus
bahan berbahaya PCC saya rasa cukup baik, namun media justru memperkeruh. Satu contoh
hal baik yang dilakukan pemerintah adalah sidak ke apotek, namun bahasa media
adalah merazia apotek. Sidak pemerintah ke apotek bukan untuk maksud
menyudutkan apotek, namun untuk membuktikan bahwa jalur legal masih terjaga. Sudah
menjadi tugas bersama pemerintah dan apoteker adalah menjaga jalur ini.
Sinergi pemerintah dengan apoteker dalam meningkatkan
kesehatan masyarakat salah satunya adalah dengan meningkatkan health literacy. Untuk
mendapatkan hasil yang baik pemerintah sebaiknya menangani semua sarana obat
yang tidak resmi termasuk swalayan. Apabila swalayan ingin menyediakan
pelayanan kefarmasian harus mengurus ijin sebagai sarana kefarmasian. Pentingnya
penangan ini adalah memudahkan edukasi karena masyarakat karena hanya mendapatkan
pelayanan kognitif dari satu sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam banyak
kasus, masyarakat yang sudah kita edukasi dengan baik seringkali berubah pemahamannya
(kacau) setelah mendapat informasi dari sarana obat tidak resmi.
Kesimpulan. Bencana
PCC harus menjadi bencana nasional, dan apoteker harus menjadi penggerak utama untuk
menangani bencana ini dan apoteker harus melakukan aksi nyata dalam berbagai
kegiatan untuk membantu pemerintah menangani bencana bahan berbahaya.
Selamat Hari Apoteker Dunia.