Senin, 16 November 2009

SWAMEDIKASI BUKAN PENGOBAT

SWAMEDIKASI BUKAN PENGOBAT


Setiap kal saya menceritakan tentang target omset apotek saya yang didominasi oleh penjualan swamedikasi, selalu banyak pertanyaan yang mengarahkan kepada saya yang menuding saya sebagai pengobat.

Dalam swamedikasi filosofi utamanya adalah mengamankan pasien dari bahaya penyakit dan bahaya obat, juga bahaya dari penggunaan sediaan farmasi lain. Dengan filosofi itu kita sebagai apoteker sebaiknya tidak melepas langsung obat atau sediaan farmasi lain begitu saja, tetapi kita harus melakukan pengecekan terhadap kerasionalan keinginan masyarakat tersebut. Meskipun hal ini ribet, sebaiknya tetap dilakukan demi keamanan akibat penggunaan obat dan sediaan farmasi lain juga demi keselamatan pasien dari bahaya penyakit.

Pengusaan apoteker terhadap obat tidak perlu diragukan lagi, secara umum lebih dari cukup. Tetapi usaha untuk konseling sering kali kurang diperhatikan karena banyak hal yang mempengaruhi. Salah satu misal adalah biaya operasional konseling. Sebagai gambaran, gaji apoteker pendamping per jam sekitar Rp10.000;- dan konseling sering kali memakan waktu lebih dari 15 menit dan tak jarang membutuhkan waktu yang lebih. Selanjutnya bila apoteker hanya memberikan keputusan dengan menyarankan penggunaan obat dengan harga kurang dari Rp10.000;- dengan margin laba 10% maka apotek telah merugi. Selain disebabkan oleh hal2 lain

Dan masih banyak alasan lain yang menyebabkan konseling tidak berjalan terhadap masalah diatas. Tetapi secara umum karena apresiasi masyarakat terhadap kebutuhan konseling kurang.

Hal kedua yang penting adalah penguasaan terhadap penyakit. Sangat penting apoteker memahami penyakit dan sifat sifat penyakit. Guna menyelamatkan masyarakat dari bahaya penyakit. Dengan penguasaan terhadap ilmu penyakit, bukan berarti apoteker harus menjadi pengobat (dokter). Tetapi lebih diarahkan agar apoteker mampu merujuk pasien kepada dokter pada saat yang tepat, selain juga menyelamatkan masyarakat akibat penggunaan obat sembarangan yang memungkinkan terjadinya ESO atau mungkin justru memperparah penyakit.

Semisal pada saat pasien meminta obat turun panas, apoteker harus mengenal penyakit yang umumnya bisa menyebabkan suhu badan naik, sehingga bila panas tidak reda sampai waktu tertentu harus menyarankan untuk mengunjungi dokter keluarganya. Semisal pada DB, apoteker juga harus tahu, bagaimana pemeriksaan laboratoirumnya dan menyampaikan ini kepada masyarakat. Sekali lagi disini apoteker bukan pengobat, karena derajat sakit bukan kompetensi dari apoteker. Bolehlah masyarakat secara umum atau apoteker mengenali penyakit dan gejalanya, tetapi penegakan diagnosa tetap menjadi wilayah dari pada seorang dokter.

Contoh lain yang paling banyak kita temui adalah penderita hipertensi yang meminta PPA, apoteker harus mampu mengarahkan untuk menghindari PPA. Kasus semacam ini selalu ada saja, pernah sekitar satu bulan yang lalu ada yang meminta obat PPA, padahal saat datang keapotek jalannya sudah tidak tegak lagi karena strok. Disinilah peran apoteker dalam mengamankan masyarakat dibutuhkan, meskipun itu hanya obat bebas terbatas.

Memang didalam konseling apoteker tidak selamanya mampu merubah perilaku masyarakat kearah hidup yang lebih sehat, tetapi peran ini tetap harus dilakukan dengan sabar dan terampil.

Dalam swamedikasi saya selalu menekankan untuk mengawal masyarakat dalam penggunaan obat bebas sampai obat bebas terbatas juga OWA. Dan apoteker juga harus siap sebagai konsultan nutrisi dan kosmetik. Semisal susu untuk penderita GGT, apoteker harus mampu menjelaskan perbedaannya dengan susu biasa dsb. Dan masih banyak lagi peran apoteker didalam swamedikasi.

Kewaspadaan apoteker terhadap bahaya obat dan penyakit sangat penting didalam swamedikasi, meskipun bukan berarti pengobat.

6 komentar:

  1. Memang perlu pemahaman profesi lain bahwa apoteker memiliki kewenangan melakukan patient assessment bukan melakukan diagnosis

    BalasHapus
  2. Benar, kita boleh melakukan diagnosa, tetapi bukan untuk penegakan diagnosa itu sendiri, sejauh pemahaman saya, mengenali penyakit bisa jadi sudah mengarah diagnosa, tetapi ukuran klinis tetap dokter yang mempunyai kompetensinya. jadi tidak ada salahnya bila kedepan apoteker juga dikenalkan penyakit agar mampu untuk lebih awal didalam merujuk pasien ke dokter.
    kalau kita tidak kenal penyakit sama sekali, bagaimana kita bisa mengawal pemakaian obat sekelas obat bebas? padahal bagaimanapun juga meskipun obat bebas tetap mempunyai ESO dan pada beberapa kasus bisa sangat berbahaya.
    ambil contoh sediaan bebas terbatas yang mengandung efedrin dan teosal, sering terjadi kecelakaan akibat pemakaian obat ini.

    BalasHapus
  3. sori deh, maksud aku kombinasi efedrin dan teofilin, bukan teosal. sering kali terjadi kecelakaan. pernah suatu saat ada pasien yang memaksa minta saya tolak karena jelas2 bukan peruntukannya. semoga kedepan apoteker tidak sekedar memberi informasi obat, tetapi juga bisa lebih jauh sebagai konselor obat

    BalasHapus
  4. Memang begitu kayaknya perkembangan profesi kita, harus memahami dan bekerja sama dng profesi lain, memahami kode etiknya, hingga merupakan tim yg lebih baik untuk masyarakat. Apakah ini merupakan bagian yg disebut "pharmaceutical care" itu ya ?

    BalasHapus
  5. @anonim, memang ini bagian dari pharmaceutical care yang saya kembangkan. dan sebagian sejawat lain juga mengembangkan bagian yang lain dari pharmaceutical care. sangat luasnya pharmaeutical care yang telah dan seharusnya dibangun oleh para sejawat kita baik yang menjadi praktisi atau yang bertugas bidang pendidikan baik dimasa sekarang atau masa depan dan keduanya tak bisa dilepaskan. semoga kedepan selalu berkembang, dan tidak hanya imajinasi saja.

    BalasHapus
  6. gajinya masak 1 jam cuma 10 rb ?

    BalasHapus