Sabtu, 10 Oktober 2009

ASUHAN KEFARMASIAN PADA PP NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN

ASUHAN KEFARMASIAN PADA PP NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN



Pada ketentuan umum, Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan
obat dan obat tradisional.

Dan pada pasal 5 Pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian meliputi antara lain Pekerjaan Kefarmasian dalam Pelayanan Sediaan Farmasi.

Asuhan kefarmasian diapotek secara umum dapat digambarkan oleh kedua pernyataan tersebut. Yang mana pekerjaan kefarmasian diapotek bisa meliputi antara lain : produksi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian atau penyaluran obat, pelayanan obat atas resep dokter dan informasi obat. Sedangkan pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional kelihatannya belum dimungkinkan. Pada pengembangan ini, yang mungkin bisa melibatkan para praktisi di apotek hanya masalah formulasi (komposisi yang disesuaikan dengan kebutuhan lapangan).

Mungkin ada yang menanyakan tentang swamedikasi dalam PP ini. Karena tidak diterjemahkan secara harfiah. Swamedikasi sudah termasuk dalam penyaluran obat kepada masyarakat, karena penyaluran obat kepada masyarakat bisa meliputi penyerahan obat baik atas dasar resep atau permintaan pasien sendiri. Dan pada penyalurannya tentu saja tetap harus disertakan dengan memberikan informasi secukupnya atau dengan kata lain sesuai kebutuhan pasien. Sesuai dengan kebutuhan pasien adalah sesuai dengan apa yang seharusnya pasien butuhkan agar dalam penggunaannya hal-hal yang seharusnya tidak diinginkan dapat ditekan.

Saat pasien datang ke apotek bisa jadi pasien mengerti atau tidak mengerti akan kebutuhannya. Kebutuhan akan obat yang dinginkan, informasi atau pun harga dan lain sebagainya. Disinilah peran konseling diperlukan. Terkadang kita tidak bisa memaksakan memberikan infomasi tanpa kita mengedukasikan dulu kepada masyarakat akan pentingnya informasi. Yang selanjutnya diharapkan dapat mempengaruhi tingkat pendidikan kesehatan kearah yang lebih baik.

Pada pernyataan pasal 5 tentang pekerjaan kefarmasian dalam pelayanan sediaan farmasi tidak boleh hanya diartikan kita menyerahkan obat begitu saja. Karena yang namanya proses tetap harus dilalui dan semua proses tidak bisa dipisahkan. Proses mulai pengadaan sampai penyerahan. Yang mana penyerahan itu sendiri meliputi KIE dan edukasi. Semua hal itu harus diartikan sebagai satu kesatuan proses pelayanan kefarmasian, yang mana pelayanan kefarmasian juga merupakan pelayanan kesehatan dasar. Bila hal tersebut hanya dilakukan dengan sebagian saja, maka proses pelayanan kefarmasian tidak bisa dikatakan profesional.

Bagaimanapun juga didalam menerjemahkan PP 51 tentang pekerjaan kefarmasian ini, kita tidak bisa meninggalkan ilmu kefarmasian atau pemahaman tentang ilmu kefarmasian. Oleh karena itu didalam menerjemahkan PP ini harus dilakukan oleh para praktisi aktif. Untuk pekerjaan kefarmasian di apotek hanya dapat diterjemahkan oleh praktisi aktif di apotek yang memang hidupnya tegantung dari apotek. Dan Untuk pekerjaan kefarmasian di industri farmasi hanya dapat diterjemahkan oleh praktisi aktif di industri yang memang hidupnya tegantung dari industri. Demikian juga dengan yang di pemerintahan.

Tidak mungkin para dosen yang bukan menjadi praktisi aktif meskipun apoteker tiba-tiba diangap sebagai praktisi dan boleh menerjemahkannya sekehedaknya sendiri. Bila untuk tujuan pendidikan, maka PT sudah sewajarnya bila seperti saat ini sudah mulai melibatkan para praktisi aktif dibidangnya masing - masing. Demikian juga tidak mungkin masalah industri diajarkan oleh praktisi dirumah sakit dan sebaliknya.

Harapan kita semua tentunya adalah profesionalisme para apoteker demi kepentingan masyarakat dan kepentingan profesi itu sendiri, yang berarti pula kepentingan bangsa. Maka sudah sewajarnya bila didalam menerjemahkan PP ini dilakukan oleh pihak pihak yang kompeten dibidangnya. Suatu misal praktisi di apotek dan di RS bisa dikatakan memiliki dasar yang sama yaitu layanan kepada masyarakat, tetapi pada penerapan ilmunya bisa berbeda, karena pembobotan pada ilmu sosialnya berbeda. Diapotek lebih sarat dengan ilmu sosial, sehingga kompetensi yang diperlukan juga akan sedikit lebih berbeda.

Kesimpulan saya, meskipun pada PP hanya di ungkapkan secara garis besar, tetapi penjabarannya tetap tidak boleh keluar dari nilai-nilai profesi. Demi kepentingan masyarakat dan profesi itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar