Sabtu, 29 Agustus 2009

MENCERMATI RANCANGAN FINAL SKN 2009 (bagian III) (www.hisfarma.blogspot.com)

MENCERMATI RANCANGAN FINAL SKN 2009
(bagian III) (www.hisfarma.blogspot.com)

Banyak hal yang mungkin harus dicermati didalam Rancangan Final SKN beberapa hal tersebut juga terkadang menjadi pertanyaan didalam praktek profesi sehari-hari saya yang mana seakan-akan SKN seringkali saya anggap kurang tepat. Kekurang tepatan itu akan saya cermati dalam blog saya secara seri yang bersambung disela-sela saya menjalankan profesi saya.



Sediaan farmasi seri 3

4. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Makanan
Minuman
Pasar sediaan farmasi masih didominasi oleh produksi
domestik, bahan baku impor mencapai 85% dari
kebutuhan. Sementara itu di Indonesia terdapat 9.600
jenis tanaman berpotensi mempunyai efek
pengobatan, dan baru 300 jenis tanaman yang telah
digunakan sebagai bahan baku.
Pemerintah telah berusaha untuk menurunkan harga
obat, namun masih banyak kendala yang dihadapi.
Upaya perlindungan masyarakat terhadap
penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan
makanan minuman telah dilakukan secara
komprehensif.
Penggunaan obat rasional belum dilaksanakan di
seluruh fasilitas pelayanan kesehatan, masih banyak
pengobatan yang dilakukan tidak sesuai dengan
formularium.
Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) telah disusun
sejak tahun 1980 dan direvisi secara berkala sampai
tahun 2008. DOEN digunakan sebagai dasar
penyediaan obat di pelayanan kesehatan publik.
Lebih dari 90% obat yang diresepkan di Puskesmas
merupakan obat esensial generik. Namun tidak diikuti
oleh sarana pelayanan kesehatan lainnya, seperti: di
rumah sakit pemerintah kurang dari 76%, rumah sakit
swasta 49%, dan apotek kurang dari 47%. Hal ini
menunjukkan bahwa konsep obat esensial generik
belum sepenuhnya dipahami dan diterapkan.
10


Bukannya obat esensial generik belum sepenuhnya dipahami dan diterapkan, tetapi karena memang kebijakan pemerintah tentang obat atau sediaan farmasi belum mendukung praktek profesi kefarmasian. Formularium dan DOEN seharusya memang menjadi dasar dalam pelayanan kuratif kesehatan. Tetapi kebijakan yang menurut saya kurang tepat yang menyebabkan formularium sering kali kurang digunakan sebagai acuan dalam pelayanan kesehatan kuratif.

Pelayanan kesehatan yang bersifat kuratif seringkali masih menjadi primadona didalam layanan kesehatan pada sebagian sarana kesehatan, karena mampu menghasilkan uang yang lebih. Sehingga banyak kebijakan yang sering kali hanya lebih berpihak pada layanan kuratif dan layanan prekuentif sering kali justru tidak tampak pada sebagian dari layanan kesehatan oleh sarana kesehatan. Seharusnya layanan kesehatan lebih bersinergis lagi agar tujuan dari SKN lebih maksimal.

Seperti pernyataan obat tradisional, 300 tanaman telah menjadi bahan baku. Kalau tidak semua sarana kesehatan primer menggunakan tanaman obat pada layanan kesehatan baik pada kuratif dan prekuentif apa gunanya pernyataan tersebut? Dan apa gunanya bila sarana kesehatan primer seperti apotek yang mengunakan obat tradisional sebagai layanan kesehatan baik pada kuratif maupun prekuentif tidak diakui sebagai sarana kesehatan primer? Kebijakan yang kurang tepat seperti ini yang menyebabkan penggunaan obat tradisional tidak berkembang dengan baik.

Mungkin saat ini bisa dikatakan secara umum hanya profesi apoteker satu satunya profesi kesehatan yang bisa diangap paling kompeten didalam layanan kesehatan yang menggunakan tanamam obat, sedangan dokter dan tenaga kesehatan lain sangat minim didalam kurikulumnya. Tetapi kenyataannya apoteker didalam menjalankan pelayanannya belum bisa dikatakan primer didalam SKN karena orientasi pembangunan kesehatan kita masih berdiri pada satu pilar ilmu kedokteran saja dan dokter dianggap satu satunya tenaga kesehatan yang paling superior, sehingga sebagai dampaknya ilmu kesehatan lain kurang atau tidak berkembang. Seharusnya bisa kita cermati bila pada awalnya pemisahan ilmu kefarmasian dan kedokteran adalah untuk mengoptimalkan layanan kesehatan, dan ilmu kefarmasian bisa dikatakan adalah spesialisasi dari ilmu kedokteran.

Oleh karena itu adalah sangat wajar bila sebagian apoteker merasa bisa mengobati pasien dan sebagian dokter merasa bisa meracik obat, karena dasar ilmu yang dikuasai sama dan yang membedakan dokter lebih mengarah pada ilmu penyakit dan apoteker lebih mengarah pada ilmu obat (formuasi). Sebagian dari para apoteker juga merasa bahwa dirinya juga bisa dikatakan sebagai dokter yang mengambil spesialis ilmu obat sehingga merasa juga mampu memberikan pengobatan.

Kenyataannya memang apoteker seringkali melakukan pengobatan di apotek dan umumnya hanya menggunakan obat-obat sederhana (obat bebas sampai obat wajib apotek, juga obat tradisional) dan karena apoteker memang diberi kewenangan untuk itu. Dan sudah sepatasnya bila apoteker adalah satu satunya tenaga kesehatan yang paling pantas mengawal swamedikasi. Mengingat swamedikasi melibatkan lebih dari 40% anggota masyarakat. Dan tidak mungkin kita akan membiarkan masyarakat melakukan swamedikasi dengan cara sembarangan sampai terjadi kecelakaan akibat swamedikasi. Oleh karena itu peran apoteker dalam edukasi sangat-sangat diperlukan baik pada swamedikasi ataupun pada saat pengambilan obat atas resep.

Disinilah peran apoteker didalam SKN, adalah berperan pada “Upaya perlindungan masyarakat terhadap penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan minuman telah dilakukan secara komprehensif” seperti yang dinyatakan didalam SKN. Seharusnya ungkapan melindungi ini diartikan sebagai praktek profesi kefarmasian yang berbasiskan kompetensi. Megingat jumlah apoteker yang telah melampaui angka 27.000, saya rasa kedepan sudah saatnya bila pemerintah mulai memfasilitasi berdirinya apotek sampai pada tinggkat desa. Agar usaha pemerintah dalam melindungi masyarakat terhadap pengunaan sediaan farmasi lebih dapat dimaksimalkan.


5. Manajemen dan Informasi Kesehatan
Perencanaan antara Pusat dan Daerah belum sinkron
dan begitu juga dengan perencanaan jangka
panjang/menengah belum menjadi acuan dalam
menyusun perencanaan jangka pendek. Demikian
juga dengan kebijakan yang belum banyak disusun
berbasis bukti. Banyak kebijakan yang menimbulkan
kesenjangan dan tidak sinergi baik di Pusat dan atau
Daerah.
Sistem informasi kesehatan setelah desentralisasi
menjadi lemah. Data dan informasi kesehatan untuk
perencanaan tidak tersedia tepat waktu. Sistem
Informasi Kesehatan Nasional (Siknas) yang berbasis
fasilitas sudah mencapai tingkat kabupaten/kota
namun belum dimanfaatkan. Hasil penelitian
kesehatan, seperti: Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas), belum banyak dimanfaatkan sebagai
dasar perumusan kebijakan dan perencanaan
program. Surveilans belum dilaksanakan secara
menyeluruh.
Hukum kesehatan belum tertata secara sistematis dan
belum mendukung pembangunan kesehatan secara
utuh, terutama dalam menghadapi desentralisasi dan
globalisasi. Regulasi bidang kesehatan pada saat ini
belum cukup, baik jumlah, jenis, maupun
efektifitasnya.
Pemerintah belum sepenuhnya dapat
menyelenggarakan pembangunan kesehatan yang
efektif, efisien, dan bermutu sesuai dengan prinsipprinsip
kepemerintahan yang baik (Good Governance).
11

Bila kita kutip pernyataan “Pemerintah belum sepenuhnya dapat menyelenggarakan pembangunan kesehatan yang efektif, efisien, dan bermutu sesuai dengan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik (Good Governance)” dikarenakan kebijakan pemerintah yang masih terpotong-potong dan kurang bersinergis. Dan sering kali justru saling menghambat. Juga dikarenakan dalam pembangunan kesehatan masih bertumpu pada satu pilar ilmu kedokteran saja.

Bila kita mencermati uraian “Manajemen dan Informasi Kesehatan”, tidak pernah apotek dilibatkan didalam program informasi kesehatan meskipun itu dalam informasi yan terkait obat dan sediaan farmasi lain sekalipun. Padahal bisa dikatakan bila setiap apotek bisa menjadi pusat informasi obat yang lebih baik dari pada sarana kesehatan lain. Karena memang apotek seharusna dikawal oleh apoteker yang mempunyai kompetensi untuk itu. Tetapi sangat kelihatan bila praktek profesi kesehatan bidang kefarasian seperti informasi obat belum menjadi target didalam SKN. Apakah menunggu sampai masyarakat celaka akibat penggunaan obat? Saya rasa janganlah kita menunggu sampai terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Dan sudah saatnya bila peran dari tenaga kesehatan selain dokter lebih diberi peran dan “otonomi profesi” yang lebih baik agar jalannya pembangunan kesehatan lebih optimal.

Banyak kasus kecelakaan akibat kesalahan penggunaan obat oleh masyarakat, mulai penggunaan obat bebas sampai obat keras. Disinilah seharusnya peran apoteker didalam meningkatkan pendidikan kesehatan dilibatkan. Peran pendidikan kesehatan adalah tangung jawab dari semua profesi kesehatan, oleh karena itu peran mulia ini seharusnya diemban dengan penuh dedikasi. Pendidikan kesehatan tidak selalu identik dengan informasi, tetapi lebih jauh dari itu. Peran pendidikan kesehatan bisa saja untuk kuratif dan prekuentif. Salah satu penyebab kecelakaan penggunaan obat dan sediaan farmasi lain salah satunya akibat rendahnya tingkat pendidikan kesehatan masyarakat.

Pada masyarakat, semakin rendah tingkat pendidikannya, maka kecenderungan kecelakaan akibat obat atau penyakit atau apa saja terkait kesehatan akan semakin besar yang ujung-ujungnya justru akan meningkatkan biaya kuratif. Disinilah seharusnya peran tenaga kesehatan dalam meningkatkatkan derajat kesehatan semakin diperhatikan.

Dari uraian saya diatas seharusnya mualilah peran setiap tenaga kesehatan lebih disinergiskan dan janganlah menjadikan salah satu atau salah dua tenaga kesehatan dijadikan superior. Seperti pada ungkapan “tidak bisa seorang pembalap pada formula I bisa menjadi juara bila tidak didukung oleh mesin yang handal, mekanik yang handal, tim yang handal, ban yang handal dan lain sebagainya”. Janganlah kita merasa yang paling superior, padahal tanpa orang lain kita tidak ada apa-apanya. Oleh karena itu setiap tenaga kesehatan harus berlaku profesional sesuai kompetensinya masing-masing dan janganlah diintervensi oleh kepentingan-kepentingan ekonomi semata. Denga demikian biaya kesehatan bisa ditekan karena kesadaran akan profesionalisme dari tenaga kesehatan yang semakin baik dan kesadaran masyarakat utuk meningkatkan derajat kesehatan juga semakin baik. Harga obat bukan satu-satunya mekanisme didalam menurunkan biaya pengobatan, tetapi profesionalisme dari masing-masing tenaga kesehatan inilah yang merupakan faktor yang paling dominan didalam menurunkan biaya pengobatan dan biaya kesehatan secara umum.

Bagaimanapun juga sediaan farmasi adalah bagian dari sistem kesehatan yang berperan sebagai alat dari suatu profesi dalam menjalakan praktek profesi kefarmasian, sehingga keberadaan sediaan farmasi sudah seharusnya menjadi perhatian khusus yang kebijaksanaannya disusun berdasarkan bukti profesi kefarmasian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar