Sabtu, 30 Januari 2010

SURVEI YLKI BANYAK DOKTER TAK TAWARKAN OBAT GENERIK

SURVEI YLKI BANYAK DOKTER TAK TAWARKAN OBAT GENERIK


Obat generik seharusnya menjadi obat pilihan utama, oleh masyarakat, karena obat generik adalah obat berkualitas dan berharga murah karena tidak ada promosi. Tetapi kenyataan dilapangan sampai saat ini belum menjadi hal yang disarankan bila kita merujuk pada situs ini
http://news.okezone.com/read/2010/01/29/337/298834/337/survei-ylki-banyak-dokter-tak-tawarkan-generik
http://news.okezone.com/read/2010/01/29/337/298864/337/pakai-obat-non-generik-dokter-tak-bisa-ditindak

pada saat awal diluncurkan obat generik adalah untuk meningkatkan kualitas obat yang beredar di Indonesia dengan penerapan CPOB di industri obat generik. Dan selanjutnya penerapan CPOB diikuti oleh banyak industri obat. Tetapi sampai sekarang obat generik bukan menjadi pilihan utama dalam pelayanan kesehatan karena obat generik tidak bisa bisa memberikan dampak pada jasa profesi. Dan bahkan pada beberapa kelompok masyarakat obat generik justru dianggap terlalu murah dan dianggap tidak memberikan sugesti yang baik.

Ada dual hal yang harus dicermati dan dibuat kebijakan yang mendukun, pertama generik belum bisa memberikan jasa akibat pemakaian obat yang memadai. Yang kedua generik belum bisa memberikan sugesti yang baik pada sekelompok orang. Bila pemerintah mampu menyelesaikan pada kedua hal ini, saya rasa generik akan semakin dihati dan akan semakin memberikan sugesti yang baik. Toh kita tidak menggunakan merk atau bungkus didalam menjalankan profesi, tetapi kita menggunakan obat sebagai alat didalam menjalankan profesi.

Seperti kita ketahui, apoteker dan dokter adalah tenaga kesehatan yang paling dominan dalam menggunaka obat sebagai alat dalam menjalankan profesi. Apoteker bukan penjual obat dan dokter juga bukan penjual obat, tetapi dala menjalankan praktek profesinya, keduanya selalu mengikutkan jasa dari pemakaian obat itu yang umumnya dihitung dari prosentasi harga. Semisal obat generik harga Rp1.000;- dengan jasa 20% akan ketemu Rp200;- doang jasa sertaan dari obat. Bila konsultasi bejalan 30menit saja bisa dibayangkan berapa kerugian yang harus ditanggung. Beda denag bila kita menggunakan obat paten yang harganya sampai Rp30.000;- kita ambil jasa sertaan dari obat 10% saja bisa mendapatkan Rp3.000;-. Oleh karena itu semakin mahal harga obat semakin besar jasa sertaan dari obat ini.

Mungkin sudah waktunya kita menerapkan jasa yang besarnya dihitung dari tingkat pelayanan dan bukannya dari prosentase harga obat. Sehingga obat dengan haga berapapun juga besarnya jasa adalah sama. Bila hal ini dilakukan mungkin pengunaan obat akan semakin rasional dan obat generik akan semakin menjadi raja dinegeri ini.

Yang mungkin menjadi pertanyaan dari kita semua adalah mungkinkah? Dan bagaimana hal ini akan diberlakukan? Semua serba mungkin bila kita benar-benar menghitung dengan seksama. Dan kita bisa mengaplikasikan dilapangan dengan tepat. Tetapi apakah pemerintah siap? Bila pemerintah siap dengan kebijakan kebijakan yang benar membela rakyat yang bukan hanya hiasan bibir saja, saya yakin semua ini akan bisa berjalan dengan baik, dan masyarakat sebagai penguna jasa akan sangat diuntungkan.

Penghitungan jasa yang didasarkan pada tingkat layanan akan menjadi solusi terbaik didalam mengatasi mahalnya harga obat. Saat ini banyak pelayanan yang kurang mendidik dan hanya menanamkan sugesti untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya dari masyarakat. Dan kebodohan masyarakat justru menjadi “tambang emas” bagi sebagian penyedia layanan kesehatan. Semakin bodoh masyarakat dan semakin bisa dibodohi, maka semakin gampang penyedia jasa layanan menjadikan masyarakat sebagai “tambang emas”.

Untuk mengatasi sugesti masyarakat, hal yang bisa saya sarankan adalah meningkatkan tingkat pendidikan masyarakat. Dan menjadikan semua sarana kesehatan termasuk apotek sebagai tempat praktek profesi apoteker dan dokter praktek menjadi sarana yang berfungsi meningkatkan tingkat pendidikan kesehatan.

Semoga bangsa kita kedepan menjadi bangsa yang cerdas

1 komentar:

  1. UU no. 36/2009 pasal 108 " bahwa segala pelayanan kesehatan yang berhubungan dengan obat harus dilakukan oleh seorang apoteker...

    Inilah yang harus kita perjuangkan bagi seorang apoteker seperti yang berlaku di banyak negara misalnya arab saudi saat saya umroh tahun 2012 ada teman sehotel kami yang sakit dokter mendiagnosa penyakitnya dan apoteker lah yang menentukan obat nya....

    diman peran IAI disini sebagai organisasi profesi yang harus memperjuangkan hak-hak anggota nya.....

    apoteker sangat menguasai reaksi obat, molekul dan yang lainnya sedangkan dokter hanya mempelajari anatomi manusia beserta penyakitnya....

    ini yang harus diperjuangkan oleh IAI ke pemerintah lewat perwakilan kita di DPR.....

    BalasHapus