BELAJAR LEWAT TELEPON GENGGAM
Saat ini adalah era informasi, yang mana informasi sangat mudah diakses. Sebut saja hape atau telepon genggam, adalah alat komunikasi yang sangat umum yang mudah dioperasikan bahkan oleh anak-anak. Selain sebagai alat komunikasi telepon genggam juga bisa menjadi sumber informasi, karena telepon genggam saat ini dapat dipakai untuk mengakses internet hampir disetiap tempat. Banyak informasi yang dapat kita akses lewat telepon genggam.
Meskipun belum semua jenis data internet yang dapat diakses lewat telepon genggam, tetapi menurut saya telepon genggam sudah lebih dari cukup. Karena banyak informasi yang bisa saya dapatkan lewat telepon genggam. Sebagai apoteker saya sering kali dihadapkan kepada masalah informasi yang salah satunya adalah informasi mengenai perkembangan dunia kesehatan dan kefarmasian. Dan sebagian masalah tersebut cukup saya selesaikan lewat telepon genggam.
Mungkin anda juga mempunyai pengalaman yang sama dengan saya dalam menggunakan telepon genggam sebagai sumber informasi. mungkin anda juga berpendapat bila dunia hanya segenggam. Dunia memang hanya segenggam, informasi ada dalam genggaman kita saat ini, mulai koran, majalah, komix dan lain-lain. Kalau dijaman dulu saat kita butuh informasi, kita keperpustakaan dan pulang mungkin kita akan membawa buku besar, tetapi sekarang kita bisa mendapatkan banyak informasi cukup dari tempat kita tanpa harus beranjak kemana-mana.
Memang suatu hal mempunyai kelemahan, termasuk telepon genggam untuk berinternet ria. Salah satunya tulisan yang kecil-kecil, aksesnya cukup lama dan lain sebagainya. Tetapi dibalik kelemahan tersebut adalah banyak kelebihan penggunaan telepon genggam untuk mengakses sumber infomasi. antara lain
1. biaya cukup murah
2. dapat diakses dimana saja asal ada signal, disawah, dikota, dan sebagainya
3. kecil dan mudah dibawa, cuma segenggam.
4. harga telepon genggam relatif murah bila dibandingkan dengan komputer.
5. dsb
Sudah setahunan ini saya berinternet ria dengam telepon genggam. Saya yang ada di daerah sering kali kesulitan dalam mengakses informasi, apa lagi pada saat awal saya buka apotek. Dengan adanya telepon genggam untuk berinternet saya merasa sangat terbantu. Dulu kalau ingin mencari informasi saya harus ke warnet di kota yang jaraknya sekitar 10km dari apotek saya yang sekaligus rumah saya, tetapi sejak satu tahun yang lalu saya cukup ditempat saja dan informasi sudah bisa saya dapatkan.
Bahkan banyak pula informasi kefarmasian yang aku dapatkan lewat telepon genggam. Suatu hal yang tidak dapat saya bayangkan sebelumnya, yang mana saya diapotek bisa sampai 14 jam sehari, tetapi informasi tetap bisa saya dapatkan. suatu hal yang tidak mungkin terjadi tempo dulu.
Era informasi, yang mana informasi sangat-sangat tidak terbatas. Kita dapat belajar dimana saja tanpa harus beranjak dari tempat duduk kita, bahkan sambil tiduranpun kita bisa dapat informasi dan belajar. sungguh hal yang luar biasa. Terkadang sambil ngobrol dengan orang-orang diwarung di desa kita tetap ada informasi dan kesempatan belajarpun tetap terbuka. bahkan sambil jalan-jalan pagi menyusuri pemantang sawahpun informasi tetap bisa kita dapatkan.
Cuma sayangnya belum banyak informasi yang berbasis wap. Sangatlah beruntungnya saya seandainya ada situs ISFI yang berbasis wap. Apalagi bila seandainya ada ISO online yang berbasis wap. Mungkin kita akan lebih mudah dalam mencari atau menelusuri informasi untuk meningkatkan pengetahuan kita. Sebenarnya adalah wajar bila setahun lalu saat awal-awal saya belajar berinternet lewat telepon genggam saya membayangkan seandainya persyaratan kepemilikan buku-buku farmakope, undang-undang dan lain-lain dalam pembukaan apotek diganti dengan telepon genggam. Toh semua informasi dapat kita akses lewat internet dengan menggunakan telepon genggam.
Sabtu, 26 April 2008
Selasa, 22 April 2008
EMPIRIS DAN IMAJINATIF
EMPIRIS DAN IMAJINATIF
Ikatan Sarjana Farmasi Indonesi yang disingkat ISFI dalam perannya terhadap perkembangan profesi apoteker dapat dinilai kurang bagus pada awalnya, karena pada awalnya kepengurusannya jarang diisi oleh para apoteker aktif diapotek atau disebut praktisi penuh. Saat ini banyak apoteker praktisi penuh yang menjadi pengurus aktif ISFI, baik pada pengurus cabang atau pengurus daerah.
Seharusnya pengurus ISFI diisi oleh semua lapisan anggota ISFI yang mana ada birokrat, dosen dan praktisi penuh juga apoteker yang juga menjadi pengusaha. Dengan diisinya pengurus ISFI oleh para apoteker dari banyak latar belakang akan memperkaya ISFI dalam memecahkan permasalahan bangsa, terutama masalah kesehatan. Itulah sebabnya ISFI saat ini pola bergeraknya dalam mengembangkan profesi apoteker berbeda.
Tujuan dalam mengembangkan profesi adalah tetap, yaitu tercapainya derajat kesehatan yang tinggi dari masyarakat. memang dalam perannya apoteker tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus saling bersinergi dengan tenaga kesehatan lain. ISFI menyadari tidak ada satupun tenaga kesehatan yang mampu mengangkat derajat kesehatan masyarakat sendirian, tetapi harus bersama-sama dan saling bersinergi, sehingga dampak dari hasil sinergi ini akan sangat luar biasa.
Dalam tujuan tercapainya derajat kesehatan yang tinggi inilah yang selama ini menjadi tujuan yang sama dari para anggota ISFI, tetapi pada pola geraknya sering kali kita berbeda pendapat. perbedaan pendapat pada masa lalu sering kali hanya diselesaikan dengan empiris pengalaman pribadi dari pengurus yang umumnya bukan praktisi penuh dan imajinasi dari para apoteker yang umumnya juga bukan praktisi penuh. Hasilnya tentu saja akan sangat jauh dengan suatu idealisme profesi dan sering kali justru kontra produktif terhadap eksistensi apoteker sendiri. Dengan banyaknya para apoteker praktisi penuh yang menjadi pengurus justru memberi banyak masukan yang mana sangat membuka wawasan dan cara berpikir para sejawatnya.
Para praktisi penuh telah berhasil membuat masukan yang berarti dalam pemberlakuan TATAP dan apotek yang diisi oleh para praktisi penuh inilah laboratorium ISFI. maksudnya, praktisi penuh telah berhasil memberikan data yang sangat bagus bagi ISFI guna mengembangkan profesi apoteker yang lebih ideal. Dengan adanya data dari para praktisi penuh ini bukan berarti praktisi penuh adalah segalanya dalam pengembangan profesi, tetapi telah menjadi sumber data yang sangat berharga dan tak ternilai bagi pengembangan profesi apoteker kedepan.
Masukan dari para praktisi penuh adalah data yang selama ini digunakan sebagai dasar dari pengembangan TATAP. Masukan ini telah dikembangkan dan akan terus dikembangkan guna membentuk profesi yang ideal. dengan adanya data, maka pengembangan profesi apoteker menjadi lebih rasional, terarah dan tidak hanya berupa empiris pengalaman pribadi orang perorang juga bukan hanya imajigasi dari orang perorang. Sebelum banyak praktisi penuh yang menjadi pengurus ISFI, standart pelayanan hampir tidak jelas. Bukan berarti tidak ada standart, tetapi masing-masing apoteker secara kreatif membuat standart profesi secara sendiri-sendiri dan hasil akhirnya tentu standart yang sangat membingungkan para praktisi sendiri, utamanya praktisi penuh.
Pada akhirnya, kita telah meninggalkan empiris dan imajinatif untuk mendapatkan profesi yang ideal dengan mengambil data dari para praktisi penuh. Selanjutnya data ini yang akan diolah ISFI lewat HISFARMA, guna kepentingan profesi dan masyarakat luas. ISFI tidak boleh lagi akan menggunakan cara-cara tradisional dalam menyelesaikan masalah profesi, tetapi akan bekerja lebih baik dan modern dalam menyelesaikan masalah profesi. Akhir kata adalah agar profesi dapat berkembang secara maksimal dan optimal, maka semua permasalahan profesi tidak boleh lagi didasarkan pada empiris dan imajinatif, tetapi harus didasarkan pada data-data ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan.
Ikatan Sarjana Farmasi Indonesi yang disingkat ISFI dalam perannya terhadap perkembangan profesi apoteker dapat dinilai kurang bagus pada awalnya, karena pada awalnya kepengurusannya jarang diisi oleh para apoteker aktif diapotek atau disebut praktisi penuh. Saat ini banyak apoteker praktisi penuh yang menjadi pengurus aktif ISFI, baik pada pengurus cabang atau pengurus daerah.
Seharusnya pengurus ISFI diisi oleh semua lapisan anggota ISFI yang mana ada birokrat, dosen dan praktisi penuh juga apoteker yang juga menjadi pengusaha. Dengan diisinya pengurus ISFI oleh para apoteker dari banyak latar belakang akan memperkaya ISFI dalam memecahkan permasalahan bangsa, terutama masalah kesehatan. Itulah sebabnya ISFI saat ini pola bergeraknya dalam mengembangkan profesi apoteker berbeda.
Tujuan dalam mengembangkan profesi adalah tetap, yaitu tercapainya derajat kesehatan yang tinggi dari masyarakat. memang dalam perannya apoteker tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus saling bersinergi dengan tenaga kesehatan lain. ISFI menyadari tidak ada satupun tenaga kesehatan yang mampu mengangkat derajat kesehatan masyarakat sendirian, tetapi harus bersama-sama dan saling bersinergi, sehingga dampak dari hasil sinergi ini akan sangat luar biasa.
Dalam tujuan tercapainya derajat kesehatan yang tinggi inilah yang selama ini menjadi tujuan yang sama dari para anggota ISFI, tetapi pada pola geraknya sering kali kita berbeda pendapat. perbedaan pendapat pada masa lalu sering kali hanya diselesaikan dengan empiris pengalaman pribadi dari pengurus yang umumnya bukan praktisi penuh dan imajinasi dari para apoteker yang umumnya juga bukan praktisi penuh. Hasilnya tentu saja akan sangat jauh dengan suatu idealisme profesi dan sering kali justru kontra produktif terhadap eksistensi apoteker sendiri. Dengan banyaknya para apoteker praktisi penuh yang menjadi pengurus justru memberi banyak masukan yang mana sangat membuka wawasan dan cara berpikir para sejawatnya.
Para praktisi penuh telah berhasil membuat masukan yang berarti dalam pemberlakuan TATAP dan apotek yang diisi oleh para praktisi penuh inilah laboratorium ISFI. maksudnya, praktisi penuh telah berhasil memberikan data yang sangat bagus bagi ISFI guna mengembangkan profesi apoteker yang lebih ideal. Dengan adanya data dari para praktisi penuh ini bukan berarti praktisi penuh adalah segalanya dalam pengembangan profesi, tetapi telah menjadi sumber data yang sangat berharga dan tak ternilai bagi pengembangan profesi apoteker kedepan.
Masukan dari para praktisi penuh adalah data yang selama ini digunakan sebagai dasar dari pengembangan TATAP. Masukan ini telah dikembangkan dan akan terus dikembangkan guna membentuk profesi yang ideal. dengan adanya data, maka pengembangan profesi apoteker menjadi lebih rasional, terarah dan tidak hanya berupa empiris pengalaman pribadi orang perorang juga bukan hanya imajigasi dari orang perorang. Sebelum banyak praktisi penuh yang menjadi pengurus ISFI, standart pelayanan hampir tidak jelas. Bukan berarti tidak ada standart, tetapi masing-masing apoteker secara kreatif membuat standart profesi secara sendiri-sendiri dan hasil akhirnya tentu standart yang sangat membingungkan para praktisi sendiri, utamanya praktisi penuh.
Pada akhirnya, kita telah meninggalkan empiris dan imajinatif untuk mendapatkan profesi yang ideal dengan mengambil data dari para praktisi penuh. Selanjutnya data ini yang akan diolah ISFI lewat HISFARMA, guna kepentingan profesi dan masyarakat luas. ISFI tidak boleh lagi akan menggunakan cara-cara tradisional dalam menyelesaikan masalah profesi, tetapi akan bekerja lebih baik dan modern dalam menyelesaikan masalah profesi. Akhir kata adalah agar profesi dapat berkembang secara maksimal dan optimal, maka semua permasalahan profesi tidak boleh lagi didasarkan pada empiris dan imajinatif, tetapi harus didasarkan pada data-data ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan.
Rabu, 16 April 2008
STOK VS TATAP
STOK VS TATAP
Sengaja aku tulis STOK VS TATAP, hal ini adalah salah satu yang diungkapkan beberapa teman sejawat apoteker yang sudah mencoba penerapan TATAP. Suatu hal dilematis pada penerapan TATAP yang lebih mengutamakan pelayanan kefarmasian yang akhirnya sering kali kartu stok tebengkalai.
Suatu hal yang sangat manusiawi bila pada apotek kecil yang mengutamakan pelayanan demi keselamatan masyarakat banyak, kartu stok terlupakan, mengingat masyarakat kita umumnya tidak sabar dalam pelayanan dan tidak mau menunggu dan sukanya main serobot saja. Demi meningkatkan kecepatan pelayanan tanpa mengurangi hak masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kesehatan bidang kefarasian, sering kali apoteker menjadi tidak sempat mengisi kartu stok. Bila kartu stok di ditertibkan maka apotek bisa jadi tidak laku karena pelayanan kalah sama yang tidak menerapkan TATAP, karena mereka menggunakan tenaga pelayanan sub standart yang asal murah.jangan-jangan karena memburu murah akhirnya nungsep seperti maskapai penerbangan kita yang ujung-ujungnya nungsep juga.
Kartu stok keberadaannya sangat penting dan penting sekali, karena dari kartu stok dapat dimonitor kemana saja larinya obat dan kemungkinan penyalah gunaan obat. Bisa jadi tanpa kartu stok boleh dibilang apotek tidak melakukan pekerjaan dengan benar. Pelanggaran praktek pelayanan kefarmasian dianggap telah terjadi. Tapi apa gunanya kartu stok bila apoteker tak ada? Apakah kartu stoknya bis dipertanggung jawabkan?
Dari urut-urutan pelayanan kefarmasian kartu stok sebenarnya ada pada urutan terakhir, karena TATAP sendirilah yang menjadi urutan pertama. Bila apotek pada jam buka dibuka dengan tidak ada apoteker, maka semua jenis layanan kefarmasian dianggap menyalahi aturan dan tidakdapat dipertanggung jawabkan atau dengan kata lain substandart. Mengapa hal ini menjadi buah pikiran dari sebagian teman kita? Alasan utamanya adalah bagaimana stok bisa benar, pelayanan bisa benar dan semuanya bisa benar kalau tenaga yang berkompetensi tidak ada? Suatu mission imposible.
Tak ada gunanya kartu stok benar bila TATAP tidak ada. Hal lain lagi adalah tidak mungkin penyaluran perbekalan farmasi akan benar bila tidak ada apoteker. Hal yang harus kita sadari atau kita utamakan adalah obat sampai kemasyarakat harus benar dan pasien harus selamat.
Tanpa TATAP, maka konseling, PIO, edukasi dan lain sebagainya adalah tidak mungkin. Jadi apa gunanya kartu stok tanpa ada TATAP?
Kita harus menghargai para pelaksana TATAP yang sekarang sudah melakukan, karena dari biaya operasionalnya saja para pelaku TATAP umumnya harus menanggung biaya perasional 2-5% lebih mahal, yang ujung-ujungnya margin keuntungan para pelaku TATAP adalah lebih kecil.
Tak ada alasan untuk tidak melakukan TATAP mengingat banyak apotek yang melakukan TATAP tetap eksis. Janga salahkan TATAP bila apotek rugi karena penerapan TATAP. Banyak alasan yang mengatakan TATAP akan membuat apotek merugi, dan alasan itu sebenarnya Cuma dibuat-buat saja demi mengeruk keuntungan apotek yan sebesar-besarnya. Dan jangan salahkan TATAP bila penyelenggara apotek sebenarnya memang tidak mempunyai kemampuan manajemen yang baik.
Banyak yang menyalahkan apoteker sebagai penyebab mahalnya biaya operasional apotek, tetapi seharusnya kita berpikir bahwa keselamatan adalah mahal. Karena keselamatan adalah segala-galanya bagi suatu penyelanggaraan semua jenis pelayanan termasuk apotek, maka TATAP harus ada pada urutan pertama dalam pelayanan kefarmasian. Bila TATAP tak diterapkan, mungkin juga tidak ada gunanya penerapa GMP pada pabrik obat atau juga pada pabrik jamu, kosmetik, makanan dan sebagainya.
Kita sadari TATAP bukan satu-satunya persyaratan yang harus dipenuhi dalam penyelanggaraan pelayanan kefarmasian di apotek, tetapi TATAP adalah awal dan paling utama dalam penyelenggaraan apotek yang ideal. Tak mungkin masyarakat bermimpi pelayanan kefarmasian yang ideal bila TATAP tidak berjalan.
Tulisan ini bukan untuk menggurui siapa saja, tetapi hanyalah terjemahan saya dari pelaku TATAP yang menginginkan TATAP yang ideal demi kemanusiaan. Ketidak inginan menggurui siapa saja, karena banyak sekali apoteker yang mempunyai potensi yang belum dimanfaatkan dengan benar dalam proses pelayanan kesehatan bangsa. Menurut saya potensi apoteker dalam membangun kesehatan bangsa adalah ibarat harta karun terpendam yang belum dimanfaatkan oleh bangsa ini.
Sengaja aku tulis STOK VS TATAP, hal ini adalah salah satu yang diungkapkan beberapa teman sejawat apoteker yang sudah mencoba penerapan TATAP. Suatu hal dilematis pada penerapan TATAP yang lebih mengutamakan pelayanan kefarmasian yang akhirnya sering kali kartu stok tebengkalai.
Suatu hal yang sangat manusiawi bila pada apotek kecil yang mengutamakan pelayanan demi keselamatan masyarakat banyak, kartu stok terlupakan, mengingat masyarakat kita umumnya tidak sabar dalam pelayanan dan tidak mau menunggu dan sukanya main serobot saja. Demi meningkatkan kecepatan pelayanan tanpa mengurangi hak masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kesehatan bidang kefarasian, sering kali apoteker menjadi tidak sempat mengisi kartu stok. Bila kartu stok di ditertibkan maka apotek bisa jadi tidak laku karena pelayanan kalah sama yang tidak menerapkan TATAP, karena mereka menggunakan tenaga pelayanan sub standart yang asal murah.jangan-jangan karena memburu murah akhirnya nungsep seperti maskapai penerbangan kita yang ujung-ujungnya nungsep juga.
Kartu stok keberadaannya sangat penting dan penting sekali, karena dari kartu stok dapat dimonitor kemana saja larinya obat dan kemungkinan penyalah gunaan obat. Bisa jadi tanpa kartu stok boleh dibilang apotek tidak melakukan pekerjaan dengan benar. Pelanggaran praktek pelayanan kefarmasian dianggap telah terjadi. Tapi apa gunanya kartu stok bila apoteker tak ada? Apakah kartu stoknya bis dipertanggung jawabkan?
Dari urut-urutan pelayanan kefarmasian kartu stok sebenarnya ada pada urutan terakhir, karena TATAP sendirilah yang menjadi urutan pertama. Bila apotek pada jam buka dibuka dengan tidak ada apoteker, maka semua jenis layanan kefarmasian dianggap menyalahi aturan dan tidakdapat dipertanggung jawabkan atau dengan kata lain substandart. Mengapa hal ini menjadi buah pikiran dari sebagian teman kita? Alasan utamanya adalah bagaimana stok bisa benar, pelayanan bisa benar dan semuanya bisa benar kalau tenaga yang berkompetensi tidak ada? Suatu mission imposible.
Tak ada gunanya kartu stok benar bila TATAP tidak ada. Hal lain lagi adalah tidak mungkin penyaluran perbekalan farmasi akan benar bila tidak ada apoteker. Hal yang harus kita sadari atau kita utamakan adalah obat sampai kemasyarakat harus benar dan pasien harus selamat.
Tanpa TATAP, maka konseling, PIO, edukasi dan lain sebagainya adalah tidak mungkin. Jadi apa gunanya kartu stok tanpa ada TATAP?
Kita harus menghargai para pelaksana TATAP yang sekarang sudah melakukan, karena dari biaya operasionalnya saja para pelaku TATAP umumnya harus menanggung biaya perasional 2-5% lebih mahal, yang ujung-ujungnya margin keuntungan para pelaku TATAP adalah lebih kecil.
Tak ada alasan untuk tidak melakukan TATAP mengingat banyak apotek yang melakukan TATAP tetap eksis. Janga salahkan TATAP bila apotek rugi karena penerapan TATAP. Banyak alasan yang mengatakan TATAP akan membuat apotek merugi, dan alasan itu sebenarnya Cuma dibuat-buat saja demi mengeruk keuntungan apotek yan sebesar-besarnya. Dan jangan salahkan TATAP bila penyelenggara apotek sebenarnya memang tidak mempunyai kemampuan manajemen yang baik.
Banyak yang menyalahkan apoteker sebagai penyebab mahalnya biaya operasional apotek, tetapi seharusnya kita berpikir bahwa keselamatan adalah mahal. Karena keselamatan adalah segala-galanya bagi suatu penyelanggaraan semua jenis pelayanan termasuk apotek, maka TATAP harus ada pada urutan pertama dalam pelayanan kefarmasian. Bila TATAP tak diterapkan, mungkin juga tidak ada gunanya penerapa GMP pada pabrik obat atau juga pada pabrik jamu, kosmetik, makanan dan sebagainya.
Kita sadari TATAP bukan satu-satunya persyaratan yang harus dipenuhi dalam penyelanggaraan pelayanan kefarmasian di apotek, tetapi TATAP adalah awal dan paling utama dalam penyelenggaraan apotek yang ideal. Tak mungkin masyarakat bermimpi pelayanan kefarmasian yang ideal bila TATAP tidak berjalan.
Tulisan ini bukan untuk menggurui siapa saja, tetapi hanyalah terjemahan saya dari pelaku TATAP yang menginginkan TATAP yang ideal demi kemanusiaan. Ketidak inginan menggurui siapa saja, karena banyak sekali apoteker yang mempunyai potensi yang belum dimanfaatkan dengan benar dalam proses pelayanan kesehatan bangsa. Menurut saya potensi apoteker dalam membangun kesehatan bangsa adalah ibarat harta karun terpendam yang belum dimanfaatkan oleh bangsa ini.
Selasa, 15 April 2008
JUMLAH APOTEKER DI APOTEK YANG IDEAL
JUMLAH APOTEKER DI APOTEK YANG IDEAL
Saya buka web isfi, ada tulisan dengan judul PERANAN APOTEKER MENUJU INDONESIA SEHAT 2010. disana ada tulisan yang menurut pemahaman aku, mengajak untuk menyediakan minimal 2 apoteker pada apotek yang melayani masyarakat diatas 8jam dan minimal 3 apoteker pada apotek yang buka 24 jam. Menurut aku adalah ide yang bagus yang patut kita dukung.
Cuma sebelum diterapkan sebaiknya diadakan penelitian dulu apakah jumlah minimal itu sudah sesuai dengan keadaan lapangan. Jangan-jangan setelah diterapkan kita sendiri yang akhirnya kelabakan karena ternyata tidak sesuai dengan keberadaan kita sendiri. Banyak hal yang harus dipertimbangkan sebelum sesuatuhal itu diputuskan. Sebagai contoh, apotek banyak yang buka pagi sore (2 sip) saat ini, senin sampai senin lagi. Bila terjadi seperti itu bagaimana dengan hari minggu, tak mungkin apoteker yang apoteknya bukan punyanya sendiri akan mau masuk 7 hari kerja.
Atau pada kasus lain, bagaimana apotek sekarang yang ditunggui sendiri oleh apotekernya yang juga menjadi rumahnya, dan bila berhalangan hadir akan ditutup, dan biasa kerja lebih dari 10 jam per hari. Sebaiknya ada penelitian-penelitian, yang salah satunya adalah berapa jam apoteker dapat bekerja dengan optimal selama satu hari, satu minggu, satu bulan, satu tahun dan sebagainya. Karena kemampuan setiap orang dalam bekerja adalah berbeda-beda.
Selain harus ada penelitian didalam kemampuan apoteker sendiri, juga harus diteliti tentang keberadaan apotek itu sendiri saat ini, apakah sudah memenuhi syarat atau belum sama sekali yang selanjutnya harus diambil suatu tindakan agar apotek menuju ideal. Harusnya ada pemataan aptek dan kebutuhan model apotek, karena perbedaan strata sosial dalam masyarakat bisa jadi membutukan model apotek yang berbeda. Dalam setiap mode harus dibuat bentukidealnya.
Sebenarnya lebih simple bila kita mengsaratkan saja TATAP atau tak ada apoteker tak ada pelayanan, karena berapapun jumlah apoekernya, tetapi bila saat itu tidak ada apoeker sama sekali apotek harus tutup. Takperlu ribet dengan bahasa peraturan dan lain sebagainya, dan bila ternyata ditemukan apotek yang buka dan melakukan pelayanan tanpa apoteker, maka apotek langsung bisa dikenai sanksi. Berat ringannya sanksi tegantung dari suatu kesepakatan kita.
Sebenarnya pada tatap ideal jumlah apoteker tidak hanya ditentukan oleh jam buka apotek semata, tetapi juga ditetukan oleh banyak hal yang antara lain jumlah kebutuan pelayanan kefarmasian di apotek itu sendiri. Missal apotek dibuka hanya beberapa jam saja tetapi bila volume pelayanannya tinggi, maka dibutuhkan banyak apoteker.
Sedangkan hal-hal yang mempengaruhi jumlah kebutuhan pelayanan kefarmasian antara lain 1. jumlah penduduk 2. jumlah sarana kesehatan disekitar apotek, 3. tingkat ekonomi masyarakat, 4. kesadaran masyarakat akan hidup sehat, 5. tingkat pendidikan, 6. pusat keramaian seperti pasar dan ain-lain.
Bila kita menghitung jumlah kebutuhan pelayanan kefarmasian sebelum apotek buka akan sulit, dan menurut saya akan butuh suatu study yang cukup panjang. Simpelnya untuk saat ini adalah berlakukan saja TATAP. Meski pemberlakuan ini belum ideal. Atau gunakan saja standart-standart yang sudah ada saat ini missal dari WHO atau dari DepKes.
Ide untuk mensyaratkan jumlah apoteker minimal adalah baik tetapi belum mencerminkan suatu upaya pelayanan kesehatan yang ideal. Oleh karena itu ke depan ISFI dan HISFARMA harus ampu melakukan penelitian-penelitian yang lebih lengkap akan kebutuhan apoteker kedepan. Dengan menghitung faktor-faktor yang mempengaruhi. Yang paling penting saat ini adalah kesepakatan bila TATAP tak jalan harus ada sanksi sesuai kesepakatan kita. Bila kita sudah sepakat dan ternyata apotek tak ada apotekernya saat jam buka, maka apotk harus diberi sanksi seperti kesepakatan. Karena bila bipersaratkan julam apoteker minimal dan ternyata apoteker minimal itu ternyata hanya nama doang ya tak ada gunanya.
Kesimpulan saya TATAP adalah bukan dengan mensyaratkan jumla minimal apoteker yang ada diapotek, tetapi apoteker harus ada saat jam buka apotek. Mungkin apotek bisa saja butuh banyak apoteker, bila dalam apotek apotekernya hanya mampu bekerja beberapa sip saja, missal hanya 2sip dalam satu minggu. Kita harus pula menghargai bila apoteker praktek dalam satu muinggu hanya beberapa sip saja, yang penting adalah keberadaan apoteker saat jam buka apotek.
MARILAH KITA TUTUP APOTEK KITA BILA KITA BERHALANGAN HADIR DIAPOTEK PADA SAAT JAM BUKA APOTEK.
Saya buka web isfi, ada tulisan dengan judul PERANAN APOTEKER MENUJU INDONESIA SEHAT 2010. disana ada tulisan yang menurut pemahaman aku, mengajak untuk menyediakan minimal 2 apoteker pada apotek yang melayani masyarakat diatas 8jam dan minimal 3 apoteker pada apotek yang buka 24 jam. Menurut aku adalah ide yang bagus yang patut kita dukung.
Cuma sebelum diterapkan sebaiknya diadakan penelitian dulu apakah jumlah minimal itu sudah sesuai dengan keadaan lapangan. Jangan-jangan setelah diterapkan kita sendiri yang akhirnya kelabakan karena ternyata tidak sesuai dengan keberadaan kita sendiri. Banyak hal yang harus dipertimbangkan sebelum sesuatuhal itu diputuskan. Sebagai contoh, apotek banyak yang buka pagi sore (2 sip) saat ini, senin sampai senin lagi. Bila terjadi seperti itu bagaimana dengan hari minggu, tak mungkin apoteker yang apoteknya bukan punyanya sendiri akan mau masuk 7 hari kerja.
Atau pada kasus lain, bagaimana apotek sekarang yang ditunggui sendiri oleh apotekernya yang juga menjadi rumahnya, dan bila berhalangan hadir akan ditutup, dan biasa kerja lebih dari 10 jam per hari. Sebaiknya ada penelitian-penelitian, yang salah satunya adalah berapa jam apoteker dapat bekerja dengan optimal selama satu hari, satu minggu, satu bulan, satu tahun dan sebagainya. Karena kemampuan setiap orang dalam bekerja adalah berbeda-beda.
Selain harus ada penelitian didalam kemampuan apoteker sendiri, juga harus diteliti tentang keberadaan apotek itu sendiri saat ini, apakah sudah memenuhi syarat atau belum sama sekali yang selanjutnya harus diambil suatu tindakan agar apotek menuju ideal. Harusnya ada pemataan aptek dan kebutuhan model apotek, karena perbedaan strata sosial dalam masyarakat bisa jadi membutukan model apotek yang berbeda. Dalam setiap mode harus dibuat bentukidealnya.
Sebenarnya lebih simple bila kita mengsaratkan saja TATAP atau tak ada apoteker tak ada pelayanan, karena berapapun jumlah apoekernya, tetapi bila saat itu tidak ada apoeker sama sekali apotek harus tutup. Takperlu ribet dengan bahasa peraturan dan lain sebagainya, dan bila ternyata ditemukan apotek yang buka dan melakukan pelayanan tanpa apoteker, maka apotek langsung bisa dikenai sanksi. Berat ringannya sanksi tegantung dari suatu kesepakatan kita.
Sebenarnya pada tatap ideal jumlah apoteker tidak hanya ditentukan oleh jam buka apotek semata, tetapi juga ditetukan oleh banyak hal yang antara lain jumlah kebutuan pelayanan kefarmasian di apotek itu sendiri. Missal apotek dibuka hanya beberapa jam saja tetapi bila volume pelayanannya tinggi, maka dibutuhkan banyak apoteker.
Sedangkan hal-hal yang mempengaruhi jumlah kebutuhan pelayanan kefarmasian antara lain 1. jumlah penduduk 2. jumlah sarana kesehatan disekitar apotek, 3. tingkat ekonomi masyarakat, 4. kesadaran masyarakat akan hidup sehat, 5. tingkat pendidikan, 6. pusat keramaian seperti pasar dan ain-lain.
Bila kita menghitung jumlah kebutuhan pelayanan kefarmasian sebelum apotek buka akan sulit, dan menurut saya akan butuh suatu study yang cukup panjang. Simpelnya untuk saat ini adalah berlakukan saja TATAP. Meski pemberlakuan ini belum ideal. Atau gunakan saja standart-standart yang sudah ada saat ini missal dari WHO atau dari DepKes.
Ide untuk mensyaratkan jumlah apoteker minimal adalah baik tetapi belum mencerminkan suatu upaya pelayanan kesehatan yang ideal. Oleh karena itu ke depan ISFI dan HISFARMA harus ampu melakukan penelitian-penelitian yang lebih lengkap akan kebutuhan apoteker kedepan. Dengan menghitung faktor-faktor yang mempengaruhi. Yang paling penting saat ini adalah kesepakatan bila TATAP tak jalan harus ada sanksi sesuai kesepakatan kita. Bila kita sudah sepakat dan ternyata apotek tak ada apotekernya saat jam buka, maka apotk harus diberi sanksi seperti kesepakatan. Karena bila bipersaratkan julam apoteker minimal dan ternyata apoteker minimal itu ternyata hanya nama doang ya tak ada gunanya.
Kesimpulan saya TATAP adalah bukan dengan mensyaratkan jumla minimal apoteker yang ada diapotek, tetapi apoteker harus ada saat jam buka apotek. Mungkin apotek bisa saja butuh banyak apoteker, bila dalam apotek apotekernya hanya mampu bekerja beberapa sip saja, missal hanya 2sip dalam satu minggu. Kita harus pula menghargai bila apoteker praktek dalam satu muinggu hanya beberapa sip saja, yang penting adalah keberadaan apoteker saat jam buka apotek.
MARILAH KITA TUTUP APOTEK KITA BILA KITA BERHALANGAN HADIR DIAPOTEK PADA SAAT JAM BUKA APOTEK.
Minggu, 13 April 2008
KEBERADAAN TATAP BAGI APOTEKER
KEBERADAAN TATAP BAGI APOTEKER
Keberadaan TATAP bagi apoteker akan menjadikan apoteker sebagai profesional yang lebih dikenal masyarakat, karena bersentuhan langsung dengan masyarakat. Banyak keuntungan yang akan didapat apoteker sebagai pofesional, karena akan mendapatkan jasa yang terkait langsung dengan perkerjaannya dan tanggung jawabnya. Dan akhirnya adalah kebanggaan sebagai apoteker.
Banyak apoteker yang berkualitas, dengan berbagai keahlian, tetapi saat ini belum dimanfaatkan secara maksimal oleh apotek. Hal ini yang menjadikan apoteker sulit berkembang seperti sejawatnya yang lain. Kesalahan dari semua elemen masyarakat adalah lebih mementingkan fungsi apoteker hanya sebatas pengelola perbekalan farmasi, dan kurang dalam memanfaatka apoteker dalam fungsi-fungsi lain seperti sebagai salah satu tempat informasi obat masyarakat.
Seperti halnya pada kasus-kasus formalin, susu yang mengandung bakteri yang diduga pathogen, isu penarikan obat-obat atau suplemen dan lain sebagainya. Pada kasus-kasus ini sebenarnya masyarakat tidak perlu susah-susah mencari informasi kemana-mana yang belum tentu benar tentang kebenarannya, cukup cari saja apoteker di apotek keluarga anda. Demikian juga bagi pemerintah, bila ada informasi yang terkait berita yang belum tentu benar tentang sediaan farmasi cukup diarahkan kepada apotek disekitar masyarakat tinggal.
Mungkin yang menjadi pertanyaan adalah apakah apoteker mampu menjawab semua itu? Selama saya praktek sebagai apoteker sering kali kasus-kasus berita yang tidak benar baik yang beredar melalui internet atau media masa selalu saya informasikan dengan baik kepada masyarakat yang membutuhkan. Dan selama ini saya mampu. Bila ada yang kita kurang mengerti biasanya kita komunikasikan dengan sejawat apoteker lain yang memang bekerja pada bidang terkait yang kemungkinan sumber informasinya lebih dapat dipertangung jawabkan.
Karena peran apoteker yang berkembang sangat luas pada berbagai bidang termasuk pada bidang sosial inilah maka TATAP menjadi kebutuhan bagi profesi apoteker. Dengan adanya penerapan TATAP di apotek maka diharapkan komunikasi antar apoteker meningkat dan menjadikan kualitas dan kuantitas pelayanan meningkat. Mungkin belum banyak yang setuju bila APA dari sebuah apotek merangkap menjadi Apoteker Pendamping diapotek lain, meski dampak pada profesi justru akan meningkatkan profesionalisme dengan pesat.
Banyak apoteker dalam pengamatan saya yang justru berkembang karena bekerja di dua tempat seperti rumah sakit dengan apotek, perkembangan ini dikarenakan ada komunikasi antara apoteker dengan sejawat lainnyadi rumah sakit. Hasilnya peningkatan penguasaan informasi yang lebih baik, demikian juga dengan apoteker yang bekerja didua tempat seperti dosen pengajar di PT dan di apotek.
Dengan meningkatnya komunikasi antar apoteker, maka diharapkan akan meningkat pula penguasaan sain oleh apoteker. APA yang menjadi pendamping di apotek lain bisa saja menjadi sumber informasi bagi apoteker yang didampinginya dan sebaliknya. Yang penting peran apoteker didalam apotek sebagai pelayan masyarakat harus ada, entah mereka bekerja diberapa tempat yan penting adalah dalam menjalankan pekerjaannya rasional atau masih mungkin dilakukan.
Hal-hal yang seharusnya dianggap tidak etis adalah bila apoteker sudah bekerja pada industri dan tak sempat lagi diapotek tetapi dipaksakan untuk tetap menjadi APA disebuah apotek. Hal ini masih saja bisa terjadi. Hal lain lagi adalah apoteker yang merangkap sales representative tetap menjadi APA disebuah apotek. Pada kedua hal diatas berbeda dengan APA yang juga menjadi pendamping ditempat lain, karena pekerjaannya sama, perannya dimasyarakat sama, yang beda adalah tanggung jawab terhadap apotek saja. Yang penting adalah dalam pembagian jam kerjanya rasional dan memungkinkan untuk bekerja di dua tempat.
Peran TATAP justru dapat meningkatkan penghasilan apoteker, karena apoteker akan bisa bekerja dengan lebih maksimal dan jasa profesi akan menjadi lebih tinggi. Sudah seharusnya bila apoteker ikut membantu perkembangan apotek dan apoteker mendapatkan jasa yang layak karena perannya itu.
Kendala pelaksanaan TATAP yang ideal, yang paling berat adalah sosialisasi kepada para apoteker, karena pada masa-masa dulu ISFI dalam mengajak anggotanya dalam memperjuangkan profesi tidak didukug oleh data. Sehingga dalam menjalankan perannya, ISFI akan kesulitan sendiri dan anggota akan menjadi bingung mengikuti kebijakan ISFI.
Banyak saya berbicara dengan teman sejawat baik yang dari pemerintahana atau swasta yang justru mendukung TATAP yang ideal. Dan dari uji coba awal saya justru dapat meningkatkan pehasilan apoteker dan masyarakat justru sangat diuntungkan. TATAP yang ideal membutuhkan data dalam pengembangannya, dan saat ini sudah seharusnyaISFI dan HISFARMA menyiapkan data-data yang akan mampu menjadikan TATAP yang ideal yang didukung oleh seluruh elemen masyarakat dan anggota ISFI sendiri.
Kesimpulan saya, kenapa TATAP yang ideal masih menjadi wacana? karena ISFI dan HISFARMA masih minim data yang dapat dijadikan landasan TATAP yang ideal. Dan saat ini sepertinya sudah dipikirkan oleh ISFI dan HISFARMA untuk menyusun data guna pengembangan profesi yang berasis pelayanan kefarmasian masyarakat.
Keberadaan TATAP bagi apoteker akan menjadikan apoteker sebagai profesional yang lebih dikenal masyarakat, karena bersentuhan langsung dengan masyarakat. Banyak keuntungan yang akan didapat apoteker sebagai pofesional, karena akan mendapatkan jasa yang terkait langsung dengan perkerjaannya dan tanggung jawabnya. Dan akhirnya adalah kebanggaan sebagai apoteker.
Banyak apoteker yang berkualitas, dengan berbagai keahlian, tetapi saat ini belum dimanfaatkan secara maksimal oleh apotek. Hal ini yang menjadikan apoteker sulit berkembang seperti sejawatnya yang lain. Kesalahan dari semua elemen masyarakat adalah lebih mementingkan fungsi apoteker hanya sebatas pengelola perbekalan farmasi, dan kurang dalam memanfaatka apoteker dalam fungsi-fungsi lain seperti sebagai salah satu tempat informasi obat masyarakat.
Seperti halnya pada kasus-kasus formalin, susu yang mengandung bakteri yang diduga pathogen, isu penarikan obat-obat atau suplemen dan lain sebagainya. Pada kasus-kasus ini sebenarnya masyarakat tidak perlu susah-susah mencari informasi kemana-mana yang belum tentu benar tentang kebenarannya, cukup cari saja apoteker di apotek keluarga anda. Demikian juga bagi pemerintah, bila ada informasi yang terkait berita yang belum tentu benar tentang sediaan farmasi cukup diarahkan kepada apotek disekitar masyarakat tinggal.
Mungkin yang menjadi pertanyaan adalah apakah apoteker mampu menjawab semua itu? Selama saya praktek sebagai apoteker sering kali kasus-kasus berita yang tidak benar baik yang beredar melalui internet atau media masa selalu saya informasikan dengan baik kepada masyarakat yang membutuhkan. Dan selama ini saya mampu. Bila ada yang kita kurang mengerti biasanya kita komunikasikan dengan sejawat apoteker lain yang memang bekerja pada bidang terkait yang kemungkinan sumber informasinya lebih dapat dipertangung jawabkan.
Karena peran apoteker yang berkembang sangat luas pada berbagai bidang termasuk pada bidang sosial inilah maka TATAP menjadi kebutuhan bagi profesi apoteker. Dengan adanya penerapan TATAP di apotek maka diharapkan komunikasi antar apoteker meningkat dan menjadikan kualitas dan kuantitas pelayanan meningkat. Mungkin belum banyak yang setuju bila APA dari sebuah apotek merangkap menjadi Apoteker Pendamping diapotek lain, meski dampak pada profesi justru akan meningkatkan profesionalisme dengan pesat.
Banyak apoteker dalam pengamatan saya yang justru berkembang karena bekerja di dua tempat seperti rumah sakit dengan apotek, perkembangan ini dikarenakan ada komunikasi antara apoteker dengan sejawat lainnyadi rumah sakit. Hasilnya peningkatan penguasaan informasi yang lebih baik, demikian juga dengan apoteker yang bekerja didua tempat seperti dosen pengajar di PT dan di apotek.
Dengan meningkatnya komunikasi antar apoteker, maka diharapkan akan meningkat pula penguasaan sain oleh apoteker. APA yang menjadi pendamping di apotek lain bisa saja menjadi sumber informasi bagi apoteker yang didampinginya dan sebaliknya. Yang penting peran apoteker didalam apotek sebagai pelayan masyarakat harus ada, entah mereka bekerja diberapa tempat yan penting adalah dalam menjalankan pekerjaannya rasional atau masih mungkin dilakukan.
Hal-hal yang seharusnya dianggap tidak etis adalah bila apoteker sudah bekerja pada industri dan tak sempat lagi diapotek tetapi dipaksakan untuk tetap menjadi APA disebuah apotek. Hal ini masih saja bisa terjadi. Hal lain lagi adalah apoteker yang merangkap sales representative tetap menjadi APA disebuah apotek. Pada kedua hal diatas berbeda dengan APA yang juga menjadi pendamping ditempat lain, karena pekerjaannya sama, perannya dimasyarakat sama, yang beda adalah tanggung jawab terhadap apotek saja. Yang penting adalah dalam pembagian jam kerjanya rasional dan memungkinkan untuk bekerja di dua tempat.
Peran TATAP justru dapat meningkatkan penghasilan apoteker, karena apoteker akan bisa bekerja dengan lebih maksimal dan jasa profesi akan menjadi lebih tinggi. Sudah seharusnya bila apoteker ikut membantu perkembangan apotek dan apoteker mendapatkan jasa yang layak karena perannya itu.
Kendala pelaksanaan TATAP yang ideal, yang paling berat adalah sosialisasi kepada para apoteker, karena pada masa-masa dulu ISFI dalam mengajak anggotanya dalam memperjuangkan profesi tidak didukug oleh data. Sehingga dalam menjalankan perannya, ISFI akan kesulitan sendiri dan anggota akan menjadi bingung mengikuti kebijakan ISFI.
Banyak saya berbicara dengan teman sejawat baik yang dari pemerintahana atau swasta yang justru mendukung TATAP yang ideal. Dan dari uji coba awal saya justru dapat meningkatkan pehasilan apoteker dan masyarakat justru sangat diuntungkan. TATAP yang ideal membutuhkan data dalam pengembangannya, dan saat ini sudah seharusnyaISFI dan HISFARMA menyiapkan data-data yang akan mampu menjadikan TATAP yang ideal yang didukung oleh seluruh elemen masyarakat dan anggota ISFI sendiri.
Kesimpulan saya, kenapa TATAP yang ideal masih menjadi wacana? karena ISFI dan HISFARMA masih minim data yang dapat dijadikan landasan TATAP yang ideal. Dan saat ini sepertinya sudah dipikirkan oleh ISFI dan HISFARMA untuk menyusun data guna pengembangan profesi yang berasis pelayanan kefarmasian masyarakat.
Kamis, 10 April 2008
JUAL OBAT MURAH
JUAL OBAT MURAH
Banyak alasan mengapa masyarakat menginginkan harga obat murah, dan banyak alasan mengapa sebagian apotek ikut berlomba-lomba untuk menjual obat dengan harga murah. Meski harga murah bukan satu-satunya solusi untuk mengelola kesehatan dengan harga murah.
Banyak factor yang mempengaruhi harga dari suatu kesehatan. Satu hal yan seharusnya kita cermati sebagai anggota profesi atau sebagai anggota masyarakat dengan harga kesehatan yang murah antara lain ; 1. pengelolaan kesehatan yang baik, 2. pencegahan penyakit dan 3. ketepatan informasi obat.
- Pengelolaan kesehatan yang baik adalah pola hidup sehat yang seharusnya kita lakukan sehari-hari sebagai bagian dari penyakit. Juga pengetahuan kita tentang dasar-dasar penyakit dan cara penanganannya. Pengelolaan kesehatan yang baik adalah sangat erat dengan pengetahuan kita sebagai anggota masyarakat tentang dasar-dasar penyakit dan pola hidup sehat termasuk pengetahuan kita terhadap hal-hal yang antara lain: lingkungan, makanan dan bahaya obat.
- Pencegahan penyakit adalah lebih mengarah pada kasus-perkasus penyakit. Misal bagaimana agar DB tak menyebar dilingkungan kita, dan lain sebagainya. Kalau pada pengelolaan kesehatan adalah masalah umum maka pada pencegahan adalah masalah yang lebih khusus yang bisa jadi hanya disesuaikan dengan daerah tertentu.
- yang selanjutnya adalah masalah-masalah yang lebih spesifik yang menjadi penyerta yang antara lain adalah ketepatan informasi obat. Bila kasus penyakit sudah terjadi maka pada pengobatan, informasi obat adalah suatu hal yang sangat penting yang mempengaruhi keberhasilan pengobatan dan selanjutnya akan mempengaruhi biaya kesehatan itu sendiri.
Bagaimana dengan harga obat yang murah?
Harga obat yang murah belum tentu memberikan dampak biaya pengobatan yang murah pula, hal ini dikarenaka adanya banyak hal yan mempengaruhi biaya kesehatan. Pada apotek yang menerapkan harga murah umumnya hanya berperan sebagai penjual obat yang tidak mementingkan edukasi.
Pada pelayanan apotek yang berbasis profesi dan pelayanan masyarakat, edukasi merupakan salah satu hal yang sangat penting guna menekan biaya pengobatan. Yang mana dampaknya sering kali tidak terasa sesaat, tetapi pada jangka panjang akan membantu masyarakat memahami permasalahan kesehatannya sendiri. Dengan memahami kesehatannya sendiri diharapkan masyarakat akan mampu mengambil keputusan terbaik yang terkait kesehatannya.
Sebagai contoh adalah ada apotek yang hanya mengejar target penjualan dengan mengambil margin 7,5% atau setelah harga jual hanya sekitar 7%. Apakah apotek akan mendapat laba besar karena dikunjungi oleh banyak pasien? Jawabannya tentu saja belum tentu, karena hal ini tergantung pada banyak hal.
Menurut saya mengambil margin 7% untuk sebuah apotek akan ada untung ruginya. Untungnya pasien akan mendapat harga murah dan apotek akan mendapat banyak kunjungan. Akan banyak kunjungan bila analisanya tepat. Ruginya pasien tidak akan mendapat edukasi yang memadai dan apotek hanya mendapat margin laba kotor yang kecil, dan apotek akhirnya hanya mengejar target penjualan yang sangat besar.
Mengapa edukasi tak memadai, karena biaya gaji saja untuk sebuah apotek kecil berkisar 10% dan untuk apotek besar berkisar 5%. Bila margin apotek hanya 7%, maka apotek hanya akan berusaha menekan biaya gaji sampai 3% dan hal ini sangat sulit. Bila biaya gaji hanya 3%, maka volume pekerjaan per karyawan apotek akan sangat besar, karena volume pekerjaan besar maka tak mungkin ada waktu untuk edukasi dan pelayanan sosial lain..
Saya pernah berusaha menekan biaya gaji sampai 3% dari penjualan dan berhasil, dengan memberikan volume pekerjaan yang tinggi pada karyawan dengan kompensasi gaji sedikit lebih banyak. Tetapi hal ini sangat sulit dipenuhi bila kita juga menerapkan edukasi yang sering kali juga menyita banyak waktu. Maka menurut pendapat saya bila kita ingin menekan harga sangat murah akan ada korban yaitu masyarakat yang tidak akan mendapatka edukasi yang memadai.
Pada apotek yang mengambil margin laba 7% ini umumnya bila ada masyarakat yang berkonsultasi akan dijawab dengan jawaban yang sangat singkat dan umumnya berupa jawaban ya dan tidak. Bila masyarakat tidak menanyakan obatnya, maka masyarakat dianggap sudah tahu dan dianggap tidak perlu konsultasi, meskipun kenyataannya banyak masyarakat yang tidak tahu bila dirinya tidak paham dengan obat yang dibelinya.
Harga yang wajar
Menurut saya sebaiknya apotek menjual obat dengan harga yang wajar saja. Tidak terlalu mahal dan tidak terlalu murah. Dan sebaiknya kompetisi tidak diharga obat, tetapi dipelayanan, mengingat mencerdaskan kehidupan bangsa dibidang kesehatan adalah sangat mulia. Buat apa murah bila hasilnya seperti maskapai penerbangan yang tutup beberapa waktu lalu?
Buat masyarakat sebaiknya memilih apotek yang harganya wajar dan pelayanan oleh apotekernya memuaskan. Menghemat biaya kesehatan dengan memilih harga murah bukan satu-satunya, bahkan sering kali justru membuat kita boros. Seharusnya standar pelayananlah yang dibeli, bukan hanya sekedar obat yang murah.
Dan kenyataannya banyak apotek yang berkembang justru karena pelayanannya, meski harga standar atau sedikt lebih mahal. Harga murah, tetapi hak-hak pasien yang berupa PIO dan KIE rendah tak banyak pula manfaatnya.
Langganan:
Postingan (Atom)