Jumat, 02 Oktober 2009

BISNIS APOTEK SETELAH KELUARNYA PP NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN

BISNIS APOTEK SETELAH KELUARNYA PP NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN


Keluarnya PP no 51 yang mengatur tentang pekerjaan farmasi sedikit banyak akan mempengaruhi cara kelola dari sebagian apotek. Meskipun pada beberapa apotek mungkin hampir tidak terpengaruh sama sekali. Apotek yang hampir tidak terpengaruh adalah apotek yang selama ini sudah menerapkan TATAP.

Secara umum cara pengelolaan apotek tidak ada perubahan, cuman yang berubah adalah keberadaan apoteker pada jam buka apotek yang lebih dituntut dengan adanya PP ini. Bila saat ini apotek sudah menggaji apoteker satu sip, dengan adanya PP ini maka apotek harus menyediakan setidaknya apoteker dua sip. Atau dengan kata lain setidaknya apotek menyiapkan 2 orang apoteker.

Dengan demikian, secara manajemen selisih biaya opresional antara sebelum ada PP dan sesudah ada PP hanya beberapa ratus ribu saja. Bila dulu menggaji AA dua orang yang masing masing sebesar UMR, sekarang bisa dikurangi satu digantikan oleh apoteker pendamping. Toh gaji apoteker pendamping selama ini tidak jauh dari UMR. Secara manajemen pengelolaan apotek tidak jauh berbeda, sehingga tidak ada alasan bagi pemilik apotek untuk tidak mematuhi PP ini.

Saat ini banyak apotek yang kesulitan menari AA, karena sangat pesatnya pertumbuhan apotek, yang salah satunya disebabkab sangat pesatnya produksi apoteker sehingga banyak dibuka apotek baru. Dengan adanya penggantian sebagian AA dengan apoteker pendamping pada sebagian apotek, maka distribusi AA menjadi lebih merata. Selama ini ada apotek yang hampir semua karyawannya AA atau mungkin malah semuanya AA, tetapi pada sebagian apotek justru tidak punya AA dan apotekernya harus bekerja penuh selama jam buka apotek.

Dengan demikian, secara umum mungkin tidak terlalu ada masalah pada pengelolaan apotek dengan adanya PP ini, tetapi pada beberapa apotek ada apoteker yang merangkap kerja diindustri yang apotekernya memang tidak pernah hadir di apotek, pada apotek seperti ini mungkin akan ada perubahan pola kelola dengan menggantikan apoteker dengan apoteker baru yang siap bekerja.

5 komentar:

  1. Saya sepakat dengan uraian diatas. Pada inti amat sangat banyak peluang yang terbuka. Mulai dari PBF, Puskesmas, RS dan Apotek yang mana pengadaan obat benar-benar ditangan Apoteker tidak perlu menyediakan merk tertentu kalo kita udah punya yang sama kandungannya. Tapi kemudian jadi ada guyonan... mending jadi Apoteker Pendamping bisa 3 tempat..... kapan APA-nya boleh.... ( kemaruk hehehehe.. )

    BalasHapus
  2. Tergantung bagaimana kita memandang klausul Apoteker yg hanya boleh mjd APA di 1 (satu) tempat, tetapi sbg Apoteker Pendamping, maksimal 3 (tiga) tempat. Tidak adilkah ? Bagaimanakah dapat menjadikannya bisa adil ? Jangan2 nanti tidak ada satu pun Apoteker yang mau jadi APA karena lebih memilih jadi Apoteker Pendamping ?

    Kalau kita memandang dari perspektif "Pelacuran Profesi" ini untuk dijual untuk dan atasnama Gajih, kita akan menjajakan diri untuk dpt sebanyak mungkin uang dari "Pemodal Hidung Belang" (maaf, agak kasar) dan kita akan puas atas materi yang kita dapat. Kita katakan bahwa itu suatu kesuksesan. Tetapi....
    PP 51/2009 tidak berpandangan demikian; :
    1. PP menghendaki agar Profesi ini "melakukan" Praktek Apoteker di Apotek. Bukan sekadar menjadi Penanggung Jawab Operasional. Dengan tangan sendiri Obat diserahkan kepada pasien disertai konseling atasnya sesuai SOP yang disusunnya. Bukan, Apotekernya kemana, sementara Apotek terus beroperasi....
    2. Konsekuensinya, Apoteker harus menata ulang Ruang Apotek supaya Obat Keras/Resep dapat dijamin berada dalam penguasaannya. Harus dikondisikan supaya jika tidak ada Apoteker, maka Pelayanan Resep/Obat Keras praktis tidak dapat berlangsung. Disamping itu, ia harus pula jika perlu memasang Papan Nama "PRAKTEK APOTEKER" hari dan jam pelayanannya.
    3. Apoteker berhak atas Imbalan Profesi dari Pasien saat Skrining Resep/Konseling/Penyerahan Obat; sepeti dokter yang melakukan diagnosis/pemeriksaan penyakit. Apakah dengan demikian berakibat akan menaikkan harga obat ? Tidak. sama sekali tidak berhubungan dengan aspek material fisik obat. Tidak perlu pula meminta persetujuan Pemodal karena ini murni soal Profesi. Tak seorang "Luar" pun bisa mengaturnya. Pemodal keberatan ? Maka, Apoteker tidak perlu menjadi Pengelolanya, dan Apotek tidak akan bisa pernah terwujud.
    4. Apoteker pendamping berada di sela-sela waktu jeda APA, atau bersama-sama mendampingi APA. Gajih/pendapatan bisa diatur antar Apoteker itu sendiri dengan "sedikit melibatkan" Pemodal. Tentu dengan memperhatikan kode etik. Baik APA maupun Pendamping semestinya memiliki jadwal jaga masing-masing dimana agar Apotek tidak mengalami kekosongan. APA memiliki hak menentukan, lebih tinggi dan lebih banyak daripada Pendamping.
    5. Baik APA maupun Pendamping harus memiliki "tapak-tapak melakukan pekerjaan profesionalnya" yang akan ditentukan oleh Organisasi Profesi. Serta sebagai alat ukur atas Kompetensinya agar 5 tahun yang akan datang dapat Lulus Ujian Kompetensi guna perpanjangan STRA.

    Semua kode dan aturan pelaksanaan serta pengukuran kompetensi Apoteker harus dibuat dan disusun oleh Organisasi Profesi sesuai Standar Kompetensi dimana Apoteker berpraktek; karena pada dasarnya yang melakukan pelayanan kefarmasian kepada publik adalah Organisasi Profesi itu sendiri....
    Individu-individu Apoteker pada dasarnya adalah Cermin dari Organisasi Profesi. Ingat ! kita ber-IKATAN; bukan ber-KUMPULAN; bukan pula ber-PERSATUAN.

    BalasHapus
  3. Kok pada berpikir ikut PSA sih...? ayo to exist di bidang kita sendiri,,, masak masih berpikir digaji... gaji diri sendiri dunk.. hanya kita yang boleh bikin apotek... bukan yang lain... jangan ada istilah PSA non apoteker... kitalah PSA di apotek sendiri... jangan main2 dengan PSA, kita mau menguasai apotek yang milik PSA, mau menerapkan sesuai kemauan kita yang notabene PP 51, tapi inget itu uang orang lain.. jadi PSA kita jadikan investor, apotek jadi milik kita... kita profit share ma investor. Bikin good deal dengan investor... naikkan harga diri kita. katakan tidak untuk bekerja jadi APA apotek milik orang lain. Kita bisa...maju apoteker indonesia...

    BalasHapus
  4. waduh, di NTT mah, puskesmas2 nya ada yang ngak ada AA, apalagi Apoteker. Tapi kl apotek swasta harus ada, minimal AA.eh BPOM nya malah, ngak masalah. Ada yang bisa kasi komentar ngak mengenai ini. thks.

    BalasHapus
  5. kalau yg q temui q pngn standby tp para psa inginnya tidak standby karena masalah gaji jg,,

    BalasHapus