KEBERADAAN PENDAMPING BISA MELAKUKAN PRAKTEK SAMPAI DI 3 APOTEK PADA PP NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN
Pasal 54
(1) Apoteker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf a hanya dapat melaksanakan praktik di 1 (satu) Apotik, atau puskesmas atau instalasi
farmasi rumah sakit.
(2) Apoteker pendamping sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf b hanya dapat melaksanakan praktik paling banyak di 3 (tiga) Apotek, atau puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit.
Ada banyak beberapa keuntungan dengan diperbolehkannya apoteker pendamping melakukan praktek sampai pada 3 apotek, yang antara lain :
1. Dengan adanya pendamping dan pendamping boleh melakukan praktek sampai 3 tempat pratek, akan meningkatkan komunikasi profesi antar apoteker yang ujung ujungnya justru akan menguntungkan apoteker itu sendiri. Karena akan menjadikan apoteker lebih mudah untuk saling bertukar pikiran dan selanjutnya kualitas apoteker akan menjadi lebih baik. Dampak selanjutnya tentu saja pelayanan kepada pasien juga akan menjadi lebih bagus, karena apoteker menjadi lebih berkualitas.
2. memudahkan apotek dalam mencari pendamping, terutama pada masa peralihan ini dan pada apotek yang berada di daerah pinggiran. Seperti kita ketahui saat ini, umumnya para apoteker inginnya bekerja pada apotek yang berada di kota dan pada apotek besar. Pada apotek yang terletak di daerah pinggiran saat ini sulit mencari apoteker pendamping bahkan mencari asisten apotekerpun di daerah pinggiran terkadang sulit.
3. Pemerataan apotek dalam memenuhi rasio jumlah apoteker terhadap jumlah penduduk. Pada daerah yang jumlah penduduknya hanya membutuhkan apoteker satu lebih setengah atau dua sepertiga dan lain sebagainya, kekurangan apoteker bisa diisi oleh apoteker pendamping. Suatu misal apotek yang ada dipinggiran yang melayani penduduk dengan jumlah sekitar 15.000 orang, bila rasio 1:10.000, maka secara teoritis dibutuhkan 1 lebih setengah apoteker. Pada daerah semacam ini bisa jadi apoteker pendamping dalam bekerja membantu APA tidak harus satu minggu penuh, mungkin cukup 3 hari saja dalam satu minggu. Selanjutnya harapan pemerataan apotek dan apoteker menjadi lebih mudah terpenuhi.
4. dan mungkin akan masih ada beberaa kelebihan lagi dari diijinkanya apoteker pendamping bisa bekerja pada lebih dari satu tempat layanan kefarmasian/apotek. Dan semoga kesempatan ini bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh kita para apoteker.
Dengan pengaturan apoteker pendamping ini, maka kerja sama antar apoteker akan menjadi sesuatu hal yang menjadi penting. Karena tidak menutup kemungkinan pada satu apotek akan diisi oleh lebih dari 4 atau 5 apoteker. Dan bagaimanapun juga dengan adanya pendamping yang boleh melakukan praktek lebih dari satu apotek akan menjadikan beberapa permasalahan profesi lebih mudah terselesaikan.
Minggu, 18 Oktober 2009
Sabtu, 10 Oktober 2009
ASUHAN KEFARMASIAN PADA PP NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN
ASUHAN KEFARMASIAN PADA PP NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN
Pada ketentuan umum, Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan
obat dan obat tradisional.
Dan pada pasal 5 Pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian meliputi antara lain Pekerjaan Kefarmasian dalam Pelayanan Sediaan Farmasi.
Asuhan kefarmasian diapotek secara umum dapat digambarkan oleh kedua pernyataan tersebut. Yang mana pekerjaan kefarmasian diapotek bisa meliputi antara lain : produksi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian atau penyaluran obat, pelayanan obat atas resep dokter dan informasi obat. Sedangkan pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional kelihatannya belum dimungkinkan. Pada pengembangan ini, yang mungkin bisa melibatkan para praktisi di apotek hanya masalah formulasi (komposisi yang disesuaikan dengan kebutuhan lapangan).
Mungkin ada yang menanyakan tentang swamedikasi dalam PP ini. Karena tidak diterjemahkan secara harfiah. Swamedikasi sudah termasuk dalam penyaluran obat kepada masyarakat, karena penyaluran obat kepada masyarakat bisa meliputi penyerahan obat baik atas dasar resep atau permintaan pasien sendiri. Dan pada penyalurannya tentu saja tetap harus disertakan dengan memberikan informasi secukupnya atau dengan kata lain sesuai kebutuhan pasien. Sesuai dengan kebutuhan pasien adalah sesuai dengan apa yang seharusnya pasien butuhkan agar dalam penggunaannya hal-hal yang seharusnya tidak diinginkan dapat ditekan.
Saat pasien datang ke apotek bisa jadi pasien mengerti atau tidak mengerti akan kebutuhannya. Kebutuhan akan obat yang dinginkan, informasi atau pun harga dan lain sebagainya. Disinilah peran konseling diperlukan. Terkadang kita tidak bisa memaksakan memberikan infomasi tanpa kita mengedukasikan dulu kepada masyarakat akan pentingnya informasi. Yang selanjutnya diharapkan dapat mempengaruhi tingkat pendidikan kesehatan kearah yang lebih baik.
Pada pernyataan pasal 5 tentang pekerjaan kefarmasian dalam pelayanan sediaan farmasi tidak boleh hanya diartikan kita menyerahkan obat begitu saja. Karena yang namanya proses tetap harus dilalui dan semua proses tidak bisa dipisahkan. Proses mulai pengadaan sampai penyerahan. Yang mana penyerahan itu sendiri meliputi KIE dan edukasi. Semua hal itu harus diartikan sebagai satu kesatuan proses pelayanan kefarmasian, yang mana pelayanan kefarmasian juga merupakan pelayanan kesehatan dasar. Bila hal tersebut hanya dilakukan dengan sebagian saja, maka proses pelayanan kefarmasian tidak bisa dikatakan profesional.
Bagaimanapun juga didalam menerjemahkan PP 51 tentang pekerjaan kefarmasian ini, kita tidak bisa meninggalkan ilmu kefarmasian atau pemahaman tentang ilmu kefarmasian. Oleh karena itu didalam menerjemahkan PP ini harus dilakukan oleh para praktisi aktif. Untuk pekerjaan kefarmasian di apotek hanya dapat diterjemahkan oleh praktisi aktif di apotek yang memang hidupnya tegantung dari apotek. Dan Untuk pekerjaan kefarmasian di industri farmasi hanya dapat diterjemahkan oleh praktisi aktif di industri yang memang hidupnya tegantung dari industri. Demikian juga dengan yang di pemerintahan.
Tidak mungkin para dosen yang bukan menjadi praktisi aktif meskipun apoteker tiba-tiba diangap sebagai praktisi dan boleh menerjemahkannya sekehedaknya sendiri. Bila untuk tujuan pendidikan, maka PT sudah sewajarnya bila seperti saat ini sudah mulai melibatkan para praktisi aktif dibidangnya masing - masing. Demikian juga tidak mungkin masalah industri diajarkan oleh praktisi dirumah sakit dan sebaliknya.
Harapan kita semua tentunya adalah profesionalisme para apoteker demi kepentingan masyarakat dan kepentingan profesi itu sendiri, yang berarti pula kepentingan bangsa. Maka sudah sewajarnya bila didalam menerjemahkan PP ini dilakukan oleh pihak pihak yang kompeten dibidangnya. Suatu misal praktisi di apotek dan di RS bisa dikatakan memiliki dasar yang sama yaitu layanan kepada masyarakat, tetapi pada penerapan ilmunya bisa berbeda, karena pembobotan pada ilmu sosialnya berbeda. Diapotek lebih sarat dengan ilmu sosial, sehingga kompetensi yang diperlukan juga akan sedikit lebih berbeda.
Kesimpulan saya, meskipun pada PP hanya di ungkapkan secara garis besar, tetapi penjabarannya tetap tidak boleh keluar dari nilai-nilai profesi. Demi kepentingan masyarakat dan profesi itu sendiri.
Pada ketentuan umum, Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan
obat dan obat tradisional.
Dan pada pasal 5 Pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian meliputi antara lain Pekerjaan Kefarmasian dalam Pelayanan Sediaan Farmasi.
Asuhan kefarmasian diapotek secara umum dapat digambarkan oleh kedua pernyataan tersebut. Yang mana pekerjaan kefarmasian diapotek bisa meliputi antara lain : produksi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian atau penyaluran obat, pelayanan obat atas resep dokter dan informasi obat. Sedangkan pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional kelihatannya belum dimungkinkan. Pada pengembangan ini, yang mungkin bisa melibatkan para praktisi di apotek hanya masalah formulasi (komposisi yang disesuaikan dengan kebutuhan lapangan).
Mungkin ada yang menanyakan tentang swamedikasi dalam PP ini. Karena tidak diterjemahkan secara harfiah. Swamedikasi sudah termasuk dalam penyaluran obat kepada masyarakat, karena penyaluran obat kepada masyarakat bisa meliputi penyerahan obat baik atas dasar resep atau permintaan pasien sendiri. Dan pada penyalurannya tentu saja tetap harus disertakan dengan memberikan informasi secukupnya atau dengan kata lain sesuai kebutuhan pasien. Sesuai dengan kebutuhan pasien adalah sesuai dengan apa yang seharusnya pasien butuhkan agar dalam penggunaannya hal-hal yang seharusnya tidak diinginkan dapat ditekan.
Saat pasien datang ke apotek bisa jadi pasien mengerti atau tidak mengerti akan kebutuhannya. Kebutuhan akan obat yang dinginkan, informasi atau pun harga dan lain sebagainya. Disinilah peran konseling diperlukan. Terkadang kita tidak bisa memaksakan memberikan infomasi tanpa kita mengedukasikan dulu kepada masyarakat akan pentingnya informasi. Yang selanjutnya diharapkan dapat mempengaruhi tingkat pendidikan kesehatan kearah yang lebih baik.
Pada pernyataan pasal 5 tentang pekerjaan kefarmasian dalam pelayanan sediaan farmasi tidak boleh hanya diartikan kita menyerahkan obat begitu saja. Karena yang namanya proses tetap harus dilalui dan semua proses tidak bisa dipisahkan. Proses mulai pengadaan sampai penyerahan. Yang mana penyerahan itu sendiri meliputi KIE dan edukasi. Semua hal itu harus diartikan sebagai satu kesatuan proses pelayanan kefarmasian, yang mana pelayanan kefarmasian juga merupakan pelayanan kesehatan dasar. Bila hal tersebut hanya dilakukan dengan sebagian saja, maka proses pelayanan kefarmasian tidak bisa dikatakan profesional.
Bagaimanapun juga didalam menerjemahkan PP 51 tentang pekerjaan kefarmasian ini, kita tidak bisa meninggalkan ilmu kefarmasian atau pemahaman tentang ilmu kefarmasian. Oleh karena itu didalam menerjemahkan PP ini harus dilakukan oleh para praktisi aktif. Untuk pekerjaan kefarmasian di apotek hanya dapat diterjemahkan oleh praktisi aktif di apotek yang memang hidupnya tegantung dari apotek. Dan Untuk pekerjaan kefarmasian di industri farmasi hanya dapat diterjemahkan oleh praktisi aktif di industri yang memang hidupnya tegantung dari industri. Demikian juga dengan yang di pemerintahan.
Tidak mungkin para dosen yang bukan menjadi praktisi aktif meskipun apoteker tiba-tiba diangap sebagai praktisi dan boleh menerjemahkannya sekehedaknya sendiri. Bila untuk tujuan pendidikan, maka PT sudah sewajarnya bila seperti saat ini sudah mulai melibatkan para praktisi aktif dibidangnya masing - masing. Demikian juga tidak mungkin masalah industri diajarkan oleh praktisi dirumah sakit dan sebaliknya.
Harapan kita semua tentunya adalah profesionalisme para apoteker demi kepentingan masyarakat dan kepentingan profesi itu sendiri, yang berarti pula kepentingan bangsa. Maka sudah sewajarnya bila didalam menerjemahkan PP ini dilakukan oleh pihak pihak yang kompeten dibidangnya. Suatu misal praktisi di apotek dan di RS bisa dikatakan memiliki dasar yang sama yaitu layanan kepada masyarakat, tetapi pada penerapan ilmunya bisa berbeda, karena pembobotan pada ilmu sosialnya berbeda. Diapotek lebih sarat dengan ilmu sosial, sehingga kompetensi yang diperlukan juga akan sedikit lebih berbeda.
Kesimpulan saya, meskipun pada PP hanya di ungkapkan secara garis besar, tetapi penjabarannya tetap tidak boleh keluar dari nilai-nilai profesi. Demi kepentingan masyarakat dan profesi itu sendiri.
Sabtu, 03 Oktober 2009
DAERAH TERPENCIL PADA PP NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN
DAERAH TERPENCIL PADA PP NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN
Daerah terpencil, dalam PP belum dijelaskan makna dari daerah terpencil. Sehingga pada peraturan dibawahnya seharusnya dijelaskan secara detil arti dari daerah terpencil, mengingat dalam penjabarannya bisa jadi akan terjadi perbedaan.
Pada PP ini daerah terpencil menurut saya dimaksudkan untuk memberikan pemerataan pelayanan kefarmasian mengingat keberadaan layanan publik umumnya lebih suka berjubel di kota besar. Sehingga rasio pelayanan terjadi banyak ketimpangan antara masyarakat kota dan masyarakat pelosok. Hal semacam ini tentu saja harus diatasi oleh pemerintah dengan kebijakan yang lebih mendorong pemerataan, yang salah satunya pernyataan daerah terpencil pada PP no 51 ini. Meskipun tujuannya pemerataan, dalam penerapannya jangan sampai memberikan kualitas layanan yang jelek, sehingga ujung-ujungnya justru masyarakat yang dirugikan. Disinilah letak permasalahan yang seharusnya diperhatikan.
Saat awal saya mendirikan apotek, jumlah apotek di kota Surabaya kurang lebih separo dari jumlah apotek di Jawa Timur, dan jumlah apotek di kota madya lebih banyak dari pada jumlah apotek di kabupaten. Saat ini mungkin masih seperti itu, mengingat jumlah apotek dikota madya ditempat saya masih lebih banyak dari pada jumlah apotek di kabupaten yang secara kewilayahan lebih luas. Dampaknya banyak penjual obat keliling yang mengambil kesempatan karena ketidak merataan ini dengan menyalurkan obat palsu atau menjual obat dengan tidak rasional.
Dengan pengaturan daerah terpencil ini tentu saja dampaknya akan terjadi pemerataan yang lebih baik dan menekan kerugiaan masyarakat akibat ketidak meraataan ini. Tetapi yang harus dicermati adalah jangan sampai kota besar seperti Surabaya atau kota madya mempunyai daerah terpencil, sehingga tujuan dari meningkatkan kualitas atau mutu dari layanan kefarmasian atau penyelenggaraan pekerjaan kefarmasian tidak tercapai.
Bila kita melihat data dilapangan, sudah banyak apotek yang berdiri di kota kecamatan yang menerapkan TATAP (Tiada Apoteker Tidak Ada pelayanan), sehingga sangat tidak rasional bila kedepan sampai ada apotek dikota besar dimasukan sebagai daerah terpencil. Dengan demikian kebijakan selanjutnya sudah seharusnya bila ISFI ikut memikirkan dan dimintai masukannya agar tujuan dari diterbitkan PP ini dapat berjalan.
Daerah terpencil menurut saya adalah, daerah yang rasio pelayanan kefarmasiannya tidak tercukupi. Bila kita menggunakan rasio 1:10.000 antara jumlah tenaga kefarmasian dibadingkan jumlah penduduk, maka bila pada suatu daerah yang rasionya terlampaui TATAP harus diterapkan. Sehingga pada perijinannya untuk apotek baru, setidaknya harus menyertakan apoteker pendamping. Dan untuk apotek yang buka lebih dari 14 sip dalam satu minggu setidaknya mempunyai 2 apoteker pendamping.
Bagaimanapun juga daerah terpencil masih harus diperhatikan, tetapi jangan sampai istilah ini dimanfaatkan sebagai alasan untuk tidak menjalankan profesi secara profesional. Dan meskipun terpencil tetap harus mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan baik.
Daerah terpencil, dalam PP belum dijelaskan makna dari daerah terpencil. Sehingga pada peraturan dibawahnya seharusnya dijelaskan secara detil arti dari daerah terpencil, mengingat dalam penjabarannya bisa jadi akan terjadi perbedaan.
Pada PP ini daerah terpencil menurut saya dimaksudkan untuk memberikan pemerataan pelayanan kefarmasian mengingat keberadaan layanan publik umumnya lebih suka berjubel di kota besar. Sehingga rasio pelayanan terjadi banyak ketimpangan antara masyarakat kota dan masyarakat pelosok. Hal semacam ini tentu saja harus diatasi oleh pemerintah dengan kebijakan yang lebih mendorong pemerataan, yang salah satunya pernyataan daerah terpencil pada PP no 51 ini. Meskipun tujuannya pemerataan, dalam penerapannya jangan sampai memberikan kualitas layanan yang jelek, sehingga ujung-ujungnya justru masyarakat yang dirugikan. Disinilah letak permasalahan yang seharusnya diperhatikan.
Saat awal saya mendirikan apotek, jumlah apotek di kota Surabaya kurang lebih separo dari jumlah apotek di Jawa Timur, dan jumlah apotek di kota madya lebih banyak dari pada jumlah apotek di kabupaten. Saat ini mungkin masih seperti itu, mengingat jumlah apotek dikota madya ditempat saya masih lebih banyak dari pada jumlah apotek di kabupaten yang secara kewilayahan lebih luas. Dampaknya banyak penjual obat keliling yang mengambil kesempatan karena ketidak merataan ini dengan menyalurkan obat palsu atau menjual obat dengan tidak rasional.
Dengan pengaturan daerah terpencil ini tentu saja dampaknya akan terjadi pemerataan yang lebih baik dan menekan kerugiaan masyarakat akibat ketidak meraataan ini. Tetapi yang harus dicermati adalah jangan sampai kota besar seperti Surabaya atau kota madya mempunyai daerah terpencil, sehingga tujuan dari meningkatkan kualitas atau mutu dari layanan kefarmasian atau penyelenggaraan pekerjaan kefarmasian tidak tercapai.
Bila kita melihat data dilapangan, sudah banyak apotek yang berdiri di kota kecamatan yang menerapkan TATAP (Tiada Apoteker Tidak Ada pelayanan), sehingga sangat tidak rasional bila kedepan sampai ada apotek dikota besar dimasukan sebagai daerah terpencil. Dengan demikian kebijakan selanjutnya sudah seharusnya bila ISFI ikut memikirkan dan dimintai masukannya agar tujuan dari diterbitkan PP ini dapat berjalan.
Daerah terpencil menurut saya adalah, daerah yang rasio pelayanan kefarmasiannya tidak tercukupi. Bila kita menggunakan rasio 1:10.000 antara jumlah tenaga kefarmasian dibadingkan jumlah penduduk, maka bila pada suatu daerah yang rasionya terlampaui TATAP harus diterapkan. Sehingga pada perijinannya untuk apotek baru, setidaknya harus menyertakan apoteker pendamping. Dan untuk apotek yang buka lebih dari 14 sip dalam satu minggu setidaknya mempunyai 2 apoteker pendamping.
Bagaimanapun juga daerah terpencil masih harus diperhatikan, tetapi jangan sampai istilah ini dimanfaatkan sebagai alasan untuk tidak menjalankan profesi secara profesional. Dan meskipun terpencil tetap harus mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan baik.
Jumat, 02 Oktober 2009
BISNIS APOTEK SETELAH KELUARNYA PP NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN
BISNIS APOTEK SETELAH KELUARNYA PP NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN
Keluarnya PP no 51 yang mengatur tentang pekerjaan farmasi sedikit banyak akan mempengaruhi cara kelola dari sebagian apotek. Meskipun pada beberapa apotek mungkin hampir tidak terpengaruh sama sekali. Apotek yang hampir tidak terpengaruh adalah apotek yang selama ini sudah menerapkan TATAP.
Secara umum cara pengelolaan apotek tidak ada perubahan, cuman yang berubah adalah keberadaan apoteker pada jam buka apotek yang lebih dituntut dengan adanya PP ini. Bila saat ini apotek sudah menggaji apoteker satu sip, dengan adanya PP ini maka apotek harus menyediakan setidaknya apoteker dua sip. Atau dengan kata lain setidaknya apotek menyiapkan 2 orang apoteker.
Dengan demikian, secara manajemen selisih biaya opresional antara sebelum ada PP dan sesudah ada PP hanya beberapa ratus ribu saja. Bila dulu menggaji AA dua orang yang masing masing sebesar UMR, sekarang bisa dikurangi satu digantikan oleh apoteker pendamping. Toh gaji apoteker pendamping selama ini tidak jauh dari UMR. Secara manajemen pengelolaan apotek tidak jauh berbeda, sehingga tidak ada alasan bagi pemilik apotek untuk tidak mematuhi PP ini.
Saat ini banyak apotek yang kesulitan menari AA, karena sangat pesatnya pertumbuhan apotek, yang salah satunya disebabkab sangat pesatnya produksi apoteker sehingga banyak dibuka apotek baru. Dengan adanya penggantian sebagian AA dengan apoteker pendamping pada sebagian apotek, maka distribusi AA menjadi lebih merata. Selama ini ada apotek yang hampir semua karyawannya AA atau mungkin malah semuanya AA, tetapi pada sebagian apotek justru tidak punya AA dan apotekernya harus bekerja penuh selama jam buka apotek.
Dengan demikian, secara umum mungkin tidak terlalu ada masalah pada pengelolaan apotek dengan adanya PP ini, tetapi pada beberapa apotek ada apoteker yang merangkap kerja diindustri yang apotekernya memang tidak pernah hadir di apotek, pada apotek seperti ini mungkin akan ada perubahan pola kelola dengan menggantikan apoteker dengan apoteker baru yang siap bekerja.
Keluarnya PP no 51 yang mengatur tentang pekerjaan farmasi sedikit banyak akan mempengaruhi cara kelola dari sebagian apotek. Meskipun pada beberapa apotek mungkin hampir tidak terpengaruh sama sekali. Apotek yang hampir tidak terpengaruh adalah apotek yang selama ini sudah menerapkan TATAP.
Secara umum cara pengelolaan apotek tidak ada perubahan, cuman yang berubah adalah keberadaan apoteker pada jam buka apotek yang lebih dituntut dengan adanya PP ini. Bila saat ini apotek sudah menggaji apoteker satu sip, dengan adanya PP ini maka apotek harus menyediakan setidaknya apoteker dua sip. Atau dengan kata lain setidaknya apotek menyiapkan 2 orang apoteker.
Dengan demikian, secara manajemen selisih biaya opresional antara sebelum ada PP dan sesudah ada PP hanya beberapa ratus ribu saja. Bila dulu menggaji AA dua orang yang masing masing sebesar UMR, sekarang bisa dikurangi satu digantikan oleh apoteker pendamping. Toh gaji apoteker pendamping selama ini tidak jauh dari UMR. Secara manajemen pengelolaan apotek tidak jauh berbeda, sehingga tidak ada alasan bagi pemilik apotek untuk tidak mematuhi PP ini.
Saat ini banyak apotek yang kesulitan menari AA, karena sangat pesatnya pertumbuhan apotek, yang salah satunya disebabkab sangat pesatnya produksi apoteker sehingga banyak dibuka apotek baru. Dengan adanya penggantian sebagian AA dengan apoteker pendamping pada sebagian apotek, maka distribusi AA menjadi lebih merata. Selama ini ada apotek yang hampir semua karyawannya AA atau mungkin malah semuanya AA, tetapi pada sebagian apotek justru tidak punya AA dan apotekernya harus bekerja penuh selama jam buka apotek.
Dengan demikian, secara umum mungkin tidak terlalu ada masalah pada pengelolaan apotek dengan adanya PP ini, tetapi pada beberapa apotek ada apoteker yang merangkap kerja diindustri yang apotekernya memang tidak pernah hadir di apotek, pada apotek seperti ini mungkin akan ada perubahan pola kelola dengan menggantikan apoteker dengan apoteker baru yang siap bekerja.
Label:
APOTEK,
APOTEK YANG BAIK,
APOTEKER,
BISNIS APOTEK,
H,
HISFARMA,
ISFI
APOTEK MOBILE
APOTEK MOBILE
Pada saat saudara kita terkena bencana akibat apa saja, seperti gempa bumi saat ini, rasa sakit juga akan menimpa seluruh bangsa. Mungkin juga seluruh dunia. Semua ingin ikut berpartisipasi termasuk para apoteker sebagai salah satu dari tenaga kesehatan.
Seringkali apoteker tidak dilibatkan dalam masalah bencana seperti ini, karena peran apoteker kurang dirasakan oleh masyarakat, mungkin juga karena sepertinya peran apoteker dapat tergantikan oleh profesi lain. Bagaimanapun juga pada masalah kesehatan seperti gempa bumi atau gunung meletus akan timbul masalah kesehatan yang ujung-ujungnya memerlukan obat. Dengan demikian disadari atau tidak, apoteker diperlukan untuk ikut membantu. Karena bagaimanaun juga masalah obat meskipun diberikan secara gratis seharusnya tetap ditangani dengan profesional.
Satu hal yang saya usulkan, seharusnya pemerintah atau organisasi para apoteker (ISFI) membuat apotek yang bersifat mobile. Karena dengan apotek mobile penanganan obat bisa menjadi lebih baik. Dan hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang terbaik dan profesional tetap dapat terpenuhi.
Bila rumah sakit mobile, entah dengan bentuk apa saja sudah dibuat, meskipun biayanya sangat mahal demi sebagian saudara kita yang terkena bencana. Maka alangkah baiknya juga disiapkan apotek mobile yang memenuhi persyaratan kefarmasian agar penanganan bencana juga akan menjadi lebih baik lagi.
Semoga saudara kita yang sedang terkena bencana diberikan ketabahan oleh Tuhan.
Pada saat saudara kita terkena bencana akibat apa saja, seperti gempa bumi saat ini, rasa sakit juga akan menimpa seluruh bangsa. Mungkin juga seluruh dunia. Semua ingin ikut berpartisipasi termasuk para apoteker sebagai salah satu dari tenaga kesehatan.
Seringkali apoteker tidak dilibatkan dalam masalah bencana seperti ini, karena peran apoteker kurang dirasakan oleh masyarakat, mungkin juga karena sepertinya peran apoteker dapat tergantikan oleh profesi lain. Bagaimanapun juga pada masalah kesehatan seperti gempa bumi atau gunung meletus akan timbul masalah kesehatan yang ujung-ujungnya memerlukan obat. Dengan demikian disadari atau tidak, apoteker diperlukan untuk ikut membantu. Karena bagaimanaun juga masalah obat meskipun diberikan secara gratis seharusnya tetap ditangani dengan profesional.
Satu hal yang saya usulkan, seharusnya pemerintah atau organisasi para apoteker (ISFI) membuat apotek yang bersifat mobile. Karena dengan apotek mobile penanganan obat bisa menjadi lebih baik. Dan hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang terbaik dan profesional tetap dapat terpenuhi.
Bila rumah sakit mobile, entah dengan bentuk apa saja sudah dibuat, meskipun biayanya sangat mahal demi sebagian saudara kita yang terkena bencana. Maka alangkah baiknya juga disiapkan apotek mobile yang memenuhi persyaratan kefarmasian agar penanganan bencana juga akan menjadi lebih baik lagi.
Semoga saudara kita yang sedang terkena bencana diberikan ketabahan oleh Tuhan.
Langganan:
Postingan (Atom)