Selasa, 01 September 2009

MENCERMATI RANCANGAN FINAL SKN 2009 (bagian IV, tamat) (www.hisfarma.blogspot.com)

MENCERMATI RANCANGAN FINAL SKN 2009
(bagian IV, tamat) (www.hisfarma.blogspot.com)

Banyak hal yang mungkin harus dicermati didalam Rancangan Final SKN beberapa hal tersebut juga terkadang menjadi pertanyaan didalam praktek profesi sehari-hari saya yang mana seakan-akan SKN seringkali saya anggap kurang tepat. Kekurang tepatan itu akan saya cermati dalam blog saya secara seri yang bersambung disela-sela saya menjalankan profesi saya. Pada seri terakhir ini hanya saya bahas mengenai apotek sebagai sarana kesehatan penunjang.

Sarana penujang seri IV

Pelayanan kesehatan perorangan primer akan didukung oleh fasilitas kesehatan penunjang,
antara lain: Apotik, Optik, laboratorium dan lain sebagainya.


Masuknya apotek sebagai sarana kesehatan penunjang didalam SKN menunjukan kekurang pahaman dari pemerintah dan masyarakat, mungkin juga dari profesi apoteker sendiri terhadap peran apotek secara utuh sehingga apotek tidak diikut sertakan secara aktif didalam pembangunan kesehatan secara utuh pula. Atau dengan kata lain apotek masih ditempatkan sebagai tempat penyaluran obat, padahal peran apotek saat ini adalah juga sebagai tempat informasi mengenai kesehatan yang tidak hanya mengenai sediaan farmasi saja, tetapi juga penyakit dalam artian luas yang bisa diakses siapa saja. Dan artian lebih luasnya apotek sebagai sarana kesehatan juga bisa dijadikan tempat akses informasi kesehatan, utamanya akses informasi terkait obat dan sediaan farmasi lain yang mana peran apotek bisa diakses siapa saja termasuk tenaga kesehatan diluar tenaga kefarmasian, dan peran apoteker diapotek bisa sampai memberikan edukasi, yang mana edukasi diharapkan bisa sampai merubah perilaku salah dalam penggunaan obat dan sediaan farmasi lain oleh masyarakat.

Berbeda dengan laboratorium dan optik, pada keduanya bisa dikatakan sebagai sarana rujukan, pada apotek perannya lebih luas, bahkan pada beberapa kasus swamedikasi justru apotek yang merujuk pasien kepada dokter. Bukannya apoteker tidak menguasai pengobatan pada beberapa kasus sederhana, tetapi perlunya penegasan diagnosa demi kepentingan pasien itu sendiri. Lebih dari 40% masyarakat mengusahakan obat sendiri atau swamedikasi, oleh karena itu sudah sewajarnya bila apoteker juga dikatakan sebagai pengobat untuk kasus-kasus penyakit sederhana dan harus dirujuk kesarana yang lebih tinggi bila ternyata kasus tersebut memang perlu rujukan dengan penanganan dokter atau tenaga kesehatan lain.

Pada saat pasien datang dengan keluhan sakit mata karena debu suatu misal, pada umumnya pasien akan meminta obat seperti pada iklan di berbagai media masa atau pasien menyatakan keluahan kepada apoteker. Secara awam masyarakat akan menyerahkan keptusan kepada apoteker, tetapi bila mata merah akibat debu tersebut tidak kunjung hilang tentu saja apoteker harus menyertakan informasi agar pasien mengunjungi dokter spesialis mata. Karena bisa jadi kasusnya tidak hanya sesederhana yang diduga oleh pasien.

Demikian juga denga beberapa kasus yang lain. Apoteker tentu saja akan menjadi pengobat seperti dokter, tetapi dengan kewenangan hanya untuk kasus ringan yang secara umum hanya membutuhkan obat bebas sampai obat wajib apotek. Pada kasus kencing batu suatu misal, apoteker bisa saja menjadi pengobat dengan memberikan sediaan obat tradisioal yang diperuntukan untuk penyakit tersebut. Pada kasus ini umumnya saya tidak pernah memberikan obat nyeri apapun juga, dan bila nyeri tidak hilang atau batu tidak keluar saya sarankan untuk sesegera mungkin mengunjungi dokter terdekat.

Dari beberapa uraian tersebut kelihatan bila peran apoteker di apotek tidak sesederhana sebagai penyalur obat belaka, tetapi juga sebagai tempat edukasi dan informasi obat. Sebagai tempat informasi obat apoteker tidak hanya memberikan informasi kepada masyarakat awam tetapi juga kepada tenaga kesehatan lain termasuk dokter. Peran ini sering kali saya jalankan. Informasi itu bisa terkait apa saja tekait obat dan sedian farmasi lain.

Alangkah baiknya bila apotek juga dilibatkan dalam upaya kesehatan yang lebih aktif terutama prekuentif dari berbagai penyakit menular seperti malaria atau TBC. Hal ini karena apotek lebih mudah diakses oleh masyarakat karena secara umum mempunyai jam praktek yang lebih panjang dan keberadaan apoteker yang berpraktek profesi lebih lama dan juga yang lebih penting adalah saat ini untuk mengakses informasi diapotek dilakukan dengan Cuma-Cuma.

Bila apotek tetap dimasukan kepada sarana penunjang saya mengawatirkan apotek hanya akan lebih berorientasi bisnis semata, padahal dari sisi kemanusia dari peran apoteker tidak hanya sebagai penyalur perbekalan farmasi saja tetapi juga KIE dan edukasi.

Pada contoh yang lain, pada kasus penyakit ispa non spesifik, masyarakat umumnya akan meinta obat seperti yang ada diiklan (masyarakat menjadi korban iklan). Padahal obat tersebut sering kali tidak sesuai dengan kondisi pasien, semisal pasien sedang minum obat yang lain, adanya penyakit yang lain atau apa saja. Disinilah peran apoteker sangat diperukan untuk mengamankan masyarakat dari bahaya penggunaan obat dan sediaan farmasi. Pada beberapa contoh diatas bukannya apotek hanya sebagai tempat rujukan, tetapi peran dan fungsi apoteker adalah sangat luas dan tentu saja akan lebih berkembang lagi bila pemerintah mau memanfaatkan apotek lebih lagi dalam pembangunan kesehatan.

Apotek seharusnya juga mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah meskipun pengadaannya kebanyakan diusahakan oleh pihak swasta. Dan apotek sudah seharusnya juga mematuhi aturan yang juga ditetapkan oleh pemerintah, yang selanjutnya mau atau tidak mau apotek tidak boleh hanya berorientasi sebagai tempat bisnis semata. Fungsi dan peran apoteker dan apotek seharusnya lebih dioptimalkan lagi demi kepentingan masyarakat luas. Dengan lebih melibatkan apotek pada banyak hal dalam usaha-usaha kesehatan. Sering juga apoteker diapotek memberikan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat disekitar apotek dengan berbagai macam penyuluhan kesehatan. Peran yang sudah berjalan ini seharusnya lebih dioptimalkan lagi dan diorganisasi serta lebih distandarisasi oleh pemerintah dan lebih diusahakan agar jalannya peran apoteker dan apotek tidak “semrawut”.

Sebagai penutup dari semua ulasan dari pencermatan rancangan final SKN adalah sudah seharusnya bila pemerintah lebih mengintegrasikan pembangunan kesehatan dengan melibatkan semua tenaga kesehatan secara adil dan profesional dan tidak perlu lagi mengkotak-kotakkan dengan menganggap salah satu tenaga kesehatan sebagai tenaga kesehatan yang paling superior. Sebagai masyarakat modern yang lebih modern dan masusiawi, sudah saatnya bila kita mulai untuk lebih menghargai peran dari masing-masing tenaga kesehatan sesuai dengan kompetensinya. Sehingga harapan pembangunan kesehatan manusia seutuhnya lebih mudah tercapai dan ilmu kesehatan dari berbagai profesi dapat berkembang secara maksimal.

Penempatan apotek sebagai sarana kesehatan penunjang bukannya kesalahan dari pemerintah atau masyarakat, tetapi kesalahan kolektif dari para apoteker sendiri yang tidak mampu mengapresiasikan profesinya. Sehingga banyak pihak yang kurang bisa memahami pentingnya keberadaan apotek didalam SKN. Demi keberadaan masyarakat yang lebih dari 40% yang melakukan pengobatan sendiri, seharusnya para apoteker lebih bisa memulai untuk dapat mengapresiasikan profesinya didalam pembangunan kesehatan manusia seutuhnya. Dan pemerintah seharusnya lebih memfasilitasi apotek sebagai sarana kesehatan primer meskipun keberadaannya sebagian besar diadakan oleh swasta. PT farmasi seharusnya juga lebih mengembangkan profesi yang berbasis kompetensi sebagai produknya demi keberadaan PT farmasi itu sendiri.

Dan sebagai akhir kata, keberadaan suatu profesi akan lebih berkembang bila didalam menjalankan profesi dilakukan dengan penuh dedikasi kepada masyarakat sebagai apresiasi dari profesi itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar