Kamis, 05 Oktober 2017

KEWENANGAN APOTEKER DALAM PELAYANAN OBAT KERAS DIMATA PRAKTISI

KEWENANGAN APOTEKER DALAM PELAYANAN OBAT KERAS DIMATA PRAKTISI
Oleh: Suyanto
(Ketua Bidang Pengembangan SDM HISFARMA PD IAI Jatim)

Kewenangan apoteker dalam melayani masyarakat menggunakan obat keras tanpa resep dokter sering kali dipertanyakan oleh banyak pihak. Di mata para apoteker praktisi komunitas terhadap pernyataan Pengurus Pusat IAI (Ikatan Apoteker Indonesia) dalam menyikapi obat keras terkesan bias dan tidak memberikan solusi. Untuk alasan itu saya berusaha membuat ulasan, yang sebelumnya saya melakukan banyak diskusi dengan praktisi komunitas, dengan maksud membantu menguraikan permasalahan yang ada. Mengetahui pendapat para apoteker komunitas terhadap kewenangannya dalam melayani kesehatan masyarakat menggunakan obat keras sangat penting untuk dapat disajikan dalam naskah ini.
Hubungan praktisi dan IAI adalah penting dalam membangun suatu kebijakan, karena untuk menghasilkan suatu kebijakan yang baik IAI harus bekerjasama dengan praktisi. IAI tidak dapat mengambil kebijakan sepihak tanpa melibatkan praktisi dan praktisi tidak dapat menunaikan tugasnya dengan baik dalam melayani masyarakat tanpa adanya kebijakan yang memihak. Harapan saya naskah ini adalah memberikan masukan kepada IAI dalam membuat kebijakan terkait farmasi kominitas.
Tugas IAI sebagai organisasi profesi dalam memajukan profesi apoteker salah satunya adalah melakukan advokasi. Advokasi tersebut dimaksudkan agar semua pihak dapat menerima praktik apoteker. Setiap advokasi yang dilakukan IAI dimaksudkan untuk kepentingan masyarakat luas dan peradaban suatu bangsa selain kepentingan para praktisi itu sendiri. Ujung advokasi yang dilakukan IAI adalah kebijakan untuk memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat dan juga kepada apoteker. Perlindungan hukum dalam bentuk kebijakan bukan hanya untuk membatasi namun juga memberikan kesempatan seluas luasnya bagi masyarakat dalam mengakses pelayanan kesehatan dan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi para praktisi untuk mengembangkan profesi demi suatu peradaban.

OBAT
Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia (UU no 36 tahun 2009). Dalam rangka tersebut, masyarakat awam akan memahami dengan bahasa yang sederhana, oleh karenanya akan lebih baik apabila untuk setiap obat dan penggunaan obat oleh masyarakat didampingi oleh tenaga profesional.
Pemahaman masyarakat yang sederhana seringkali mengabaikan prinsip-prinsip pengobatan. Padahal obat dalam suatu pengobatan tidak sederhana dan tidak dapat disederhanakan. Apoteker sering menyampaikan informasi obat dengan menggunakan bahasa awam dan sederhana, namun proses yang dilalui sangatlah komplek termasuk didalamnya pharmacotherapy workup. Pharmacotherapy workup yang dilakukan apoteker pada swamedikasi dan pelayanan obat atas resep  dokter dimungkinkan akan dipandang dengan sangat sederhana oleh masyarakat. Hal tersebut karena pharmacotherapy workup tidak kasat mata masyarakat dan masyarakat hanya memahami ujungnya saja yang mana pulang membawa obat. Tingkat health literacy masyarakat khususnya dalam bidang farmasi juga menjadi salah satu penyebab ketidakpahaman masyarakat akan pelayanan kefarmasian yang lebih utuh.

2.    OBAT KERAS
Batasan obat keras menurut st. 1949 no.419 adalah obat-obatan yang tidak digunakan untuk keperluan tehnik, yang mempunyai khasiat mengobati, menguatkan, membaguskan, mendesinfeksikan dan lain-lain tubuh manusia, baik dalam bungkusan maupun tidak, yang ditetapkan oleh Secretaris Van Staat, Hoofd van het Departement van Gesondheid. Penetapan obat keras tersebut dilaksanakan dengan memasukan ke dalam daftar W atau daftar G. Dalam naskah ini selanjutnya yang dimaksud obat keras adalah daftar G sedangkan daftar W adalah obat bebas terbatas.

3.    OBAT SEBAGAI SARANA TERAPI
Obat bukanlah merupakan komoditas dagang, namun obat adalah komoditas kesehatan yang sudah seharusnya hanya digunakan sebagai sarana terapi. Obat berbeda dengan komoditas semacam motor atau mobil, yang mana ada uang ada barang, meskipun pembeli tidak atau belum memiliki surat ijin mengemudi bukan persoalan. Sedangkan obat hanya dapat diserahkan kepada masyarakat setelah memalui tahapan yang salah satunya manajemen resiko.
Manajemen risiko adalah suatu metode yang sistematis untuk mengidentifikasi, menganalisis, mengendalikan, memantau, mengevaluasi dan mengkomunikasikan risiko yang ada pada suatu kegiatan, (Tanggung Jawab Apoteker Terhadap Keselamatan Pasien (Patient Safety ), Depkes, 2008). Manajemen resiko merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari upaya apoteker dalam memenuhi personal medication needs.

4.      KEWENANGAN APOTEKER TERHADAP OBAT
Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, (Pasal 108 uu no 36 tahun 2009). Praktik kefarmasian sangat luas, praktik kefarmasian dapat berupa kegiatan apa saja yang terkait dengan sediaan farmasi, namun khusus yang meliputi hal diatas menjadi kewenangan tenaga kefarmasian. Akibat dari hal tersebut timbul banyak pertanyaan, “bagaimana dengan menyerahkan obat oleh dokter dispending kepada pasien dan pelayanan swamedikasi oleh swalayan dan toko kelontong ?”

5.      KOMPETENSI APOTEKER DALAM BIDANG MEDIS
Pada mulanya ilmu medis (kedokteran) dan ilmu farmasi (medication) dikuasai oleh satu profesi kesehatan, yaitu dokter. Pada perkembangannya Pada tahun 1240, kerajaan Sisilia mengeluarkan undang-undang yang memisahkan antara profesi dokter dan apoteker. Dokter hanya boleh memeriksa pasien, menuliskan resep obat. Kemudian resep dibuatkan obat oleh apoteker, yang dibawa kembali kepada dokter untuk diminumkan kepada pasien. Kemudian pada tahun 1407, terbitlah Pharmacist's Code of Genoa yg melarang seorang apoteker bekerja sama dengan seorang dokter.
Adanya pemisahan tersebut menjadikan kewenangan dokter dalam obat dan pengobatan diawali dari interaksi obat-reseptor dan kewenangan apoteker adalah menjamin terjadinya interaksi obat-reseptor sesuai dengan goal of theraphy. Oleh karenanya, Jika kompetensi medis diantaranya adalah interaksi obat-reseptor,  maka apoteker memiliki atau harus memiliki kompetensi medis sebagai kompetensi minor. Kompetensi minor tesebut penting bagi apoteker, karena tanpa kompetensi medis sama sekali apoteker hanya akan menjadi sarjana teknik.
Mungkin, ke depan, kompetensi medis yang dimiliki apoteker perlu sempurnakan dan ditegaskan dengan istilah yang lebih sesuai dengan tujuan adanya profesi apoteker, namun tetap memberikan gambaran keterikatan apoteker dengan tenaga kesehatan lain. Kompetensi medis apoteker bukan dimaksudkan untuk menegakkan diagnosa, namun dimaksudkan untuk menjamin bahan aktif obat dapat mencapai reseptor sehingga terjadi interaksi obat-reseptor sesuai dengan indikasi yang ditemukan, selanjutnya pengobatan dapat diharapkan berlangsung seaman mungkin, seefektif mungkin dan seefisien mungkin yang dapat dicapai.

6.      MENGAPA PROFESI HARUS BERKEMBANG
Setiap profesi harus terus berkembang dan dikembangkan. Perkembangan profesi dimaksudkan untuk membangun suatu peradapan yang tahap demi tahap menuju kemakmuran. Begitu pula dengan profesi apoteker harus terus berkembang dan dikembangkan untuk memajukan peradaban. Dukungan dari semua pihak untuk memajukan profesi apoteker sangat diperlukan. Tanpa dukungan semua pihak profesi apoteker akan mati dan akan menghambat perkembangan peradaban dibidang kesehatan khususnya kefarmasian.
Salah satu kewenangan apoteker yang telah dimiliki sejak awal jaman kemerdekaan adalah menyerahkan obat keras secara langsung kepada masyarakat yang dikenalnya (Reglement DVG (St. 1949 Nomor 228)). Namun seiring sejalan dengan perkembangan jaman mulai banyak pihak yang ingin mengurangi kewenangan tersebut dengan alasan yang pada umumnya tidak dapat diterima oleh kebanyakan apoteker praktisi. Seharusnya kewenangan apoteker dalam hal menyerahkan obat keras terus dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan kesehatan. Dikembangkan bukan berarti dibebaskan seluas-luasnya, namun dikembangkan agar kewenangan tersebut dapat berlangsung dengan lebih aman dan lebih dapat dipertanggungjawabkan. Pengembangan tersebut juga harus mempertimbangan kewenangan dan kompetensi profesi lain. Jikalau ada dua profesi dengan kompetensi yang sama bukan untuk diadu siapa yang lebih berwenang, namun kesamaan tersebut harus dapat diselaraskan dalam manajemen kontrol pembuat kebijakan dan kalau mungkin dikolaborasikan.
Semisal pada swamedikasi oleh peserta JKN. Sangat mungkin swamedikasi ditanggung JKN, dengan syarat ada kolaborasi antara apoteker, dokter dan JKN. Seberapa penting swamedikasi ditanggung JKN, tentunya sangat penting, karena swamedikasi yang dilakukan secara serampangan dapat merugikan kesehatan peserta yang berujung pada meningkatnya klaim yang seharusnya tidak terjadi. Kolaborasi tersebut juga dapat dimanfaatkan sebagai bagian dari marketing JKN, yang mana kolaborasi akan meningkatkan jenis dan kualitas layanan. Dengan manajemen yang baik kolaborasi akan dapat tersebut akan meningkatkan kualitas layanan tanpa harus menambah biaya, namun justru memiliki potensi menurunkan biaya.
Kita harus menyadari bahwa masyarakat bukan semata-mata obyek dalam pembangunan kesehatan, namun juga sekaligus subyek yang mempunyai hak dan kewajiban dalam berperilaku sehat menggunakan obat. Perilaku masyarakat tersebut sudah seharusnya didampingi oleh tenaga profesional. Meskipun masyarakat sudah terbiasa menggunakan obat dan merasa aman dan nyaman dengan obat tersebut tidak menjamin kebiasaan tersebut merupakan kebiasaan yang benar dalam menggunakan obat. Peluang mengembangan profesi apoteker khususnya farmasi komunitas masih sangat luas yang semuanya itu tidak hanya akan menguntungkan masyarakat, namun juga profesi kesehatan lain, sistem asuransi kesehatan dan tentunya juga pemerintah. Pengembangan profesi kesehatan yang komprehensif akan lebih baik dari pada pengembangan yang parsial, pengembangan parsial terhadap profesi kesehatan lebih berpotensi terjadi persaingan tidak sehat dan justru akan saling melemahkan dan berujung kerugian bagi masyarakat.
Saat ini IAI dan pemerintah belum memiliki konsep yang jelas mengenai swamedikasi berbasis praktik dan berbasis personal medication needs, padahal kebutuhan obat pada swamedikasi termasuk pula obat kategori  obat keras. Swamedikasi menggunakan obat keras seharusnya bukan menjadi dosa bagi masyarakat, karena kesehatan adalah hak  setiap manusia dan jika dikelola dengan benar akan lebih dapat meningkatkan masyarakat. Untuk itu perlulah suatu konsep pengembangan profesi kesehatan yang berorientasi pada kebutuhan yang dimiliki masyarakat, yang holistik, dan berbasis pada evidence. Jangan sampai terjadi saling melemahkan antar profesi kesehatan yang berpotensi kembalinya peradapan kuno dijaman sekarang, semisal kembalinya penyatuan dokter dan apoteker menjadi satu profesi. Sebagai apoteker tentunya kita juga harus tahu diri untuk terus mengembangkan dan menjaga kompetensi.

7. MENGAPA BANYAK TEKANAN TERHADAP UPAYA MENGEMBANGKAN PROFESI APOTEKER?
Upaya pengembangan apoteker terus dilakukan oleh bangsa ini semenjak bangsa ini merdeka. Namun banyak pihak yang merasa dirugikan kalau profesi apoteker berkembang. Salah satu mereka yang merasa dirugikan adalah pihak yang selama ini berusaha membodohi masyarakat dengan obat demi tujuan ekonominya sendiri. Upaya pembodohan tersebut dilakukan dengan berbagai upaya sehingga masyarakat tidak dapat memenuhi personal medication needs. Bentuk upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak tersebut juga bermacam macam tergantung latarbelakang pihak tersebut.
Melakukan pembodohan kepada masyarakat menggunakan obat sangatlah mudah, karena masyarakat awam umumnya hanya memiliki pemahaman tentang obat yang sangat tipis. Bahkan beberapa pihakpun yang pendidikan formalnya cukup, banyak yang memahami berbagai permasalahan tentang obat dengan sangat tipis pula. Disinilah peran penting apoteker bagi masyarakat sebagai penjamin mutu pelayanan kefarmasian. Penjaminan mutu tersebut dilakukan mulai menjamin bahan aktif tetap stabil sampai digunakan sampai menjamin mutu pelayanan kognitif agar masyarakat dapat menggunakan dan mematuhi penggunaan obat.
Jaminan yang dilakukan oleh apoteker tentu saja sesuai kompetensinya. Sesuai perkembangan dunia farmasi komunitas saat ini, jaminan yang dilakukan apoteker tidak hanya obat, namun juga jaminan kecukupan pelayanan kognitif. Pelayanan kognitif adalah ujung dari pelayanan kefarmasian modern. Obat atau sediaan farmasi tidak boleh diserahkan apabila masyarakat yang tidak dapat memahami pelayanan kognitif yang disampaikan apoteker.  Pelayanan kognitif adalah penting, karena terjadinya ikatan obar-reseptor tidak hanya akibat obat diformulasi oleh apoteker dan diproduksi dengan teknologi canggih, namun juga karena masyarakat mampu menggunakan obat dengan benar dan masyarakat mampu mematuhi penggunaan obat.
Sampai saat ini, semua pihak, baik pemerintah, IAI dan perguruan tinggi farmasi menurut hemat saya juga belum mampu menyediakan panduan pelayanan kognitif yang berbasis farmasi praktis dan personal medication needs. Praktik yang berbasis farmasi praktis dan personal medication needs adalah praktik pelayanan kefarmasian yang meletakan evidence dan ilmu pengetahuan secara proporsional sebagai pijakan praktik. mengapa harus proporsional?
Hal lain yang menjadi hambatan dalam mengembangkan profesi apoteker adalah menjadikan apoteker komunitas sebagai obyek kebijakan, seharusnya mereka juga sebagai subyek kebijakan. Praktisi komunitas masih dipandang sebagai kaum rendah di kasta dunia farmasi.

8   PEMAHAMAN APOTEKER  PRAKTISI KOMUNTAS DALAM PELAYANAN SWAMEDIKASI MENGGUNAKAN OBAT KERAS
Pada pelayanan kefarmasian modern, ujung dari pelayanan kefarmasian adalah masyarakat dapat berperilaku farmasi yang benar, salah satu contoh perilaku farmasi yang paling umum adalah perilaku dalam menggunakan obat. Sebaik apapun obat tanpa diikuti perilaku pengobatan yang benar akan sangat dimungkinkan terjadi hal yang tidak diinginkan. Untuk sebuah keputusan profesi apoteker dalam pelayanan kognitif sampai dihasilkan perilaku pengobatan yang benar diperlukan proses yang sangat panjang, namun proses tersebut tidak kasat mata mayarakat.
Apoteker dalam melaksanakan tugasnya melayani masyarakat dengan obat, apapun obatnya (baik obat keras ataupun bebas) akan melalui proses dan tahapan yang sama. Proses tersebut dikmaksudkan untuk tercapainya pemenuhan personal medication needs. Apoteker tidak boleh menyerahkan begitu saja seperti seorang pedagang obat karena obat harus diperlakukan sebagaimana mestinya.
Akibat dari perlakuan apoteker terhadap setiap upaya pemenuhan personal medication needs selalu memiliki proses yang sama, maka label obat bagi apoteker komunitas hanya masalah administratif. Administratif, karena penggunaan off label seringkali tidak sesuai dengan label obat. Semisal asetosal 80 mg yang sangat dikenal masyarakat sebagai analgetik antipiretik adalah dikategorikan sebagai obat bebas dengan lingkaran hijau, namun apabila digunakan dalam pengobatan kardio vaskular seharusnya dikategorikan ke dalam obat keras. Demikian halnya dengan cairan infus normal salin, apabila digunakan  sebagai cairan pembersih luka seharusnya dikategorikan sebagai obat bebas. Sekali lagi dalam pelayanan kefarmasian tidak melihat logo obat sebagai bagian proses pelayanan kefarmasian, namun pelayanan kefarmasian harus melalui pharmaceutical care process yang  tidak kasat mata. Dengan demikian menurut asumsi para apoteker komunitas kategori obat adalah masalah administratif, sehingga pengawasan penggunaan obat bebas atau obat keras seharusnya tidak sekedar melihat logo obat atau kategori obat, namun yang lebih penting adalah penggunaan obat yang sesuai pharmaceutical care process.
Logo obat keras adalah lingkaran merah dengan huruf k didalamnya, biasanya dilengkapi dengan kalimat harus dengan resep dokter. Maksud dari pencantuman kalimat tersebut adalah obat harus digunakan dengan tepat indikasi, karena hanya dokter yang diakui memiliki kemampuan untuk menegakkan diagnosa. Obat keras adalah bahan berbahaya sehingga benar apabila tidak boleh diperjualbelikan secara bebas. Sesuai pula dengan himbauan ketua PP IAI yang dengan tegas melarang obat keras dijual secara bebas di apotek. Pendapat apoteker praktisi komunitas juga sama, yang mana obat keras tidak boleh diperjualbelikan secara bebas, obat keras hanya boleh digunakan dalam pelayanan kesehatan dan diserahkan oleh apoteker, dan hanya apoteker yang memiliki kompetensi praktik kefarmasian yang utuh. Pelayanan kefarmasian beda dengan praktik jual-beli, karena dalam pelayanan kefarmasian oleh apoteker obat hanya merupakan perlengkapan praktik atau sarana terapi yang konsepnya jauh dari konsep perdagangan, dalam pelayanan kefarmasian oleh apoteker penyerahan obat harus didasarkan pada adanya temuan personal medication needs. Oleh karena hal diatas, dengan pertimbangan kompetensi yang dimiliki apoteker, apoteker memiliki kewenangan untuk menyerahkan obat keras kepada masyarakat pada kasus tertentu dengan alasan kemanusiaan dan peradaban. Dengan demikian kalimat harus dengan resep dokter yang tertulis dikemasan obat harus dimaknai bahwa obat harus diserahkan untuk digunakan sesuai indikasi yang tepat.
Menurut para praktisi komunitas, sesuai UU kesehatan tahun 2009, dokter dilarang melayani resep, termasuk melayani resep yang ditulis sendiri. Maka apabila label harus dengan resep dokter dimaknai secara harfiah maka akan berbahaya bagi dokter yang menjalankan praktik di daerah pelosok. Dengan demikian menurut hemat saya label tersebut tidak dapat dipahami secara harfiah, label tersebut dimaksudkan obat tidak disalahgunakan dan digunakan dengan bertanggungjawab.

9.    BOLEHKAH SWAMEDIKASI MENGGUNAKAN OBAT KERAS?
Menurut Depkes, swamedikasi adalah upaya masyarakat untuk mengobati dirinya sendiri yang biasanya dilakukan untuk mengatasi keluhan-keluhan dan penyakit ringan (Pedoman Penggunaan Obat Bebas Dan Bebas Terbatas : Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan, Depkes, 2006).
Menurut WHO, Swamedikasi  adalah pemilihan dan penggunaan obat oleh diri sendiri untuk mengobati penyakit atau gejala yang ditetapkan sendiri. Swamedikasi harus dilaksanakan dengan bertanggungjawab. Swamedikasi yang bertanggung jawab adalah praktik dimana individu mengobati penyakit dan kondisi mereka sendiri menggunakan obat-obatan yang tersedia dan diperbolehkan untuk penggunaan tanpa resep dokter, yang mana aman dan efektif bila digunakan sesuai petunjuk. Sehingga swamedikasi yang bertanggung jawab mewajibkan:
·         Semua obat yang digunakan adalah aman, berkualitas dan terbukti khasiatnya;
·    Semua Obat yang digunakan adalah yang dimaksudkan untuk kondisi yang dapat dikenali sendiri dan untuk beberapa kondisi kronis atau berulang (yang diawali diagnosis medis (resep)). Dalam semua kasus, semua obat tersebut harus dirancang khusus untuk tujuan tersebut, dan akan memerlukan dosis dan bentuk sediaan yang sesuai. (The Role of the Pharmacist in Self-Care and Self-Medication, WHO, 1998)
Dari uraian tersebut, menurut WHO pada kondisi kronis tertentu masyarakat berhak untuk mendapatkan layanan swamedikasi. Intinya selama swamedikasi dapat dipertanggungjawabkan kemanan dan keefektifannya adalah menjadi hak masyarakat untuk mendapatkan kesejahteraan dalam bidang kesehatannya.

1    PENYALAHGUNAAN OBAT
Dalam beberapa hal, penyalahguaan obbat dapat dianalogikan dengan penyalahgunaan barang atau benda lain. Semisal ada orang penyalahgunaan tali untuk gatung diri atau bunuh diri, apakah semua jenis tali akan ditarik dan semua penjual tali diawasi? Atau kalau ada orang bunuh diri dengan cara masuk ke sungai, apakah diambil tindakan dengan menguras semua sungai yang ada? Lha terus bagaimana kalau orang bunuh diri masuk ke laut?
Sama halnya dengan penyalahgunaan obat, apakah kalau ada obat yang disalahgunakan oleh masyarakat ditindaklanjuti dengan menarit semua obat dari peredaran dan dilarang beredar? Lalu bagaimana dengan hak sehat masyarakat yang membutuhkan obat tersebut? Apakah tidak lebih baik melakukan pembenahan sistem distribusi obat?
Semua sistem tentu selalu ada kelemahan, justru itulah tugas dari setiap profesi yang terkait untuk memaksimalkan sistem dengan mengambil peran sesuai dengan kompetensinya, baik secara mandiri atau dalam kolaborasi. Jangan sampai setiap profesi justru berkompetisi menjebol celah sehingga lobang menjadi lebih besar, karena lobang yang besar akan menghancurkan peradaban. Untuk itulah dipentingkannya kebijakan yang mampu melindungi profesional dalam menjalankan profesinya baik secara mandiri atau kolaborasi dengan profesi lain untuk membuat masyarakat menjadi lebih sejahtera.

1   OBAT PALSU
Dalam kamus apoteker tidak dikenal dengan istilah obat palsu. Apoteker hanya mengenal obat substandar. Obat substandar adalah obat yang tidak memenuhi standar farmakope atau yang dipersyaratkan pemerintah. Obat palsu dapat dimasukan ke dalam obat substandar karena dapat dipastikan obat tersebut tidak diproduksi dengan standar kefarmasian. Obat substandar bukan tanggungjawab apoteker, namun sepenuhnya tanggungjawab pemerintah. Tanggungjawab apoteker hanyalah untuk setiap obat (memenuhi standar) yang berada di dalam kekuasaannya. Sehingga sungguh tidak masuk akal apabila kesalahan akibat adanya peredaran obat palsu menjadikan apoteker ikut bertanggungjawab.
Namun apoteker tetap dapat berperan dalam penanggulangan obat palsu atau bahan berbahaya lain dengan melakukan edukasi dan promosi kesehatan kepada setiap masyarakat, namun yang paling penting adalah mengajak masyarakat untuk membeli obat selalu di apotek agar tidak terpapar obat palsu.

     KOMPETENSI APOTEKER VS TENAGA KESEHATAN LAIN
Obat dan pengobatan adalah kompetensi apoteker. sejak awal duduk di bangku kuliah, apoteker selalu diperkenalkan dengan apa yang dimaksud personal medication needs. Sampai saat ini saya tidak yakin ada profesi kesehatan lain yang memiliki kompetensi untuk menjelaskan dengan rinci mengenai apa yang dimaksud dengan personal medication needs. Kalau kompetensi untuk menjelaskan dengan rinci tidak memiliki, bagaimana kompetensi untuk menjalankan praktik?.

1   PEMERIKSAAN APOTEK
Banyak pertanyaan dari praktisi terkait kompetensi pemeriksa pada pemeriksaan apotek oleh berbagai pihak dengan maksud apapun. Tidak mungkin pemeriksaan apotek dilakukan oleh pihak yang tidak mempunyai kompetensi terkait medication problem. Medication problem adalah semua aspek atau komponen yang menjadi masalah pengobatan baik yang berpotensi timbul di masa sekarang atau dimasa yang akan datang dan semua  itu dapat terkait apa saja termasuk kebijakan, lingkungan, perilaku, budaya, ekonomi dsb.
Cakupan medication problem sangat luas yang hanya dipahami oleh profesi kesehatan yang secara khusus mempelajarinya. Apabila pemeriksaan apotek dilakukan oleh pihak yang tidak memiliki kompetensi terkait medication problem, semua apoteker praktisi komunitas meyakini pemeriksaan tersebut akan menjadi medication problem tambahan yang mungkin akan lebih berbahaya dibandingkan medication problem lain yang sudah tertangani.

1    PENGIRIMAN OBAT OLEH OJEK ONLINE
Kemajuan teknologi menuntut masyarakat berpikir kreatif, sehingga muncul berbagai ide yang salah satunya mengirim obat dari rumah sakit menuju rumah pasien menggunakan jasa ojek online. Kasus ini sebenarnya sangat serius dan nyata melanggar peraturan perundangan. Ditinjau dari sisi tujuan pelayanan kefarmasian dalam memenuhi personal medication needs jelas tidak sesuai. Ditinjau dari UU kesehatan jelas melanggar.  Kalau memang dibutuhkan layanan antar obat sampai rumah pasien, menurut hemat saya yang paling rasional adalah dimunculkan kebijakan apotek keliling. Jikalau dikelola dengan benar, saya yakin ini lebih manusiawi dan lebih menjamin kesejahteraan masyarakat.

1       SARAN UNTUK PRAKTISI KE DEPAN
Apabila terjadi perbedaan pendapat antara pemerintah dengan praktisi farmasi komunitas dalam hal penyerahan obat keras oleh apoteker kepada masyarakat tanpa resep dokter, maka saya menyarankan beberapa hal berikut:
Pertama, para praktisi harus terus meningkatkan kompetensinya terutama kompetensi praktis agar peradaban tidak berjalan mundur akibat disatukannya kembali dokter dan apoteker.  Untuk itu para praktisi tentu tidak dapat hanya mengandalkan dirinya sendiri, para praktisi harus bekerjasama dengan perguruan tinggi farmasi.
Kedua, praktisi harus menuntut IAI sebagai organisasi profesi untuk melakukan advokasi kepada semua pihak demi kemajuan peradaban dan kesejahteraan masyarakat dalam bidang kesehatan.
Ketiga, para praktisi harus menuntut pemerintah berlaku adil kepada semua pihak yang telah sengaja melakukan pelanggaran peraturan perundangan, termasuk pelanggaran dalam memperdagangkan obat keras kategori bebas terbatas.

PENUTUP
Ojo sugih sugih dewe, ojo pinter pinter dewe, ojo asik asik dewe ( MHS).
“Apabila suatu perkara diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya” (HR Al-Bukhari dari Abi Hurairah).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar