Sabtu, 03 Oktober 2009

DAERAH TERPENCIL PADA PP NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN

DAERAH TERPENCIL PADA PP NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN



Daerah terpencil, dalam PP belum dijelaskan makna dari daerah terpencil. Sehingga pada peraturan dibawahnya seharusnya dijelaskan secara detil arti dari daerah terpencil, mengingat dalam penjabarannya bisa jadi akan terjadi perbedaan.

Pada PP ini daerah terpencil menurut saya dimaksudkan untuk memberikan pemerataan pelayanan kefarmasian mengingat keberadaan layanan publik umumnya lebih suka berjubel di kota besar. Sehingga rasio pelayanan terjadi banyak ketimpangan antara masyarakat kota dan masyarakat pelosok. Hal semacam ini tentu saja harus diatasi oleh pemerintah dengan kebijakan yang lebih mendorong pemerataan, yang salah satunya pernyataan daerah terpencil pada PP no 51 ini. Meskipun tujuannya pemerataan, dalam penerapannya jangan sampai memberikan kualitas layanan yang jelek, sehingga ujung-ujungnya justru masyarakat yang dirugikan. Disinilah letak permasalahan yang seharusnya diperhatikan.

Saat awal saya mendirikan apotek, jumlah apotek di kota Surabaya kurang lebih separo dari jumlah apotek di Jawa Timur, dan jumlah apotek di kota madya lebih banyak dari pada jumlah apotek di kabupaten. Saat ini mungkin masih seperti itu, mengingat jumlah apotek dikota madya ditempat saya masih lebih banyak dari pada jumlah apotek di kabupaten yang secara kewilayahan lebih luas. Dampaknya banyak penjual obat keliling yang mengambil kesempatan karena ketidak merataan ini dengan menyalurkan obat palsu atau menjual obat dengan tidak rasional.

Dengan pengaturan daerah terpencil ini tentu saja dampaknya akan terjadi pemerataan yang lebih baik dan menekan kerugiaan masyarakat akibat ketidak meraataan ini. Tetapi yang harus dicermati adalah jangan sampai kota besar seperti Surabaya atau kota madya mempunyai daerah terpencil, sehingga tujuan dari meningkatkan kualitas atau mutu dari layanan kefarmasian atau penyelenggaraan pekerjaan kefarmasian tidak tercapai.

Bila kita melihat data dilapangan, sudah banyak apotek yang berdiri di kota kecamatan yang menerapkan TATAP (Tiada Apoteker Tidak Ada pelayanan), sehingga sangat tidak rasional bila kedepan sampai ada apotek dikota besar dimasukan sebagai daerah terpencil. Dengan demikian kebijakan selanjutnya sudah seharusnya bila ISFI ikut memikirkan dan dimintai masukannya agar tujuan dari diterbitkan PP ini dapat berjalan.

Daerah terpencil menurut saya adalah, daerah yang rasio pelayanan kefarmasiannya tidak tercukupi. Bila kita menggunakan rasio 1:10.000 antara jumlah tenaga kefarmasian dibadingkan jumlah penduduk, maka bila pada suatu daerah yang rasionya terlampaui TATAP harus diterapkan. Sehingga pada perijinannya untuk apotek baru, setidaknya harus menyertakan apoteker pendamping. Dan untuk apotek yang buka lebih dari 14 sip dalam satu minggu setidaknya mempunyai 2 apoteker pendamping.

Bagaimanapun juga daerah terpencil masih harus diperhatikan, tetapi jangan sampai istilah ini dimanfaatkan sebagai alasan untuk tidak menjalankan profesi secara profesional. Dan meskipun terpencil tetap harus mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar