KOMUNIKASI
Banyak teori komunikasi yang kembangkan oleh banyak orang. Dan tidak ada salahnya jika saya juga mempunyai pandangan lain tentang teori komunikasi. Perkara semua orang tidak setuju, tetapi ini merupakan salah satu pengalaman saya dengan yang namanya komunikasi.
Komunikasi adalah hubungan batin antara kita dengan lingkungan kita yang didalam hubungannya ada interaksi pesan yang saling berhubungan dan saling membutuhkan untuk kelangsungan hidup kita, yang didalam berhubungan dapat melibatkan verbal atau non verbal. Dengan demikian bila ada interaksi pesan semisal verbal dengan berita bohong dan tidak ada interaksi batin, maka komunikasi tidak terjadi, atau hanya sekedar komunikasi semu.
Selanjutnya dengan komunikasi. Komunikasi diantara kita dapat menggunakan bahasa verbal atau non verbal. Sedangkan komunikasi dengan tanaman dengan merawatnya. Komunikasi dengan hewan ternak kita dengan memeliharanya. Kesemua itu membutuhkan hubungan batin yang kuat bila mengingikan komunikasi yang lebih baik. Komunikasi dengan Tuhan dengan berdoa yang tulus, hati yang bersih. Berkomunikasi dengan sesama kita sebenarnya juga menjadi cerminan berkomunikasi dengan Tuhan yang membutuhkan hati yang bersih, dengan kata lain hubungan horizontal adalah ibadah kepadaNya.
Oleh karenanya, didalam berkomunikasi antara kita dengan pasien, akan lebih baik bila kita tidak hanya sekedar komunikasi verbal. Tetapi kita sebaiknya mampu lebih dari itu dengan mengkomunkasikan hati kita sehingga akan ada hubungan batin antara kita dengan pasien. Karena kesuksesan dalam berkomunikasi adalah tujuan bersama dengan perbedaan kepentingan. Sukses bagi apoteker adalah eksistensi profesi dan sukses bagi pasien adalah keberhasilan pengobatan yang semua itu didasarkan pada nilai-nilai kemanusia yang berkembang dalam bangsa ini.
Sehingga komunikasi dalam farmasi adalah hubungan batin yang kuat antara apoteker dengan pasien menggunakan pesan-pesan profesional agar didapat hasil layanan kesehatan yang maksimal yang didasarkan pada nilai-nilai yang berlaku pada bangsa kita.
Kamis, 28 Juli 2011
Minggu, 03 Juli 2011
ETIKA
ETIKA
Seringkali kita terjebak pada pemahaman etika sebagai pegetahuan. Sebagai pengetahuan, etika hanya untuk sebagai sekedar tahu jikalau nanti profesional dalam menjalankan praktek profesi akan bersentuhan dengan etika. Pengetahuan ini seringkali belum diikuti dengan pemahaman untuk implementasinya.
Hal yang seharusnya kita perkuat dalam mebangun profesi apoteker dalam hal etika adalah memperkuat pemahaman etika dalam sisi praktis. Dalam sisi praktis, etika tidak hanya bisa diajarkan sebagai “tulisan”, tetapi etika harus diajarkan sebagai contoh-contoh penerapan dalam menjalankan praktek profesi, yang profesional dan bertanggung jawab. Hal ini tentu saja akan menjadikan lebih mudah bagi para calon apoteker atau apoteker dalam mengambil analogi-analogi etika, karena pencontohan sesuai dengan praktek profesi yang update.
Janganlah kita mencontohkan etika 10 atau mungkin malah 20 tahun yang lalu sebagai aktual etika saat ini atau saat yang akan datang. Untuk itu, para praktisi aktif harus menjadi salah satu pertimbangan dalam mengembangkan etika dalam membangun profesi. Dan para praktisi ini tidak bisa serta merta langsung dilibatkan, tetapi tentu saja harus terlebih dahulu mengikuti pelatihan-pelatihan etika agar dapat merumuskan etika yang dipunyainya. Dalam hal ini, etika sebagai ilmu dan sebagai terapan harus dikembangkan secara bersama-sama.
Aktual etika sebagai ilmu terapan harus terus berjalan sesuai perkembangan jaman, bahkan perkiraan-perkiraan akan perkembangan etika sebagai ilmu terapan kedepan juga harus dibangun sedemikian rupa agar para profesional tidak “terkejut” apabila ternyata etika tiba-tiba berkembang menjadi sangat pesat.
Pembangunan etika profesi kearah ilmu terapan yang sangat implementatif menjadi impian para praktisi, yang seharusnya juga diajarkan oleh para praktisi dan selalu didiskusikan di antara para praktisi dan dikembangkan sebagai ilmu oleh para praktisi, yang selanjutnya praktisi diapresiasi dengan difasilitasi untuk mengembangkan dirinya sendiri.
Etika sudah sewajarnya bila dibangun di atas impian praktisi, sebagai salah satu impian dalam mengembangkan profesi.
Seringkali kita terjebak pada pemahaman etika sebagai pegetahuan. Sebagai pengetahuan, etika hanya untuk sebagai sekedar tahu jikalau nanti profesional dalam menjalankan praktek profesi akan bersentuhan dengan etika. Pengetahuan ini seringkali belum diikuti dengan pemahaman untuk implementasinya.
Hal yang seharusnya kita perkuat dalam mebangun profesi apoteker dalam hal etika adalah memperkuat pemahaman etika dalam sisi praktis. Dalam sisi praktis, etika tidak hanya bisa diajarkan sebagai “tulisan”, tetapi etika harus diajarkan sebagai contoh-contoh penerapan dalam menjalankan praktek profesi, yang profesional dan bertanggung jawab. Hal ini tentu saja akan menjadikan lebih mudah bagi para calon apoteker atau apoteker dalam mengambil analogi-analogi etika, karena pencontohan sesuai dengan praktek profesi yang update.
Janganlah kita mencontohkan etika 10 atau mungkin malah 20 tahun yang lalu sebagai aktual etika saat ini atau saat yang akan datang. Untuk itu, para praktisi aktif harus menjadi salah satu pertimbangan dalam mengembangkan etika dalam membangun profesi. Dan para praktisi ini tidak bisa serta merta langsung dilibatkan, tetapi tentu saja harus terlebih dahulu mengikuti pelatihan-pelatihan etika agar dapat merumuskan etika yang dipunyainya. Dalam hal ini, etika sebagai ilmu dan sebagai terapan harus dikembangkan secara bersama-sama.
Aktual etika sebagai ilmu terapan harus terus berjalan sesuai perkembangan jaman, bahkan perkiraan-perkiraan akan perkembangan etika sebagai ilmu terapan kedepan juga harus dibangun sedemikian rupa agar para profesional tidak “terkejut” apabila ternyata etika tiba-tiba berkembang menjadi sangat pesat.
Pembangunan etika profesi kearah ilmu terapan yang sangat implementatif menjadi impian para praktisi, yang seharusnya juga diajarkan oleh para praktisi dan selalu didiskusikan di antara para praktisi dan dikembangkan sebagai ilmu oleh para praktisi, yang selanjutnya praktisi diapresiasi dengan difasilitasi untuk mengembangkan dirinya sendiri.
Etika sudah sewajarnya bila dibangun di atas impian praktisi, sebagai salah satu impian dalam mengembangkan profesi.
Jumat, 01 Juli 2011
PASIEN
PASIEN
Pemaknaan pasien bagi apoteker mungkin berbeda dengan tenaga kesehatan lain. Karena profesi apoteker adalah spesifik dan berbeda dengan tenaga kesehatan lain maka dalam hubungan pasien-apoteker tidak dapat dimaknai dengan hubungan pasien-dokter, atau hubungan paisien-perawat. Karena ada batasan-batasan perbedaan kompetensi dalam menjalankan praktek profesi masing-masing.
Pada hubungan pasien-apoteker, pasien dapat dimaknai sebagai anggota masyarakat yang memanfaatkan jasa apoteker untuk tujuan sehat, sesuai dengan kompetensi apoteker. Yang mana hubungan tersebut terkait kepuusan, tindakan dan pekerjaan profesi. Sehingga pada batasan ini seorang apoteker sangat tidak boleh memaknai hubungan pasien-apoteker dengan hubungan pasien-tenaga kesehatan lain. Bisa jadi akan sangat berbeda maknanya.
Dalam mengembangkan farmasi komunitas, seharusnya kita tidak “dalam bayang-bayang” tenaga kesehatan lain. Termasuk dalam memaknai pasien. Kita harus mampu memaknai pasien sesuai pelayanan profesional yang mampu kita lakukan. Bukannya kita menonjolkan ego profesi, tetapi kita menonjolkan kompetensi profesi yang telah kita kembangkan. Hal ini sebagai bentuk kepedulian apoteker terhadap kepentingan masyarakat luas.
Pengembangan profesi bukan untuk mengembangkan ego, tetapi untuk mengembangkan kepedulian profesi terhadap kepentingan masyarakat luas. Janganlah menjadikan materi sebagai barometer keberhasilan pengembangan ini, tetapi ketercukupan kebutuhan masyarakat akan pelayanan kefarmasianlah yang seharusnya menjadi barometer.
Dengan demikian, pasien dimata apoteker adalah setiap orang sakit atau sehat yang membutuhkan layanan profesional kefarmasian untuk meningkatkan kualitas kesehatannya, baik dengan menggunakan tools (sediaan farmasi), atau hanya sebatas informasi untuk edukasi.
Pemaknaan pasien bagi apoteker mungkin berbeda dengan tenaga kesehatan lain. Karena profesi apoteker adalah spesifik dan berbeda dengan tenaga kesehatan lain maka dalam hubungan pasien-apoteker tidak dapat dimaknai dengan hubungan pasien-dokter, atau hubungan paisien-perawat. Karena ada batasan-batasan perbedaan kompetensi dalam menjalankan praktek profesi masing-masing.
Pada hubungan pasien-apoteker, pasien dapat dimaknai sebagai anggota masyarakat yang memanfaatkan jasa apoteker untuk tujuan sehat, sesuai dengan kompetensi apoteker. Yang mana hubungan tersebut terkait kepuusan, tindakan dan pekerjaan profesi. Sehingga pada batasan ini seorang apoteker sangat tidak boleh memaknai hubungan pasien-apoteker dengan hubungan pasien-tenaga kesehatan lain. Bisa jadi akan sangat berbeda maknanya.
Dalam mengembangkan farmasi komunitas, seharusnya kita tidak “dalam bayang-bayang” tenaga kesehatan lain. Termasuk dalam memaknai pasien. Kita harus mampu memaknai pasien sesuai pelayanan profesional yang mampu kita lakukan. Bukannya kita menonjolkan ego profesi, tetapi kita menonjolkan kompetensi profesi yang telah kita kembangkan. Hal ini sebagai bentuk kepedulian apoteker terhadap kepentingan masyarakat luas.
Pengembangan profesi bukan untuk mengembangkan ego, tetapi untuk mengembangkan kepedulian profesi terhadap kepentingan masyarakat luas. Janganlah menjadikan materi sebagai barometer keberhasilan pengembangan ini, tetapi ketercukupan kebutuhan masyarakat akan pelayanan kefarmasianlah yang seharusnya menjadi barometer.
Dengan demikian, pasien dimata apoteker adalah setiap orang sakit atau sehat yang membutuhkan layanan profesional kefarmasian untuk meningkatkan kualitas kesehatannya, baik dengan menggunakan tools (sediaan farmasi), atau hanya sebatas informasi untuk edukasi.
Langganan:
Postingan (Atom)