KEWENANGAN APOTEKER DALAM
PELAYANAN OBAT KERAS DIMATA PRAKTISI
Oleh: Suyanto
(Ketua Bidang
Pengembangan SDM HISFARMA PD IAI Jatim)
Kewenangan
apoteker dalam melayani masyarakat menggunakan obat keras tanpa resep dokter
sering kali dipertanyakan oleh banyak pihak. Di mata para apoteker praktisi
komunitas terhadap pernyataan Pengurus Pusat IAI (Ikatan Apoteker Indonesia) dalam
menyikapi obat keras terkesan bias dan tidak memberikan solusi. Untuk alasan itu
saya berusaha membuat ulasan, yang sebelumnya saya melakukan banyak diskusi
dengan praktisi komunitas, dengan maksud membantu menguraikan permasalahan yang
ada. Mengetahui pendapat para apoteker komunitas terhadap kewenangannya dalam
melayani kesehatan masyarakat menggunakan obat keras sangat penting untuk dapat
disajikan dalam naskah ini.
Hubungan
praktisi dan IAI adalah penting dalam membangun suatu kebijakan, karena untuk
menghasilkan suatu kebijakan yang baik IAI harus bekerjasama dengan praktisi.
IAI tidak dapat mengambil kebijakan sepihak tanpa melibatkan praktisi dan
praktisi tidak dapat menunaikan tugasnya dengan baik dalam melayani masyarakat
tanpa adanya kebijakan yang memihak. Harapan saya naskah ini adalah memberikan
masukan kepada IAI dalam membuat kebijakan terkait farmasi kominitas.
Tugas
IAI sebagai organisasi profesi dalam memajukan profesi apoteker salah satunya
adalah melakukan advokasi. Advokasi tersebut dimaksudkan agar semua pihak dapat
menerima praktik apoteker. Setiap advokasi yang dilakukan IAI dimaksudkan untuk
kepentingan masyarakat luas dan peradaban suatu bangsa selain kepentingan para
praktisi itu sendiri. Ujung advokasi yang dilakukan IAI adalah kebijakan untuk
memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat dan juga kepada apoteker. Perlindungan
hukum dalam bentuk kebijakan bukan hanya untuk membatasi namun juga memberikan
kesempatan seluas luasnya bagi masyarakat dalam mengakses pelayanan kesehatan
dan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi para praktisi untuk
mengembangkan profesi demi suatu peradaban.
OBAT
Obat
adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk
mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam
rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan
kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia (UU no 36 tahun 2009). Dalam rangka
tersebut, masyarakat awam akan memahami dengan bahasa yang sederhana, oleh
karenanya akan lebih baik apabila untuk setiap obat dan penggunaan obat oleh
masyarakat didampingi oleh tenaga profesional.
Pemahaman
masyarakat yang sederhana seringkali mengabaikan prinsip-prinsip pengobatan.
Padahal obat dalam suatu pengobatan tidak sederhana dan tidak dapat
disederhanakan. Apoteker sering menyampaikan informasi obat dengan menggunakan
bahasa awam dan sederhana, namun proses yang dilalui sangatlah komplek termasuk
didalamnya pharmacotherapy workup. Pharmacotherapy workup yang dilakukan
apoteker pada swamedikasi dan pelayanan obat atas resep dokter dimungkinkan akan dipandang dengan sangat
sederhana oleh masyarakat. Hal tersebut karena pharmacotherapy workup tidak kasat mata masyarakat dan masyarakat
hanya memahami ujungnya saja yang mana pulang membawa obat. Tingkat health literacy masyarakat khususnya
dalam bidang farmasi juga menjadi salah satu penyebab ketidakpahaman masyarakat
akan pelayanan kefarmasian yang lebih utuh.
2.
OBAT KERAS
Batasan
obat keras menurut st. 1949 no.419 adalah obat-obatan yang tidak digunakan
untuk keperluan tehnik, yang mempunyai khasiat mengobati, menguatkan,
membaguskan, mendesinfeksikan dan lain-lain tubuh manusia, baik dalam bungkusan
maupun tidak, yang ditetapkan oleh Secretaris Van Staat, Hoofd van het
Departement van Gesondheid. Penetapan obat keras tersebut dilaksanakan dengan memasukan
ke dalam daftar W atau daftar G. Dalam naskah ini selanjutnya yang dimaksud
obat keras adalah daftar G sedangkan daftar W adalah obat bebas terbatas.
3.
OBAT SEBAGAI SARANA TERAPI
Obat
bukanlah merupakan komoditas dagang, namun obat adalah komoditas kesehatan yang
sudah seharusnya hanya digunakan sebagai sarana terapi. Obat berbeda dengan
komoditas semacam motor atau mobil, yang mana ada uang ada barang, meskipun
pembeli tidak atau belum memiliki surat ijin mengemudi bukan persoalan.
Sedangkan obat hanya dapat diserahkan kepada masyarakat setelah memalui tahapan
yang salah satunya manajemen resiko.
Manajemen
risiko adalah suatu metode yang sistematis untuk mengidentifikasi,
menganalisis, mengendalikan, memantau, mengevaluasi dan mengkomunikasikan
risiko yang ada pada suatu kegiatan, (Tanggung Jawab Apoteker Terhadap
Keselamatan Pasien (Patient Safety ), Depkes, 2008). Manajemen resiko merupakan
bagian yang tidak dapat dipisahkan dari upaya apoteker dalam memenuhi personal medication needs.
4. KEWENANGAN APOTEKER TERHADAP OBAT
Praktik
kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan
farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan
obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan
obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, (Pasal
108 uu no 36 tahun 2009). Praktik kefarmasian sangat luas, praktik kefarmasian
dapat berupa kegiatan apa saja yang terkait dengan sediaan farmasi, namun
khusus yang meliputi hal diatas menjadi kewenangan tenaga kefarmasian. Akibat
dari hal tersebut timbul banyak pertanyaan, “bagaimana dengan menyerahkan obat oleh
dokter dispending kepada pasien dan pelayanan swamedikasi oleh swalayan dan
toko kelontong ?”
5. KOMPETENSI APOTEKER DALAM BIDANG MEDIS
Pada
mulanya ilmu medis (kedokteran) dan ilmu farmasi (medication) dikuasai oleh
satu profesi kesehatan, yaitu dokter. Pada perkembangannya Pada tahun 1240, kerajaan Sisilia mengeluarkan undang-undang yang
memisahkan antara profesi dokter dan apoteker. Dokter hanya boleh memeriksa
pasien, menuliskan resep obat. Kemudian resep dibuatkan obat oleh apoteker, yang
dibawa kembali kepada dokter untuk diminumkan kepada pasien. Kemudian pada
tahun 1407, terbitlah Pharmacist's
Code of Genoa yg
melarang seorang apoteker bekerja sama dengan seorang dokter.
Adanya
pemisahan tersebut menjadikan kewenangan dokter dalam obat dan pengobatan
diawali dari interaksi obat-reseptor dan kewenangan apoteker adalah menjamin terjadinya
interaksi obat-reseptor sesuai dengan goal
of theraphy. Oleh karenanya, Jika kompetensi medis diantaranya adalah interaksi
obat-reseptor, maka apoteker memiliki atau
harus memiliki kompetensi medis sebagai kompetensi minor. Kompetensi minor
tesebut penting bagi apoteker, karena tanpa kompetensi medis sama sekali
apoteker hanya akan menjadi sarjana teknik.
Mungkin,
ke depan, kompetensi medis yang dimiliki apoteker perlu sempurnakan dan
ditegaskan dengan istilah yang lebih sesuai dengan tujuan adanya profesi
apoteker, namun tetap memberikan gambaran keterikatan apoteker dengan tenaga
kesehatan lain. Kompetensi medis apoteker bukan dimaksudkan untuk menegakkan
diagnosa, namun dimaksudkan untuk menjamin bahan aktif obat dapat mencapai
reseptor sehingga terjadi interaksi obat-reseptor sesuai dengan indikasi yang
ditemukan, selanjutnya pengobatan dapat diharapkan berlangsung seaman mungkin,
seefektif mungkin dan seefisien mungkin yang dapat dicapai.
6. MENGAPA PROFESI HARUS BERKEMBANG
Setiap
profesi harus terus berkembang dan dikembangkan. Perkembangan profesi
dimaksudkan untuk membangun suatu peradapan yang tahap demi tahap menuju
kemakmuran. Begitu pula dengan profesi apoteker harus terus berkembang dan
dikembangkan untuk memajukan peradaban. Dukungan dari semua pihak untuk
memajukan profesi apoteker sangat diperlukan. Tanpa dukungan semua pihak
profesi apoteker akan mati dan akan menghambat perkembangan peradaban dibidang
kesehatan khususnya kefarmasian.
Salah
satu kewenangan apoteker yang telah dimiliki sejak awal jaman kemerdekaan
adalah menyerahkan obat keras secara langsung kepada masyarakat yang dikenalnya
(Reglement DVG (St. 1949 Nomor 228)). Namun seiring sejalan dengan perkembangan
jaman mulai banyak pihak yang ingin mengurangi kewenangan tersebut dengan
alasan yang pada umumnya tidak dapat diterima oleh kebanyakan apoteker
praktisi. Seharusnya kewenangan apoteker dalam hal menyerahkan obat keras terus
dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan kesehatan. Dikembangkan
bukan berarti dibebaskan seluas-luasnya, namun dikembangkan agar kewenangan
tersebut dapat berlangsung dengan lebih aman dan lebih dapat
dipertanggungjawabkan. Pengembangan tersebut juga harus mempertimbangan
kewenangan dan kompetensi profesi lain. Jikalau ada dua profesi dengan
kompetensi yang sama bukan untuk diadu siapa yang lebih berwenang, namun
kesamaan tersebut harus dapat diselaraskan dalam manajemen kontrol pembuat
kebijakan dan kalau mungkin dikolaborasikan.
Semisal
pada swamedikasi oleh peserta JKN. Sangat mungkin swamedikasi ditanggung JKN,
dengan syarat ada kolaborasi antara apoteker, dokter dan JKN. Seberapa penting
swamedikasi ditanggung JKN, tentunya sangat penting, karena swamedikasi yang
dilakukan secara serampangan dapat merugikan kesehatan peserta yang berujung
pada meningkatnya klaim yang seharusnya tidak terjadi. Kolaborasi tersebut juga
dapat dimanfaatkan sebagai bagian dari marketing JKN, yang mana kolaborasi akan
meningkatkan jenis dan kualitas layanan. Dengan manajemen yang baik kolaborasi
akan dapat tersebut akan meningkatkan kualitas layanan tanpa harus menambah
biaya, namun justru memiliki potensi menurunkan biaya.
Kita
harus menyadari bahwa masyarakat bukan semata-mata obyek dalam pembangunan
kesehatan, namun juga sekaligus subyek yang mempunyai hak dan kewajiban dalam
berperilaku sehat menggunakan obat. Perilaku masyarakat tersebut sudah seharusnya
didampingi oleh tenaga profesional. Meskipun masyarakat sudah terbiasa
menggunakan obat dan merasa aman dan nyaman dengan obat tersebut tidak menjamin
kebiasaan tersebut merupakan kebiasaan yang benar dalam menggunakan obat.
Peluang mengembangan profesi apoteker khususnya farmasi komunitas masih sangat
luas yang semuanya itu tidak hanya akan menguntungkan masyarakat, namun juga
profesi kesehatan lain, sistem asuransi kesehatan dan tentunya juga pemerintah.
Pengembangan profesi kesehatan yang komprehensif akan lebih baik dari pada
pengembangan yang parsial, pengembangan parsial terhadap profesi kesehatan lebih
berpotensi terjadi persaingan tidak sehat dan justru akan saling melemahkan dan
berujung kerugian bagi masyarakat.
Saat
ini IAI dan pemerintah belum memiliki konsep yang jelas mengenai swamedikasi
berbasis praktik dan berbasis personal
medication needs, padahal kebutuhan obat pada swamedikasi termasuk pula
obat kategori obat keras. Swamedikasi menggunakan
obat keras seharusnya bukan menjadi dosa bagi masyarakat, karena kesehatan
adalah hak setiap manusia dan jika dikelola
dengan benar akan lebih dapat meningkatkan masyarakat. Untuk itu perlulah suatu
konsep pengembangan profesi kesehatan yang berorientasi pada kebutuhan yang
dimiliki masyarakat, yang holistik, dan berbasis pada evidence. Jangan sampai terjadi saling melemahkan antar profesi
kesehatan yang berpotensi kembalinya peradapan kuno dijaman sekarang, semisal
kembalinya penyatuan dokter dan apoteker menjadi satu profesi. Sebagai apoteker
tentunya kita juga harus tahu diri untuk terus mengembangkan dan menjaga
kompetensi.
7. MENGAPA BANYAK TEKANAN TERHADAP UPAYA
MENGEMBANGKAN PROFESI APOTEKER?
Upaya
pengembangan apoteker terus dilakukan oleh bangsa ini semenjak bangsa ini
merdeka. Namun banyak pihak yang merasa dirugikan kalau profesi apoteker
berkembang. Salah satu mereka yang merasa dirugikan adalah pihak yang selama
ini berusaha membodohi masyarakat dengan obat demi tujuan ekonominya sendiri.
Upaya pembodohan tersebut dilakukan dengan berbagai upaya sehingga masyarakat
tidak dapat memenuhi personal medication
needs. Bentuk upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak tersebut juga
bermacam macam tergantung latarbelakang pihak tersebut.
Melakukan
pembodohan kepada masyarakat menggunakan obat sangatlah mudah, karena
masyarakat awam umumnya hanya memiliki pemahaman tentang obat yang sangat tipis.
Bahkan beberapa pihakpun yang pendidikan formalnya cukup, banyak yang memahami
berbagai permasalahan tentang obat dengan sangat tipis pula. Disinilah peran
penting apoteker bagi masyarakat sebagai penjamin mutu pelayanan kefarmasian.
Penjaminan mutu tersebut dilakukan mulai menjamin bahan aktif tetap stabil
sampai digunakan sampai menjamin mutu pelayanan kognitif agar masyarakat dapat
menggunakan dan mematuhi penggunaan obat.
Jaminan
yang dilakukan oleh apoteker tentu saja sesuai kompetensinya. Sesuai
perkembangan dunia farmasi komunitas saat ini, jaminan yang dilakukan apoteker
tidak hanya obat, namun juga jaminan kecukupan pelayanan kognitif. Pelayanan kognitif adalah ujung dari
pelayanan kefarmasian modern. Obat atau sediaan farmasi tidak boleh
diserahkan apabila masyarakat yang tidak dapat memahami pelayanan kognitif yang
disampaikan apoteker. Pelayanan kognitif
adalah penting, karena terjadinya ikatan obar-reseptor tidak hanya akibat obat
diformulasi oleh apoteker dan diproduksi dengan teknologi canggih, namun juga
karena masyarakat mampu menggunakan obat dengan benar dan masyarakat mampu
mematuhi penggunaan obat.
Sampai
saat ini, semua pihak, baik pemerintah, IAI dan perguruan tinggi farmasi menurut
hemat saya juga belum mampu menyediakan panduan pelayanan kognitif yang berbasis
farmasi praktis dan personal medication
needs. Praktik yang berbasis farmasi praktis dan personal medication needs adalah praktik pelayanan kefarmasian yang
meletakan evidence dan ilmu
pengetahuan secara proporsional sebagai pijakan praktik. mengapa harus
proporsional?
Hal
lain yang menjadi hambatan dalam mengembangkan profesi apoteker adalah
menjadikan apoteker komunitas sebagai obyek kebijakan, seharusnya mereka juga
sebagai subyek kebijakan. Praktisi komunitas masih dipandang sebagai kaum
rendah di kasta dunia farmasi.
8 PEMAHAMAN APOTEKER PRAKTISI KOMUNTAS DALAM PELAYANAN SWAMEDIKASI
MENGGUNAKAN OBAT KERAS
Pada
pelayanan kefarmasian modern, ujung dari pelayanan kefarmasian adalah masyarakat
dapat berperilaku farmasi yang benar, salah satu contoh perilaku farmasi yang
paling umum adalah perilaku dalam menggunakan obat. Sebaik apapun obat tanpa
diikuti perilaku pengobatan yang benar akan sangat dimungkinkan terjadi hal
yang tidak diinginkan. Untuk sebuah keputusan profesi apoteker dalam pelayanan
kognitif sampai dihasilkan perilaku pengobatan yang benar diperlukan proses
yang sangat panjang, namun proses tersebut tidak kasat mata mayarakat.
Apoteker
dalam melaksanakan tugasnya melayani masyarakat dengan obat, apapun obatnya
(baik obat keras ataupun bebas) akan melalui proses dan tahapan yang sama. Proses
tersebut dikmaksudkan untuk tercapainya pemenuhan personal medication needs. Apoteker tidak boleh menyerahkan begitu
saja seperti seorang pedagang obat karena obat harus diperlakukan sebagaimana
mestinya.
Akibat
dari perlakuan apoteker terhadap setiap upaya pemenuhan personal medication needs selalu memiliki proses yang sama, maka
label obat bagi apoteker komunitas hanya masalah administratif. Administratif,
karena penggunaan off label seringkali tidak sesuai dengan label obat. Semisal
asetosal 80 mg yang sangat dikenal masyarakat sebagai analgetik antipiretik
adalah dikategorikan sebagai obat bebas dengan lingkaran hijau, namun apabila
digunakan dalam pengobatan kardio vaskular seharusnya dikategorikan ke dalam
obat keras. Demikian halnya dengan cairan infus normal salin, apabila digunakan
sebagai cairan pembersih luka seharusnya
dikategorikan sebagai obat bebas. Sekali lagi dalam pelayanan kefarmasian tidak
melihat logo obat sebagai bagian proses pelayanan kefarmasian, namun pelayanan
kefarmasian harus melalui pharmaceutical
care process yang tidak kasat mata. Dengan
demikian menurut asumsi para apoteker komunitas kategori obat adalah masalah
administratif, sehingga pengawasan penggunaan obat bebas atau obat keras seharusnya
tidak sekedar melihat logo obat atau kategori obat, namun yang lebih penting adalah
penggunaan obat yang sesuai pharmaceutical
care process.
Logo
obat keras adalah lingkaran merah dengan huruf k didalamnya, biasanya dilengkapi dengan kalimat harus dengan resep dokter. Maksud dari
pencantuman kalimat tersebut adalah obat harus digunakan dengan tepat indikasi,
karena hanya dokter yang diakui memiliki kemampuan untuk menegakkan diagnosa. Obat
keras adalah bahan berbahaya sehingga benar apabila tidak boleh
diperjualbelikan secara bebas. Sesuai pula dengan himbauan ketua PP IAI yang
dengan tegas melarang obat keras dijual secara bebas di apotek. Pendapat
apoteker praktisi komunitas juga sama, yang mana obat keras tidak boleh
diperjualbelikan secara bebas, obat keras hanya boleh digunakan dalam pelayanan
kesehatan dan diserahkan oleh apoteker, dan hanya apoteker yang memiliki
kompetensi praktik kefarmasian yang utuh. Pelayanan kefarmasian beda dengan
praktik jual-beli, karena dalam pelayanan kefarmasian oleh apoteker obat hanya merupakan perlengkapan praktik
atau sarana terapi yang konsepnya jauh dari konsep perdagangan, dalam
pelayanan kefarmasian oleh apoteker penyerahan obat harus didasarkan pada
adanya temuan personal medication needs.
Oleh karena hal diatas, dengan pertimbangan kompetensi yang dimiliki apoteker, apoteker
memiliki kewenangan untuk menyerahkan obat keras kepada masyarakat pada kasus
tertentu dengan alasan kemanusiaan dan peradaban. Dengan demikian kalimat harus dengan resep dokter yang tertulis
dikemasan obat harus dimaknai bahwa obat harus diserahkan untuk digunakan
sesuai indikasi yang tepat.
Menurut
para praktisi komunitas, sesuai UU kesehatan tahun 2009, dokter dilarang
melayani resep, termasuk melayani resep yang ditulis sendiri. Maka apabila label
harus dengan resep dokter dimaknai secara
harfiah maka akan berbahaya bagi dokter yang menjalankan praktik di daerah
pelosok. Dengan demikian menurut hemat saya label tersebut tidak dapat dipahami
secara harfiah, label tersebut dimaksudkan obat tidak disalahgunakan dan
digunakan dengan bertanggungjawab.
9. BOLEHKAH SWAMEDIKASI MENGGUNAKAN OBAT KERAS?
Menurut Depkes, swamedikasi adalah upaya masyarakat
untuk mengobati dirinya sendiri yang biasanya
dilakukan untuk mengatasi keluhan-keluhan dan penyakit ringan (Pedoman Penggunaan Obat Bebas Dan Bebas
Terbatas : Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian
Dan Alat Kesehatan, Depkes, 2006).
Menurut WHO, Swamedikasi adalah pemilihan dan penggunaan obat oleh
diri sendiri untuk mengobati penyakit atau gejala yang ditetapkan sendiri.
Swamedikasi harus dilaksanakan dengan bertanggungjawab. Swamedikasi yang
bertanggung jawab adalah praktik dimana individu mengobati penyakit dan kondisi
mereka sendiri menggunakan obat-obatan yang tersedia dan diperbolehkan untuk
penggunaan tanpa resep dokter, yang mana aman dan efektif bila digunakan sesuai
petunjuk. Sehingga swamedikasi yang bertanggung jawab mewajibkan:
· Semua
obat yang digunakan adalah aman, berkualitas dan terbukti khasiatnya;
· Semua
Obat yang digunakan adalah yang dimaksudkan untuk kondisi yang dapat dikenali
sendiri dan untuk beberapa kondisi
kronis atau berulang (yang diawali diagnosis medis (resep)). Dalam semua kasus,
semua obat tersebut harus dirancang khusus untuk tujuan tersebut, dan akan memerlukan
dosis dan bentuk sediaan yang sesuai. (The Role of the Pharmacist in Self-Care
and Self-Medication, WHO, 1998)
Dari
uraian tersebut, menurut WHO pada kondisi kronis tertentu masyarakat berhak
untuk mendapatkan layanan swamedikasi. Intinya selama swamedikasi dapat
dipertanggungjawabkan kemanan dan keefektifannya adalah menjadi hak masyarakat
untuk mendapatkan kesejahteraan dalam bidang kesehatannya.
1 PENYALAHGUNAAN
OBAT
Dalam
beberapa hal, penyalahguaan obbat dapat dianalogikan dengan penyalahgunaan barang
atau benda lain. Semisal ada orang penyalahgunaan tali untuk gatung diri atau
bunuh diri, apakah semua jenis tali akan ditarik dan semua penjual tali
diawasi? Atau kalau ada orang bunuh diri dengan cara masuk ke sungai, apakah
diambil tindakan dengan menguras semua sungai yang ada? Lha terus bagaimana
kalau orang bunuh diri masuk ke laut?
Sama
halnya dengan penyalahgunaan obat, apakah kalau ada obat yang disalahgunakan
oleh masyarakat ditindaklanjuti dengan menarit semua obat dari peredaran dan
dilarang beredar? Lalu bagaimana dengan hak sehat masyarakat yang membutuhkan
obat tersebut? Apakah tidak lebih baik melakukan pembenahan sistem distribusi
obat?
Semua
sistem tentu selalu ada kelemahan, justru itulah tugas dari setiap profesi yang
terkait untuk memaksimalkan sistem dengan mengambil peran sesuai dengan
kompetensinya, baik secara mandiri atau dalam kolaborasi. Jangan sampai setiap
profesi justru berkompetisi menjebol celah sehingga lobang menjadi lebih besar,
karena lobang yang besar akan menghancurkan peradaban. Untuk itulah
dipentingkannya kebijakan yang mampu melindungi profesional dalam menjalankan
profesinya baik secara mandiri atau kolaborasi dengan profesi lain untuk
membuat masyarakat menjadi lebih sejahtera.
1 OBAT
PALSU
Dalam
kamus apoteker tidak dikenal dengan istilah obat palsu. Apoteker hanya mengenal
obat substandar. Obat substandar adalah obat yang tidak memenuhi standar
farmakope atau yang dipersyaratkan pemerintah. Obat palsu dapat dimasukan ke
dalam obat substandar karena dapat dipastikan obat tersebut tidak diproduksi
dengan standar kefarmasian. Obat substandar bukan tanggungjawab apoteker, namun
sepenuhnya tanggungjawab pemerintah. Tanggungjawab apoteker hanyalah untuk
setiap obat (memenuhi standar) yang berada di dalam kekuasaannya. Sehingga
sungguh tidak masuk akal apabila kesalahan akibat adanya peredaran obat palsu
menjadikan apoteker ikut bertanggungjawab.
Namun
apoteker tetap dapat berperan dalam penanggulangan obat palsu atau bahan
berbahaya lain dengan melakukan edukasi dan promosi kesehatan kepada setiap
masyarakat, namun yang paling penting adalah mengajak masyarakat untuk membeli
obat selalu di apotek agar tidak terpapar obat palsu.
KOMPETENSI
APOTEKER VS TENAGA KESEHATAN LAIN
Obat
dan pengobatan adalah kompetensi apoteker. sejak awal duduk di bangku kuliah,
apoteker selalu diperkenalkan dengan apa yang dimaksud personal medication needs. Sampai saat ini saya tidak yakin ada
profesi kesehatan lain yang memiliki kompetensi untuk menjelaskan dengan rinci
mengenai apa yang dimaksud dengan personal
medication needs. Kalau kompetensi untuk menjelaskan dengan rinci tidak
memiliki, bagaimana kompetensi untuk menjalankan praktik?.
1 PEMERIKSAAN
APOTEK
Banyak
pertanyaan dari praktisi terkait kompetensi pemeriksa pada pemeriksaan apotek
oleh berbagai pihak dengan maksud apapun. Tidak mungkin pemeriksaan apotek dilakukan
oleh pihak yang tidak mempunyai kompetensi terkait medication problem. Medication
problem adalah semua aspek atau komponen yang menjadi masalah pengobatan
baik yang berpotensi timbul di masa sekarang atau dimasa yang akan datang dan semua itu dapat terkait apa saja termasuk kebijakan,
lingkungan, perilaku, budaya, ekonomi dsb.
Cakupan
medication problem sangat luas yang
hanya dipahami oleh profesi kesehatan yang secara khusus mempelajarinya.
Apabila pemeriksaan apotek dilakukan oleh pihak yang tidak memiliki kompetensi
terkait medication problem, semua apoteker
praktisi komunitas meyakini pemeriksaan tersebut akan menjadi medication problem tambahan yang
mungkin akan lebih berbahaya dibandingkan medication
problem lain yang sudah tertangani.
1 PENGIRIMAN
OBAT OLEH OJEK ONLINE
Kemajuan
teknologi menuntut masyarakat berpikir kreatif, sehingga muncul berbagai ide
yang salah satunya mengirim obat dari rumah sakit menuju rumah pasien
menggunakan jasa ojek online. Kasus ini sebenarnya sangat serius dan nyata
melanggar peraturan perundangan. Ditinjau dari sisi tujuan pelayanan
kefarmasian dalam memenuhi personal
medication needs jelas tidak sesuai. Ditinjau dari UU kesehatan jelas
melanggar. Kalau memang dibutuhkan
layanan antar obat sampai rumah pasien, menurut hemat saya yang paling rasional
adalah dimunculkan kebijakan apotek keliling. Jikalau dikelola dengan benar,
saya yakin ini lebih manusiawi dan lebih menjamin kesejahteraan masyarakat.
1 SARAN
UNTUK PRAKTISI KE DEPAN
Apabila
terjadi perbedaan pendapat antara pemerintah dengan praktisi farmasi komunitas
dalam hal penyerahan obat keras oleh apoteker kepada masyarakat tanpa resep
dokter, maka saya menyarankan beberapa hal berikut:
Pertama,
para praktisi harus terus meningkatkan kompetensinya terutama kompetensi
praktis agar peradaban tidak berjalan mundur akibat disatukannya kembali dokter
dan apoteker. Untuk itu para praktisi
tentu tidak dapat hanya mengandalkan dirinya sendiri, para praktisi harus bekerjasama
dengan perguruan tinggi farmasi.
Kedua,
praktisi harus menuntut IAI sebagai organisasi profesi untuk melakukan advokasi
kepada semua pihak demi kemajuan peradaban dan kesejahteraan masyarakat dalam
bidang kesehatan.
Ketiga,
para praktisi harus menuntut pemerintah berlaku adil kepada semua pihak yang
telah sengaja melakukan pelanggaran peraturan perundangan, termasuk pelanggaran
dalam memperdagangkan obat keras kategori bebas terbatas.
PENUTUP
Ojo sugih sugih dewe, ojo pinter pinter dewe, ojo asik
asik dewe ( MHS).
“Apabila suatu perkara diserahkan kepada yang bukan
ahlinya maka tunggulah kehancurannya” (HR
Al-Bukhari dari Abi Hurairah).