Selasa, 08 Desember 2009

APOTEKER BELUM PROFESIONAL

APOTEKER BELUM PROFESIONAL


Seperti yang saya ketahui, semua profesional boleh melakukan praktek profesi secara mandiri. Dokter bisa paktek mandiri tanpa harus dibantu siapapun juga, demikian dengan notaris, bidan dsb. Sedangkan apoteker didalam praktek mandiri tidak diijinkan, harus mempekerjakan AA. Disinilah bukti apoteker belum profesional, atau setidaknya belum diakui oleh pemerintah. Kondisi seperti ini menurut aku bisa saja dipersepsikan bahwa profesionalisme apoteker masih diragukan. Bila tidak diragukan kenapa apoteker tidak boleh praktek secara mandiri?

Saat ini saya sedang membantu sejawat apoteker yang ingin membuka apotek sendiri dengan modal obat kurang dari 15 juta, dan itu menurut perhitungan saya cukup, karena ada di desa dan daerah itu kosong. Bila harus menggaji seorang AA dan UMR daerah saya sekitar 900 ribu, berapa bulan kira kira modal akan habis? Bisa anda hitung sendiri. Apakah apoteker mandiri tidak diberi kesempatan? Apakah daerah kosong dibiarkan masyarakatnya dibodohkan terus? Pertanyaan pertanyaan ini yang sering terlintas dipikiran saya. Toh keberadaan apoteker ini justru membuka lapagan pekerjaan (setidaknya untuk dirinya sendiri) dan bermafaat bagi masyarakat sekitar.

Saya bisa merasakan perasaan apoteker tersebut, karena saya merasakan betapa beratnya menggaji seorang AA bila pada awal pembukaan apotek menggunakan modal yang ala kadarnya saja. Sebenanya apotek mandiri model begini justru memudahan pemerintah didalam penerapan TATAP, karena pemerintah tidak perlu mengawasi keberadaan apotekernya, karena memang mentalnya sudah terbentuk sebagai pelayan yang harus ada di apotek selama jam buka apotek. Bila dikemudian hari sampai ditemukan apotek buka dan apoteker tidak ada ditempat bolehlah ditutup tanpa peringatan.

Apakah keberadaan AA didalam apotek sedemikian penting sehingga harus ada? Bagaimana dengan kepentingan keberadaan apoteker itu sendiri? Atau mungkin karena pemerintah kita kurang paham akan praktek profesi kefarmasian sehingga membuat aturan aturan yang secara profesional justru tidak rasional. Seharusnya kenyataan lapangan adalah yang menjadi pertimbangan didalam proses perijinan, toh didalam permenkes apoteker diperbolehakn melakukan praktek profesi secara mandiri. Dan didalam PP51 juga diijinkan berpraktek profesi secara mandiri.

Menurut penilaian saya, masyarakat didaerah saya secara kualitas dan kuantitas mempunyai tingkat pendidikan kesehatan yang lebih tinggi dibandingkan daerah lain yang apotek disekitarnya tidak melakukan TATAP. Apalagi bila dibandingkan dengan daerah kosong yang memang masyarakatnya perlu di edukasi seperti daerah yang mau didirikan apotek oleh apoteker yang sekarang magang ditempat saya. Kenapa fungsi manfaat semacam ini kurang didukung?

Seharusnya Perguruan Tinggi Farmasi meningkatkan jumlah penelitian farmasi di apotek, sehingga datanya bisa digunakan oleh pemerintah untuk mebuat aturan yang lebih rasional. Mungkin karena sebagian dari pendidik apoteker yang bukan para praktisi aktif yang menyebabkan apoteker tidak dipercayai. Kalau para pendidik bukan para praktisi aktif bagaimana mereka tahu permasalahan pengelolaan apotek? Bahkan kasus seperti ini mungkin juga terlewatkan, dan mungkin juga sampai saat ini Perguruan Tinggi Farmasi belum punya solusi.

Kita tahu peran AA didalam pelayanan kefarmasian mempunyai sejarah yang panjang, tetapi bukan berarti AA boleh menghambat perkembangan pembangunan kesehatan dan mengurangi hak seseorang untuk praktek mandiri. Nilai manfaat dan perundang undangan seharusnya disikapi dengan benar dan cermat. Banyak apotek besar yang rasio pelayanan per tenaga kesehatan tidak rasional atau tidak seimbang tidak pernah ditegur karena memang saat ini baik pemerintah organisasi profesi atau Perguruan Tinggi Farmasi tidak mempunyai data seberapa jauh tingkat kerasionalan sebuah pekerjaan kefarmasin. Seharusnya rasionalisasi pekerjaan farmasi inilah yang diperjuangkan sehingga lapangan pekerjaan bagi AA akan lebih terbuka. Dan pertimbangan lain adalah sangat sulitnya mencari tenaga AA yang disebabkan oleh berbagai hal.

Semoga, kedepan profesionalisme apoteker lebih dihargai dan apoteker lebih dapat eksis dengan lebih dimudahkannya perijinan bagi apoteker mandiri. Semoga juga apoteker mandiri menjadi salah satu program dari organisasi profesi, pemerintah dan Perguruan Tinggi farmasi dalam mempercepat pembangunan kesehatan seutuhnya dibidang kefarmasian.

3 komentar:

  1. Ada Kok dibeberapa daerah di jatim yang apotik tidak ada AA nya di Kab Malang contohnya , perlu diketahui bahwa perijinan apotik sudah dilimpahkan kewenangannya kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat menakomodir semangat otonomi daerah yang nota bene miliknya nya daerah sehingga dari 38 Kab/kota di Jatim saja beragam aturannya ada yang mensyaratkan ada yg tidak tgt dari persepsi dan kepentingan dll, jika mengacu pada peraturan PP 51... dapat dibantu oleh tenaga kefarmasian .. la ini nanti dijelaskan dgn rinci pada permenkes yang baru sebagai penjelasan PP 51 yg kalau saya bca perlu 16 permenkes untuk menjabarkan PP 51. sedang Permenkes 1332 akan direvisi sesuai dgn PP 51 , PP 38 dan didsarkan norma standar krikeria prosedur NSPK. Dijogya tidak usah ada AA tapi wajib ada Apoteker Pendamping , karena apoteker yang harus ada di apotik , jadi satu apotik 2 apoteker .

    BalasHapus
  2. maksud saya, seharusnya ya begitu, cuman kok masih ada yang mempermasalahkan AA. aku cuman kasihan aja. klu modal kecil (12 jutaan) untuk obat, akan berat bila ada AA.

    seharusnya organisasi profesi dan pemerintah harus memfasilitasi berdirinya apotek yang dikelola oleh apoteker aktif seperti ini. kita mungkin gak butuh bantuan modal, yang kita butuhkan adalah kemudahan dalam mendirikan apotek, sukur2 kalau biaya pendiriannya gratis.

    semoga kedepan pemerintah membuat program pendirian apotek mandiri oleh apoteker sampai tingkat desa suatu misal dengan kemudahan biaya perijinan. toh kompensasinya adalah pembukaan lapangan pekerjaan dan pencerdasan kehidupan bangsa dibidang kesehatan.

    BalasHapus
  3. Tambahan informasi : Di Karawang juga tidak dipersyaratkan adanya AA.

    BalasHapus