PERAN APOTEKER DALAM DUNIA KESEHATAN
Saat ini peran apoteker dalam dunia kesehatan sudah mulai banyak kelihatan. Peran ini tidak hanya dalam mengawal resep tetapi juga dalam swamedikasi, termasuk dalam mengawal masyarakat dalam penggunaan sediaan farmasi lain. Cuman sayangnya belum semua apoteker mempunyai kesempatan untuk berperan lebih jauh yang dikarenakan berbagai hal dan belum ada standart jelas tentang pelayanan kefarmasian yang didasarkan pada praktek profesi yang nyata.
Farmasi klinis memang kelihatan lebih elegan bagi seorang apoteker karena dengan farmasi klinis apoteker lebih merasa dapat menunjukan kemampuannya akan kemampuannya yang sesunggunhnya. Tetapi pekerjaan apoteker diapotek tidak sekedar farmasi klinis. Banyak ilmu sosial lain penunjang profesi yang harus dikuasai. Seringkali apoteker hanya terjebak dalam farmasi klinis sebagai "menara gading" yang mana farmasi klinis dianggap sebagai pencapaian kemampuan profesi yang paling tinggi dalam pelayanan kefarmasian, tetapi benarkah?
Banyak apoteker baru sekarang yang saya tanya tentang kasus swamedikasi, yang terkait konsultasi obat dan penyakit yang terjadi pada swamedikasi. Hasilnya menurut saya, seringkali mereka membicarakan farmasi klinis yang kurang rasional dengan kebutuhan swamedikasi. Mengapa? karena sang dosen pengajarnya adalah apoteker rumah sakit yang mempunyai keterbatasan dalam penanganan kasus swamedikasi. Farmasi klinis saja tentu saja tidak cukup, karena farmaekonomi mungkin akan menjadi ilmu baru dalam dunia farmasi, diikuti oleh ilmu farmasosial, farmasbudaya dan lain sebagainya.
Pada peran apoteker dalam dunia kesehatan bangsa ini yang terkait pelayanan swamedikasi, bisa jadi menjadi sangat penting dan sangat berharga diri sebagai apoteker bila kita mengambil peran ini dengan sangat serius dan penuh dedikasi. Cuman sayangnya peran ini umumnya belum digali dengan sangat baik oleh dunia pendidikan, mungkin dikarenakan kasusnya dianggap kurang mercusuar untuk menunjukan kemampuan kita sebagai apoteker. Mungkin juga karena kasus pada swamedikasi seringkali hanya menghasilkan uang receh dari masyarakat.
Berperan tidaknya apoteker dalam dunia kesehatan sangat tergatung pada diri kita sendiri sebagai apoteker dalam mengambil kesempatan yang ada, bukan menunggu apa yang diberikan kepada kita. Saya selalu mengatakan kepada semua orang bila apotek juga merupakan salah satu sarana pendidikan kesehatan masyarakat, setiap hari kita bisa berhubungan dengan masyarakat awam yang membutuhkan informasi kesehatan terutama yang berkaitan dengan obat dan sediaan farmasi lain. Dari sinilah kita seharusnya memulai mengambil peran kita dalam dunia kesehatan. Sering kali pasien atau klien datang keapotek tanpa menyadari akan kebutuhan mereka yang sebenarnya, disinilah peran kita untuk mengambil konseling dan mendampingi mereka agar memahami permasalahannya.
Peran-peran kita didalam dunia kesehatan harus kita ambil bukan kita tunggu, demikian pula bila kita ingin berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain. Kita tidak bisa hanya menunggu permintaan dari mereka agar kita berperan, tetapi kita harus berani mengambil peran kita. Menurut saya selama praktek profesi diapotek, peran kita tidaklah lebih ringan dari tenaga kesehatan lain. Resiko kita tertular penyakit suatu misal juga sangat tinggi. Mungkin kedepan, sudah sepantasnya bila kita juga mendapatkan perhatian dari departemen pendidikan dan kebudayaan, toh yang kita kerjakan tidak lebih ringan dari para guru ataupun dokter dan kita bisa menjadi peyuluh kesehatan atau pendidik kesehatan masyarakat yang mandiri yang tidak perlu digaji oleh negara, tetapi cukup digaji dari jasa profesi kita.
Seringkali pada masyarakat yang membutuhkan obat untuk swamedikasi, obat kita lepas begitu saja tanpa ada asuhan kefarmasian yang cukup. Kasus semacam ini masih sangat umum dan menurut saya bisa sangat berbahaya. Sebagai contoh yang sering saya lontarkan kepada siapa saja, cobalah anda datang ke apotek sejawat anda yang belum melakukan TATAP atau belum memberlakukan Tiada Apoteker Tiada Pelayanan, kemudian anda tanya obat batuk yang baik, tentu anda dapat memperkirakan sendiri apa jawabnya. Meskipun masih ada sejawat kita yang belum melakukan TATAP, tetapi janganlah kita menganggap semua apotek adalah sama saja, karena sudah banyak apotek yang mulai mengarah ke TATAP, meskipun belum ke TATAP yang ideal.
Karena makin berkembangnya permasalahan profesi apoteker dalam perannya di dunia kesehatan dan semakin kreatifnya para apoteker dalam menghadapi permasalahan profesinya yang terkait perannya dalam dunia kesehatan, maka dibentuklah HISFARMA oleh para aktifis ISFI, yang harapan kedepannya bisa sebagai ajang forum diskusi profesi bagi para praktisi diapotek. Penuh harapan kita para praktisi kepada HISFARMA, agar kedepan HISFARMA mampu mengambil perannya dengan benar.
Selanjutnya marilah mengambil peran kita, karena kita sudah menjadi apoteker berarti kita sudah diberi peran dalam dunia kesehatan. Tinggal mau atau tidak kita menggunakan peran kita dan janganlah jasa profesi yang kecil dijadikan alasan agar kita menjadi kurang berperan. Dunia tahu peran kita dalam dunia kesehatan, tetapi jangan sampai kita sendiri justru tidak memahami peran kita dalam dunia kesehatan. Peran kita sangat besar, sebesar yang kita mau dan bisa kerjakan, tetapi peran kita akan hilang sama sekali bila kita tidak mau mengambil peran kita. Kesimpulannya berperan atau tidaknya kita dalam dunia kesehatan tergantung diri kita sendiri, bukan tergantung pada orang lain, pemilik modal apotek, profesi kesehatan lain atau siapa saja.
Semoga kita para apoteker kedepan bisa lebih dapat berperan dalam dunia kesehatan dan dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan lain meskipun kita hanya ada di farmasi masyarakat yang umumnya masih dipandang sebelah mata. Dan untuk dapat lebih berperan sudah seharusnya bila kita mengawali dari diri kita sendiri dengan langsung mengambil peran dengan menerapkan TATAP, tanpa tunjuk-tunjuk kepada sejawat kita yang lain. Dan peran kita akan menunjukan sinergisme bila kita dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan lain, pemerintah dan siapa saja yang terlibat dalam dunia kesehatan.
Jumat, 26 September 2008
APAKAH APOTEK TEMPAT BERDAGANG OBAT?
APAKAH APOTEK TEMPAT BERDAGANG OBAT?
Bila ada pertanyaan semacam ini, selalu saya tunjukan apa yang telah saya lakukan diapotek terkait pengelolaan apotek.
Apotek adalah tempat masyarakat mengakses informasi kesehatan, dan selama ini saya lakukan dengan gratis. Juga menjadi sarana pendidikan kesehatan masyarakat, yang juga saya lakukan dengan gratis. Bila dilihat dari peran apoteker sebagai salah satu pendidik kesehatan masyarakat atau pencerdas masyarakat akan kesehatan, pantaskah apoteker disebut sebagai sekedar tukang obat?
Banyak pekerjaan apoteker diapotek yang bisa kita jelaskan kepada masyarakat dan pihak lain tentang peran apoteker dalam dunia kesehatan yang tidak hanya sekedar tukang obat. Banyak pula informasi yang kita berikan kepada masyarakat pendidik atau guru terkait ilmu pengetahuan yang terkait dunia kefarmasian. Salah satunya adalah bagaimana mencari bahan alternatif untuk mendeteksi amilum untuk praktikum anak SD bila bahan yang dicari tidak ada. Atau kemana mereka mencari bahan kimia yang diperlukan untuk praktikum anak SD bila dalam buku petunjuk praktikum tidak disebutkan dimana bisa mencari bahan tersebut.
Pernah suatu saat ada guru SD mencari asam sulfat guna mengikuti lomba ilmiah SD. Sebagai apoteker diapotek saya merasa harus ikut peduli dengan dunia pendidikan. Saya waktu itu memberikan informasi agar membeli saja aqua zuur untuk accu. Informasi sederhana semacam ini seringkali masyarakat juga tidak tahu, disinilah salah satu peran apoteker dalam masyarakat. Apakah dengan peran seperti ini masih pantas apoteker hanya disebut sebagai tukang obat?
Banyak hal yang bisa apoteker lakukan diapotek demi masyarakat disekitar kita. Bila apoteker hanya sebagai pedagang obat, tentu saja kita tidak akan menolak bila ada pembeli, tetapi kenyataannya kita seringkali menolak permintaan mereka bila kita menganggap kurang atau tidak rasional. Sebagai contoh, pernah ada seorang bapak muda yang baru mempunyai seorang bayi yang baru hanya minum ASI datang ke apotek "Pak bayi saya sudah satu hari lebih tidak BAB, tolong saya dikasih obat, biasanya setiap pagi mesti BAB". Kasus semacam ini sangat banyak, sebagai apoteker tentu kita harus mampu memberikan penjelasan terkait kondisi ini dan tidak langsung memberi obat. Saat itu saya sarankan agar ditunggu sampai tiga hari dan bila tetap tidak BAB agar dibawa ke dokter.
Keesokan harinya sang bapak itu datang keapotek bila kemarin sore bayinya sudah dapat BAB meskipun tanpa apoteker harus beri obat. Disini peran apoteker sangat jelas bila apoteker adalah salah satu sumber informasi terkait kesehatan yang terpercaya. Bila saat itu apoteker mau membohongi tentu saja mereka mungkin juga tidak paham. Apakah hal semacam ini masih menunjukan apoteker hanya sekedar pedagang obat?
Bila ada pertanyaan seperti diatas, selalu saya katakan apoteker adalah tenaga kesehatan yang paling berkompeten dalam masalah terkait sediaan farmasi dan saya tunjukan apa yang bisa dilakukan apoteker dan apa yang akan didapatkan masyarakat dengan keberadaan apoteker. Oleh sebab itu sudah sepantasnya bila dalam pendirian apotek seharusnya dibebaskan dari biaya apa saja demi pemerataan apotek yang selanjutnya menjadi pemerataan kesehatan.
Sudah sepantasnya bila masyarakat disekitar saya menganggap apoteker sebagai pelayan kesehatan masyarakat yang mampu menolong orang banyak terkait keilmuannya. Dan bila pertanyaan diatas muncul, hanya karena masyarakat kurang memahami apa arti kesehatan secara benar yang disebabkan salah satunya karena derajat pendidikan ksehatan masyarakat yang umumnya masih rendah. Salah satu contoh lain dalam dunia kesehatan adalah, apakah mau seorang dokter didaerah yang masih suka pakai jurus suntik untuk meraih hati pasien disebut hanya sekedar sebagai tukang suntik?
Saya selalu mengatakan bila tugas apoteker adalah asuhan kefarmasian yang didalamnya ada sediaan kefarmasian. Sediaan kefarmasian disini bukan satu-satunya jenis pelayanan meskipun jasa kita saat ini masih dihargai dari sini. Pernah adik saya berkonsultasi kepada dokter gigi selama lebih dari 15 menit, kemudian adik saya bertanya "berapa dok?", sang dokter menjawab " ah tidak usah ". Bila dokter gigi hanya mau diberi jasa karena tindakannya yang salah satunya cabut gigi, apakah mau dokter gigi hanya disebut sebagai tukang cabut gigi?
Banyak contoh jawaban yang bisa kita berikan kepada yang bertanya terkait pertanyaan diatas, dengan memberikan contoh atas dasar apa yang telah kita lakukan diapotek yang menunjukan kita apoteker bukan pedagang obat. Apoteker adalah seperti apa kata dunia yang mana apoteker adalah tenaga kesehatan yang perannya semakin dibutuhkan dalam pembangunan kesehatan, seperti kebutuhan akan tenaga kesehatan lain. Oleh karena itu sudah sepantasnya bila pemerintah mendorong pemerataan pelayanan kesehatan dibidang kefarmasian dengan semakin mempermudah pendirian apotek dan semakin menghilangkan biaya-biaya pendirian apotek agar peningkatan derajat kesehatan dapat dirasakan masyarakat dengan semakin mudah dan murah.
Bila ada pertanyaan semacam ini, selalu saya tunjukan apa yang telah saya lakukan diapotek terkait pengelolaan apotek.
Apotek adalah tempat masyarakat mengakses informasi kesehatan, dan selama ini saya lakukan dengan gratis. Juga menjadi sarana pendidikan kesehatan masyarakat, yang juga saya lakukan dengan gratis. Bila dilihat dari peran apoteker sebagai salah satu pendidik kesehatan masyarakat atau pencerdas masyarakat akan kesehatan, pantaskah apoteker disebut sebagai sekedar tukang obat?
Banyak pekerjaan apoteker diapotek yang bisa kita jelaskan kepada masyarakat dan pihak lain tentang peran apoteker dalam dunia kesehatan yang tidak hanya sekedar tukang obat. Banyak pula informasi yang kita berikan kepada masyarakat pendidik atau guru terkait ilmu pengetahuan yang terkait dunia kefarmasian. Salah satunya adalah bagaimana mencari bahan alternatif untuk mendeteksi amilum untuk praktikum anak SD bila bahan yang dicari tidak ada. Atau kemana mereka mencari bahan kimia yang diperlukan untuk praktikum anak SD bila dalam buku petunjuk praktikum tidak disebutkan dimana bisa mencari bahan tersebut.
Pernah suatu saat ada guru SD mencari asam sulfat guna mengikuti lomba ilmiah SD. Sebagai apoteker diapotek saya merasa harus ikut peduli dengan dunia pendidikan. Saya waktu itu memberikan informasi agar membeli saja aqua zuur untuk accu. Informasi sederhana semacam ini seringkali masyarakat juga tidak tahu, disinilah salah satu peran apoteker dalam masyarakat. Apakah dengan peran seperti ini masih pantas apoteker hanya disebut sebagai tukang obat?
Banyak hal yang bisa apoteker lakukan diapotek demi masyarakat disekitar kita. Bila apoteker hanya sebagai pedagang obat, tentu saja kita tidak akan menolak bila ada pembeli, tetapi kenyataannya kita seringkali menolak permintaan mereka bila kita menganggap kurang atau tidak rasional. Sebagai contoh, pernah ada seorang bapak muda yang baru mempunyai seorang bayi yang baru hanya minum ASI datang ke apotek "Pak bayi saya sudah satu hari lebih tidak BAB, tolong saya dikasih obat, biasanya setiap pagi mesti BAB". Kasus semacam ini sangat banyak, sebagai apoteker tentu kita harus mampu memberikan penjelasan terkait kondisi ini dan tidak langsung memberi obat. Saat itu saya sarankan agar ditunggu sampai tiga hari dan bila tetap tidak BAB agar dibawa ke dokter.
Keesokan harinya sang bapak itu datang keapotek bila kemarin sore bayinya sudah dapat BAB meskipun tanpa apoteker harus beri obat. Disini peran apoteker sangat jelas bila apoteker adalah salah satu sumber informasi terkait kesehatan yang terpercaya. Bila saat itu apoteker mau membohongi tentu saja mereka mungkin juga tidak paham. Apakah hal semacam ini masih menunjukan apoteker hanya sekedar pedagang obat?
Bila ada pertanyaan seperti diatas, selalu saya katakan apoteker adalah tenaga kesehatan yang paling berkompeten dalam masalah terkait sediaan farmasi dan saya tunjukan apa yang bisa dilakukan apoteker dan apa yang akan didapatkan masyarakat dengan keberadaan apoteker. Oleh sebab itu sudah sepantasnya bila dalam pendirian apotek seharusnya dibebaskan dari biaya apa saja demi pemerataan apotek yang selanjutnya menjadi pemerataan kesehatan.
Sudah sepantasnya bila masyarakat disekitar saya menganggap apoteker sebagai pelayan kesehatan masyarakat yang mampu menolong orang banyak terkait keilmuannya. Dan bila pertanyaan diatas muncul, hanya karena masyarakat kurang memahami apa arti kesehatan secara benar yang disebabkan salah satunya karena derajat pendidikan ksehatan masyarakat yang umumnya masih rendah. Salah satu contoh lain dalam dunia kesehatan adalah, apakah mau seorang dokter didaerah yang masih suka pakai jurus suntik untuk meraih hati pasien disebut hanya sekedar sebagai tukang suntik?
Saya selalu mengatakan bila tugas apoteker adalah asuhan kefarmasian yang didalamnya ada sediaan kefarmasian. Sediaan kefarmasian disini bukan satu-satunya jenis pelayanan meskipun jasa kita saat ini masih dihargai dari sini. Pernah adik saya berkonsultasi kepada dokter gigi selama lebih dari 15 menit, kemudian adik saya bertanya "berapa dok?", sang dokter menjawab " ah tidak usah ". Bila dokter gigi hanya mau diberi jasa karena tindakannya yang salah satunya cabut gigi, apakah mau dokter gigi hanya disebut sebagai tukang cabut gigi?
Banyak contoh jawaban yang bisa kita berikan kepada yang bertanya terkait pertanyaan diatas, dengan memberikan contoh atas dasar apa yang telah kita lakukan diapotek yang menunjukan kita apoteker bukan pedagang obat. Apoteker adalah seperti apa kata dunia yang mana apoteker adalah tenaga kesehatan yang perannya semakin dibutuhkan dalam pembangunan kesehatan, seperti kebutuhan akan tenaga kesehatan lain. Oleh karena itu sudah sepantasnya bila pemerintah mendorong pemerataan pelayanan kesehatan dibidang kefarmasian dengan semakin mempermudah pendirian apotek dan semakin menghilangkan biaya-biaya pendirian apotek agar peningkatan derajat kesehatan dapat dirasakan masyarakat dengan semakin mudah dan murah.
Kamis, 18 September 2008
SEBERAPA APOTEKER KITA ??
KENAPA INI PENTING UNTUK DIBICARAKAN ???
Karena terkait program mengapotekerkan apoteker dan demi suksesnya sosialisasi Program TATAP di apotek dan ini merupakan program besar ISFI dalam mensosialisasikan kepada masyarakat.
Alangkah baiknya ISFI juga lebih bijak dalam memberikan informasi kepada masyarakat tentang anggotanya seberapa banyak yang apoteker, seberapa banyak yang bukan apoteker (sarjana farmasi).
Data ini penting karena untuk membedakan siapa yang apoteker dan siapa yang bukan. Karena dari yang apoteker saja masih diragukan siapa yang apoteker betulan dan siapa yang apoteker jadi-jadian artinya mereka suka berteriak diluar panggung tanpa ikut bermain dilapangan.
Mudah-mudahan semakin banyak apoteker betulan yang bisa berkiprah dan bermanfaat bagi masyarakat banyak dan mereka lebih bangga mencantumkan gelar apotekernya.
Sebagai contoh : lihat di http://www.isfinational.or.id/sarana-kefarmasian/33-nama-ketua-umum Dalam penulisan daftar nama-nama pendiri/ketua Ikatan Apoteker dan ketua Umum ISFI, Nama Pembina mulai tahun 1955 sampai dengan sekarang tahun 2008 yang dikeluarkan Website ISFI (organisasi yang di klaim satu-satunya organisasi apoteker di Indonesia) sampai sekarang didalam penulisan Nama dan gelar dengan tegasnya mencantumkan gelar MBA, Drs, tetapi seolah tanpa beban menghilangkan gelar apoteker sehingga kita sendiri yang sebagai apoteker ataau masyarakat awam akan ragu menilai apakah mereka Yang terhormat bergelar sarjana farmasi atau sarjana lain atau belum lulus apoteker karena mungkin saat itu tidak lulus apoteker (karena gelar apoteker nyata-nyata tidak dicantumkan) Kenapa ini terjadi? alergikah dengan gelar apoteker ? kok lebih bangga menyandang gelar Drs, MBA dari pada gelar apoteker sudah menjadi kebiasaankah hal seperti ini pada diri kita ?
Hal ini sangat berbeda kalau kita lihat profesi lain misalnya dr/drg mereka lebih senang memakai gelar profesinya dari pada gelar kesarjanaannya bahkan gelar kesarjanaannya dihilangkan sehingga profesinya dapat lebih mudah dikenal dimasyarakat ...
Sekarang saya jadi bertanya siapa yang bertanggung jawab sistem atau perseorangan ?
Kalau sistem mari kita bersama-sama merubahnya
Organisasi ISFI harus menemukan solusinya ...
(atau mungkin apa perlu perubahan nama organisasi profesi kembali ke Ikatan Apoteker Indonesia dalam konggres ISFI 2009)
Dan draftnya harus disusun sekarang tahun 2008 sama seperti rencana perubahan ISFI menjadi Ikatan Farmasis Indonesia (dalam konggres ISFI tahun 2005)
Yang akhirnya ditolak oleh anggota karena Istilah Farmasis tidak dikenal dalam Undang Undang & hukum kefarmasian di Indonesia ..
Hukum Indonesia hanya mengenal Istilah Apoteker tetapi sampai sekarang pihak perguruan tinggi masih lebih suka menggunakan Istilah farmasis...
karena sekarang pola pikir kita
kalau ingin memikirkan profesi apoteker
kita juga harus memikirkan nasib organisasi profesi Apoteker bukan lainnya ...
Namun bukan hanya sekedar mencantumkan gelar saja yang kita utamakan ...
tapi lebih dari itu ...
sebagai seorang apoteker kita harus dapat membuktikan
bahkan melakukan langkah nyata dengan membiasakan mengabdikan diri di masyarakat
sehingga bukan hanya diakui tetapi dapat mengangkat & membuktikan citra kita sebagai
profesional apoteker di masyarakat...
Salam (Drs.Suhartono,Apoteker)
baca juga di http://www.suaraapoteker.blogspot.com/
Karena terkait program mengapotekerkan apoteker dan demi suksesnya sosialisasi Program TATAP di apotek dan ini merupakan program besar ISFI dalam mensosialisasikan kepada masyarakat.
Alangkah baiknya ISFI juga lebih bijak dalam memberikan informasi kepada masyarakat tentang anggotanya seberapa banyak yang apoteker, seberapa banyak yang bukan apoteker (sarjana farmasi).
Data ini penting karena untuk membedakan siapa yang apoteker dan siapa yang bukan. Karena dari yang apoteker saja masih diragukan siapa yang apoteker betulan dan siapa yang apoteker jadi-jadian artinya mereka suka berteriak diluar panggung tanpa ikut bermain dilapangan.
Mudah-mudahan semakin banyak apoteker betulan yang bisa berkiprah dan bermanfaat bagi masyarakat banyak dan mereka lebih bangga mencantumkan gelar apotekernya.
Sebagai contoh : lihat di http://www.isfinational.or.id/sarana-kefarmasian/33-nama-ketua-umum Dalam penulisan daftar nama-nama pendiri/ketua Ikatan Apoteker dan ketua Umum ISFI, Nama Pembina mulai tahun 1955 sampai dengan sekarang tahun 2008 yang dikeluarkan Website ISFI (organisasi yang di klaim satu-satunya organisasi apoteker di Indonesia) sampai sekarang didalam penulisan Nama dan gelar dengan tegasnya mencantumkan gelar MBA, Drs, tetapi seolah tanpa beban menghilangkan gelar apoteker sehingga kita sendiri yang sebagai apoteker ataau masyarakat awam akan ragu menilai apakah mereka Yang terhormat bergelar sarjana farmasi atau sarjana lain atau belum lulus apoteker karena mungkin saat itu tidak lulus apoteker (karena gelar apoteker nyata-nyata tidak dicantumkan) Kenapa ini terjadi? alergikah dengan gelar apoteker ? kok lebih bangga menyandang gelar Drs, MBA dari pada gelar apoteker sudah menjadi kebiasaankah hal seperti ini pada diri kita ?
Hal ini sangat berbeda kalau kita lihat profesi lain misalnya dr/drg mereka lebih senang memakai gelar profesinya dari pada gelar kesarjanaannya bahkan gelar kesarjanaannya dihilangkan sehingga profesinya dapat lebih mudah dikenal dimasyarakat ...
Sekarang saya jadi bertanya siapa yang bertanggung jawab sistem atau perseorangan ?
Kalau sistem mari kita bersama-sama merubahnya
Organisasi ISFI harus menemukan solusinya ...
(atau mungkin apa perlu perubahan nama organisasi profesi kembali ke Ikatan Apoteker Indonesia dalam konggres ISFI 2009)
Dan draftnya harus disusun sekarang tahun 2008 sama seperti rencana perubahan ISFI menjadi Ikatan Farmasis Indonesia (dalam konggres ISFI tahun 2005)
Yang akhirnya ditolak oleh anggota karena Istilah Farmasis tidak dikenal dalam Undang Undang & hukum kefarmasian di Indonesia ..
Hukum Indonesia hanya mengenal Istilah Apoteker tetapi sampai sekarang pihak perguruan tinggi masih lebih suka menggunakan Istilah farmasis...
karena sekarang pola pikir kita
kalau ingin memikirkan profesi apoteker
kita juga harus memikirkan nasib organisasi profesi Apoteker bukan lainnya ...
Namun bukan hanya sekedar mencantumkan gelar saja yang kita utamakan ...
tapi lebih dari itu ...
sebagai seorang apoteker kita harus dapat membuktikan
bahkan melakukan langkah nyata dengan membiasakan mengabdikan diri di masyarakat
sehingga bukan hanya diakui tetapi dapat mengangkat & membuktikan citra kita sebagai
profesional apoteker di masyarakat...
Salam (Drs.Suhartono,Apoteker)
baca juga di http://www.suaraapoteker.blogspot.com/
Rabu, 17 September 2008
SEBERAPA APTEKERKAH KITA
SEBERAPA APOTEKERKAH KITA ?
Pertanyaan diatas bisa juga kita artikan sebagai, "Sudahkah kita menjadi apoteker?"
Ijazah apoteker sudah kita pegang, tetapi pada sebagian pemegang ijazah apoteker belum semua menyandang harga diri sebagai apoteker. Mengapa terjadi?
Pada saat setelah saya lulus apoteker saya selalu berusaha menyandang harga diri apoteker dengan bangga. Hal ini salah satunya saya terapkan pada saat mengisi aplikasi bank atau kartu kredit, kita selalu ditanya pekerjaan. Hampir selalu bila ada pilihan pekerjaan "profesional" itulah yang saya pilih. Karena bagaimanapun juga saya lebih merasa bangga menggunakan profesional dari pada sekedar swasta. Pada pekerjaan swasta kurang menunjukan siapa diri kita, meskipun gaji kita sebagai profesional apoteker relatif kecil bila dibandingkan profesional yang lain.
Apakah dengan merasa sebagai apoteker, keapotekeran kita sudah besar? Mungkin jawabannya adalah nanti dulu. Keapotekeran kita akan besar bila kita sudah melakukan pekerjaan keapotekeran dengan lebih baik dan bertanggung jawab dengan melakukan pekerjaan apoteker yang nyata. Maksudnya kita harus benar-benar telah melakukan profesi dengan penuh dedikasi. Bisa saja kita selalu mengatakan bila kita adalah apoteker dan memperkenalkan pekerjaan kita sebagai profesional, tetapi bila kita masih menganggap apoteker adalah pelengkap dari pada keberadaan apotek suatu misal, tentu saja kita belumlah mempunyai harga diri sebagai apoteker.
Belum semua apoteker mempunyai harga diri sebagai apoteker tidaklah lepas dari kesalahan kurikulum pendidikan apoteker, yang mana pengajar program pendidikan apoteker masih belum sepenuhnya dilakukan oleh apoteker yang memiliki harga diri sebagai apoteker. Harusnya apoteker diajar oleh para apoteker yang telah memiliki harga dirisebagai apoteker. Sehingga dalam melakukan pekerjaan keapotekerannya tidak hanya menurut anggapan atau menurut empiris para pengajar, tetapi benar-benar menurut kenyataan lapangan.
Hal yang sering saya tanyakan kepada apoteker baru yang mau menjadi APA adalah " Apakah dosen pengajar kamu berpraktek profesi di apotek?" "terus kamu diajar apa?"
Pada saat saya membuat apotek yang bekerjasama dengan apoteker, saya tanya apoteker baru tersebut saat magang di apotek saya " apakah kamu diajar tentang hal-hal seperti ini?" Maksudnya adalah tehik-tehnik konseling yang menurut saya lebih sesuai dengan kebutuhan lapangan, cara menyikapi berbagai model pasien dan lain sebagainya, bagaimana mendesain pilihan obat yang akan kita siapkan untuk apotek baru dan lain-lain. Jawaban apoteker tersebut dapat anda kira-kira sendiri apa.
Kadang saya juga berpikir "Apakah benar yang diajarkan sekarang benar-benar berorientasi pasien?"
Kadang lucu juga kita, kita gebar-gemborkan paradigma baru yang mana pekerjaan kita yang dulu berorientasi obat sekarang berkembang atau berubah menjadi berorientasi ke pasien. Tetapi sudahkah hal ini kita pahami dengan benar? terus yang membuat standar pelayanan berorientasi ke pasien itu siapa? Bisa jadi saya merasa sudah berorientasi kepasien atau siapa saja bisa merasa, tetapi betulkah?
Coba kita renungkan, bila pengajar kita untuk menjadi apoteker adalah apoteker yang belum memiliki harga diri sebagai apoteker, bisakah kita menjadi apoteker yang berharga diri? Akhinya kita saling menyalahkan seperti pernyataan "dulu mana telur dan ayam". Seharusnya kita saling menyadari kesalahan kita dan duduk bersama untuk menyelesaikan masalah tersebut agar kita lebih berharga diri.
Apakah bila kita sudah menjadi apoteker yang berharga diri sebagai apoteker kita mesti dikenal orang? tentu saja tidak, kita mesti berpromosi diri dan memperkenalkan diri kita kepada masyarakat bila kita ada. Jadi kalau sebagian masyarakat tidak mengenal kita bukan berarti kita terus mengeluh "...duh gusti...".
Tak kenal maka tak sayang, begitulah mungkin ungkapannya. Ketidak kenalan sebagian anggota masyarakat kepada kita disebabkan antara lain :
1. Jumlah apotek masih belum proporsional dan masih berkembang didaerah perkotaan, sehingga belum semua masyarakat dapat mengakses apotek.
2. Tingkat pendidikan kesehatan masyarakat kita masih rendah, sehingga pemahaman masyarakat terhadap apotek umumnya sangat kurang. Sebagai contoh adalah didaerah saya waktu masih apotek baru satu punya saya. Di daerah saya ada praktek dokter bersama yang sebelahnya disediakan etalase obat yang juga menjual obat kemasyarakat umum, praktek dokter ini disebut juga apotek. Juga ada klinik yang juga menjual obat, klinik inipun juga dikatakan apotek. Mungkin sama juga dengan perawat di daerah saya yang sering kali dianggap dokter.
3. Pemerintah belum melibatkan kita pada banyak hal sehingga kita tidak kurang dikenal dan dihargai oleh masyarakat.
4. Apoteker masih ada yang belum memiliki ego profesi.
5. Masih banyak penjual obat tidak resmi
6. dan masih banyak lagi.
Agar apoteker bisa dikenali oleh semua lapisan masyarakat, seharusnya beberapa hal dibawah ini dipertimbangkan :
1. Pemerintah mengembangkan apotek sampai ke tingkat desa, yang mana apotek harus dikelola oleh apoteker selama jam buka apotek. Sehigga masyarakat lebi bisa mengakses kesehatan terkait kefarmasian dengan benar.
2. Tingkat pendidikan kesehatan terus ditingkatkan terutama yang berkaitan dengan kefarmasian. Bila pendidikan kesehatan masyarakat masih rendah tidak mungkin masyarakat akan dapat mengenali apoteker, apalagi mendefinisikan apotek dengan benar, paling-paling apotek hanya akan dianggap penjual obat dan apoteker adalah penjual obat. Dan akan celaka kita bila kita dianggap sebagai penjual obat yang banyak omong seperti dipasar-pasar tempo dulu.
3. Apoteker seharusnya juga dilibatkan pada banyak hal seperti pemberantasan penyakit dan bencana alam. Kemarin saat gunung kelut mau meletus saya menyiapkan semua apoteker yang mau berpartisipasi, dan empat orang apoteker yang ada diwilayah kelut agar siaga bila sewaktu-waktu benar benar meletus. Dan saya salut kepada teman-teman yang umumnya bersedia ikut berpartisipasi bila kelut benar-benar meletus, dengan kemungkinan kita bergabung dengan posko yang sudah ada atau membuat posko sendiri. Untunglah kelut tak jadi meletus. Dan saya banyak mendapat kesan dari rencana tersebut, bila ternyata kepedulian apoteker terhadap lingkungannya cukup besar, meskipun mereka semua adalah bekerja di apotek swasta atau apotek milik sendiri. Cuma kita belum dilibatkan saja.
4. Memperbaiki ego profesi, agar apoteker merasa setingkat dengan profesi yang lain. Bila ego profesi tak dibina, maka bila ada masalah kesehatan disekitar kita mereka akan berpikir biarlah profesi yang lain mngerjakan hal tersebut.
5. selanjutnya kita bahas saja di ISFI dan HISFARMA saja agar hasilnya lebih baik dan lebih sesuai dengan kenyataan kita dari berbagai daerah yang mana kasusnya mungkin akan sangat berbeda. Yang pasti bila kita ingin lebih dikenal masyarakat, kita harus mau bekerja lebih keras lagi.
Kesimpulan saya, seberapa apotekerkah kita? Kita tidak bisa menjadi apoteker yang sesungguhnya bila kita tidak duduk bersama merencanakan profesi apoteker yang lebih baik kedepan dan apoteker yang sesungguhnya akan terwujud bila kita sudah dapat bekerja sama membangun profesi kita. Membangun profesi dengan berpraktek profesi yang penuh dedikasi, dedikasi kepada masyarakat, bangsa dan negara.
Pertanyaan diatas bisa juga kita artikan sebagai, "Sudahkah kita menjadi apoteker?"
Ijazah apoteker sudah kita pegang, tetapi pada sebagian pemegang ijazah apoteker belum semua menyandang harga diri sebagai apoteker. Mengapa terjadi?
Pada saat setelah saya lulus apoteker saya selalu berusaha menyandang harga diri apoteker dengan bangga. Hal ini salah satunya saya terapkan pada saat mengisi aplikasi bank atau kartu kredit, kita selalu ditanya pekerjaan. Hampir selalu bila ada pilihan pekerjaan "profesional" itulah yang saya pilih. Karena bagaimanapun juga saya lebih merasa bangga menggunakan profesional dari pada sekedar swasta. Pada pekerjaan swasta kurang menunjukan siapa diri kita, meskipun gaji kita sebagai profesional apoteker relatif kecil bila dibandingkan profesional yang lain.
Apakah dengan merasa sebagai apoteker, keapotekeran kita sudah besar? Mungkin jawabannya adalah nanti dulu. Keapotekeran kita akan besar bila kita sudah melakukan pekerjaan keapotekeran dengan lebih baik dan bertanggung jawab dengan melakukan pekerjaan apoteker yang nyata. Maksudnya kita harus benar-benar telah melakukan profesi dengan penuh dedikasi. Bisa saja kita selalu mengatakan bila kita adalah apoteker dan memperkenalkan pekerjaan kita sebagai profesional, tetapi bila kita masih menganggap apoteker adalah pelengkap dari pada keberadaan apotek suatu misal, tentu saja kita belumlah mempunyai harga diri sebagai apoteker.
Belum semua apoteker mempunyai harga diri sebagai apoteker tidaklah lepas dari kesalahan kurikulum pendidikan apoteker, yang mana pengajar program pendidikan apoteker masih belum sepenuhnya dilakukan oleh apoteker yang memiliki harga diri sebagai apoteker. Harusnya apoteker diajar oleh para apoteker yang telah memiliki harga dirisebagai apoteker. Sehingga dalam melakukan pekerjaan keapotekerannya tidak hanya menurut anggapan atau menurut empiris para pengajar, tetapi benar-benar menurut kenyataan lapangan.
Hal yang sering saya tanyakan kepada apoteker baru yang mau menjadi APA adalah " Apakah dosen pengajar kamu berpraktek profesi di apotek?" "terus kamu diajar apa?"
Pada saat saya membuat apotek yang bekerjasama dengan apoteker, saya tanya apoteker baru tersebut saat magang di apotek saya " apakah kamu diajar tentang hal-hal seperti ini?" Maksudnya adalah tehik-tehnik konseling yang menurut saya lebih sesuai dengan kebutuhan lapangan, cara menyikapi berbagai model pasien dan lain sebagainya, bagaimana mendesain pilihan obat yang akan kita siapkan untuk apotek baru dan lain-lain. Jawaban apoteker tersebut dapat anda kira-kira sendiri apa.
Kadang saya juga berpikir "Apakah benar yang diajarkan sekarang benar-benar berorientasi pasien?"
Kadang lucu juga kita, kita gebar-gemborkan paradigma baru yang mana pekerjaan kita yang dulu berorientasi obat sekarang berkembang atau berubah menjadi berorientasi ke pasien. Tetapi sudahkah hal ini kita pahami dengan benar? terus yang membuat standar pelayanan berorientasi ke pasien itu siapa? Bisa jadi saya merasa sudah berorientasi kepasien atau siapa saja bisa merasa, tetapi betulkah?
Coba kita renungkan, bila pengajar kita untuk menjadi apoteker adalah apoteker yang belum memiliki harga diri sebagai apoteker, bisakah kita menjadi apoteker yang berharga diri? Akhinya kita saling menyalahkan seperti pernyataan "dulu mana telur dan ayam". Seharusnya kita saling menyadari kesalahan kita dan duduk bersama untuk menyelesaikan masalah tersebut agar kita lebih berharga diri.
Apakah bila kita sudah menjadi apoteker yang berharga diri sebagai apoteker kita mesti dikenal orang? tentu saja tidak, kita mesti berpromosi diri dan memperkenalkan diri kita kepada masyarakat bila kita ada. Jadi kalau sebagian masyarakat tidak mengenal kita bukan berarti kita terus mengeluh "...duh gusti...".
Tak kenal maka tak sayang, begitulah mungkin ungkapannya. Ketidak kenalan sebagian anggota masyarakat kepada kita disebabkan antara lain :
1. Jumlah apotek masih belum proporsional dan masih berkembang didaerah perkotaan, sehingga belum semua masyarakat dapat mengakses apotek.
2. Tingkat pendidikan kesehatan masyarakat kita masih rendah, sehingga pemahaman masyarakat terhadap apotek umumnya sangat kurang. Sebagai contoh adalah didaerah saya waktu masih apotek baru satu punya saya. Di daerah saya ada praktek dokter bersama yang sebelahnya disediakan etalase obat yang juga menjual obat kemasyarakat umum, praktek dokter ini disebut juga apotek. Juga ada klinik yang juga menjual obat, klinik inipun juga dikatakan apotek. Mungkin sama juga dengan perawat di daerah saya yang sering kali dianggap dokter.
3. Pemerintah belum melibatkan kita pada banyak hal sehingga kita tidak kurang dikenal dan dihargai oleh masyarakat.
4. Apoteker masih ada yang belum memiliki ego profesi.
5. Masih banyak penjual obat tidak resmi
6. dan masih banyak lagi.
Agar apoteker bisa dikenali oleh semua lapisan masyarakat, seharusnya beberapa hal dibawah ini dipertimbangkan :
1. Pemerintah mengembangkan apotek sampai ke tingkat desa, yang mana apotek harus dikelola oleh apoteker selama jam buka apotek. Sehigga masyarakat lebi bisa mengakses kesehatan terkait kefarmasian dengan benar.
2. Tingkat pendidikan kesehatan terus ditingkatkan terutama yang berkaitan dengan kefarmasian. Bila pendidikan kesehatan masyarakat masih rendah tidak mungkin masyarakat akan dapat mengenali apoteker, apalagi mendefinisikan apotek dengan benar, paling-paling apotek hanya akan dianggap penjual obat dan apoteker adalah penjual obat. Dan akan celaka kita bila kita dianggap sebagai penjual obat yang banyak omong seperti dipasar-pasar tempo dulu.
3. Apoteker seharusnya juga dilibatkan pada banyak hal seperti pemberantasan penyakit dan bencana alam. Kemarin saat gunung kelut mau meletus saya menyiapkan semua apoteker yang mau berpartisipasi, dan empat orang apoteker yang ada diwilayah kelut agar siaga bila sewaktu-waktu benar benar meletus. Dan saya salut kepada teman-teman yang umumnya bersedia ikut berpartisipasi bila kelut benar-benar meletus, dengan kemungkinan kita bergabung dengan posko yang sudah ada atau membuat posko sendiri. Untunglah kelut tak jadi meletus. Dan saya banyak mendapat kesan dari rencana tersebut, bila ternyata kepedulian apoteker terhadap lingkungannya cukup besar, meskipun mereka semua adalah bekerja di apotek swasta atau apotek milik sendiri. Cuma kita belum dilibatkan saja.
4. Memperbaiki ego profesi, agar apoteker merasa setingkat dengan profesi yang lain. Bila ego profesi tak dibina, maka bila ada masalah kesehatan disekitar kita mereka akan berpikir biarlah profesi yang lain mngerjakan hal tersebut.
5. selanjutnya kita bahas saja di ISFI dan HISFARMA saja agar hasilnya lebih baik dan lebih sesuai dengan kenyataan kita dari berbagai daerah yang mana kasusnya mungkin akan sangat berbeda. Yang pasti bila kita ingin lebih dikenal masyarakat, kita harus mau bekerja lebih keras lagi.
Kesimpulan saya, seberapa apotekerkah kita? Kita tidak bisa menjadi apoteker yang sesungguhnya bila kita tidak duduk bersama merencanakan profesi apoteker yang lebih baik kedepan dan apoteker yang sesungguhnya akan terwujud bila kita sudah dapat bekerja sama membangun profesi kita. Membangun profesi dengan berpraktek profesi yang penuh dedikasi, dedikasi kepada masyarakat, bangsa dan negara.
Senin, 15 September 2008
CONTOH KONSELING
CONTOH KONSELING
Konseling biasanya berlangsung sangat kondisional dan melibatkan beberapa tehnik konseling sekaligus seperti kasus dibawah ini.
Pasien datang
Apoteker : " Ada yang bisa kita bantu?" (attending)
Pasien : " mau beli obat flu merk A" (Obat tersebut mengandung PPA)
Apoteker : "Untuk siapa bu?" (pertanyaan terbuka)
Pasien : " Untuk saya sendiri, berapa harganya ya?"
Apoteker : " Punya penyakit hipertensi?" (pertanyaan tertutup)
Pasien : " Ada, kadang-kadang tensi saya agak tinggi"
Apoteker : " Sampai berapa bu?" (eksplorasi)
Pasien : " Kadang sampai 170"
Apoteker : " Bu, obat tersebut mengandung PPA yang seharusnya tidak diminum oleh penderita hipertensi" (pemberian informasi, memberikan nasehat)
Pasien : " Ah tidak, pokoknya saya cocoknya obat A tersebut, kalau tidak itu saya tidak mau"
Apoteker : " Ha3, saya sudah menduga dan saya memahami anda, ibu saya sendiri baru 6 bulan percaya kalau tidak boleh minum obat A, karena ibu saya juga menderita hipertensi" (empati)
sambil tersenyum " Mau beli berapa bu? tidak apa-apa tidak percaya, saya menghargai pilihan anda, yang penting saya sudah memberi informasi" (empati)
Pasien : " Beli 3 strip saja" (pasien agak terdiam sambil berpikir)
Apoteker : " Rp3600;- " ada lagi yang bisa dibantu?" (sambil tetap tersenyum)
Pasien : " Pak tidak jadi saja, tolong diberi yang aman buat penderita hipertensi saja" (sambil malu-malu)
Apoteker : " ha3, pilihan ibu tepat, membeli obat harus mempertimbangkan efek samping, sebaiknya ibu minum obat B saja karena tidak mengandung PPA" (menilai, menyimpulkan dan mengakhiri konseling)
Dari contoh konseling diatas dapat kita ambil banyak pelajaran. Dan contoh tersebut termasuk contoh konseling yang berhasil. Konseling umumnya berlansung sangat kondisional dan hasilnya sering kali juga tidak bisa kita nilai hanya dengan benar salah. Satu hal yang paling penting dalam konseling kefarmasian adalah mengamankan klien atau pasien dari ESO atau dari bahaya penggunaan sediaan farmasi lain, juga mengamankan dari bahaya penyakit yang diderita pasien atau klien. Oleh karena itu sebagian hasil konseling kefarmasian diapotek adalah rujukan kesarana kesehatan lain seperti praktek dokter atau rumah sakit.
Konseling tersebut juga kategori konseling efektif, karena berjalan sangat singkat, mungkin cuma 2 atau 3 menit saja. Konseling seperti ini dampaknya akan sangat besar bagi pasien dan lingkungannya sendiri, karena manusia adalah makhluk sosial, yang mana umumnya pasien akan mengabarkan hasil ini kepada siapa saja yang ia kenal.
Pada konseling seperti ini seringkali dibutuhkan waktu lebih dari sekedar 2 atau 3 menit, dan kadang kala juga membutuhkan 2 atau 3 kali pertemuan. Pada kasus konseling ini pesan utamanya adalah pasien tidak memahami efek samping obat dan kebutuhan pasien adalah obat yang manjur dan aman sesuai kondisi pasien.
Contoh yang lain akan saya usahakan lewat http://sites.google.com/site/hisfarma apresiasinya kami mohon kepada semua pengunjung blog ini.
Konseling biasanya berlangsung sangat kondisional dan melibatkan beberapa tehnik konseling sekaligus seperti kasus dibawah ini.
Pasien datang
Apoteker : " Ada yang bisa kita bantu?" (attending)
Pasien : " mau beli obat flu merk A" (Obat tersebut mengandung PPA)
Apoteker : "Untuk siapa bu?" (pertanyaan terbuka)
Pasien : " Untuk saya sendiri, berapa harganya ya?"
Apoteker : " Punya penyakit hipertensi?" (pertanyaan tertutup)
Pasien : " Ada, kadang-kadang tensi saya agak tinggi"
Apoteker : " Sampai berapa bu?" (eksplorasi)
Pasien : " Kadang sampai 170"
Apoteker : " Bu, obat tersebut mengandung PPA yang seharusnya tidak diminum oleh penderita hipertensi" (pemberian informasi, memberikan nasehat)
Pasien : " Ah tidak, pokoknya saya cocoknya obat A tersebut, kalau tidak itu saya tidak mau"
Apoteker : " Ha3, saya sudah menduga dan saya memahami anda, ibu saya sendiri baru 6 bulan percaya kalau tidak boleh minum obat A, karena ibu saya juga menderita hipertensi" (empati)
sambil tersenyum " Mau beli berapa bu? tidak apa-apa tidak percaya, saya menghargai pilihan anda, yang penting saya sudah memberi informasi" (empati)
Pasien : " Beli 3 strip saja" (pasien agak terdiam sambil berpikir)
Apoteker : " Rp3600;- " ada lagi yang bisa dibantu?" (sambil tetap tersenyum)
Pasien : " Pak tidak jadi saja, tolong diberi yang aman buat penderita hipertensi saja" (sambil malu-malu)
Apoteker : " ha3, pilihan ibu tepat, membeli obat harus mempertimbangkan efek samping, sebaiknya ibu minum obat B saja karena tidak mengandung PPA" (menilai, menyimpulkan dan mengakhiri konseling)
Dari contoh konseling diatas dapat kita ambil banyak pelajaran. Dan contoh tersebut termasuk contoh konseling yang berhasil. Konseling umumnya berlansung sangat kondisional dan hasilnya sering kali juga tidak bisa kita nilai hanya dengan benar salah. Satu hal yang paling penting dalam konseling kefarmasian adalah mengamankan klien atau pasien dari ESO atau dari bahaya penggunaan sediaan farmasi lain, juga mengamankan dari bahaya penyakit yang diderita pasien atau klien. Oleh karena itu sebagian hasil konseling kefarmasian diapotek adalah rujukan kesarana kesehatan lain seperti praktek dokter atau rumah sakit.
Konseling tersebut juga kategori konseling efektif, karena berjalan sangat singkat, mungkin cuma 2 atau 3 menit saja. Konseling seperti ini dampaknya akan sangat besar bagi pasien dan lingkungannya sendiri, karena manusia adalah makhluk sosial, yang mana umumnya pasien akan mengabarkan hasil ini kepada siapa saja yang ia kenal.
Pada konseling seperti ini seringkali dibutuhkan waktu lebih dari sekedar 2 atau 3 menit, dan kadang kala juga membutuhkan 2 atau 3 kali pertemuan. Pada kasus konseling ini pesan utamanya adalah pasien tidak memahami efek samping obat dan kebutuhan pasien adalah obat yang manjur dan aman sesuai kondisi pasien.
Contoh yang lain akan saya usahakan lewat http://sites.google.com/site/hisfarma apresiasinya kami mohon kepada semua pengunjung blog ini.
Rabu, 10 September 2008
KONSELING DAN KEPATUHAN PASIEN
KONSELING DAN KEPATUHAN PASIEN
Konseling Apoteker, adalah upaya apoteker agar pasien memahami permasalahan yang dialami, yang terkait kesehatan dan sediaan farmasi, sehingga pasien mampu mengambil keputusan terbaik sesuai kemampuannya. Sehingga bila dikaitkan dengan kepatuhan pasien dalam minum obat adalah bagaimana apoteker mampu memahami pasien yang terkait obat termasuk cara minum obat, jangka waktu dan lain sebagainya.
Semisal pada kasus TB, apoteker harus mampu menggali apa saja dari pasien agar terbuka tentang pemahaman penyakitnya, cara minum obat, lama minum obat dan lain sebagainya. Hal ini karena akan sangat erat dengan kepatuhan pasien minum obat. Disini konseling bukan sekedar memberikan PIO tetapi usaha bagaimana agar pasien paham akan permasalahannya sebagai awal dari pelayanan kefarmasian.
Bila pasien sudah memahami permasalahannya, baru apoteker memasukan semua informasi yang terkait pengobatan penyakit tersebut. Atau dengan kata lain konseling berjalan dulu sampai pasien mampu memahami permasalahannya baru pemberian PIO. Bila PIO jalan dulu sering kali pasien akan enggan dan selanjutnya pengobatan tidak berjalan optimal karena pasien umumnya juga tidak patuh karena tidak memahami permasalahannya. PIO sering kali juga dianggap sebagai beban yang lebih memberatkan pasien karena harus balajar dan sering kali dianggap tidak perlu dan pasien cukup minum obat dan bila keluhan hilang sering kali mereka berhenti minum obat.
Untuk menjadikan pasien memahami permasalahannya sering kali juga diperlukan beberapa kali pertemuan konseling atau bahkan terkadang kita sering kali juga harus memberikan konseling kepada keluarganya. Konseling kepada keluarga terdekatnya sering kali juga sangat efektif, karena merekalah yang setiap hari ketemu dan mereka bisa setiap hari mengingatkan agar pasien menjadi patuh.
Apakah konseling dapat meningkatkan kepatuhan pasien? Jawaban saya adalah kepatuhan merupakan salah satu harapan dari hasil konseling, bila pasien memahami apa permasalahannya, maka kepatuhan akan terbentuk dengan sendirinya.
Konseling Apoteker, adalah upaya apoteker agar pasien memahami permasalahan yang dialami, yang terkait kesehatan dan sediaan farmasi, sehingga pasien mampu mengambil keputusan terbaik sesuai kemampuannya. Sehingga bila dikaitkan dengan kepatuhan pasien dalam minum obat adalah bagaimana apoteker mampu memahami pasien yang terkait obat termasuk cara minum obat, jangka waktu dan lain sebagainya.
Semisal pada kasus TB, apoteker harus mampu menggali apa saja dari pasien agar terbuka tentang pemahaman penyakitnya, cara minum obat, lama minum obat dan lain sebagainya. Hal ini karena akan sangat erat dengan kepatuhan pasien minum obat. Disini konseling bukan sekedar memberikan PIO tetapi usaha bagaimana agar pasien paham akan permasalahannya sebagai awal dari pelayanan kefarmasian.
Bila pasien sudah memahami permasalahannya, baru apoteker memasukan semua informasi yang terkait pengobatan penyakit tersebut. Atau dengan kata lain konseling berjalan dulu sampai pasien mampu memahami permasalahannya baru pemberian PIO. Bila PIO jalan dulu sering kali pasien akan enggan dan selanjutnya pengobatan tidak berjalan optimal karena pasien umumnya juga tidak patuh karena tidak memahami permasalahannya. PIO sering kali juga dianggap sebagai beban yang lebih memberatkan pasien karena harus balajar dan sering kali dianggap tidak perlu dan pasien cukup minum obat dan bila keluhan hilang sering kali mereka berhenti minum obat.
Untuk menjadikan pasien memahami permasalahannya sering kali juga diperlukan beberapa kali pertemuan konseling atau bahkan terkadang kita sering kali juga harus memberikan konseling kepada keluarganya. Konseling kepada keluarga terdekatnya sering kali juga sangat efektif, karena merekalah yang setiap hari ketemu dan mereka bisa setiap hari mengingatkan agar pasien menjadi patuh.
Apakah konseling dapat meningkatkan kepatuhan pasien? Jawaban saya adalah kepatuhan merupakan salah satu harapan dari hasil konseling, bila pasien memahami apa permasalahannya, maka kepatuhan akan terbentuk dengan sendirinya.
Sabtu, 06 September 2008
KONSELING APOTEKER
KONSELING APOTEKER
Konseling Apoteker, adalah upaya apoteker agar pasien memahami permasalahan yang dialami, yang terkait kesehatan dan sediaan farmasi, sehingga pasien mampu mengambil keputusan terbaik sesuai kemampuannya.
Pada saat pasien datang ke apotek seringkali pasien kurang mengerti dan bahkan sebagian tidak memahami apa sebenarnya permasalahan dan bagaimana seharusnya permasalahan diselesaikan. Untuk itu diperlukan suatu konseling kefarmasian.
Dalam melakukan konseling di apotek, seorang apoteker harus mampu menguasai tehnik-tehnik konseling. Karena keberhasilan konseling salah satunya ditentukan oleh kemampuan apoteker dalam penguasaan tehnik-tehnik tersebut. Dan seringkali dalam konseling diperlukan beberapa tehnik sekaligus yang dikombinasi. selain itu keberhasilan konseling juga dipengaruhi oleh pengalaman apoteker dalam konseling.
Beberapa tehnik-tehnik konseling yang harus dikuasai apoteker antara lain :
- attending
- empati
- refleksi
- eksplorasi
- open question
- closed questions
- dll
Untuk lebih jauh bisa lihat di http://sites.google.com/site/hisfarma/
Konseling Apoteker, adalah upaya apoteker agar pasien memahami permasalahan yang dialami, yang terkait kesehatan dan sediaan farmasi, sehingga pasien mampu mengambil keputusan terbaik sesuai kemampuannya.
Pada saat pasien datang ke apotek seringkali pasien kurang mengerti dan bahkan sebagian tidak memahami apa sebenarnya permasalahan dan bagaimana seharusnya permasalahan diselesaikan. Untuk itu diperlukan suatu konseling kefarmasian.
Dalam melakukan konseling di apotek, seorang apoteker harus mampu menguasai tehnik-tehnik konseling. Karena keberhasilan konseling salah satunya ditentukan oleh kemampuan apoteker dalam penguasaan tehnik-tehnik tersebut. Dan seringkali dalam konseling diperlukan beberapa tehnik sekaligus yang dikombinasi. selain itu keberhasilan konseling juga dipengaruhi oleh pengalaman apoteker dalam konseling.
Beberapa tehnik-tehnik konseling yang harus dikuasai apoteker antara lain :
- attending
- empati
- refleksi
- eksplorasi
- open question
- closed questions
- dll
Untuk lebih jauh bisa lihat di http://sites.google.com/site/hisfarma/
Senin, 01 September 2008
MARHABAN YA RAMADHAN
SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA 1429 H
Mohon maaf segala kekhilafan & Semoga dibulan suci ini kita mendapatkan ridho Alloh SWT, Amien ...
Mohon maaf segala kekhilafan & Semoga dibulan suci ini kita mendapatkan ridho Alloh SWT, Amien ...
Langganan:
Postingan (Atom)