WADAH BAGI
APOTEKER PRAKTIK MANDIRI
Oleh : Suyanto
I. I. Pendahuluan
1.
Latar
Belakang
Apoteker
adalah tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan sesuai UU no 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan
serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang
kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya
kesehatan. Untuk itu apoteker harus berproses dengan mengikuti Pendidikan
Apoteker. Tugas Pendidikan Apoteker adalah menyiapkan apoteker dengan kompetensi sesuai standar yang
ditetapkan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI). Kompetensi
apoteker yang ditetapkan IAI adalah kompetensi dalam bidang kesehatan yang menjadi jaminan bahwa praktik apoteker dapat
mewujudkan kualitas hidup sehat bagi setiap insan.
Perguruan
Tinggi Farmasi dimana sebagai tempat diselenggarakan Pendidikan Apoteker bersama
Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) harus dapat mejamin bahwa apoteker yang
diluluskan memiliki kompetensi tertentu sehingga dapat lolos Uji Kompetensi Apoteker
Indonesia sebagai sarat untuk menjalankan praktik. hal ini karena uji
kompetensi adalah jaminan bahwa apoteker baru siap melakukan praktik
profesi untuk melayani masyarakat secara profesional. Praktik profesi apoteker
dalam pasal 108 UU no 36 tahun 2009 tentang Kesehatan digambarkan sebagai
praktik kefarmasian. Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk
pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan
pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi
obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Standar
kompetensi apoteker merupakan jaminan praktik kefarmasian yang terukur, ilmiah
dan bertanggungjawab. Standar tersebut
perlu dilandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan dan etik sehingga orientasi
pelayanan kefarmasian oleh apoteker dapat memenuhi nilai-nilai luhur,
profesional, memiliki nilai kesejawatan yang tinggi dan berorientasi ke masa
depan. Untuk memenuhi nilai-nilai tersebut apoteker harus mendapat bekal sejak
di bangku kuliah. Nilai-nilai tersebut
merupakan roh dari pelayanan kefarmasian, merupakan dasar dari pelayanan
kesehatan yang manusiawi dan harus dimiliki apoteker dalam menjalankan praktik
profesi.
Selama
menjalankan praktik, apoteker harus selalu dapat menjaga dan mengembangkan
kompetemsinya atau profesionalismenya. Untuk itu apoteker dapat melakukan
secara mandiri atau secara kolektif. Secara mandiri berarti apoteker bertanggungjawab untuk terus menjaga kompetensinya
dengan belajar sendiri sesuai dengan kebutuhan praktiknya. Secara kolektif
berarti apoteker harus terorganisasi ke dalam IAI, sehingga IAI dapat melakukan
standarisasi profesi yang diterapkan dalam bentuk pembinaan guna menjaga dan
meningkatkan profesionalisme apoteker dalam menjalankan praktik kefarmasian.
Apoteker
selama menjalankan praktik kefarmasian selalu berproses melalui tahapan yang
tidak semuanya dapat dipahami oleh masyarakat. Proses tersebut selalu melalui
rangkaian pharmacotherapy workup yang
tidak kasat mata dan sulit dipahami masyarakat awam. Tidak jarang masyarakat
lebih memahami apoteker praktik sebagai transaksi jual beli. Pemahaman
masyarakat tersebut perlu diperbaiki secara bertahap, dan memperbaiki pemahaman
masyarakat tersebut membutuhkan peran serta semua pihak.
Ketidakpahaman masyarakat terhadap serangkaian proses pharmacotherapy workup akan mempersulit praktik
apoteker untuk memenuhi personal
medication needs, terutama terkait perilaku
menggunakan obat. Perilaku tersebut merupakan ujung dari hampir semua pelayanan kefarmasian dan merupakan salah satu kunci
keberhasilan pengobatan. Yang dimaksud dengan perilaku tersebut adalah perilaku untuk dapat
menggunakan obat dengan benar dan mematuhi aturan penggunaan obat. Pentingnya perilaku tersebut karena dapat mempengaruhi
tujuan pengobatan yang mana harus aman, efeksif, efisien dan sesuai.
Tidak
ada satupun profesi yang tidak memiliki resiko dalam menjalankan praktiknya.
Untuk itu apoteker membutuhkan organisasi profesi untuk mendampingin dan
menjaga jalannya praktik profesi. Perbedaan persepsi antara apoteker dengan
masyarakat, dengan profesi kesehatan lain dan dengan setiap pihak yang
bersentuhan dengan profesi apoteker dapat menjadi kendala dalam menjalankan
praktik yang ideal, untuk itu diperlukan
kehadiran organisasi
profesi.
Berangkat dari permasalah praktik yang
ada, IAI sebagai organisasi induk para apoteker harus memiliki arah yang jelas
dalam menjaga dan mengembangkan profesi apoteker, untuk itu IAI dapat bekerjasama dengan berbagai pihak. IAI dalam menjaga dan mengembangkan profesi apoteker
menuangkan ke dalam Visi-Misi IAI. Visi IAI adalah terwujudnya profesi apoteker yang
paripurna, sehingga mampu mewujudkan kualitas hidup sehat bagi setiap manusia. Sedangkan Misi IAI
adalah; 1. menyiapkan apoteker yang berbudi luhur, profesional, memiliki
kesejawatan yang tinggi dan inovatif serta berorientasi ke masa depan; 2. membina,
menjaga dan meningkatkan profesionalisme apoteker sehingga mampu menjalankan
praktek kefarmasian secara bertanggung jawab; 3. melindungi Anggota dalam
menjalankan profesinya.
Misi IAI dalam menjaga dan meningkatkan
profesionalisme apoteker sehingga mampu menjalankan praktek kefarmasian secara maksimal
adalah dengan membentuk komunitas apoteker praktik. komunitas untuk apoteker
yang praktik di apotek adalah himpunan seminat farmasi masyarakat (HISFARMA). Komunitas yang dapat maknai sebagai ada minat yang sama atau seminat dimaksudkan agar pengembangan
profesi dan penanganan isu terkait profesi menjadi lebih fokus, lebih efektif,
cepat dan efisien.
Fakta dilapangan, kompetensi apoteker praktik di
apotek, setidaknya kompetensi
tersebut dapat
dikelompokan menjadi dua bagian besar. Kelompoak pertama adalah kompetensi
dalam pelayanan kefarmasian dan kelompok kedua kompetensi dalam bidang bisnis
farmasi. Akibat ada dua
kelompok kompetensi, menjadikan Visi Misi IAI dirasakan kurang menjawab kebutuhan
praktik apoteker di apotek. Kurangnya diakibatkan Visi misi IAI memiliki
keterbatasan, hanya menyentuh profesi apoteker dalam hal praktik terkait
kompetensi kefarmasian, padahal bagi anggota HISFARMA yang memiliki sarana
praktik sendiri membutuhkan lebih. Kebutuhan lebih tersebut adalah kebutuhan
akan kompetensi untuk mengelola apotek dari sisi bisnis selain harus mengelola
apotek dari sisi pelayanan. Oleh karena itu para anggota HISFARMA yang memiliki
sarana praktik sendiri merasa perlu menggagas untuk dibetuk wadah bagi Apoteker
Praktik Mandiri. Wadah tersebut dimaksudkan untuk komunikasi
antar apoteker praktik mandiri dalam menyelesaikan isu terkait bisnis apotek.
Berdasar
pada uraian di atas Visi-Misi
IAI hanya menyelesaikan isu praktik kefarmasian di apotek terkait pelayanan,
sedangkan isu praktik terkait manajemen bisnis apotek belum dirasakan maksimal.
Untuk itu perlu dilakukan kajian untuk membahas pentingnya membentuk wadah bagi
apoteker praktik mandiri untuk menyelesaikan isu praktik terkait manajemen bisnis apotek yang dilaksanakan sesuai dengan
nilai-nilai luhur yang dibangun IAI.
2.
Tujuan
Kajian Ilmiah
Tujuan kajian
ilmiah ini adalah untuk menemukan masalah pokok yang menjadi dasar akan
pentingnya wadah bagi apoteker praktik mandiri.
3.
Manfaat
Kajian Ilmiah
Manfaat kajian ilmiah adalah diharapkan
dapat menjadi salah satu dasar menentukan arah bagi apoteker praktik mandiri sehingga
dapat bersinergi dengan IAI.
II.
II. Bahan
dan Metode Kajian
Bahan Kajian :
1.
pasal
108 (1) UU nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang membatasi Praktik
kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan
farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan
obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan
obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2.
Visi
IAI adalah terwujudnya
Profesi Apoteker yang paripurna, sehingga mampu mewujudkan kualitas hidup sehat
bagi setiap manusia.
3.
Misi IAI
adalah ; menyiapkan Apoteker yang berbudi luhur, profesional, memiliki
kesejawatan yang tinggi dan inovatif serta berorientasi ke masa depan; membina,
menjaga dan meningkatkan profesionalisme Apoteker sehingga mampu menjalankan
praktek kefarmasian secara bertanggung jawab; melindungi Anggota dalam
menjalankan profesinya.
Rancangan kajian adalah analisis
normatif. Analisis dilakukan terhadap pasal 108 (1) UU nomor 36 tahun 2009
tentang Kesehatan dan Visi-Misi IAI. Analisis dimasudkan menemukan alasan
membentuk wadah bagi apoteker praktik mandiri sebagai penguatan praktik yang
selaras dengan Visi-Misi IAI.
III.
III. Hasil
dan Pembahasan
1.
Kompetensi Apoteker dalam Praktik Kefarmasian di Apotek
Kompetensi
apoteker dalam menjalankan praktik kefarmasian diatur dalam Pasal 108 (1) UU
nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, yang memberi batasan bahwa praktik
kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan
farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan
obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan
obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Apotek merupakan
sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh
Apoteker. Praktik kefarmasian oleh apoteker di apotek disebut juga praktik
apoteker di apotek. Keberadaan praktik apoteker di apotek karena ada suatu
kebutuhan akan pengobatan dari anggota masyarakat (Personal Medication Needs/ PMN). Praktik apoteker di apotek dalam
memenuhi PMN tidak semata-mata hanya menyerahkan sediaan farmasi begitu saja,
namun praktik apoteker harus memahami dan menemukan PMN. Kebutuhan pengobatan
yang dipahami masyarakat seringkali berbeda dengan PMN yang menjadi temuan apoteker, perbedaan ini menjadi menjadi salah satu masalah
praktik apoteker yang rumit. Akibat rumitnya praktik apoteker, maka apoteker dalam menjalankan praktik harus berbekal keilmuan dan ketrampilan yang paripurna, yang mana setiap tahapan praktik dalam upaya memenuhi
PMN harus berdasar keilmuan dan keahlian yang dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah dan klinis. Praktik yang paripurna hanya dapat
dilakukan oleh apoteker yang paripurna yang sesuai dengan yang tertuang dalam Visi IAI. Visi IAI adalah
terwujudnya Profesi
Apoteker yang paripurna, sehingga mampu mewujudkan kualitas hidup sehat bagi
setiap manusia.
Pada praktik apoteker di apotek,
mewujudkan kualitas hidup sehat bagi setiap manusia berarti ada pemenuhan PMN. Tanpa pemenuhan PMN yang paripurna maka pengobatan tidak maksimal atau bahkan gagal. Namun pemenuhan
PMN tersebut sangat dipengaruhi oleh sarana dan prasarana apotek yang
membutuhkan pengelolaan sendiri seiring dengan pengelolaan praktik apoteker.
Akibat dari hal tersebut, Visi IAI untuk mewujudkan kualitas hidup sehat bagi
setiap manusia harus selaras dengan kompetensi dalam pengelolaan sarana dan
prasarana apotek. Pengelolaan sarana dan prasarana selanjutnya dalam naskah ini
dipahami sebagai manajemen bisnis apotek.
Misi IAI dalam hal menyiapkan
Apoteker yang berbudi luhur, profesional, memiliki kesejawatan yang tinggi dan
inovatif serta berorientasi ke masa depan; membina, menjaga dan meningkatkan
profesionalisme Apoteker sehingga mampu menjalankan praktek kefarmasian secara
bertanggung jawab; melindungi Anggota dalam menjalankan profesinya.
Misi IAI tersebut akan terwujud apabila dibarengi dengan kompetensi apoteker dalam manajemen
bisnis apotek yang memadai. Kompetensi apoteker dalam manajemen bisnis apotek yang memadai penting karena setiap Misi IAI membutuhkan sarana dan prasarana dan juga biaya. Pada kenyataannya, Misi IAI hanya membahas kompetensi apoteker dalam hal pelayanan kefarmasian
dan tidak dalam hal manajemen bisnis apotek. Misi IAI yang tidak menggambarkan akan memenuhi kebutuhan apoteker praktik mandiri di apotek terkait kompetensi manajemen bisnis
apotek, menjadikan belum terlihat jelas akan siapa yang harus memperjuangkannya, sehingga
wadah sangat diperlukan oleh apoteker praktik mandiri yang tergabung dalam
Hisfarma.
2.
Praktik
Kefarmasian di Apotek Harus Memenuhi Standar
Praktik
kefarmasian diapotek sesuai yang dimaksud oleh pasal 108 UU no 36 Tahun 2009
dan yang dimaksud dengan Visi Misi IAI harus sesuai dengan standar. Untuk
standar yang dimaksud tersebut, pemerintah telah menggambil tanggungjawab
dengan menerbitkan permenkes nomor 73 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek. Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolak ukur yang
dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan
pelayanan kefarmasian. Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung
dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi
dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan
pasien.
Permenkes
no 73 tahun 2016 menetapkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
meliputi standar dalam pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai, dan standar dalam pelayanan farmasi klinik. Pengelolaan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai meliputi:
perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pemusnahan, pengendalian dan
pencatatan dan pelaporan.
Pengelolaan
sediaan farmasi tersebut di atas dan yang dijalankan sesuai standar tidak serta
merta dapat dilakukan begitu saja, diperlukan modal, biaya
dan kompetensi dalam manajemen bisnis
apotek.
Modal dan kompetensi dalam manajemen bisnis farmasi menjadi sarat mutlak yang
harus dimiliki apoteker praktik mandiri. Sejak dibangku kuliah atau selama
menjadi anggota IAI kompetensi apoteker dalam bidang manajemen bisnis apotek
tidaklah diberikan dengan memadai. Untuk menjadi memadai harus diupayakan
sendiri oleh apoteker mandiri. Untuk upaya tersebut apoteker dapat melakukan sendiri
atau bersama dalam wadah yang
terorganisasi.
Kebutuhan
kompetensi terkait manajemen bisnis apotek menjadi salah satu alasan mengapa
apoteker baru tidak mau praktik mandiri, bahkan apoteker yang sudah tidak baru
lagi juga enggan praktik mandiri. Kompetensi ini harus diupayakan sendiri,
karena IAI dan perguruan tinggi farmasi tidak memiliki kemampuan untuk
mengupayakan. Kita tidak dapat menuntut IAI dan atau perguruan tinggi farmasi
dalam hal tersebut di atas, karena yang namanya bisnis merupakan ilmu
tersendiri yang mana perkembangannya sangat cepat. Perkembangan ilmu bisnis
yang sangat cepat menjadikan apoteker praktik mandiri harus selalu belajar dan
waspada terhadap setiap perubahan ekonomi, baik makro dan mikro. Untuk itu akan
lebih mudah bagi apoteker praktik mandiri apabila memiliki wadah.
3.
Praktik
Apoteker di Apotek dalam Pelayanan Farmasi Klinik
Permenkes
no 73 tahun 2016 menjelaskan bahwa Pelayanan farmasi klinik meliputi: pengkajian Resep, dispensing, Pelayanan
Informasi Obat (PIO), konseling, Pelayanan Kefarmasian di rumah (home pharmacy
care), Pemantauan Terapi Obat (PTO), Monitoring Efek Samping Obat (MESO).
Pelayanan farmasi klinik tersebut merupakan penjabaran pasal 108 UU no 36 tahun
209 tentang kesehatan dalam pelayanan obat atas resep dokter dan PIO.
Pelayanan
obat di apotek oleh apoteker dilakukan atas resep dokter maupun tanpa resep
dokter. Praktik kefarmasian dalam hal melayani resep dokter menjadi kewenangan
apoteker, sedangkan pelayanan sediaan farmasi non resep tidak harus dilakukan
oleh tenaga kefarmasian namun harus tetap sesuai kewenangan yang berjenjang. Praktik
kefarmasian di apotek oleh apoteker harus dilandaskan pada pharmacotherapy workup, sehingga standar pelayanan kefarmasian atau
pelayanan farmasi klinik di apotek yang ditetapkan IAI dan pemerintah harus didasarkan
pada pharmacotherapy workup.
Pengaturan
standar pelayanan kefarmasian di apotek menurut Permenkes no 73 tahun 2016
bertujuan untuk meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian, untuk menjamin
kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian dan untuk melindungi pasien dan
masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan
pasien (patient safety). Penerapan standar dalam praktik apoteker di apotek yang
berkelanjutann perlu adanya pembinaan oleh pemerintah bersama IAI secara
berkelanjutan pula.
Peran
IAI dalam mewujudkan pelayanan kefarmasian yang sesuai standar dituangkan dalam
Misi IAI. Misi IAI dalam hal menyiapkan Apoteker yang berbudi luhur,
profesional, memiliki kesejawatan yang tinggi dan inovatif serta berorientasi
ke masa depan tidak dapat dilakukan sendiri, untuk misi tersebut IAI harus
bekerjasama dengan perguruan tinggi farmasi dan praktisi. Menyiapkan apoteker
berarti melalui pendidikan apoteker, sedangkan apoteker untuk dapat memiliki
sifat yang berbudi luhur, profesional, memiliki kesejawatan yang tinggi dan
inovatif serta berorientasi ke masa depan harus dilakukan sendiri oleh IAI melalui
seminatnya (HISFARMA).
IAI memegang
kunci dalam membentuk apoteker yang berbudi luhur, karena budi luhur adalah
perilaku yang hanya dapat diajarkan dengan menyertakan contoh perilaku budi
luhur. Pemberian contoh dimaksudkan agar calon apoteker tidak hanya mengetahui
namun juga dapat merasakan dan melakukan budi luhur tersebut. Pemberian contoh
oleh praktisi dapat diberikan pada saat proses Praktik Kerja Profesi Apoteker
(PKPA) atau istilah lain, juga pada proses magang. Budi luhur tidak dapat
diajarkan dengan membaca dan menghafal, namun harus diajarkan dengan melakukan
dan membiasakan.
Profesional,
pada pelayanan kefarmasian dapat diartikan bahwa apoteker menjalankan praktik
didasarkan pada ilmiah, tanggungjawab dan terukur. Membentuk apoteker yang bertanggungjawab
tidak dapat hanya dilakukan dengan membaca dan menghafal, namun harus diajarkan
dengan praktik. Untuk itu semua, IAI sebagai induk organisasi apoteker bertanggungjawab
penuh terhadap kualitas praktik apoteker. Tanggungjawab tersebut yang
menjadikan IAI tidak boleh main-main dalam membangun standar kompetensi
apoteker. Standar kompetensi apoteker harus dapat menjadi jaminan bahwa setiap
apoteker yang memegang sertifikat kompetensi akan memiliki standar yang sama di
dalam menjalankan praktik baik secara ilmiah, tanggungjawab dan ukuran. Dengan
adanya standar kompetensi tersebut, perguruan tinggi tidak lagi bertanggung jawab
terhadap lulusan karena semenjak calon apoteker memegang sertifikat standar
kompetensi berarti calon apoteker tersebut resmi menjadi apoteker profesional
yang kualitasnya dijamin oleh IAI. Alasan sertifikat kompetensi yang berarti
kompetensi apoteker praktik dijamin oleh IAI, maka IAI harus melindungi anggota
yang menjalankan standar praktik profesi sesuai amanat yang dituang di dalam Misi
IAI.
Kebutuhan
apoteker akan profesionalisme dalam menjalankan praktik kefarmasian di apotek
sudah sangat sesuai dengan Visi-Misi IAI. Namun untuk menjalankan profesionalisme
sesuai Visi-Misi IAI membutuhkan modal dan biaya, sehingga kompetensi dalam
manajemen bisnis apotek diperlukan. Terutama bagi apoteker praktik mandiri yang
menggunakan sarana dan prasarana milik sendiri.
Dalam
pengelolaan apotek, setiap bagian dari kegiatan adalah biaya dan setiap sarana
dan prasarana yang digunakan berarti modal. Untuk modal dan setiap biaya yang
ada adalah beban bagi pasien yang harus dibayar. Namun tidak serta merta
apoteker akan membebankan setiap biaya akibat dari pekerjaan kefarmasian harus
dilandaskan pada nilai-nilai luhur dan akibat pekerjaan kefarmasian termasuk bagian
dari pekerjaan sosial, meskipun apotek merupakan wahana bisnis. Tentu akan
timbul kesulitan tersendiri dalam mengelola apotek sebagai lembaga akibat
apotek adalah wahana bisnis yang didalamnya mengelola pekerjaan sosial. Apalagi
dalam pendidikan apoteker tidak diberikan matakuliah manajemen bisnis apotek yang
memadai.
Dari
hal diatas, maka merupakan suatu hal yang tidak rasional apabila apoteker yang
baru lulus dengan bekal manajemen bisnis apotek yang minim harus beradu dengan
para pebisnis apotek yang sudah lama yang sudah sangat efisien, apalagi beradu
dengan apotek jaringan yang secara modal adalah raksasa. Pengelolaan apotek
bagi apoteker baru berpotensi menjadi sangat berat dan bahkan juga bagi
sebagian apoteker yang sudah tidak baru lagi. Mungkin, ini yang menjadi salah
satu alasan banyak apotek lama yang tutup atau apotek baru yang tidak dapat
berkembang. Akibat dari hal di atas, para apoteker praktik madiri membutuhkan wadah
yang dapat membantu memecahkan masalah manajemen bisnis apotek.
4.
Praktik
Apoteker dalam Pelayanan Informasi Obat.
PIO merupakan bagian dari praktek
kefarmasian yang diatur dalam pasal 108 Undang undang No 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan. Pada Permenkes no 73 tahun 2016, PIO merupakan bagian dari pelayanan
farmasi klinik.
PIO sesuai Permenkes no 73 tahun 2016 merupakan
kegiatan yang dilakukan oleh apoteker dalam pemberian informasi mengenai obat
yang tidak memihak, dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam
segala aspek penggunaan obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau
masyarakat. informasi mengenai obat termasuk obat resep, obat bebas dan herbal.
Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi khusus, rute dan metoda
pemberian, farmakokinetik, farmakologi, terapeutik dan alternatif, efikasi,
keamanan penggunaan pada ibu hamil dan menyusui, efek samping, interaksi,
stabilitas, ketersediaan, harga, sifat fisika atau kimia dari obat dan
lain-lain.
Pada sudut
pandang farmasi praktis, PIO merupakan tindakan kefarmasian dalam merubah
perilaku kesehatan yang serta merta tidak dapat disederhanakan, namun harus
dilaksanakan sesuai standar praktik. PIO oleh apoteker selalu berproses pada pharmacotherapy workup, yang mana proses
tersebut tidak sekedar membahas hubungan bahan aktif obat dengan penyakit
semata. Keberadaan tingkatan sosial, pendidikan, pekerjaan, gender dan semua
yang termasuk data demografi menjadi pertimbangan penting dalam proses
pelayanan kefarmasian, oleh sebab itu kompetensi apoteker terhadap budaya dan
demografi setempat sangat mempengaruhi keberhasilan dari setiap pelayanan
kefarmasian kepada masyarakat. Pentingnya kompetensi apoteker terhadap
demografi ini yang menjadi salah satu alasan pentingnya magang bagi apoteker
baru dan juga menjadi salah satu alasan mengapa e-farmasi yang dipahami secara
dangkal seharusnya tidak boleh dijalankan. Kompetensi apoteker terhadap
teknologi farmasi juga menjadi menjadi dasar dalam pelayanan kefarmasian di
apotek, karena setiap apoteker harus mampu menjelaskan maksud dari setiap
teknologi yang melekat pada setiap sediaan. Pengetahuan apoteker praktik di
apotek akan teknologi farmasi menjadi salah satu kompetensi dasar.
Masalah penting di dalam PIO adalah adanya peningkatan
pemahaman yang diikuti perubahan sikap dan perilaku. Tanpa ada perubahan
perilaku, PIO adalah tidak efektif. PIO yang tidak efektif berarti sama saja
dengan tidak ada pelayanan. Sehingga PIO di apotek yang aman, efektif, efisien
dan sesuai yang berproses kepada pharmacotherapy
workup harus disampaikan oleh apoteker kepada masyarakat secara langsung.
PIO yang tidak sampaikan secara langsung tidak termasuk dalam praktik kefarmasian
di apotek.
Pemberian informasi kepada masyarakat
dimaksudkan untuk meningkatkan pengetahuan
akan kesehatan. Pemberian informasi untuk edukasi model rasional,
strategi sasaran individu dan kelompok dan berusaha untuk dorongan perilaku
kesehatan positif dan mencegah pemilihan perilaku kesehatan negatif. Hal ini
dilakukan dengan menyajikan informasi yang relatif tidak bias. Model ini, juga
dikenal sebagai knowledge, attitudes, practices Model (KAP),
didasarkan pada alasan bahwa meningkatkan pengetahuan seseorang akan
menghasilkan perubahan perilaku. asumsinya bahwa halangan satu-satunya untuk
bertindak rasional dan bertanggung jawab adalah ketidaktahuan, dan informasi
itu saja dapat mempengaruhi perilaku dengan melakukan koreksi terhadap
kekosongan pengetahuan (WHO, 2012):
Dengan demikian,
PIO dalam praktik kefarmasian yang dilakukan oleh apoteker di apotek merupakan
pekerjaan yang sangat serius dan berat karena harus berujung pada perubahan
perilaku. Namun kebanyakan praktik PIO pada saat ini masih dijalankan dengan
gratis, dan merupakan suatu hal yang tidak masuk akal. Tingkat keberhasilan PIO
sangat dipengaruhi oleh banyak hal, termasuk persepsi awal masyarakat dan
ketrampilan apoteker. Perubahan perilaku masyarakat dalam menggunakan obat
seringkali sangat sulit terjadi, meskipun apoteker telah melakukan usaha yang
keras. Namun PIO tetap harus dilakukan, karena informasi merupakan bagian dari PMN.
Informasi tersebut, secara sederhana, dapat dimaksudkan sebagai edukasi untuk
perubahan perilaku sehingga masyarakat dapat menggunakan obat dengan benar dan
dapat mematuhi aturan penggunaan obat. Secara luas, PIO yang disampaikan
apoteker adalah informasi terkait apa saja yang harus dilakukan masyarakat
terkait obat dan kesehatan sehingga masyarakat dapat mengambil keputusan dan tindakan
untuk suatu perilaku kesehatan sesuai temuan Pharmacotherapy workup.
Dengan
demikian, pemahaman akan ujung praktik apoteker di apotek sebagai pulang
membawa obat adalah tidak tepat. Ujung praktik apoteker praktik di apotek
adalah perubahan perilaku masyarakat sesuai proses pharmacotherapy workup.
Pemahaman
masyarakat yang menganggap praktik kefarmasian adalah pulang membawa obat akan berpotensi
terjadi pengobatan yang tidak berhasil yang berujung membahayakan dan mahal.
Pengobatan yang tidak berhasil berpotensi terjadi kesalahan dalam indikasi dan keamanan.
Akibat dari salah indikasi adalah pengobatan tidak yang tidak menyembuhkan dan berpotensi
terjadi perkembangan penyakit yang liar dan mebahayakan jiwa. Akibat dari penggunaan
yang salah juga berpotensi berbahaya bagi pengguna. Semua itu dapat berdampak
pada biaya pengobatan yang mahal dan tidak terprediksikan. Semua hal tersebut
di atas dimungkinkan terjadi apabila proses pharmacotherapy
workup diabaikan.
Pemahaman pengusaha
apotek yang bukan apoteker terhadap praktik kefarmasian berpotensi pada pemahaman
yang tidak tepat, atau pelayanan yang berujung pada pulang membawa obat.
Apabila hal ini terjadi, maka akan terjadi pelayanan kefarmasian yang
berorientasi pada pelayanan transaksi yang menghilangkan nilai-nilai
kemanusiaan. Potensi terjadinya pelayanan transaksi obat akan menjadikan
pelayanan hanya fokus pada tujuan bisnis semata dan mengabaikan nilai nilai
kemanusiaan. Apabila apotek hanya dikelola semata berorientasi bisnis, maka upaya
pemenuhan PMN yang utuh menjadi tidak penting. Kesalahan penggunaan obat dan
ketidak patuhan penggunaan obat akibat pemenuhan PMN yang tidak utuh justru
akan mempermaju bisnis apotek, akibat semakin berpotensi menyebabkan sakit
lebih lanjut yang berarti berpotensi terjadi transaksi obat yang berulang.
Pemahaman
yang salah dari tenaga kesehatan lain terhadap konsep pengobatan yang harus sesuai
standar pelayanan kefarmasian berpotensi terjadi. Tenaga kesehatan lain yang hanya
menganggap obat sebagai komoditas dagang akan menghilangkan hak hak pasien.
Salah satu dari hak pasien adalah PIO. Hak pasien akan informasi obat sering
tidak disampaikan dengan benar, yang mana tenaga kesehatan lain sering kali
merasa memiliki kewenangan menyerahkan obat dan atau melakukan dispensing namun
dengan sengaja melakukan pengaburan terhadap informasi obat. Pengaburan tersebut
dimaksudkan olehnya agar masyarakat hanya mendapat informasi dari satu sumber,
padahal dalam pandangan saya masyarakat berhak mendapatkan informasi obat dari
mana saja terutama dari apoteker untuk setiap obat yang dikonsumsinya.
Mengingat PIO
merupakan bagian dari PMN yang melekat dan sangat penting dan merupakan ujung
dari hampir setiap pelayanan kefarmasian di apotek, maka harus dilaksanakan
secara rasional. Untuk itu perlu dilakukan kajian, kajian sesuai kaidah praktik
kefarmasian dan kaidah bisnis. Sedangkan saat ini, hampir setiap PIO di apotek
dilakukan dengan gratis, padahal biaya PIO oleh apoteker di apotek sangat tidak
murah. Oleh karena tidak murah, PIO di apotek sangat berpotensi untuk
dihilangkan oleh pengusaha apotek yang hanya berorientasi bisnis untuk menekan
biaya operasional. Untuk itu perlu dibangun wadah untuk mencari solusi agar
setiap pelayanan kefarmasian di apotek memiliki ujung yang benar, ujung
tersebut adalah pelayanan kognitif untuk merubah perilaku, pelayanan kognitif
sering dikenal sebagai PIO.
5.
Pentingnya Keberadaan wadah bagi Apoteker Praktik Mandiri
Penyelenggaraan
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek harus didukung oleh ketersediaan sumber
daya kefarmasian yang berorientasi kepada keselamatan pasien. Sumber daya
kefarmasian tersebut adalah sumber daya manusia dan sumber daya sarana dan
prasarana. Pelayanan Kefarmasian di Apotek diselenggarakan oleh Apoteker (Permenkes
no 73 tahun 2016).
Apoteker dalam
menyelenggarakan apotek membutuhkan IAI sebagai asosiasi. Keberadaan asosiasi
bagi apoteker praktik adalah sangat penting. Karena sesuai Visi-Misi IAI, IAI bemberikan
jaminan praktik selama praktik berlangsung rasional yang didasarkan pada standar
kompetensi yang selalu dijaga dan dikembangkan oleh IAI bersama semua pihak,
ada jaminan hukum, ada advokasi dsb. Bahkan untuk kepentingan kompetensi
apoteker praktik yang bersifat lebih teknis, IAI membentuk komunitas apoteker
praktik sesuai dengan minat atau tempat dimana apoteker menjalankan praktik
profesi.
Komunitas
untuk apoteker yang praktik di apotek adalah Hisfarma (Himpunan Seminat Farmasi
Masyarakat). Hisfarma merupakan bagian dari IAI dan tidak dapat lepas. Hisfarma
diharapkan dapat menjawab setiap tantangan yang muncul dalam praktik dan selalu
mengikuti perkembangan. Hisfarma yang anggotanya seluruh apoteker yang praktik
di apotek tentunya akan lebih pada pengembangan sumber daya manusia. Sedangkan pengembangan
sarana dan prasarana atau pengembangan manajemen bisnis apotek yang rasional
dan proporsional dengan praktik apoteker belum terjawab oleh Hisfarma dan IAI.
Untuk semua itu perlu dibentuk wadah bagi apoteker praktik mandiri.
Mungkin
akan ada yang menyarankan apoteker praktik mandiri masuk ke dalam GP Farmasi. Namun
yang perlu dipertimbangkan adalah anggota GP Farmasi sesuai anggaran dasarnya
adalah pengusaha farmasi yang terdiri dari pengusaha pabrik farmasi,
distributor, apotek dan toko obat. Keberadaan GP Farmasi dimaksudkan dapat
menjadi wadah dan wahana komunikasi, konsultasi, informasi dan fasilitasi bagi
perusahaan farmasi Indonesia, pemerintah dan pihak-pihak lainnya. Sedangkan
landasan etika dalam GP Farmasi adalah etika bisnis. Ditinjau dari sisi
landasan etika, apoteker praktik mandiri seharusnya berbeda, karena landasan
yang digunakan adalah landasan etika pelayanan kefarmasian tanpa
mengesampingkan tujuan bisnis. Dari itu perlu dibentuk wadah bagi apoteker
praktik mandiri yang didasarkan pada kepentingan bisnis tanpa mengesampingkan
pelayanan kefarmasian yang maksimal karena pelayanan kefarmasian adalah tujuan
dari keberadaan setiap apotek..
Asosiasi
Apotek Indonesia (ASAPIN) merupakan
asosiasi baru yang dibentuk sebagai wadah bagi apotek untuk bekerjasama dengan BPJS. Menurut Ketua ASAPIN, Drs. Saleh Rustandi,
MM. Apt., BPJS dan Kemenkes akan melakukan akreditasi apotek yang akan
bermitra. Undang-Undang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menyatakan bahwa
kerjasama fasilitas kesehatan (faskes) dengan BPJS melalui asosiasi resmi
faskes, yakni ASAPIN. Selain itu, data apotek di BPJS saat ini kurang
transparan berdasarkan temuan KPK. (http://farmasetika.com/2018/01/22/asapin-bantu-apotek-di-indonesia-menjadi-mitra-program-bpjs/
akses tanggal 5/4/2018). Tujuan ASAPIN tidak menggambarkan kepentingan apoteker
praktik mandiri, dan tidak semua apoteker mandiri bekerjasama dengan BPJS.
Kepentingan apoteker praktik mandiri adalah bisnis pelayanan kefarmasian
mencakup semua pelayanan tidak hanya BPJS. Mengingat kepentingan apoteker
praktik mandiri tidak sekedar melayani BPJS, maka diperlukan wadah yang dapat
memperjuangkan terjadinya pelayanan kefarmasian yang manusiawi dan sesuai hak
setiap personal untuk hidup sehat, namun secara bisnis tetap memberikan
keuntungan.
Apoteker
praktik mandiri secara profesi sudah terwadahi oleh IAI bersama Hisfarma
didalamnya, namun sisi pengelolaan sarana dan prasarana untuk dapat terus
berlangsung sesuai dengan standar yang ada membutuhkan wadah lain. Bisnis
apotek berbeda dengan bisnis pada umumnya, karena bisnis apotek harus meletakan
nilai-nilai kemanusiaan sebagai pondasi. Kepentingan kemanusiaan harus lebih
utama dari kepentingan bisnis, namun bisnis tidak boleh mati. Disinilah pokok
pentingnya wadah bagi apoteker praktik mandiri, yang mana apoteker praktik
mandiri harus tetap berkembang bersama idealisme profesi.
IV.
IV. Kesimpulan
Keberadaan
wadah bagi apoteker praktek mandiri sangat diperlukan guna penyelenggaraan
pelayanan kefarmasian yang berkelangsungan dengan tetap mengusahakan pelayanan
kefarmasian yang maksimal dengan pembiayaan yang rasional.
V. Saran
1.
Setiap
pihak untuk terus memberikan dukungan terhadap peradaban pelayanan kefarmasian
yang didasarkan pada pelayanan maksimal dengan pembiayaan yang rasional.
2.
Nama
organisasi yang mewadahi apoteker praktik mandiri sebaiknya menambahkan kata
society atau masyarakat agar lebih menggambarkan anggota oraganisasi, anggota organisasi
seluruh masyarakat apoteker praktik mandiri di seluruh Indonesia.