Seperti kita ketahui banyak penyalahgunaan pemakaian obat bebas terbatas golongan penekan batuk ini dikalangan anak-anak remaja….
Mungkin di apotek teman sejawat pernah/sering didatangi seorang mengaku pasien membeli obat Dextromethorpan tab …
Bagaimana kita menyikapinya sebagai apoteker/tenaga kesehatan?
Apa yang perlu kita informasikan kepada pasien tersebut ?
Apa konsekuensinya terhadap hukum di Negara kita ?
Ada yang punya pengalaman atau dapat memberi saran ???
Jumat, 20 Maret 2009
OBAT PUYER ADALAH SOLUSI
OBAT PUYER ADALAH SOLUSI
Beberapa waktu yang lalu obat puyer sempat menjadi perbincangan yang menarik, karena bahaya obat puyer sedang berusaha dikupas.
Menurut saya, bahaya obat tidak hanya pada bentuk sediaan puyer, tetapi terjadi juga pada semua bentuk sediaan obat, oleh karena itu obat secara umum harus dikelola secara profesional demi keselamatan masyarakat banyak.
Mengapa puyer menjadi solusi ? Seperti kita ketahui, dalam penyediaan dosis untuk anak-anak, seringkali dosis disesuaikan dengan berat badan. Oleh karena itu bentuk sediaan puyer menjadi salah satu solusi dalam dunia pengobatan. Perkara bahaya tentu ada tindakan profesi yang seharusnya diambil agar bahaya pemakaian bentuk sediaan puyer dapat ditekan. Dan anehnya dalam memperbincangkan bahaya sediaan puyer umumnya adalah dokter dan apoteker sangatlah jarang. Apakah dalam kasus ini apoteker dianggap kurang peduli terhadap masyarakat sekitarnya ? atau mungkin karena apoteker masih ada yang tidak pernah nongol diapotek sama sekali sehingga masyarakat lebih percaya kepada dokter ?
Secara kompetensi seharusnya apotekerlah yang paling berhak membicarakan masalah bentuk sediaan puyer. Karena dari semua tenaga kesehatan yang ada, hanya apoekerlah yang mempelajari sifat kimia fisik bahan obat. Tetapi kenyataannya tidak hanya apoteker yang mebicarakan masalah bahaya sediaan puyer, sehingga terjadi kekawatiran berlebih dari sebagian masyarakat. Puyer yang seharusnya menjadi salah satu solusi dalam ilmu pengobatan yang seharusnya malah menentramkan masyarakat, justru menjadi sesuatu yang sangat menakutkan karena dibahas dengan cara yang salah. Dan selanjutnya pembicaraan puyer bisa jadi akan lebih sangat membahayakan bila pemahaman dari masyarakat terhadap bentuk sediaan puyer ini semakin salah.
Dari bahasan bahaya sediaan puyer yang saya tangkap, banyak hal-hal yang seharusnya bukan permasalahan formulasi sediaan puyer, tetapi bentuk sediaan puyerlah yang menjadi kambing hitam. Sebagai contoh masalah polifarmasi. Polifarmasi bisa saja terjadi pada peresepan dengan obat dengan bentuk sediaan apapun juga, karena polifarmasi adalah ketrampilan dari dokter dalam terapi yang diwujudkan dalam bentuk resep. Bila ketrampilan dokter dalam mengambil keputusan profesinya lebih mengarah pada poli farmasi, meskipun mereka memberikan resep dalam bentuk sediaan bukan puyerpun sering kali poli farmasi juga terjadi. Disini jelas-jelas bahwa poli farmasi bukan salahnya bentuk sediaan puyer, tetapi masalah ketrampilan dan kemampuan dokter dalam pengobatan.
Bila kita menginginkan polifarmasi tidak terjadi, maka solusinya adalah dengan meningkatkan ketrampian dokter. Bila ketrampilan dokter cukup dalam menghindari polifarmasi maka tidak akan ada polifarmasi dalam sediaan puyer, Kecuali apoteker diberi kewenangan sampai merubah obat atau mengurangi obat. Atau juga suatu semisal dokter hanya menulis diagnosa saja, maka apoteker bisa mengatasi masalah polifarmasi dalam puyer. Disini kelihatan bahwa masalah polifarmasi dinegara kita bukan masalah kefarmasian khususnya bentuk sediaan, tetapi masalah ketrampilan dokter dalam mengambil keputusan. Dan selanjutnya kontroversi masalah bentuk sediaan puyer terkait polifarmasi seharusnya tidak perlu terjadi apalagi sampai pada pelarangan bentuk sediaan puyer.
Pada kaitan puyer dengan masalah kaidah kefarmasian seperti : stabilitas bahan obat, kebersihan ruangan, kebersihan alat, interaksi obat dsb, memang masalah kefarmasian yang seharusnya memang menjadi bagian dalam kegiatan apoteker di apotek. Yang menjadi permasalahan disini adalah tidak hanya apoteker yang melakukan kegiatan pembuatan sediaan puyer ini. Dan secara umum bahasan yang terkait puyer ini juga termasuk kegiatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan lain bukan apoteker.
Seperti pada kasus mortir yang tidak dicuci. Disini sangat jelas bila masalah ini adalah terkait dengan kaidah kefarmasian. Bila puyer dilakukan diapotek sangat dimungkinkan bila setiap habis dipakai untuk membuat sediaan puyer mortir selalu dicuci seperti pada apotek saya, tetapi bagaimana bila pada praktek dokter dan bidan desa atau polindes yang tempat cucinya mungkin tidak menjadi satu dengan ruangan racik yang umumnya juga menjadi satu dengan ruang praktek ? Bila ada kasus seperti ini seharusnya juga menjadi tanggung jawab dari dinas kesehatan sebagai pembina dan pemberi ijin praktek. Seharusnya pada masalah ini dinas kesehatan yang mengambil alih dan menjamin akan melakukan pembinaan sehingga akan terjamin suatu produk layanan kesehatan yang sesuai standart layanan. Dan mungkin yang menjadi masalah pada dinas kesehatan adalah kekurangan jumlah apoteker sebagai pembina yang berkompeten terhadap masalah kefarmasian.
Stabilitas obat. sering kali juga terjadi obat yang tidak stabil juga diinginkan digerus oleh dokter dalam resepnya. Saya terkadang harus menolak dengan persetujuan pasien karena alasan obat kurang rasional untuk digerus. Disini seharusnya dokter tunduk pada aturan kefarmasian, bila apoteker secara keilmu kefarmasian menyatakan obat tidak stabil, maka keputusan profesi ada ditangan apoteker.
Pada kasus yang lain yang terkait kefarmasian seharusnya dokter sebagai penulis resep juga tunduk pada aturan kefarmasian, karena apoteker memang mempunyai kompetensi untuk itu. Disinilah pentingnya untuk saling menghargai diantara para profesi kesehatan demi meningkatkan derajat kesehatan bangsa.
Dari uraian saya ini sebaiknya kita sebagai tenaga kesehatan yang diakui oleh pemerintah seharusnya bekerja sama dalam membangun bangsa tanpa mementingkan kelompok kita sendiri, tetapi kia harus lebih mementingkan kepetingan dari masyarakat. Seperti pada kasus sediaan puyer ini, seharusya puyer menjadi bagian dari solusi bagi pengembangan kesehatan di negara kita. Yang tidak harus dihilangkan, tetapi justru harus dikembangkan dengan arah pengembangan yang lebih rasional. Demikian juga pada kasus dispensing obat oleh dokter dan tenaga kesehatan lain seharusnya mereka dengan rendah hati mau menyadari bila memproduksi puyer atau obat yang lain mempunyai masalah yang sangat rumit yang seharusnya dilakukan atas suatu kompetensi yang dapat dipertanggung jawabkan.
Bukannya kita tidak suka dokter melakukan dispensing, tetapi memproduksi obat atau mencampur obat bukanlah kompetensi dari dokter. Hal yang sangat baik bagi perkembangan keilmuan dan pembangunan kesehatan bangsa bila kita saling menghargai antar profesi kesehatan. Bagaimanapun juga meracik obat puyer merupakan salah satu proses produksi obat yang kompetensinya melekat pada apoteker dan yang boleh meracik obat seharusnya hanya apoteker. Dan selanjutnya bila puyer yang ada diapotek saja masih dianggap ada masalah, bagaimana dengan yang ada diluar apotek yang tidak didasari dengan kompetensi ?
Sudah seharusnya bagi kita untuk melihat kedalam diri kita masing-masing, apakah puyer masih boleh diproduksi atau tidak. Dan seandainya boleh, sudah seharusnya pula kita memikirkan dan menentukan siapa saja yang boleh dan mempunyai kompetensi untuk membuat sediaan puyer. Agar puyer tetap bisa menjadi salah satu alternati dalam mencari solusi dalam pengobatan.
Beberapa waktu yang lalu obat puyer sempat menjadi perbincangan yang menarik, karena bahaya obat puyer sedang berusaha dikupas.
Menurut saya, bahaya obat tidak hanya pada bentuk sediaan puyer, tetapi terjadi juga pada semua bentuk sediaan obat, oleh karena itu obat secara umum harus dikelola secara profesional demi keselamatan masyarakat banyak.
Mengapa puyer menjadi solusi ? Seperti kita ketahui, dalam penyediaan dosis untuk anak-anak, seringkali dosis disesuaikan dengan berat badan. Oleh karena itu bentuk sediaan puyer menjadi salah satu solusi dalam dunia pengobatan. Perkara bahaya tentu ada tindakan profesi yang seharusnya diambil agar bahaya pemakaian bentuk sediaan puyer dapat ditekan. Dan anehnya dalam memperbincangkan bahaya sediaan puyer umumnya adalah dokter dan apoteker sangatlah jarang. Apakah dalam kasus ini apoteker dianggap kurang peduli terhadap masyarakat sekitarnya ? atau mungkin karena apoteker masih ada yang tidak pernah nongol diapotek sama sekali sehingga masyarakat lebih percaya kepada dokter ?
Secara kompetensi seharusnya apotekerlah yang paling berhak membicarakan masalah bentuk sediaan puyer. Karena dari semua tenaga kesehatan yang ada, hanya apoekerlah yang mempelajari sifat kimia fisik bahan obat. Tetapi kenyataannya tidak hanya apoteker yang mebicarakan masalah bahaya sediaan puyer, sehingga terjadi kekawatiran berlebih dari sebagian masyarakat. Puyer yang seharusnya menjadi salah satu solusi dalam ilmu pengobatan yang seharusnya malah menentramkan masyarakat, justru menjadi sesuatu yang sangat menakutkan karena dibahas dengan cara yang salah. Dan selanjutnya pembicaraan puyer bisa jadi akan lebih sangat membahayakan bila pemahaman dari masyarakat terhadap bentuk sediaan puyer ini semakin salah.
Dari bahasan bahaya sediaan puyer yang saya tangkap, banyak hal-hal yang seharusnya bukan permasalahan formulasi sediaan puyer, tetapi bentuk sediaan puyerlah yang menjadi kambing hitam. Sebagai contoh masalah polifarmasi. Polifarmasi bisa saja terjadi pada peresepan dengan obat dengan bentuk sediaan apapun juga, karena polifarmasi adalah ketrampilan dari dokter dalam terapi yang diwujudkan dalam bentuk resep. Bila ketrampilan dokter dalam mengambil keputusan profesinya lebih mengarah pada poli farmasi, meskipun mereka memberikan resep dalam bentuk sediaan bukan puyerpun sering kali poli farmasi juga terjadi. Disini jelas-jelas bahwa poli farmasi bukan salahnya bentuk sediaan puyer, tetapi masalah ketrampilan dan kemampuan dokter dalam pengobatan.
Bila kita menginginkan polifarmasi tidak terjadi, maka solusinya adalah dengan meningkatkan ketrampian dokter. Bila ketrampilan dokter cukup dalam menghindari polifarmasi maka tidak akan ada polifarmasi dalam sediaan puyer, Kecuali apoteker diberi kewenangan sampai merubah obat atau mengurangi obat. Atau juga suatu semisal dokter hanya menulis diagnosa saja, maka apoteker bisa mengatasi masalah polifarmasi dalam puyer. Disini kelihatan bahwa masalah polifarmasi dinegara kita bukan masalah kefarmasian khususnya bentuk sediaan, tetapi masalah ketrampilan dokter dalam mengambil keputusan. Dan selanjutnya kontroversi masalah bentuk sediaan puyer terkait polifarmasi seharusnya tidak perlu terjadi apalagi sampai pada pelarangan bentuk sediaan puyer.
Pada kaitan puyer dengan masalah kaidah kefarmasian seperti : stabilitas bahan obat, kebersihan ruangan, kebersihan alat, interaksi obat dsb, memang masalah kefarmasian yang seharusnya memang menjadi bagian dalam kegiatan apoteker di apotek. Yang menjadi permasalahan disini adalah tidak hanya apoteker yang melakukan kegiatan pembuatan sediaan puyer ini. Dan secara umum bahasan yang terkait puyer ini juga termasuk kegiatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan lain bukan apoteker.
Seperti pada kasus mortir yang tidak dicuci. Disini sangat jelas bila masalah ini adalah terkait dengan kaidah kefarmasian. Bila puyer dilakukan diapotek sangat dimungkinkan bila setiap habis dipakai untuk membuat sediaan puyer mortir selalu dicuci seperti pada apotek saya, tetapi bagaimana bila pada praktek dokter dan bidan desa atau polindes yang tempat cucinya mungkin tidak menjadi satu dengan ruangan racik yang umumnya juga menjadi satu dengan ruang praktek ? Bila ada kasus seperti ini seharusnya juga menjadi tanggung jawab dari dinas kesehatan sebagai pembina dan pemberi ijin praktek. Seharusnya pada masalah ini dinas kesehatan yang mengambil alih dan menjamin akan melakukan pembinaan sehingga akan terjamin suatu produk layanan kesehatan yang sesuai standart layanan. Dan mungkin yang menjadi masalah pada dinas kesehatan adalah kekurangan jumlah apoteker sebagai pembina yang berkompeten terhadap masalah kefarmasian.
Stabilitas obat. sering kali juga terjadi obat yang tidak stabil juga diinginkan digerus oleh dokter dalam resepnya. Saya terkadang harus menolak dengan persetujuan pasien karena alasan obat kurang rasional untuk digerus. Disini seharusnya dokter tunduk pada aturan kefarmasian, bila apoteker secara keilmu kefarmasian menyatakan obat tidak stabil, maka keputusan profesi ada ditangan apoteker.
Pada kasus yang lain yang terkait kefarmasian seharusnya dokter sebagai penulis resep juga tunduk pada aturan kefarmasian, karena apoteker memang mempunyai kompetensi untuk itu. Disinilah pentingnya untuk saling menghargai diantara para profesi kesehatan demi meningkatkan derajat kesehatan bangsa.
Dari uraian saya ini sebaiknya kita sebagai tenaga kesehatan yang diakui oleh pemerintah seharusnya bekerja sama dalam membangun bangsa tanpa mementingkan kelompok kita sendiri, tetapi kia harus lebih mementingkan kepetingan dari masyarakat. Seperti pada kasus sediaan puyer ini, seharusya puyer menjadi bagian dari solusi bagi pengembangan kesehatan di negara kita. Yang tidak harus dihilangkan, tetapi justru harus dikembangkan dengan arah pengembangan yang lebih rasional. Demikian juga pada kasus dispensing obat oleh dokter dan tenaga kesehatan lain seharusnya mereka dengan rendah hati mau menyadari bila memproduksi puyer atau obat yang lain mempunyai masalah yang sangat rumit yang seharusnya dilakukan atas suatu kompetensi yang dapat dipertanggung jawabkan.
Bukannya kita tidak suka dokter melakukan dispensing, tetapi memproduksi obat atau mencampur obat bukanlah kompetensi dari dokter. Hal yang sangat baik bagi perkembangan keilmuan dan pembangunan kesehatan bangsa bila kita saling menghargai antar profesi kesehatan. Bagaimanapun juga meracik obat puyer merupakan salah satu proses produksi obat yang kompetensinya melekat pada apoteker dan yang boleh meracik obat seharusnya hanya apoteker. Dan selanjutnya bila puyer yang ada diapotek saja masih dianggap ada masalah, bagaimana dengan yang ada diluar apotek yang tidak didasari dengan kompetensi ?
Sudah seharusnya bagi kita untuk melihat kedalam diri kita masing-masing, apakah puyer masih boleh diproduksi atau tidak. Dan seandainya boleh, sudah seharusnya pula kita memikirkan dan menentukan siapa saja yang boleh dan mempunyai kompetensi untuk membuat sediaan puyer. Agar puyer tetap bisa menjadi salah satu alternati dalam mencari solusi dalam pengobatan.
Selasa, 10 Maret 2009
OBAT SAMPAH
OBAT SAMPAH
Beberapa waktu yang lalu diberitakan dimedia masa, "polisi menagkap pengedar obat sampah". Obat sampah adalah obat yang sudah dibuang dan sudah sampai TPA sampah, kemudian dikumpulkan oleh para pemulung yang selanjutnya dibersihkan dan diedarkan kembali kepasaran.
Peredaran obat sampah, secara umum tidak lepas dari rendahnya tingkat kesadaran masyarakat akan kesehatan. Juga karena arah pembangunan kesehatan yang hanya lebih mengarah pada satu pilar saja, yaitu pilar ilmu penyakit. Padahal dalam pembangunan kesehatan pemahaman akan penyakit oleh masyarakat tidak berdiri sendiri. Dan usaha pencegahan perkembangan penyakit masih hanya pada penyakit yang disebabkan oleh penyakit itu sendiri, sedangkan perkembangan penyakit yang disebabkan oleh pengunaan obat kurang diperhatikan.
Karena prekuentif dalam masalah kesehatan juga termasuk menghindarkan masyarakat akan bahaya obat. Seperti kita ketahui bahaya akan obat tidak hanya saja dikarenakan oleh penggunaan obat secara langsung tetapi terkait juga dengan cara membuang obat. Bila masyarakat membuang obat secara sembarang, maka bisa jadi peredaran obat sampah ini akan sangat membahayakan masyarakat lain. Mungkin tidak ada gunanya polisi menangkap pengedar obat sampah, bila para pemulung masih bisa mendapatkan obat dari TPA sampah dalam jumlah yang relatif besar.
Bila ingin memutus matarantai peredaran obat sampah yang paling sederhana adalah dengan meningkatkan kesadaran masyarakat akan kesehatan secara menyeluruh. Salah satu yang bisa kita tempuh adalah dengan menggalakan Gerakan Keluarga Sadar Obat, yang beberapa waktu yang lalu dicanangkan sebagai program ISFI jawa timur. Dengan slogannya DAGUSIBU, Dapatkan, Gunakan, Simpan dan Buang obat dengan benar. Memang belum semua apotek mengikuti gerakan ini, tetapi gerakan ini akan baik bila diterapkan secara nasional.
Kelemahan kita dalam mengembangka keilmuan farmasi secara umum juga mengacu pada beberapa pilar saja, semisal Produksi, farmakoterapi, pengembangan obat baru dsb, tetapi aspek sosial apotek seringkali kita kurang memperhatikan. Mungkin sebagian kita masih menganggap bila kita menguasai tehnologi farmasi kita akan mejadi apoteker yang hebat. Sedangkan masalah sosial tidak begitu diperhatikan sehingga dalam pengambangan profesi sering kali kita berjalan pincang.
Seharusnya kita bisa mencegah peredaran obat sampah ini bila dalam pengembangan profesi kesehatan khususnya apoteker juga mempelajari perilaku masyarakat sehat. Sehingga beberapa hal yang seharusnya kita cegah dapat kita cegah. Seperti pada kasus peredaran obat sampah ini, seharusnya dapat kita cegah sejak awal. Untuk lebih lanjut, beberapa hal dibawah ini mungkin bisa digunakan sebagai pertimbangan dalam mencegah peredaran obat sampah :
1. Mengajak masyarakat agar memperlakukan obat sebagai mana mestinya, dengan menjadikan setiap masyarakat sebagai kader obat. Yang mana kedepannya diharapkan setiap anggota masyarakat bisa menjadi kader keluarga sadar obat yang paham akan slogan DAGUSIBU.
2. Mengajak kepada masyarakat agar menjadikan apotek sebagai tempat mencari informasi kesehatan umum dan kesehatan farmasi.
3. Mengajak kepada masyarakat agar menggunakan obat secara tepat dan meningkatkan kepatuhan minum obat. Ketidak tepatan penggunaan obat dan ketidak patuhan minum obat sering kali bisa menjadikan obat sisa (obat sisa penggunaan yang akhirnya terbuang percuma), sehingga bila pada saat kunjungan dokter berikutnya dan ternyata obat diganti atau merek diganti obat yang lama akan dibuang sebagai obat sisa.
4. Mewajibkan apoteker dan tenaga kesehatan lain yang melakukan dispensing obat seperti dokter di daerah pelosok agar melakukan edukasi dengan cukup. Bila apoteker dan dokter hanya melakukan penjualan obat saja tanpa edukasi yang memadai dalam pelepasan obat, maka potensi obat sisa bisa saja meningkat.
5. Jangan melepaskan obat kepada masyarakat dengan jumlah berlebihan. Bila memang dibutuhkan obat dalam jumlah yang relatif besar dalam pengobatan, sebaiknya disertai edukasi termasuk edukasi cara pembuangan obat bila terjadi obat sisa.
6. Mengikutkan semua anggota masyarakat kepada asuransi kesehatan. Bila semua anggota masyarakat diikutkan asuransi kesehatan, maka kedepan masyarakat hanya membutuhkan obat atas dasar resep dan peredaran obat sampah akan dapat sagat ditekan.
Mungkin masih banyak hal-hal lain yang dapat dilakukan untuk menekan jumlah peredaran obat sampah. Dan menurut saya mengikut sertakan seluruh anggota masyarakat akan asuransi kesehatan dengan biaya yang ditanggung pemerintah adalah sangat baik untuk mengatasi banyak hal masalah kesehatan yang dihadapi oleh masyarakat kita.
Dan kesimpulan saya, beredarnya obat sampah adalah tangungn jawab kita bersama yang seharusnya kita selesikan secara bersama-sama. Masyarakatpun ikut bertanggung jawab untuk mengamankan peredaran obat sampah ini. Peran serta masyarakat dibutuhkan dalam menekan peredaran obat sampah ini mulai dari Cara mendapatkan obat sampai cara membuang obat bila terjadi obat sisa. Dan peran serta tenaga kesehatan adalah memberikan edukasi. Dengan saling mengisi dan bekerja sama dalam megatasi permasalahan kesehatan, semoga kedepan tidak ada lagi obat sampah yang beredar di masyarakat.
Beberapa waktu yang lalu diberitakan dimedia masa, "polisi menagkap pengedar obat sampah". Obat sampah adalah obat yang sudah dibuang dan sudah sampai TPA sampah, kemudian dikumpulkan oleh para pemulung yang selanjutnya dibersihkan dan diedarkan kembali kepasaran.
Peredaran obat sampah, secara umum tidak lepas dari rendahnya tingkat kesadaran masyarakat akan kesehatan. Juga karena arah pembangunan kesehatan yang hanya lebih mengarah pada satu pilar saja, yaitu pilar ilmu penyakit. Padahal dalam pembangunan kesehatan pemahaman akan penyakit oleh masyarakat tidak berdiri sendiri. Dan usaha pencegahan perkembangan penyakit masih hanya pada penyakit yang disebabkan oleh penyakit itu sendiri, sedangkan perkembangan penyakit yang disebabkan oleh pengunaan obat kurang diperhatikan.
Karena prekuentif dalam masalah kesehatan juga termasuk menghindarkan masyarakat akan bahaya obat. Seperti kita ketahui bahaya akan obat tidak hanya saja dikarenakan oleh penggunaan obat secara langsung tetapi terkait juga dengan cara membuang obat. Bila masyarakat membuang obat secara sembarang, maka bisa jadi peredaran obat sampah ini akan sangat membahayakan masyarakat lain. Mungkin tidak ada gunanya polisi menangkap pengedar obat sampah, bila para pemulung masih bisa mendapatkan obat dari TPA sampah dalam jumlah yang relatif besar.
Bila ingin memutus matarantai peredaran obat sampah yang paling sederhana adalah dengan meningkatkan kesadaran masyarakat akan kesehatan secara menyeluruh. Salah satu yang bisa kita tempuh adalah dengan menggalakan Gerakan Keluarga Sadar Obat, yang beberapa waktu yang lalu dicanangkan sebagai program ISFI jawa timur. Dengan slogannya DAGUSIBU, Dapatkan, Gunakan, Simpan dan Buang obat dengan benar. Memang belum semua apotek mengikuti gerakan ini, tetapi gerakan ini akan baik bila diterapkan secara nasional.
Kelemahan kita dalam mengembangka keilmuan farmasi secara umum juga mengacu pada beberapa pilar saja, semisal Produksi, farmakoterapi, pengembangan obat baru dsb, tetapi aspek sosial apotek seringkali kita kurang memperhatikan. Mungkin sebagian kita masih menganggap bila kita menguasai tehnologi farmasi kita akan mejadi apoteker yang hebat. Sedangkan masalah sosial tidak begitu diperhatikan sehingga dalam pengambangan profesi sering kali kita berjalan pincang.
Seharusnya kita bisa mencegah peredaran obat sampah ini bila dalam pengembangan profesi kesehatan khususnya apoteker juga mempelajari perilaku masyarakat sehat. Sehingga beberapa hal yang seharusnya kita cegah dapat kita cegah. Seperti pada kasus peredaran obat sampah ini, seharusnya dapat kita cegah sejak awal. Untuk lebih lanjut, beberapa hal dibawah ini mungkin bisa digunakan sebagai pertimbangan dalam mencegah peredaran obat sampah :
1. Mengajak masyarakat agar memperlakukan obat sebagai mana mestinya, dengan menjadikan setiap masyarakat sebagai kader obat. Yang mana kedepannya diharapkan setiap anggota masyarakat bisa menjadi kader keluarga sadar obat yang paham akan slogan DAGUSIBU.
2. Mengajak kepada masyarakat agar menjadikan apotek sebagai tempat mencari informasi kesehatan umum dan kesehatan farmasi.
3. Mengajak kepada masyarakat agar menggunakan obat secara tepat dan meningkatkan kepatuhan minum obat. Ketidak tepatan penggunaan obat dan ketidak patuhan minum obat sering kali bisa menjadikan obat sisa (obat sisa penggunaan yang akhirnya terbuang percuma), sehingga bila pada saat kunjungan dokter berikutnya dan ternyata obat diganti atau merek diganti obat yang lama akan dibuang sebagai obat sisa.
4. Mewajibkan apoteker dan tenaga kesehatan lain yang melakukan dispensing obat seperti dokter di daerah pelosok agar melakukan edukasi dengan cukup. Bila apoteker dan dokter hanya melakukan penjualan obat saja tanpa edukasi yang memadai dalam pelepasan obat, maka potensi obat sisa bisa saja meningkat.
5. Jangan melepaskan obat kepada masyarakat dengan jumlah berlebihan. Bila memang dibutuhkan obat dalam jumlah yang relatif besar dalam pengobatan, sebaiknya disertai edukasi termasuk edukasi cara pembuangan obat bila terjadi obat sisa.
6. Mengikutkan semua anggota masyarakat kepada asuransi kesehatan. Bila semua anggota masyarakat diikutkan asuransi kesehatan, maka kedepan masyarakat hanya membutuhkan obat atas dasar resep dan peredaran obat sampah akan dapat sagat ditekan.
Mungkin masih banyak hal-hal lain yang dapat dilakukan untuk menekan jumlah peredaran obat sampah. Dan menurut saya mengikut sertakan seluruh anggota masyarakat akan asuransi kesehatan dengan biaya yang ditanggung pemerintah adalah sangat baik untuk mengatasi banyak hal masalah kesehatan yang dihadapi oleh masyarakat kita.
Dan kesimpulan saya, beredarnya obat sampah adalah tangungn jawab kita bersama yang seharusnya kita selesikan secara bersama-sama. Masyarakatpun ikut bertanggung jawab untuk mengamankan peredaran obat sampah ini. Peran serta masyarakat dibutuhkan dalam menekan peredaran obat sampah ini mulai dari Cara mendapatkan obat sampai cara membuang obat bila terjadi obat sisa. Dan peran serta tenaga kesehatan adalah memberikan edukasi. Dengan saling mengisi dan bekerja sama dalam megatasi permasalahan kesehatan, semoga kedepan tidak ada lagi obat sampah yang beredar di masyarakat.
Langganan:
Postingan (Atom)