Minggu, 29 November 2009

STANDARISASI APOTEK PKP

STANDARISASI APOTEK PKP


Keberahasilan dari produk apoteker baru, salah satunya ada pada PKP di apotek. Dan dari hasil diskusi saya dari berbagai pihak, kenyataannya apotek PKP sangat beragam. Keberagaman ini sebenarnya bisa dimaklumi, mengingat cara kelola apotek bisa bermacam-macam. Tetapi yang menjadi permasalahan adalah materi yang diajarkan pada apotek PKP adalah sangat beragam dan bisa jadi akan terjadi “standar yang berbeda” dari produk apoteker yag dihasilkan.

Sangat pentingnya profesi apoteker seperti yang diapresiasi oleh PP51 sudah sewajarnya bila kita semua berbenah diri untuk menyesuaikan. Guna mendukung TATAP yang lebih ideal dan meningkatkan jumlah apoteker yang mandiri, yang selanjutnya lebih mampu membuka lapagan pekerjaan buat orang lain tak terbatas hanya apoteker itu sendiri, maka Perguruan Tinggi Farmasi adalah langkah awal dalam pembenahan ini.

Karena TATAP kedepan tidak akan berhasil bila produk yang dihasilkan hanya bermutu substandar. Substandar yang dimaksud, bisa jadi apoteker melakukan TATAP tapi tak berkualitas, atau berkualitas tapi tak mampu melakukan TATAP. Dari hal lain yang saya tahu, banyak apoteker berkualitas tetapi tidak mempunyai jiwa kemandirian profesi. Dan mungkin ada juga yang kualitasnya pas2an saja tetapi mempunyai jiwa kemandirian profesi yag bagus. Yang menjadi pertanyaan adalah, kenapa hal ini bisa terjadi?

Dari beberapa kasus seperti ini, seharusnya Perguruan Tinggi Farmasi selalu melakukan perbaikan yang salah satunya dengan penelitian, baik pada tingkat skripsi atau yang lebih tinggi. Skripsi pada tingkat layanan kefarmasian seharusnya sudah menjadi target yang lebih jelas, bila apoteker ingin diakui sebagai pelayan kesehatan primer. Saat ini apoteker dalam SKN belum dianggap sebagai pelayan kesehatan primer, meskipun perannya sangat jelas dalam pelayanan kesehatan primer.

Dari uraian diatas, seharusnya Perguruan Tinggi Farmasi melakukan standarisasi kurikulum PKP, apoteker pembimbing PKP, sampai apotek PKP. Karena mencari apotek PKP yang memenuhi standart sulit, ada baiknya PKP apotek dilakukan pada lebih dari satu apotek agar saling melengkapi. Karena target produk yang bagus adalah tujuan utama, maka hal ini seharusnya dilakukan secara nasional.

Saat ini, kualitas apoteker pembimbing PKP sangat beragam dan apotek tempat PKP juga sangat beragam. Mengingat PKP di apotek adalah pembelajaran terhadap permasalahan nyata apotek, maka tidak mungkin calon apoteker hanya mendapatkan teori teori semata. Sehingga tidak ada bedanya antara bangku kuliah dan PKP.

Tingkat keberhasilan PKP bisa ditentukan banyak hal, yang al:
1. pembekalan sebelum PKP, disini sangat tergantung penguasaan mahasiswa secara individu dan kurikulum pendidikan sebelum PKP. Jangan sampai pada waktu PKP calon apoteker tidak memahami tablet salut enterik. Karena pemahaman salut enterik mulai dari bahan pembuat salut sampai cara kerja tetap dibutuhkan oleh apoteker diapotek agar konseling atau PIO dapat berjalan dengan lancar.
2. Jumlah kasus di apotek, jumlah kasus diapotek sangat mempengaruhi calon apoteker didalam praktek profesinya nanti. Kalau apotek yang digunakan PKP mempunyai kasus yang kurang, tentu saja apoteker hanya akan mendapatkan teori teori sebagai pelengkapnya. Dan kalau diapotek PKP hanya mendapatkan teori teori lagi buat apa ada PKP?
3. Kualitas apoteker pembina PKP, saat ini tidak semua apoteker pembina PKP mau membongkar semua ilmu yang dimilkinya. Semisal dalam kemandirian profesi apoteker sangat tergantung dengan kemampuan memanajemen apotek dengan benar, sering kali manajemen merupakan rahasia perusahaan. Bila hal ini terjadi bagaimana calon apoteker bisa mandiri secara profesi?
4. Evaluasi, evaluasi harus selalu dilakukan sebagai umpat balik dari semua yang telah dilakukan.

Dari uraian saya diatas, saya berpendapat TATAP sesuai dengan PP51 akan lebih dapat berhasil, bila perencanaan TATAP dimulai dari Perguruan tinggi Farmasi dengan lebih mengkondisikan kemadirian profesi. Dengan lebih memperhatikan kualitas produk yang dihasilkan yang lebih sesuai dengan keadaan lapangan. Dan untuk produk yang sudah keluar, Perguruan Tinggi Farmasi bisa bekerjasama dengan organisasi profesi untuk melakukan pendidikan berkelanjutan dan pelatihan pelatihan guna memperbaharui kemampuan iptek yang dikuasai oleh para apoteker.

Saat yang lalu belum semua apoteker mau memperbaharui penguasaan iptek terkait layanan kefarmasian diapotek karena belum menjadi kewajiban. Tetapi sejak diterapkannya uji kompetensi, para apoteker sudah mulai menyadari akan pentingnya pemperbaharui kemampuan ipteknya terkait pengelolaan kefarmasian di apotek. Dengan memperbaharui kemampuannya yang disesuaikan dengan perkembangan iptek itu sendiri, dengan harapan apoteker yang dulunya kurang aktif diapotek bisa menjadi lebih aktif diapotek.

Untuk meningkatkan kemapuan Iptek apoteker, bisa dilakukan dengan pendidikan berkelanjutan atau pelatihan pelatihan mungkin, dan mungkin tetap perguruan tinggi yang bisa dijadikan pilihan utama, oleh karena itu Perguruan Tinggi Farmasi harus selalu memperbaharui juga sain yang terkait hal tersebut dan meningkatkan jumlah penelitian dibidang perapotekan atau klinis farmasi perapotekan baik secara kualitatif maupun kuantitatif.

Bagaimanapun juga peran Perguruan Tinggi Farmasi didalam meningkatkan kualitas profesi apoteker tidak dapat diabaikan. Semoga TATAP kedepan dapat berjalan sesuai dengan harapan masyarakat. Yang mana apoteker sebagai pelayan kesehatan dapat melakukan layanan dengan baik, benar dan berkualitas serta penuh rasa kemanusiaan. Dan bagaimanapun juga pembangunan kesehatan secara umum tidak bisa dilepaskan dari kualitas layanan kefarmasian.

Selasa, 24 November 2009

PRAKTEK PROFESI APOTEKER DI APOTEK

PRAKTEK PROFESI APOTEKER DI APOTEK


Didalam praktek profesi apoteker di apotek, sering kali dikaitkan dengan keberadaan apoteker di apotek di jam buka apotek. Suatu hal yang tidak berlebihan bila keberadaan apoteker di jam buka apotek dipertanyakan dan dituntut demi layanan kepada masyarakat. Dan salah satu alasan ketidak beradaan apoteker di apotek pada jam buka apotek adalah hanya ada satu apoteker padahal jam buka apotek 10-14 jam dalam sehari.

Dalam menyikapi hal ini tentunya kita bisa menganalogikan apotek dengan praktek profesi lain. Semisal praktek dokter, kita bisa menganalogikan apotek seperti praktek dokter atau seperti rumah sakit. Bila kita menganalogkan dengan praktek dokter, maka satu apotek bisa diisi hanya dengan satu apoteker dan dapat dibantu dengan tenaga lain yang jam bukanya hanya beberapa jam saja dalam satu hari. Bila apoteker berhalangan hadir, maka apotek harus tutup seperti praktek dokter.

Bila kita analogikan dengan praktek dokter, apotek tidak harus buka 10 jam dalam sehari. Mungkin apotek cukup buka 5-7 jam dalam satu hari pada jam jam tertentu saja. Dan tidak perlu dipaksakan untuk buka lebih lama. Mungkin apotek model ini baik diterapkan pada daerah pinggiran atau terpencil.

Bila kita analogikan dengan rumah sakit, maka apotek bisa dikelola oleh 2 orang apoteker atau lebih. Yang mana pada jam buka apotek bisa dikelola oleh apoteker secara langsung secara bergantian. Bila apotek buka tuju hari dalam satu minggu suatu misal, apotek harus dikelola setidaknya oleh tiga orang apoteker. Dengan perhitungan, dalam satu minggu ada 14 sip dan 3 apoteker bisa mengisi 15-18 sip dalam satu minggu. Bila apotek buka 24 jam, maka ada 21 sip,dan seharusnya diperlukan setidaknya 4 orang apoteker.

Dari analogi di atas, kenapa tidak dicoba model apotek yang hanya buka beberapa jam saja per hari? Toh kalau bicara omset, pada apotek model ini tidak dibutuhkan omset yang terlalu besar karena biaya operasional yang juga tidak terlalu besar. Mungkin ada yag meragukan eksistensi apotek yang hanya buka beberapa jam dalam sehari. Tetapi kenyataannya ada yang eksis meski apotek model ini hanya sangat sangat sedikit, dan kenapa tidak kita coba untuk dikembangkan? Toh bila dikembangkan apotek model ini hanya dibutuhkan modal yang tidak terlalu besar dan pengelolaannya tidak terlalu rumit.

Dan pada ujung ujungnya tetap masyarakat diuntungkan karena ada pemerataan pelayanan kefarmasian yang dilakukan secara langsung oleh apoteker. Bagaimanapun juga layayanan kepada masyarakat selalu harus kita utamakan, dan apotek model ini adalah salah satu solusi.

Kamis, 19 November 2009

PENGELOLAAN OBAT

Artikel ini dikirimkan oleh Mr Totok Sudjianto, sebagai bahan diskusi buat kita seua para apoteker dan mungkin juga oleh profesi lain yang memang bersentuhan dengan sediaan farmasi. Dan apresiasinya sangat diperluakan guna meningkatkan kualitas layanan kefarmasian (GPP).

Selama ini hanya apoteker yang berkompeten didalam pengelolaan obat. Dan seharusnya tidak tergantikan bila menginginkan pembangunan kesehatan yang seutuhnya. Dan sekali lagi terimakasih buat Mr Sudjianto.

Naskah yang cukup banyak saya simpan di http://sites.google.com/site/hisfarma/Home/pengelolaan-obat dan semoga tidak mengurangi semangat diskusi di blog ini. silahkan mengapresiasi


PENGELOLAAN OBAT

Pengantar

Pengelolaan merupakan suatu proses yang dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang dilakukan secara efektif dan efisien. Proses pengelolaan dapat terjadi dengan baik bila dilaksanakan dengan dukungan kemampuan menggunakan sumber daya yang tersedia dalam suatu sistem.
Tujuan utama pengelolaan obat adalah tersedianya obat dengan mutu yang baik, tersedia dalam jenis dan jumlah yang sesuai kebutuhan pelayanan kefarmasian bagi masyarakat yang membutuhkan.

Secara khusus pengelolaan obat harus dapat menjamin :
a. Tersedianya rencana kebutuhan obat dengan jenis dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan pelayanan kefarmasian di Apotek
b. Terlaksananya pengadaan obat yang efektif dan efisien
c. Terjaminnya penyimpanan obat dengan mutu yang baik
d. Terjaminnya pendistribusian / pelayanan obat yang efektif
e. Terpenuhinya kebutuhan obat untuk mendukung pelayanan kefarmasian sesuai jenis, jumlah dan waktu yang dibutuhkan
f. Tersedianya sumber daya manusia dengan jumlah dan kualifikasi yang tepat
g. Digunakannya obat secara rasional

BACA SELANJUTNYA

Selasa, 17 November 2009

KONSELING PADA PELAYANAN ATAS RESEP

KONSELING PADA PELAYANAN ATAS RESEP


Salah satu faktor didalam keberhasilan didalam pelayanan obat atas resep adalah keberhasilan didalam konseling. Secara umum tehnik konseling pada swamedikasi lebih sulit dibandingkan dengan tehnik konseling pada pelayanan atas resep. Karena pada swamedikasi memiliki lebih banyak faktor yang mempengaruhi. Yang salah satunya kebutuhan obatnya lebih heterogen baik dalam klas terapi, merek dsb.

Tehnik konseling pada pelayanan atas resep sebaiknya juga diawali dengan tehnik eksplorasi, baru diikuti tehnik tehnik lain dan di tutup dengan tehnik pemberian informasi. Pada penyerahan resep konseling secara umum lebih susah pada penguasaan farmakoterapi, bukan pada tehniknya, tetapi bukan berarti pada penyerahan resep tehnik konseling tidak ada masalah. Dan secara umum yang saya tahu saat ini penguasaan oleh para apoteker muda terhadap tehnik konseling ini masih sangat perlu diasah.

Eksplorasi menjadi sangat penting didalam konseling kefarmasian, karena dengan tehnik ini kita bisa mengetahui pemahaman pasien terhadap obat dan penyakit. Setelah itu apoteker baru mengambil keputusan tentang apa yang harus dikonselingkan dan tehnik apa yang digunakan dalam konseling. Dengan konseling yang tepat, maka tujuan terapi akan menjadi lebih berhasil.

Siapapun juga yang mengambil obat, jalannya konseling tetap harus berjalan. Meskipun yang mengambil orang lain. Dan pesan didalam konseling juga harus tetap disampaikan. Selain konseling bisa meningkatkan keberhasilan pengobatan, konseling juga bisa meningkatkan tingkat pendidikan kesehatan masyarakat secara umum. Dan dengan semakin tinggi tingkat pendidikan kesehatan masyarakat, maka jalannya konseling pada tahap berikutnya juga akan menjadi lebih mudah.

Konseling pada kadang kala tidak cukup hanya dilakukan dalam satu pertemuan, dan sering kali harus diulang ulang pada kunjungan berikutnya. Terutama pada pengobatan jangka panjang, seperti TB dan penyakit degeneratif. Dan bila perlu pada keluarga pasien juga dilakukan konseling.

Pada pelayanan atas dasar resep, konseling juga dilakukan untuk mengamankan pasien dari bahaya obat dan penyakit, dan juga untuk meningkatkan keberhasilan tujuan terapi. Dan untuk menjadikan konseling efektif diperlukan pengalaman yang cukup dan penguasaan sain dan tehnik yang cukup pula. Karena didalam konseling, mempunyai tehnik tanpa penguasaan sain mungkin jalannya konseling tidak akan berhasil. Dan sebaliknya, mempunyai sain tanpa tehnik konseling bisa jadi juga akan gagal.

Dan kesimpulannya, kemampuan tehnik konseling seharusnya ditingkatkan, terutama untuk apoteker baru. Karena bagaimanapun juga tehnik konseling adalah salah satu permasalahan tersendiri didalam keberhasilan dalam terapi. Baik pada swamedikasi ataupun pada pelayanan atas dasar resep.

Senin, 16 November 2009

SWAMEDIKASI BUKAN PENGOBAT

SWAMEDIKASI BUKAN PENGOBAT


Setiap kal saya menceritakan tentang target omset apotek saya yang didominasi oleh penjualan swamedikasi, selalu banyak pertanyaan yang mengarahkan kepada saya yang menuding saya sebagai pengobat.

Dalam swamedikasi filosofi utamanya adalah mengamankan pasien dari bahaya penyakit dan bahaya obat, juga bahaya dari penggunaan sediaan farmasi lain. Dengan filosofi itu kita sebagai apoteker sebaiknya tidak melepas langsung obat atau sediaan farmasi lain begitu saja, tetapi kita harus melakukan pengecekan terhadap kerasionalan keinginan masyarakat tersebut. Meskipun hal ini ribet, sebaiknya tetap dilakukan demi keamanan akibat penggunaan obat dan sediaan farmasi lain juga demi keselamatan pasien dari bahaya penyakit.

Pengusaan apoteker terhadap obat tidak perlu diragukan lagi, secara umum lebih dari cukup. Tetapi usaha untuk konseling sering kali kurang diperhatikan karena banyak hal yang mempengaruhi. Salah satu misal adalah biaya operasional konseling. Sebagai gambaran, gaji apoteker pendamping per jam sekitar Rp10.000;- dan konseling sering kali memakan waktu lebih dari 15 menit dan tak jarang membutuhkan waktu yang lebih. Selanjutnya bila apoteker hanya memberikan keputusan dengan menyarankan penggunaan obat dengan harga kurang dari Rp10.000;- dengan margin laba 10% maka apotek telah merugi. Selain disebabkan oleh hal2 lain

Dan masih banyak alasan lain yang menyebabkan konseling tidak berjalan terhadap masalah diatas. Tetapi secara umum karena apresiasi masyarakat terhadap kebutuhan konseling kurang.

Hal kedua yang penting adalah penguasaan terhadap penyakit. Sangat penting apoteker memahami penyakit dan sifat sifat penyakit. Guna menyelamatkan masyarakat dari bahaya penyakit. Dengan penguasaan terhadap ilmu penyakit, bukan berarti apoteker harus menjadi pengobat (dokter). Tetapi lebih diarahkan agar apoteker mampu merujuk pasien kepada dokter pada saat yang tepat, selain juga menyelamatkan masyarakat akibat penggunaan obat sembarangan yang memungkinkan terjadinya ESO atau mungkin justru memperparah penyakit.

Semisal pada saat pasien meminta obat turun panas, apoteker harus mengenal penyakit yang umumnya bisa menyebabkan suhu badan naik, sehingga bila panas tidak reda sampai waktu tertentu harus menyarankan untuk mengunjungi dokter keluarganya. Semisal pada DB, apoteker juga harus tahu, bagaimana pemeriksaan laboratoirumnya dan menyampaikan ini kepada masyarakat. Sekali lagi disini apoteker bukan pengobat, karena derajat sakit bukan kompetensi dari apoteker. Bolehlah masyarakat secara umum atau apoteker mengenali penyakit dan gejalanya, tetapi penegakan diagnosa tetap menjadi wilayah dari pada seorang dokter.

Contoh lain yang paling banyak kita temui adalah penderita hipertensi yang meminta PPA, apoteker harus mampu mengarahkan untuk menghindari PPA. Kasus semacam ini selalu ada saja, pernah sekitar satu bulan yang lalu ada yang meminta obat PPA, padahal saat datang keapotek jalannya sudah tidak tegak lagi karena strok. Disinilah peran apoteker dalam mengamankan masyarakat dibutuhkan, meskipun itu hanya obat bebas terbatas.

Memang didalam konseling apoteker tidak selamanya mampu merubah perilaku masyarakat kearah hidup yang lebih sehat, tetapi peran ini tetap harus dilakukan dengan sabar dan terampil.

Dalam swamedikasi saya selalu menekankan untuk mengawal masyarakat dalam penggunaan obat bebas sampai obat bebas terbatas juga OWA. Dan apoteker juga harus siap sebagai konsultan nutrisi dan kosmetik. Semisal susu untuk penderita GGT, apoteker harus mampu menjelaskan perbedaannya dengan susu biasa dsb. Dan masih banyak lagi peran apoteker didalam swamedikasi.

Kewaspadaan apoteker terhadap bahaya obat dan penyakit sangat penting didalam swamedikasi, meskipun bukan berarti pengobat.

Kamis, 12 November 2009

SWAMEDIKASI

SWAMEDIKASI



Dalam asuhan kefarmasian, swamedikasi adalah salah satu hal yang harus dilakukan dengan baik. Seperti kita ketahui saat pasien mengusahakan untuk mendapatkan obat, seharusnya apoteker tidak melepaskan obat begitu saja, meskipun obat bebas. Hal yang harus dicermati adalah mengamankan pasien dari obat dan penyakit, sebagai tujuan utama dalam swamedikasi.

Pada swamedikasi, pemahaman apoteker tentang obat dan penyakit merupakan hal yang harus dikuasai dan tidak bisa ditawar. Karena tidak mungkin kita bisa mengamankan masyarakat dari keduanya bila apoteker tak memahami keduanya. Pemahaman apoteker terhadap obat secara umum tidak menjadi masalah, tetapi pemahaman terhadap penyakit umumnya sangat kurang. Bukannya kita ingin menjadi pengobat seperti doker, tetapi diharapkan kita bisa mengawal masyarakat dan tahu kapan masyarakat harus ke dokter.

Sering kali pasien memaksakan diri agar apoteker mampu mengobati penyakitnya, tetapi bila dirasakan penyakit harus dirujuk, apoteker harus mampu merujuk pada saat yang tepat. Philosofi yang saya gunakan dalam swamedikasi adalah keamanan lebih penting dari pada semuanya, semisal manjur, tetapi tidak aman juga tidak ada gunanya. Sering kali saya harus menjelaskan kepada pasien, bahwa obat yang bagus selalu dengan urutan aman, efektif dan efisien. Keamanan selalu diletakan pada posisi pertama. Dan kalau dalam usaha swamedikasi tidak berhasil pasien harus mengunjungi dokter.

Saya selalu mengatakan bahwa kemanan adalah hal yang sangat penting. Dan saya sangat menghargai dokter bila ukuran klinis adalah hak mereka. Boleh kita bicara gejala penyakit, diagnosa dan lain sebagainya, tetapi derajat sakit bukanlah wilayah kita. Sebaiknya kita berhati hati didalam swamedikasi dan tetap mengutamakan kepentingan pasien yaitu selamat dalam penggunaan obat dan sediaan farmasi lain.