MANAJEMEN BERBASIS PROFESI
Bisnis apotek adalah bisnis yang sangat dipengaruhi oleh adanya peraturan peraturan perundangan yang mengikat baik secara angsung atau tidak. Seperti dengan keluarnya PP51, mau tidak mau para pengusaha dibidang perapotekan harus berbenah menyesuaikan dengan peraturan yang baru. Meskipun ada masa peralihan, tetapi masa itu bila tidak dipersiapkan mulai sekarang bisa jadi pada saat penerapanya akan terlambat. Lebih baik sedia payung sebelum hujan, maksudnya mengantisipasi semuanya.
Sebelum keluarnya PP51, saya sudah sering untuk mengajak semua yang terlibat didalam bisnis perapotekan agar selalu mengikuti perkembangan jaman dan mengatisipasi semua perubahan. Karena setiap perubahan bisa jadi akan mempengaruhi bisnis secara nyata. Secara jujur saya tidak menyangka akan keluarnya PP51, tetapi dalam naluri bisnis saya, PP51 sudah saya antisipasi dengan menguji coba TATAP sebagai bagian manajemen berbasis profesi jauh hari sebelum PP51 dipikirkan. Banyak pilihan didalam mengelola apotek, tetapi pada beberapa hal menejemen apotek yang berbasis profesi lebih unggul.
Keunggulan pertama adalah SDM, dengan TATAP, maka pelayanan menjadi lebih rasional dan lebih dapat diterima masyarakat, tetapi kegagalan tetap ada karena beberapa faktor. Tetapi secara umum untuk saat ini manajemen berbasis profesi bisa dikatakan paling berhasil pada apotek milik apoteker. Meskipun modal yang dimiliki relatif kecil, tetapi eksistensinya lumayan bagus dan beberapa diantaranya bisa dikatakan sangat berhasil.
Tetapi ada sisi kelemahan disini, yang mana biaya operasional, mau atau tidak mau adalah lebih besar. Meskipun gaji pada beberapa sejawat dinyatakan tabu, tetapi kenyataannya apoteker masih memburu gaji, bukan jasa profesi. Inilah yang menyebabkab biaya operasional menjadi lebih besar. Secara umum yang saya tahu, gaji apoteker 2 kali gaji AA. Tetapi bila kita dapat mengantisipasi dengan baik, maka biaya yang besar dapat ditutup dengan kenaikan omset. Sekarang tinggal berapa kenaikan dari masing2 tersebut.
Sering kali saya mengajak kepada para sejawat untuk memulai manajemen yang berbasis profesi guna mengatisipasi perkembangan profesi kedepan. Karena bagaimanapiun juga suatu bangsa pasti akan berusaha untuk maju dan membangun semua hal kearah yang lebih ideal dan lebih baik bila dilihat dari banyak sisi. Sekali lagi saya bukan pembuat keputusan, tetapi merencanakan bisnis jauh kedepan adalah sangat penting. Dari awal membuka apotek, saya selalu berusaha memperkirakan jauh kedepan sekitar 5 sampai 10 tahun yang akan datang dengan harapan bila terjadi sesuatu yang dapat diperhitungkan secara manajemen kita tidak terkejut.
Keunggulan kedua, pada apotek yang berbasis profesi justru lebih bisa dibuka di daerah yang lebih kecil jumlah penduduknya. Karena apotek dengan manjemen berbasis profesi sangat dimungkinkan untuk bisa dibuka dan dijalankan langsung oleh apoteker. Dan otomatis karena tenaga praktek bisa dilakukan oleh apoteker secara mandiri, maka biaya operasional juga relatif kecil. Modalpun juga relatif lebih kecil. Model ini sebenarnya bisa dimanfaatkan oleh pemerintah guna pemerataan pelayanan kesehatan dibidang kefarmasian. Karena kelebihan pemerataan pelayanan dibidang kefarmasian dibandingkan pelayanan kesehatan lain adalah pemerintah tidak memerlukan anggaran untuk menggaji tenaga kesehatan karena bisa dilakukan secara mandiri oleh swasta atau profesi. Disini pemerintah cukup memberikan fasilitas saja dan bekerja sama dengan organisasi profesi.
Hanya dengan memberi fasilitas saja, pemerintah tetap bisa menjalankan program pembangunan kesehatan, yang meliputi pemerataan, edukasi, penyuluhan dan sebagainya termasuk penekanan peredaran obat palsu. Disini pemerintah tetap bisa meanfaatkan dan mengoptimalkan peran apoteker dengan sangat optimal dengan biaya murah. Meski dilakukan oleh swasta, pemerintah tetap bisa melakukan kontrol, karena proses perijinan tetap ada pada pemerintah. Berbeda dengan toko2 liar penjual obat yang sering kali justru melakukan layanan yang membahayakan jiwa dan tidak bisa dikontrol secara lansung oleh pemerintah. Semua ini tergantung kemauan pemerintah saja. Karena kepekaan pemerintah terhadap ini juga sangat diperlukan.
Juga pada peluang pembukaan lapangan pekerjaan setidaknya bagi apoteker sendiri. Pemerintah juga terbantu pada pembukaan lapangan pekerjaan guna menekan angka pengangguran. Bagaimanapun juga apoteker mandiri semacam ini seharusnya menjadi aset bagsa yang sangat besar nilainya. Selain itu karena peran apoteker dalam bidang kesehatan, maka bisa diharpkan produktifitas menjadi lebih tinggi. Karena pada pada badan yang sehat bisa diharapkan produktifitas juga meningkat. Juga bisa juga disinergiskan dengan program program pemerintah yang lain. Meskipun dilakukan swasta, apotek berbasis profesi tetap bisa disinergiskan dengan program lain semacam jaminan kesehatan. Banyka keterkaitannya bila kita mau menggali dengan sungguh sungguh.
Manajemen apotek yang berbasis profesi, lebih meletakan nilai nilai profesi yang lebih manusiawi dan lebih berorientasi kepada pasien. Manajemen ini akan lebih mudah dicerna oleh masyarkat modern atau perkotaan, sedangkan pada masyarkat pedesaan atau pelosok mungkin akan memerukan penyesuaian yang lebih lama. Mengingat tingkat pendidikan mereka juga berbeda. Kelemahan manajemen ini, setidaknya dibutuh waktu 6 bulan untuk sosialisasi pada daerah kosong. Sedangkan manajemen yang hanya berorientasi kepada barang hanya butuh harga murah untuk sosialisasi.
Oleh karena semua model yang dikembangkan mempunyai nilai plus dan minus, maka sebaiknya semua yang terlibat pada bisnis apotek mulai mempertimbangkan semua model manajemen. Dan untuk apoteker yang mempunyai apotek sendiri, sebaiknya meningkatkan penguasaan sainnya agar apotek tetap dapat berkembang. Disini bukan untuk persiapan ujian kompetensi saja, tetapi juga lebih megarah pada kebutuhan profesi secara utuh yang mana semua itu sudah termasuk didalamnya.
Pada akhirnya, manajemen yang berbasis profesi sebaiknya untuk lebih disiapkan secara intensif dan matang oleh para praktisi apotek. Karena bagaimanapun suatu negara mesti akan berkembang kearah yang lebih bagus. Jadi ada baiknya untuk dipersiapkan mulai sekarang baik dilihat dari sisi profesi untuk kepentingan pelayan, sisi uji kompetensi juga dari sisi bisnis apotek. Bila dalam penyiapannya ini ternyata para praktisi menemui kendala maka diperlukan pelatihan2 baik oleh pemerintah dan organisasi profesi agar berjalannya bisnis apotek justru lebih berkembang dengan adanya PP51 tersebut.
KARENA PERUBAHAN PERATURAN AKAN MEMPENGARUHI SEMUA ORANG, MAKA JANGAN TAKUT DENGAN PERUBAHAN PERATURAN, TETAPI JADIKAN PERUBAHAN PERATURAN SEBAGAI PELUANG
Selasa, 15 Desember 2009
Selasa, 08 Desember 2009
APOTEKER BELUM PROFESIONAL
APOTEKER BELUM PROFESIONAL
Seperti yang saya ketahui, semua profesional boleh melakukan praktek profesi secara mandiri. Dokter bisa paktek mandiri tanpa harus dibantu siapapun juga, demikian dengan notaris, bidan dsb. Sedangkan apoteker didalam praktek mandiri tidak diijinkan, harus mempekerjakan AA. Disinilah bukti apoteker belum profesional, atau setidaknya belum diakui oleh pemerintah. Kondisi seperti ini menurut aku bisa saja dipersepsikan bahwa profesionalisme apoteker masih diragukan. Bila tidak diragukan kenapa apoteker tidak boleh praktek secara mandiri?
Saat ini saya sedang membantu sejawat apoteker yang ingin membuka apotek sendiri dengan modal obat kurang dari 15 juta, dan itu menurut perhitungan saya cukup, karena ada di desa dan daerah itu kosong. Bila harus menggaji seorang AA dan UMR daerah saya sekitar 900 ribu, berapa bulan kira kira modal akan habis? Bisa anda hitung sendiri. Apakah apoteker mandiri tidak diberi kesempatan? Apakah daerah kosong dibiarkan masyarakatnya dibodohkan terus? Pertanyaan pertanyaan ini yang sering terlintas dipikiran saya. Toh keberadaan apoteker ini justru membuka lapagan pekerjaan (setidaknya untuk dirinya sendiri) dan bermafaat bagi masyarakat sekitar.
Saya bisa merasakan perasaan apoteker tersebut, karena saya merasakan betapa beratnya menggaji seorang AA bila pada awal pembukaan apotek menggunakan modal yang ala kadarnya saja. Sebenanya apotek mandiri model begini justru memudahan pemerintah didalam penerapan TATAP, karena pemerintah tidak perlu mengawasi keberadaan apotekernya, karena memang mentalnya sudah terbentuk sebagai pelayan yang harus ada di apotek selama jam buka apotek. Bila dikemudian hari sampai ditemukan apotek buka dan apoteker tidak ada ditempat bolehlah ditutup tanpa peringatan.
Apakah keberadaan AA didalam apotek sedemikian penting sehingga harus ada? Bagaimana dengan kepentingan keberadaan apoteker itu sendiri? Atau mungkin karena pemerintah kita kurang paham akan praktek profesi kefarmasian sehingga membuat aturan aturan yang secara profesional justru tidak rasional. Seharusnya kenyataan lapangan adalah yang menjadi pertimbangan didalam proses perijinan, toh didalam permenkes apoteker diperbolehakn melakukan praktek profesi secara mandiri. Dan didalam PP51 juga diijinkan berpraktek profesi secara mandiri.
Menurut penilaian saya, masyarakat didaerah saya secara kualitas dan kuantitas mempunyai tingkat pendidikan kesehatan yang lebih tinggi dibandingkan daerah lain yang apotek disekitarnya tidak melakukan TATAP. Apalagi bila dibandingkan dengan daerah kosong yang memang masyarakatnya perlu di edukasi seperti daerah yang mau didirikan apotek oleh apoteker yang sekarang magang ditempat saya. Kenapa fungsi manfaat semacam ini kurang didukung?
Seharusnya Perguruan Tinggi Farmasi meningkatkan jumlah penelitian farmasi di apotek, sehingga datanya bisa digunakan oleh pemerintah untuk mebuat aturan yang lebih rasional. Mungkin karena sebagian dari pendidik apoteker yang bukan para praktisi aktif yang menyebabkan apoteker tidak dipercayai. Kalau para pendidik bukan para praktisi aktif bagaimana mereka tahu permasalahan pengelolaan apotek? Bahkan kasus seperti ini mungkin juga terlewatkan, dan mungkin juga sampai saat ini Perguruan Tinggi Farmasi belum punya solusi.
Kita tahu peran AA didalam pelayanan kefarmasian mempunyai sejarah yang panjang, tetapi bukan berarti AA boleh menghambat perkembangan pembangunan kesehatan dan mengurangi hak seseorang untuk praktek mandiri. Nilai manfaat dan perundang undangan seharusnya disikapi dengan benar dan cermat. Banyak apotek besar yang rasio pelayanan per tenaga kesehatan tidak rasional atau tidak seimbang tidak pernah ditegur karena memang saat ini baik pemerintah organisasi profesi atau Perguruan Tinggi Farmasi tidak mempunyai data seberapa jauh tingkat kerasionalan sebuah pekerjaan kefarmasin. Seharusnya rasionalisasi pekerjaan farmasi inilah yang diperjuangkan sehingga lapangan pekerjaan bagi AA akan lebih terbuka. Dan pertimbangan lain adalah sangat sulitnya mencari tenaga AA yang disebabkan oleh berbagai hal.
Semoga, kedepan profesionalisme apoteker lebih dihargai dan apoteker lebih dapat eksis dengan lebih dimudahkannya perijinan bagi apoteker mandiri. Semoga juga apoteker mandiri menjadi salah satu program dari organisasi profesi, pemerintah dan Perguruan Tinggi farmasi dalam mempercepat pembangunan kesehatan seutuhnya dibidang kefarmasian.
Seperti yang saya ketahui, semua profesional boleh melakukan praktek profesi secara mandiri. Dokter bisa paktek mandiri tanpa harus dibantu siapapun juga, demikian dengan notaris, bidan dsb. Sedangkan apoteker didalam praktek mandiri tidak diijinkan, harus mempekerjakan AA. Disinilah bukti apoteker belum profesional, atau setidaknya belum diakui oleh pemerintah. Kondisi seperti ini menurut aku bisa saja dipersepsikan bahwa profesionalisme apoteker masih diragukan. Bila tidak diragukan kenapa apoteker tidak boleh praktek secara mandiri?
Saat ini saya sedang membantu sejawat apoteker yang ingin membuka apotek sendiri dengan modal obat kurang dari 15 juta, dan itu menurut perhitungan saya cukup, karena ada di desa dan daerah itu kosong. Bila harus menggaji seorang AA dan UMR daerah saya sekitar 900 ribu, berapa bulan kira kira modal akan habis? Bisa anda hitung sendiri. Apakah apoteker mandiri tidak diberi kesempatan? Apakah daerah kosong dibiarkan masyarakatnya dibodohkan terus? Pertanyaan pertanyaan ini yang sering terlintas dipikiran saya. Toh keberadaan apoteker ini justru membuka lapagan pekerjaan (setidaknya untuk dirinya sendiri) dan bermafaat bagi masyarakat sekitar.
Saya bisa merasakan perasaan apoteker tersebut, karena saya merasakan betapa beratnya menggaji seorang AA bila pada awal pembukaan apotek menggunakan modal yang ala kadarnya saja. Sebenanya apotek mandiri model begini justru memudahan pemerintah didalam penerapan TATAP, karena pemerintah tidak perlu mengawasi keberadaan apotekernya, karena memang mentalnya sudah terbentuk sebagai pelayan yang harus ada di apotek selama jam buka apotek. Bila dikemudian hari sampai ditemukan apotek buka dan apoteker tidak ada ditempat bolehlah ditutup tanpa peringatan.
Apakah keberadaan AA didalam apotek sedemikian penting sehingga harus ada? Bagaimana dengan kepentingan keberadaan apoteker itu sendiri? Atau mungkin karena pemerintah kita kurang paham akan praktek profesi kefarmasian sehingga membuat aturan aturan yang secara profesional justru tidak rasional. Seharusnya kenyataan lapangan adalah yang menjadi pertimbangan didalam proses perijinan, toh didalam permenkes apoteker diperbolehakn melakukan praktek profesi secara mandiri. Dan didalam PP51 juga diijinkan berpraktek profesi secara mandiri.
Menurut penilaian saya, masyarakat didaerah saya secara kualitas dan kuantitas mempunyai tingkat pendidikan kesehatan yang lebih tinggi dibandingkan daerah lain yang apotek disekitarnya tidak melakukan TATAP. Apalagi bila dibandingkan dengan daerah kosong yang memang masyarakatnya perlu di edukasi seperti daerah yang mau didirikan apotek oleh apoteker yang sekarang magang ditempat saya. Kenapa fungsi manfaat semacam ini kurang didukung?
Seharusnya Perguruan Tinggi Farmasi meningkatkan jumlah penelitian farmasi di apotek, sehingga datanya bisa digunakan oleh pemerintah untuk mebuat aturan yang lebih rasional. Mungkin karena sebagian dari pendidik apoteker yang bukan para praktisi aktif yang menyebabkan apoteker tidak dipercayai. Kalau para pendidik bukan para praktisi aktif bagaimana mereka tahu permasalahan pengelolaan apotek? Bahkan kasus seperti ini mungkin juga terlewatkan, dan mungkin juga sampai saat ini Perguruan Tinggi Farmasi belum punya solusi.
Kita tahu peran AA didalam pelayanan kefarmasian mempunyai sejarah yang panjang, tetapi bukan berarti AA boleh menghambat perkembangan pembangunan kesehatan dan mengurangi hak seseorang untuk praktek mandiri. Nilai manfaat dan perundang undangan seharusnya disikapi dengan benar dan cermat. Banyak apotek besar yang rasio pelayanan per tenaga kesehatan tidak rasional atau tidak seimbang tidak pernah ditegur karena memang saat ini baik pemerintah organisasi profesi atau Perguruan Tinggi Farmasi tidak mempunyai data seberapa jauh tingkat kerasionalan sebuah pekerjaan kefarmasin. Seharusnya rasionalisasi pekerjaan farmasi inilah yang diperjuangkan sehingga lapangan pekerjaan bagi AA akan lebih terbuka. Dan pertimbangan lain adalah sangat sulitnya mencari tenaga AA yang disebabkan oleh berbagai hal.
Semoga, kedepan profesionalisme apoteker lebih dihargai dan apoteker lebih dapat eksis dengan lebih dimudahkannya perijinan bagi apoteker mandiri. Semoga juga apoteker mandiri menjadi salah satu program dari organisasi profesi, pemerintah dan Perguruan Tinggi farmasi dalam mempercepat pembangunan kesehatan seutuhnya dibidang kefarmasian.
Label:
APOTEK,
APOTEKER,
APOTEKER BELUM PROFESIONAL,
BISNIS APOTEK,
HISFARMA,
ISFI
Minggu, 06 Desember 2009
KONGGRES ISFI
KONGGRES ISFI
Pada konggres kali ini ISFI seharusnya lebih menitik beratkan pada program meningkatkan SDM apoteker. SDM apoteker lulusan lama ataupun SDM lulusan baru. Selama ini, menurut penilaian saya kualitas lulusan apoteker dalam hal kemadirian profesi kurang. Sehingga kualitas SDM harus mendapatkan perhatian khusus pada konggres kali ini.
Sebenarnya tanpa PP51 pun, apoteker seharusnya sudah mampu menerapkan TATAP, tetapi kenyataannya belum semua apteker mampu. Ketidak mampuan ini lebih didominasi oleh karena kualitas kemandirian apoteker yang kurang. Kekurang mandirian dalam profesi sebagian diakibatkan sistem pendidikan profesi yang kurang mengakomodasi kenyataan praktek profesi dan sistem pelatihan dan pendidikan berkelanjutan bagi apoteker yang sudah melakukan praktek profesi di apotek yang kurang sesuai dengan kebutuhan profesi.
Kualitas lulusan yang kurang, karena sangat rendahnya para pengajar apoteker yang juga merupakan praktisi aktif di apotek, sehingga para apoteker lebih banyak diajarkan tentang teori teori dan imajinasi profesi. Seharusnya, para apoteker yang menjadi pembina di dalam PKP dilakukan standarisasi dan apotek tempat PKP juga dilakukan stadarisasi. Dengan demikian kualitas lulusan dapat diharapkan lebih sesuai dengan kebutuhan profesi.
Dengan sistem pendidikan apoteker yang baik, maka akan terjadi sistem pendidikan yang efektif. Dengan sistem pendidikan yang efektif maka kualitas lulusan yang baik dapat dicapai dengan waktu yang sesuai dengan masa pedidikan. Banyak hal yang menurut saya kurang efektif didalam sistem pendidikan profesi apoteker, sehingga waktu PKP di apotek yang hanya kurang lebih satu bulan dianggap kurang oleh sebagian apoteker, padahal menurut saya waktu itu cukup bila dilakukan dengan efektif. Memang kualitas input sangat berpengaruh, tetapi kualitas pengelolaan input agar output berkualitas adalah lebih berpengaruh lagi. Pengelolaan input disini adalah sitem pendidikan yang efektif.
Kalau kita belajar dari kenyataan di apotek saat ini, untuk mengelola apotek tidak dibutuhkan kualitas manusia apoteker yang brilian, biasa biasa saja tidak masalah. Karena pekerjaan kefarmasian diapotek atau praktek profesi kefarmasian di apotek lebih diutamakan ketekunan. Seorang pengajar pada profesi apoteker tidak cukup hanya sekedar S2 atau profesor, tetapi mereka harus juga merupakan praktisi aktif diapotek. Bagaimanapun juga pengajaran yang efektif pada pendidikan profesi adalah sangat penting.
Para pengajar pada tingkat profesi selama ini kurang efektif, karena para pengajarnya bukan praktisi aktif. Dan sering kali yang terjadi adalah kecenderungan pengajaran yang bersifat imajinatif. Hasilnya tentu saja seperti sekarang, sebagian apoteker kurang mandiri didalam menjalankan profesi. Oleh karena itu ada baiknya bila pada konggres kali ini, ketua terpilih adalah orang orang yang benar benar tahu akan pendidikan, atau setidaknya bisa mengapresiasi kualitas SDM.
Menurut saya, SDM adalah hal yang paling utama didalam praktek profesi yang mandiri, sedangkan modal adalah hal yang ada diurutan berikutnya. Banyak apoteker yang membuat apotek dengan modal obat kurang dari 20 juta, dan sebagian dari mereka juga tidak mengeluh dan masih dapat eksis. Sebagian lagi bahkan lebih eksis dari para praktisi yang ada di industri. Padahal mereka bukanlah dari golongan mahasiswa yang terbaik dimasa kuliahnya bahkan sering kali sebagian dari mereka adalah tergolong ada dirangking bawah. Tetapi kenyataannya setelah melakukan praktek profesi mereka bisa menjadi salah satu produk apoteker yang paling berkualitas didalam hal kemandirian profesi.
Seharusnya ISFI mengapresiasikan para praktisi yang seperti itu, yang setidaknya tidak pernah mengeluh kepada ISFI dengan meminta jasa yang besar (bahasa halus dari gaji, karena sampai sekarang ISFI belum bisa mengapresiasi tentang jasa yang rasional dari suatu prakek profesi). Berbeda dengan para apoteker praktisi imajinasi (hanya mengimajinasikan praktek dari tempat yang jauh, sambil tertawa tawa menghitung gaji bulanan meskipun tidak paham akan apa itu praktek profesi) yang hanya bisa meminta perlindungan dengan alasan jasa tidak standar, tetapi praktek profesinya nol. Bagaimana jasa bisa distandar, kalau praktek profesi tidak jelas?
Mungkin ISFI selama ini seharusnya merasa berdosa kepada para praktisi aktif di apotek yang kepentingannya mungkin nyaris tidak diperjuangkan. Sebagian dari mereka hanya merasa membayar iuran saja tanpa pernah dibahas agar bagaimana mereka dapat lebih eksis lagi. Selama ini selalu saja dibahas masalah standar jasa, jasa dan jasa. Apa kontribusi dari ISFI terhadap para praktisi aktif? Mungkin tidak ada atau setidaknya tidak pernah dirasakan oleh para praktisi aktif. Padahal para praktisi aktif juga membutuhkan perhatian dari organisasi profesi didalam praktik profesinya agar dapat berkembang.
Ada beberapa hal yang mungkin tidak pernah dialami oleh para pengurus ISFI pusat yaitu merasakan menjadi praktisi aktif yang lebih dari separo hidupnya ada diruangan apotek. Hal yang mungkin tidak pernah dirasakan bila tidak menjadi praktisi aktif adalah “perasaan”, perasaan yang berat dan penuh stres yang dirasakan diapotek selama apotek buka. Perasaan dibutuhkan banyak orang, perasaan dikenal banyak orang, perasaan dihujat orang bila pelayanan tidak memuaskan, perasaan dikejar kejar setoran dan banyak lagi yang menjadi suka duka para praktisi aktif diapotek. Bahkan tidak jarang kita harus mengelus dada bila kita menemukan banyak pembodohan masyarakat, yang mana bila masyarakat itu kita edukasi, tidak lama lagi menjadi menjadi korban pembodohan lagi karena jumlah yang membodohkan masyarakat sering kali justru lebih banyak dari jumlah apoteker yang melakukan edukasi.
Disinilah pentingnya membentuk SDM yang benar benar mengerti praktek profesi. Menrut saya, mungkin tidak ada gunanya PP51 kalau tidak ada usaha dari ISFI untuk memperbaiki kualitas SDM. Janganlah dipaksakan menproduksi apoteker besar besaran bila tidak mampu menciptakan produk yang mampu melakukan praktek profesi.
Saat ini yang paling penting dari para pengurus pusat ISFI adalah bagaimana meningkatkan kualitas SDM, baik yang baru ataupun yang lama. Oleh karena itu sebagian para pimpinan pusat ISFI seharusnya adalah para akademisi. Sebagian itu bisa rektor atau dekan, karena mereka inilah yang saat ini mempunyai akses secara langsung terhadap kualitas SDM. Dan kenyataannya merekalah yang saat ini bisa diharapkan mampu untuk itu. Dan bila dari para akademisi tidak ada yang mau atau berkehedak, sebaiknya dipilih ketua yang mampu bekerja sama dengan para akademisi dalam membuat program profesi yang sesuai dengan kenyataan praktek profesi.
Dan sudah saatnya bila didalam membentuk praktisi yang berkualitas, para praktisi aktif dilibatkan didalam menyusun kebutuhan pendidikan profesi, karena para praktisi aktif inilah yang megetahui kebutuhan praktek profesi sehari hari. Karena setiap harinya, atau mungkin juga setiap denyut nadinya merasakan apa yang harus dilakukan oleh para praktisi, dan apa yang harus dipersiapkan dan bagaimana mengatasi semua masalah yang timbul dalam paktek profesi. Sehingga jalannya pendidikan profesi menjadi lebih efektif. Juga jalannya pelatihan dan pendidikan berkelanjutan menjadi lebih akomodatif.
Pada konggres ini, bila mau ganti AD/ART, atau mau ganti ketua atau ganti apa saja mungkin belum tentu menyentuh para praktisi aktif. Seperti kongres konggres yang lalu, para praktisi aktif umumnya merasa tidak di apresiasi. Semoga pada konggres kali ini, para praktisi aktif lebih di apresiasi dan lebih mendapat perhatian dari organisasi, agar tidak hanya merasa ditarik iuran bulanan saja. Dan umumnya para praktisi aktif inilah yang justru paling tertib dalam membayar iuran. Juga para praktisi aktif inilah yang umumnya juga lebih peduli terhadap profesi.
Dan satu lagi kepentingan klien adalah yang paling utama didalam suatu profesi, bila kepentingan klien diabaikan, maka profesi akan ditinggalkan oleh klien. Atau dengan kata lain masyarakat butuh pelayanan yang rasional agar profesi dapat eksis, dan apoteker akan hilang bila pelayanan yang seharusnya dilakukan justru ditinggalkan. dan akhirnya dapat ditarik suatu kesimpulan, PP51 tidak akan berpengaruh terhadap profesi apoteker bila SDM tidak diperbaiki. Dan didalam memperbaiki SDM ini peran Perguruan Tinggi Farmasi sangatlah besar dan peran praktisi aktif sangat dibutuhkan.
Selamat kongres, semoga dapat diproduksi program yang benar benar dapat mengakomodasi kepentingan para anggota dan kepentingan bangsa serta negara.
Pada konggres kali ini ISFI seharusnya lebih menitik beratkan pada program meningkatkan SDM apoteker. SDM apoteker lulusan lama ataupun SDM lulusan baru. Selama ini, menurut penilaian saya kualitas lulusan apoteker dalam hal kemadirian profesi kurang. Sehingga kualitas SDM harus mendapatkan perhatian khusus pada konggres kali ini.
Sebenarnya tanpa PP51 pun, apoteker seharusnya sudah mampu menerapkan TATAP, tetapi kenyataannya belum semua apteker mampu. Ketidak mampuan ini lebih didominasi oleh karena kualitas kemandirian apoteker yang kurang. Kekurang mandirian dalam profesi sebagian diakibatkan sistem pendidikan profesi yang kurang mengakomodasi kenyataan praktek profesi dan sistem pelatihan dan pendidikan berkelanjutan bagi apoteker yang sudah melakukan praktek profesi di apotek yang kurang sesuai dengan kebutuhan profesi.
Kualitas lulusan yang kurang, karena sangat rendahnya para pengajar apoteker yang juga merupakan praktisi aktif di apotek, sehingga para apoteker lebih banyak diajarkan tentang teori teori dan imajinasi profesi. Seharusnya, para apoteker yang menjadi pembina di dalam PKP dilakukan standarisasi dan apotek tempat PKP juga dilakukan stadarisasi. Dengan demikian kualitas lulusan dapat diharapkan lebih sesuai dengan kebutuhan profesi.
Dengan sistem pendidikan apoteker yang baik, maka akan terjadi sistem pendidikan yang efektif. Dengan sistem pendidikan yang efektif maka kualitas lulusan yang baik dapat dicapai dengan waktu yang sesuai dengan masa pedidikan. Banyak hal yang menurut saya kurang efektif didalam sistem pendidikan profesi apoteker, sehingga waktu PKP di apotek yang hanya kurang lebih satu bulan dianggap kurang oleh sebagian apoteker, padahal menurut saya waktu itu cukup bila dilakukan dengan efektif. Memang kualitas input sangat berpengaruh, tetapi kualitas pengelolaan input agar output berkualitas adalah lebih berpengaruh lagi. Pengelolaan input disini adalah sitem pendidikan yang efektif.
Kalau kita belajar dari kenyataan di apotek saat ini, untuk mengelola apotek tidak dibutuhkan kualitas manusia apoteker yang brilian, biasa biasa saja tidak masalah. Karena pekerjaan kefarmasian diapotek atau praktek profesi kefarmasian di apotek lebih diutamakan ketekunan. Seorang pengajar pada profesi apoteker tidak cukup hanya sekedar S2 atau profesor, tetapi mereka harus juga merupakan praktisi aktif diapotek. Bagaimanapun juga pengajaran yang efektif pada pendidikan profesi adalah sangat penting.
Para pengajar pada tingkat profesi selama ini kurang efektif, karena para pengajarnya bukan praktisi aktif. Dan sering kali yang terjadi adalah kecenderungan pengajaran yang bersifat imajinatif. Hasilnya tentu saja seperti sekarang, sebagian apoteker kurang mandiri didalam menjalankan profesi. Oleh karena itu ada baiknya bila pada konggres kali ini, ketua terpilih adalah orang orang yang benar benar tahu akan pendidikan, atau setidaknya bisa mengapresiasi kualitas SDM.
Menurut saya, SDM adalah hal yang paling utama didalam praktek profesi yang mandiri, sedangkan modal adalah hal yang ada diurutan berikutnya. Banyak apoteker yang membuat apotek dengan modal obat kurang dari 20 juta, dan sebagian dari mereka juga tidak mengeluh dan masih dapat eksis. Sebagian lagi bahkan lebih eksis dari para praktisi yang ada di industri. Padahal mereka bukanlah dari golongan mahasiswa yang terbaik dimasa kuliahnya bahkan sering kali sebagian dari mereka adalah tergolong ada dirangking bawah. Tetapi kenyataannya setelah melakukan praktek profesi mereka bisa menjadi salah satu produk apoteker yang paling berkualitas didalam hal kemandirian profesi.
Seharusnya ISFI mengapresiasikan para praktisi yang seperti itu, yang setidaknya tidak pernah mengeluh kepada ISFI dengan meminta jasa yang besar (bahasa halus dari gaji, karena sampai sekarang ISFI belum bisa mengapresiasi tentang jasa yang rasional dari suatu prakek profesi). Berbeda dengan para apoteker praktisi imajinasi (hanya mengimajinasikan praktek dari tempat yang jauh, sambil tertawa tawa menghitung gaji bulanan meskipun tidak paham akan apa itu praktek profesi) yang hanya bisa meminta perlindungan dengan alasan jasa tidak standar, tetapi praktek profesinya nol. Bagaimana jasa bisa distandar, kalau praktek profesi tidak jelas?
Mungkin ISFI selama ini seharusnya merasa berdosa kepada para praktisi aktif di apotek yang kepentingannya mungkin nyaris tidak diperjuangkan. Sebagian dari mereka hanya merasa membayar iuran saja tanpa pernah dibahas agar bagaimana mereka dapat lebih eksis lagi. Selama ini selalu saja dibahas masalah standar jasa, jasa dan jasa. Apa kontribusi dari ISFI terhadap para praktisi aktif? Mungkin tidak ada atau setidaknya tidak pernah dirasakan oleh para praktisi aktif. Padahal para praktisi aktif juga membutuhkan perhatian dari organisasi profesi didalam praktik profesinya agar dapat berkembang.
Ada beberapa hal yang mungkin tidak pernah dialami oleh para pengurus ISFI pusat yaitu merasakan menjadi praktisi aktif yang lebih dari separo hidupnya ada diruangan apotek. Hal yang mungkin tidak pernah dirasakan bila tidak menjadi praktisi aktif adalah “perasaan”, perasaan yang berat dan penuh stres yang dirasakan diapotek selama apotek buka. Perasaan dibutuhkan banyak orang, perasaan dikenal banyak orang, perasaan dihujat orang bila pelayanan tidak memuaskan, perasaan dikejar kejar setoran dan banyak lagi yang menjadi suka duka para praktisi aktif diapotek. Bahkan tidak jarang kita harus mengelus dada bila kita menemukan banyak pembodohan masyarakat, yang mana bila masyarakat itu kita edukasi, tidak lama lagi menjadi menjadi korban pembodohan lagi karena jumlah yang membodohkan masyarakat sering kali justru lebih banyak dari jumlah apoteker yang melakukan edukasi.
Disinilah pentingnya membentuk SDM yang benar benar mengerti praktek profesi. Menrut saya, mungkin tidak ada gunanya PP51 kalau tidak ada usaha dari ISFI untuk memperbaiki kualitas SDM. Janganlah dipaksakan menproduksi apoteker besar besaran bila tidak mampu menciptakan produk yang mampu melakukan praktek profesi.
Saat ini yang paling penting dari para pengurus pusat ISFI adalah bagaimana meningkatkan kualitas SDM, baik yang baru ataupun yang lama. Oleh karena itu sebagian para pimpinan pusat ISFI seharusnya adalah para akademisi. Sebagian itu bisa rektor atau dekan, karena mereka inilah yang saat ini mempunyai akses secara langsung terhadap kualitas SDM. Dan kenyataannya merekalah yang saat ini bisa diharapkan mampu untuk itu. Dan bila dari para akademisi tidak ada yang mau atau berkehedak, sebaiknya dipilih ketua yang mampu bekerja sama dengan para akademisi dalam membuat program profesi yang sesuai dengan kenyataan praktek profesi.
Dan sudah saatnya bila didalam membentuk praktisi yang berkualitas, para praktisi aktif dilibatkan didalam menyusun kebutuhan pendidikan profesi, karena para praktisi aktif inilah yang megetahui kebutuhan praktek profesi sehari hari. Karena setiap harinya, atau mungkin juga setiap denyut nadinya merasakan apa yang harus dilakukan oleh para praktisi, dan apa yang harus dipersiapkan dan bagaimana mengatasi semua masalah yang timbul dalam paktek profesi. Sehingga jalannya pendidikan profesi menjadi lebih efektif. Juga jalannya pelatihan dan pendidikan berkelanjutan menjadi lebih akomodatif.
Pada konggres ini, bila mau ganti AD/ART, atau mau ganti ketua atau ganti apa saja mungkin belum tentu menyentuh para praktisi aktif. Seperti kongres konggres yang lalu, para praktisi aktif umumnya merasa tidak di apresiasi. Semoga pada konggres kali ini, para praktisi aktif lebih di apresiasi dan lebih mendapat perhatian dari organisasi, agar tidak hanya merasa ditarik iuran bulanan saja. Dan umumnya para praktisi aktif inilah yang justru paling tertib dalam membayar iuran. Juga para praktisi aktif inilah yang umumnya juga lebih peduli terhadap profesi.
Dan satu lagi kepentingan klien adalah yang paling utama didalam suatu profesi, bila kepentingan klien diabaikan, maka profesi akan ditinggalkan oleh klien. Atau dengan kata lain masyarakat butuh pelayanan yang rasional agar profesi dapat eksis, dan apoteker akan hilang bila pelayanan yang seharusnya dilakukan justru ditinggalkan. dan akhirnya dapat ditarik suatu kesimpulan, PP51 tidak akan berpengaruh terhadap profesi apoteker bila SDM tidak diperbaiki. Dan didalam memperbaiki SDM ini peran Perguruan Tinggi Farmasi sangatlah besar dan peran praktisi aktif sangat dibutuhkan.
Selamat kongres, semoga dapat diproduksi program yang benar benar dapat mengakomodasi kepentingan para anggota dan kepentingan bangsa serta negara.
Kamis, 03 Desember 2009
MODAL MENDIRIKAN APOTEK
MODAL MENDIRIKAN APOTEK
Banyak yang beranggapan bila salah satu penyebab rendahnya kepemilikan apotek oleh apoteker disebabkan karena modal. Tetapi dari pantauan saya dilapangan justru bukan modal yang menjadi penyebab utamanya. Seandainya semua apoteker saat ini diberi modal untuk mendirikan apotek sendiri dalam hitungan saya hanya sekitar 20% saja yang mampu mengelola apotek dengan benar secara manajemen.
Sebenarnya banyak modal yang bisa ditangkap oleh para apoteker, bisa dari swasta, bank atau pihak lain yang mempunyai dana. Tetapi kepercayaan terhadap apoteker untuk mengelola modal yang tidak ada. Karena memang sebagian besar apoteker saat ini tidak siap kerja mandiri. Tetapi kalau ditanya kesiapan untuk menerima gaji, sebagian besar mereka siap. Inilah yag menjadi salah satu akar permasalahan didalam mengembangkan profesi apoteker.
Mungkin karena kesalahan didalam mendesain kurikulum apoteker tempo dulu, yang mana kuliah sulit dan susah lulus, sehingga waktu dan tenaganya habis untuk memikirkan bagaimana bisa lulus, tanpa bisa memikirkan bagaimana profesi bisa berkembang. Secara umum penyebab kesalahan ini bukan ada di individu apoteker, tetapi pengkondisian perkuliahan juga ikut dalam andil. Pernah ada teman sejawat yang mengatakan sebaiknya kurikulum dalam pendidikan profesi porsi manajemen untuk ditambah. Meski manajemen porsinya ditambah juga belum tentu berhasil, kalau penambahan hanya pada teori teori yang tidak aplikatif.
Apapun solusi yang diambil saat ini dalam meningkatkan kemampuan manajemen profesi masih dilakukan secara empiris. Termasuk masalah modal ini. Belum dilakukannya penelitian secara mendalam juga menjadi permasalahan. Bisa kita analogkan dengan dokter, bisa dikatakan semua dosen pengajar para dokter adalah praktisi yang mandiri, tetapi dosen para apoteker tidak. Dan mungkin sebagian masih hanya mengelola dari jarak jauh saja, tanpa pernah tahu arti perjuangan profesi secara utuh.
Banyak hal yang menjadikan profesi apoteker kurang berkembang. Dan manajemen adalah salah satu faktor yang menyebabkannya. Sampai sekarangpun saya masih ragu terhadap kemampuan Perguruan Tinggi Farmasi didalam pengajaran manajemen. Bisa jadi yang diajarkan saat ini masih teori teori yang bukunya tebal yang penerapan dilapangannya mungkin masih perlu dikembangkan dan disesuaikan dengan daerah dimana apoteker nanti menjalankan praktek profesi. Dan kenyataannya tidak semua apoteker mampu mengembangkan manajemen mentah yang diberikan dibangku kuliah.
Sebenarnya alasan modal adalah alasan mengada ada dari sebagian apoteker yang sebenarnya memang tdak mampu berpraktek profesi secara mandiri. Dan sebagian lagi apoteker mampu berpraktek secara mandiri meskipun hanya bermodal sediaan farmasi yang relatif sangat kecil. Dan keyataannya para apoteker pemodal kecil banyak yang berkembang dan eksis.
Dan sampai saat ini saya tidak yakin bila ada badan yang mendanai pendirian apotek sebagai pemilik modal, apoteker akan mampu berpraktek secara mandiri. Kecuali sistem pendidikan apoteker yang diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi farmasi dilakukan perbaikan. Atau setidaknya diadakan dulu pelatihan sebelum apoteker dilepas secara mandiri menggunakan modal milik pihak lain.
Dan masih banyak kelemahan dalam sitem pendidikan profesi apoteker. Semoga ke depan apoteker lebih mampu meningkatkan perannya didalam pembangunan kesehatan nasional.
Banyak yang beranggapan bila salah satu penyebab rendahnya kepemilikan apotek oleh apoteker disebabkan karena modal. Tetapi dari pantauan saya dilapangan justru bukan modal yang menjadi penyebab utamanya. Seandainya semua apoteker saat ini diberi modal untuk mendirikan apotek sendiri dalam hitungan saya hanya sekitar 20% saja yang mampu mengelola apotek dengan benar secara manajemen.
Sebenarnya banyak modal yang bisa ditangkap oleh para apoteker, bisa dari swasta, bank atau pihak lain yang mempunyai dana. Tetapi kepercayaan terhadap apoteker untuk mengelola modal yang tidak ada. Karena memang sebagian besar apoteker saat ini tidak siap kerja mandiri. Tetapi kalau ditanya kesiapan untuk menerima gaji, sebagian besar mereka siap. Inilah yag menjadi salah satu akar permasalahan didalam mengembangkan profesi apoteker.
Mungkin karena kesalahan didalam mendesain kurikulum apoteker tempo dulu, yang mana kuliah sulit dan susah lulus, sehingga waktu dan tenaganya habis untuk memikirkan bagaimana bisa lulus, tanpa bisa memikirkan bagaimana profesi bisa berkembang. Secara umum penyebab kesalahan ini bukan ada di individu apoteker, tetapi pengkondisian perkuliahan juga ikut dalam andil. Pernah ada teman sejawat yang mengatakan sebaiknya kurikulum dalam pendidikan profesi porsi manajemen untuk ditambah. Meski manajemen porsinya ditambah juga belum tentu berhasil, kalau penambahan hanya pada teori teori yang tidak aplikatif.
Apapun solusi yang diambil saat ini dalam meningkatkan kemampuan manajemen profesi masih dilakukan secara empiris. Termasuk masalah modal ini. Belum dilakukannya penelitian secara mendalam juga menjadi permasalahan. Bisa kita analogkan dengan dokter, bisa dikatakan semua dosen pengajar para dokter adalah praktisi yang mandiri, tetapi dosen para apoteker tidak. Dan mungkin sebagian masih hanya mengelola dari jarak jauh saja, tanpa pernah tahu arti perjuangan profesi secara utuh.
Banyak hal yang menjadikan profesi apoteker kurang berkembang. Dan manajemen adalah salah satu faktor yang menyebabkannya. Sampai sekarangpun saya masih ragu terhadap kemampuan Perguruan Tinggi Farmasi didalam pengajaran manajemen. Bisa jadi yang diajarkan saat ini masih teori teori yang bukunya tebal yang penerapan dilapangannya mungkin masih perlu dikembangkan dan disesuaikan dengan daerah dimana apoteker nanti menjalankan praktek profesi. Dan kenyataannya tidak semua apoteker mampu mengembangkan manajemen mentah yang diberikan dibangku kuliah.
Sebenarnya alasan modal adalah alasan mengada ada dari sebagian apoteker yang sebenarnya memang tdak mampu berpraktek profesi secara mandiri. Dan sebagian lagi apoteker mampu berpraktek secara mandiri meskipun hanya bermodal sediaan farmasi yang relatif sangat kecil. Dan keyataannya para apoteker pemodal kecil banyak yang berkembang dan eksis.
Dan sampai saat ini saya tidak yakin bila ada badan yang mendanai pendirian apotek sebagai pemilik modal, apoteker akan mampu berpraktek secara mandiri. Kecuali sistem pendidikan apoteker yang diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi farmasi dilakukan perbaikan. Atau setidaknya diadakan dulu pelatihan sebelum apoteker dilepas secara mandiri menggunakan modal milik pihak lain.
Dan masih banyak kelemahan dalam sitem pendidikan profesi apoteker. Semoga ke depan apoteker lebih mampu meningkatkan perannya didalam pembangunan kesehatan nasional.
Label:
APOTEK,
APOTEKER,
BISNIS APOTEK,
HISFARMA,
ISFI,
MODAL MENDIRIKAN APOTEK
Langganan:
Postingan (Atom)