Rabu, 17 September 2008

SEBERAPA APTEKERKAH KITA

SEBERAPA APOTEKERKAH KITA ?


Pertanyaan diatas bisa juga kita artikan sebagai, "Sudahkah kita menjadi apoteker?"

Ijazah apoteker sudah kita pegang, tetapi pada sebagian pemegang ijazah apoteker belum semua menyandang harga diri sebagai apoteker. Mengapa terjadi?

Pada saat setelah saya lulus apoteker saya selalu berusaha menyandang harga diri apoteker dengan bangga. Hal ini salah satunya saya terapkan pada saat mengisi aplikasi bank atau kartu kredit, kita selalu ditanya pekerjaan. Hampir selalu bila ada pilihan pekerjaan "profesional" itulah yang saya pilih. Karena bagaimanapun juga saya lebih merasa bangga menggunakan profesional dari pada sekedar swasta. Pada pekerjaan swasta kurang menunjukan siapa diri kita, meskipun gaji kita sebagai profesional apoteker relatif kecil bila dibandingkan profesional yang lain.

Apakah dengan merasa sebagai apoteker, keapotekeran kita sudah besar? Mungkin jawabannya adalah nanti dulu. Keapotekeran kita akan besar bila kita sudah melakukan pekerjaan keapotekeran dengan lebih baik dan bertanggung jawab dengan melakukan pekerjaan apoteker yang nyata. Maksudnya kita harus benar-benar telah melakukan profesi dengan penuh dedikasi. Bisa saja kita selalu mengatakan bila kita adalah apoteker dan memperkenalkan pekerjaan kita sebagai profesional, tetapi bila kita masih menganggap apoteker adalah pelengkap dari pada keberadaan apotek suatu misal, tentu saja kita belumlah mempunyai harga diri sebagai apoteker.

Belum semua apoteker mempunyai harga diri sebagai apoteker tidaklah lepas dari kesalahan kurikulum pendidikan apoteker, yang mana pengajar program pendidikan apoteker masih belum sepenuhnya dilakukan oleh apoteker yang memiliki harga diri sebagai apoteker. Harusnya apoteker diajar oleh para apoteker yang telah memiliki harga dirisebagai apoteker. Sehingga dalam melakukan pekerjaan keapotekerannya tidak hanya menurut anggapan atau menurut empiris para pengajar, tetapi benar-benar menurut kenyataan lapangan.

Hal yang sering saya tanyakan kepada apoteker baru yang mau menjadi APA adalah " Apakah dosen pengajar kamu berpraktek profesi di apotek?" "terus kamu diajar apa?"

Pada saat saya membuat apotek yang bekerjasama dengan apoteker, saya tanya apoteker baru tersebut saat magang di apotek saya " apakah kamu diajar tentang hal-hal seperti ini?" Maksudnya adalah tehik-tehnik konseling yang menurut saya lebih sesuai dengan kebutuhan lapangan, cara menyikapi berbagai model pasien dan lain sebagainya, bagaimana mendesain pilihan obat yang akan kita siapkan untuk apotek baru dan lain-lain. Jawaban apoteker tersebut dapat anda kira-kira sendiri apa.

Kadang saya juga berpikir "Apakah benar yang diajarkan sekarang benar-benar berorientasi pasien?"

Kadang lucu juga kita, kita gebar-gemborkan paradigma baru yang mana pekerjaan kita yang dulu berorientasi obat sekarang berkembang atau berubah menjadi berorientasi ke pasien. Tetapi sudahkah hal ini kita pahami dengan benar? terus yang membuat standar pelayanan berorientasi ke pasien itu siapa? Bisa jadi saya merasa sudah berorientasi kepasien atau siapa saja bisa merasa, tetapi betulkah?

Coba kita renungkan, bila pengajar kita untuk menjadi apoteker adalah apoteker yang belum memiliki harga diri sebagai apoteker, bisakah kita menjadi apoteker yang berharga diri? Akhinya kita saling menyalahkan seperti pernyataan "dulu mana telur dan ayam". Seharusnya kita saling menyadari kesalahan kita dan duduk bersama untuk menyelesaikan masalah tersebut agar kita lebih berharga diri.

Apakah bila kita sudah menjadi apoteker yang berharga diri sebagai apoteker kita mesti dikenal orang? tentu saja tidak, kita mesti berpromosi diri dan memperkenalkan diri kita kepada masyarakat bila kita ada. Jadi kalau sebagian masyarakat tidak mengenal kita bukan berarti kita terus mengeluh "...duh gusti...".

Tak kenal maka tak sayang, begitulah mungkin ungkapannya. Ketidak kenalan sebagian anggota masyarakat kepada kita disebabkan antara lain :
1. Jumlah apotek masih belum proporsional dan masih berkembang didaerah perkotaan, sehingga belum semua masyarakat dapat mengakses apotek.
2. Tingkat pendidikan kesehatan masyarakat kita masih rendah, sehingga pemahaman masyarakat terhadap apotek umumnya sangat kurang. Sebagai contoh adalah didaerah saya waktu masih apotek baru satu punya saya. Di daerah saya ada praktek dokter bersama yang sebelahnya disediakan etalase obat yang juga menjual obat kemasyarakat umum, praktek dokter ini disebut juga apotek. Juga ada klinik yang juga menjual obat, klinik inipun juga dikatakan apotek. Mungkin sama juga dengan perawat di daerah saya yang sering kali dianggap dokter.
3. Pemerintah belum melibatkan kita pada banyak hal sehingga kita tidak kurang dikenal dan dihargai oleh masyarakat.
4. Apoteker masih ada yang belum memiliki ego profesi.
5. Masih banyak penjual obat tidak resmi
6. dan masih banyak lagi.

Agar apoteker bisa dikenali oleh semua lapisan masyarakat, seharusnya beberapa hal dibawah ini dipertimbangkan :
1. Pemerintah mengembangkan apotek sampai ke tingkat desa, yang mana apotek harus dikelola oleh apoteker selama jam buka apotek. Sehigga masyarakat lebi bisa mengakses kesehatan terkait kefarmasian dengan benar.
2. Tingkat pendidikan kesehatan terus ditingkatkan terutama yang berkaitan dengan kefarmasian. Bila pendidikan kesehatan masyarakat masih rendah tidak mungkin masyarakat akan dapat mengenali apoteker, apalagi mendefinisikan apotek dengan benar, paling-paling apotek hanya akan dianggap penjual obat dan apoteker adalah penjual obat. Dan akan celaka kita bila kita dianggap sebagai penjual obat yang banyak omong seperti dipasar-pasar tempo dulu.
3. Apoteker seharusnya juga dilibatkan pada banyak hal seperti pemberantasan penyakit dan bencana alam. Kemarin saat gunung kelut mau meletus saya menyiapkan semua apoteker yang mau berpartisipasi, dan empat orang apoteker yang ada diwilayah kelut agar siaga bila sewaktu-waktu benar benar meletus. Dan saya salut kepada teman-teman yang umumnya bersedia ikut berpartisipasi bila kelut benar-benar meletus, dengan kemungkinan kita bergabung dengan posko yang sudah ada atau membuat posko sendiri. Untunglah kelut tak jadi meletus. Dan saya banyak mendapat kesan dari rencana tersebut, bila ternyata kepedulian apoteker terhadap lingkungannya cukup besar, meskipun mereka semua adalah bekerja di apotek swasta atau apotek milik sendiri. Cuma kita belum dilibatkan saja.
4. Memperbaiki ego profesi, agar apoteker merasa setingkat dengan profesi yang lain. Bila ego profesi tak dibina, maka bila ada masalah kesehatan disekitar kita mereka akan berpikir biarlah profesi yang lain mngerjakan hal tersebut.
5. selanjutnya kita bahas saja di ISFI dan HISFARMA saja agar hasilnya lebih baik dan lebih sesuai dengan kenyataan kita dari berbagai daerah yang mana kasusnya mungkin akan sangat berbeda. Yang pasti bila kita ingin lebih dikenal masyarakat, kita harus mau bekerja lebih keras lagi.

Kesimpulan saya, seberapa apotekerkah kita? Kita tidak bisa menjadi apoteker yang sesungguhnya bila kita tidak duduk bersama merencanakan profesi apoteker yang lebih baik kedepan dan apoteker yang sesungguhnya akan terwujud bila kita sudah dapat bekerja sama membangun profesi kita. Membangun profesi dengan berpraktek profesi yang penuh dedikasi, dedikasi kepada masyarakat, bangsa dan negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar