MANAJEMEN BERBASIS PROFESI
Bisnis apotek adalah bisnis yang sangat dipengaruhi oleh adanya peraturan peraturan perundangan yang mengikat baik secara angsung atau tidak. Seperti dengan keluarnya PP51, mau tidak mau para pengusaha dibidang perapotekan harus berbenah menyesuaikan dengan peraturan yang baru. Meskipun ada masa peralihan, tetapi masa itu bila tidak dipersiapkan mulai sekarang bisa jadi pada saat penerapanya akan terlambat. Lebih baik sedia payung sebelum hujan, maksudnya mengantisipasi semuanya.
Sebelum keluarnya PP51, saya sudah sering untuk mengajak semua yang terlibat didalam bisnis perapotekan agar selalu mengikuti perkembangan jaman dan mengatisipasi semua perubahan. Karena setiap perubahan bisa jadi akan mempengaruhi bisnis secara nyata. Secara jujur saya tidak menyangka akan keluarnya PP51, tetapi dalam naluri bisnis saya, PP51 sudah saya antisipasi dengan menguji coba TATAP sebagai bagian manajemen berbasis profesi jauh hari sebelum PP51 dipikirkan. Banyak pilihan didalam mengelola apotek, tetapi pada beberapa hal menejemen apotek yang berbasis profesi lebih unggul.
Keunggulan pertama adalah SDM, dengan TATAP, maka pelayanan menjadi lebih rasional dan lebih dapat diterima masyarakat, tetapi kegagalan tetap ada karena beberapa faktor. Tetapi secara umum untuk saat ini manajemen berbasis profesi bisa dikatakan paling berhasil pada apotek milik apoteker. Meskipun modal yang dimiliki relatif kecil, tetapi eksistensinya lumayan bagus dan beberapa diantaranya bisa dikatakan sangat berhasil.
Tetapi ada sisi kelemahan disini, yang mana biaya operasional, mau atau tidak mau adalah lebih besar. Meskipun gaji pada beberapa sejawat dinyatakan tabu, tetapi kenyataannya apoteker masih memburu gaji, bukan jasa profesi. Inilah yang menyebabkab biaya operasional menjadi lebih besar. Secara umum yang saya tahu, gaji apoteker 2 kali gaji AA. Tetapi bila kita dapat mengantisipasi dengan baik, maka biaya yang besar dapat ditutup dengan kenaikan omset. Sekarang tinggal berapa kenaikan dari masing2 tersebut.
Sering kali saya mengajak kepada para sejawat untuk memulai manajemen yang berbasis profesi guna mengatisipasi perkembangan profesi kedepan. Karena bagaimanapiun juga suatu bangsa pasti akan berusaha untuk maju dan membangun semua hal kearah yang lebih ideal dan lebih baik bila dilihat dari banyak sisi. Sekali lagi saya bukan pembuat keputusan, tetapi merencanakan bisnis jauh kedepan adalah sangat penting. Dari awal membuka apotek, saya selalu berusaha memperkirakan jauh kedepan sekitar 5 sampai 10 tahun yang akan datang dengan harapan bila terjadi sesuatu yang dapat diperhitungkan secara manajemen kita tidak terkejut.
Keunggulan kedua, pada apotek yang berbasis profesi justru lebih bisa dibuka di daerah yang lebih kecil jumlah penduduknya. Karena apotek dengan manjemen berbasis profesi sangat dimungkinkan untuk bisa dibuka dan dijalankan langsung oleh apoteker. Dan otomatis karena tenaga praktek bisa dilakukan oleh apoteker secara mandiri, maka biaya operasional juga relatif kecil. Modalpun juga relatif lebih kecil. Model ini sebenarnya bisa dimanfaatkan oleh pemerintah guna pemerataan pelayanan kesehatan dibidang kefarmasian. Karena kelebihan pemerataan pelayanan dibidang kefarmasian dibandingkan pelayanan kesehatan lain adalah pemerintah tidak memerlukan anggaran untuk menggaji tenaga kesehatan karena bisa dilakukan secara mandiri oleh swasta atau profesi. Disini pemerintah cukup memberikan fasilitas saja dan bekerja sama dengan organisasi profesi.
Hanya dengan memberi fasilitas saja, pemerintah tetap bisa menjalankan program pembangunan kesehatan, yang meliputi pemerataan, edukasi, penyuluhan dan sebagainya termasuk penekanan peredaran obat palsu. Disini pemerintah tetap bisa meanfaatkan dan mengoptimalkan peran apoteker dengan sangat optimal dengan biaya murah. Meski dilakukan oleh swasta, pemerintah tetap bisa melakukan kontrol, karena proses perijinan tetap ada pada pemerintah. Berbeda dengan toko2 liar penjual obat yang sering kali justru melakukan layanan yang membahayakan jiwa dan tidak bisa dikontrol secara lansung oleh pemerintah. Semua ini tergantung kemauan pemerintah saja. Karena kepekaan pemerintah terhadap ini juga sangat diperlukan.
Juga pada peluang pembukaan lapangan pekerjaan setidaknya bagi apoteker sendiri. Pemerintah juga terbantu pada pembukaan lapangan pekerjaan guna menekan angka pengangguran. Bagaimanapun juga apoteker mandiri semacam ini seharusnya menjadi aset bagsa yang sangat besar nilainya. Selain itu karena peran apoteker dalam bidang kesehatan, maka bisa diharpkan produktifitas menjadi lebih tinggi. Karena pada pada badan yang sehat bisa diharapkan produktifitas juga meningkat. Juga bisa juga disinergiskan dengan program program pemerintah yang lain. Meskipun dilakukan swasta, apotek berbasis profesi tetap bisa disinergiskan dengan program lain semacam jaminan kesehatan. Banyka keterkaitannya bila kita mau menggali dengan sungguh sungguh.
Manajemen apotek yang berbasis profesi, lebih meletakan nilai nilai profesi yang lebih manusiawi dan lebih berorientasi kepada pasien. Manajemen ini akan lebih mudah dicerna oleh masyarkat modern atau perkotaan, sedangkan pada masyarkat pedesaan atau pelosok mungkin akan memerukan penyesuaian yang lebih lama. Mengingat tingkat pendidikan mereka juga berbeda. Kelemahan manajemen ini, setidaknya dibutuh waktu 6 bulan untuk sosialisasi pada daerah kosong. Sedangkan manajemen yang hanya berorientasi kepada barang hanya butuh harga murah untuk sosialisasi.
Oleh karena semua model yang dikembangkan mempunyai nilai plus dan minus, maka sebaiknya semua yang terlibat pada bisnis apotek mulai mempertimbangkan semua model manajemen. Dan untuk apoteker yang mempunyai apotek sendiri, sebaiknya meningkatkan penguasaan sainnya agar apotek tetap dapat berkembang. Disini bukan untuk persiapan ujian kompetensi saja, tetapi juga lebih megarah pada kebutuhan profesi secara utuh yang mana semua itu sudah termasuk didalamnya.
Pada akhirnya, manajemen yang berbasis profesi sebaiknya untuk lebih disiapkan secara intensif dan matang oleh para praktisi apotek. Karena bagaimanapun suatu negara mesti akan berkembang kearah yang lebih bagus. Jadi ada baiknya untuk dipersiapkan mulai sekarang baik dilihat dari sisi profesi untuk kepentingan pelayan, sisi uji kompetensi juga dari sisi bisnis apotek. Bila dalam penyiapannya ini ternyata para praktisi menemui kendala maka diperlukan pelatihan2 baik oleh pemerintah dan organisasi profesi agar berjalannya bisnis apotek justru lebih berkembang dengan adanya PP51 tersebut.
KARENA PERUBAHAN PERATURAN AKAN MEMPENGARUHI SEMUA ORANG, MAKA JANGAN TAKUT DENGAN PERUBAHAN PERATURAN, TETAPI JADIKAN PERUBAHAN PERATURAN SEBAGAI PELUANG
Selasa, 15 Desember 2009
Selasa, 08 Desember 2009
APOTEKER BELUM PROFESIONAL
APOTEKER BELUM PROFESIONAL
Seperti yang saya ketahui, semua profesional boleh melakukan praktek profesi secara mandiri. Dokter bisa paktek mandiri tanpa harus dibantu siapapun juga, demikian dengan notaris, bidan dsb. Sedangkan apoteker didalam praktek mandiri tidak diijinkan, harus mempekerjakan AA. Disinilah bukti apoteker belum profesional, atau setidaknya belum diakui oleh pemerintah. Kondisi seperti ini menurut aku bisa saja dipersepsikan bahwa profesionalisme apoteker masih diragukan. Bila tidak diragukan kenapa apoteker tidak boleh praktek secara mandiri?
Saat ini saya sedang membantu sejawat apoteker yang ingin membuka apotek sendiri dengan modal obat kurang dari 15 juta, dan itu menurut perhitungan saya cukup, karena ada di desa dan daerah itu kosong. Bila harus menggaji seorang AA dan UMR daerah saya sekitar 900 ribu, berapa bulan kira kira modal akan habis? Bisa anda hitung sendiri. Apakah apoteker mandiri tidak diberi kesempatan? Apakah daerah kosong dibiarkan masyarakatnya dibodohkan terus? Pertanyaan pertanyaan ini yang sering terlintas dipikiran saya. Toh keberadaan apoteker ini justru membuka lapagan pekerjaan (setidaknya untuk dirinya sendiri) dan bermafaat bagi masyarakat sekitar.
Saya bisa merasakan perasaan apoteker tersebut, karena saya merasakan betapa beratnya menggaji seorang AA bila pada awal pembukaan apotek menggunakan modal yang ala kadarnya saja. Sebenanya apotek mandiri model begini justru memudahan pemerintah didalam penerapan TATAP, karena pemerintah tidak perlu mengawasi keberadaan apotekernya, karena memang mentalnya sudah terbentuk sebagai pelayan yang harus ada di apotek selama jam buka apotek. Bila dikemudian hari sampai ditemukan apotek buka dan apoteker tidak ada ditempat bolehlah ditutup tanpa peringatan.
Apakah keberadaan AA didalam apotek sedemikian penting sehingga harus ada? Bagaimana dengan kepentingan keberadaan apoteker itu sendiri? Atau mungkin karena pemerintah kita kurang paham akan praktek profesi kefarmasian sehingga membuat aturan aturan yang secara profesional justru tidak rasional. Seharusnya kenyataan lapangan adalah yang menjadi pertimbangan didalam proses perijinan, toh didalam permenkes apoteker diperbolehakn melakukan praktek profesi secara mandiri. Dan didalam PP51 juga diijinkan berpraktek profesi secara mandiri.
Menurut penilaian saya, masyarakat didaerah saya secara kualitas dan kuantitas mempunyai tingkat pendidikan kesehatan yang lebih tinggi dibandingkan daerah lain yang apotek disekitarnya tidak melakukan TATAP. Apalagi bila dibandingkan dengan daerah kosong yang memang masyarakatnya perlu di edukasi seperti daerah yang mau didirikan apotek oleh apoteker yang sekarang magang ditempat saya. Kenapa fungsi manfaat semacam ini kurang didukung?
Seharusnya Perguruan Tinggi Farmasi meningkatkan jumlah penelitian farmasi di apotek, sehingga datanya bisa digunakan oleh pemerintah untuk mebuat aturan yang lebih rasional. Mungkin karena sebagian dari pendidik apoteker yang bukan para praktisi aktif yang menyebabkan apoteker tidak dipercayai. Kalau para pendidik bukan para praktisi aktif bagaimana mereka tahu permasalahan pengelolaan apotek? Bahkan kasus seperti ini mungkin juga terlewatkan, dan mungkin juga sampai saat ini Perguruan Tinggi Farmasi belum punya solusi.
Kita tahu peran AA didalam pelayanan kefarmasian mempunyai sejarah yang panjang, tetapi bukan berarti AA boleh menghambat perkembangan pembangunan kesehatan dan mengurangi hak seseorang untuk praktek mandiri. Nilai manfaat dan perundang undangan seharusnya disikapi dengan benar dan cermat. Banyak apotek besar yang rasio pelayanan per tenaga kesehatan tidak rasional atau tidak seimbang tidak pernah ditegur karena memang saat ini baik pemerintah organisasi profesi atau Perguruan Tinggi Farmasi tidak mempunyai data seberapa jauh tingkat kerasionalan sebuah pekerjaan kefarmasin. Seharusnya rasionalisasi pekerjaan farmasi inilah yang diperjuangkan sehingga lapangan pekerjaan bagi AA akan lebih terbuka. Dan pertimbangan lain adalah sangat sulitnya mencari tenaga AA yang disebabkan oleh berbagai hal.
Semoga, kedepan profesionalisme apoteker lebih dihargai dan apoteker lebih dapat eksis dengan lebih dimudahkannya perijinan bagi apoteker mandiri. Semoga juga apoteker mandiri menjadi salah satu program dari organisasi profesi, pemerintah dan Perguruan Tinggi farmasi dalam mempercepat pembangunan kesehatan seutuhnya dibidang kefarmasian.
Seperti yang saya ketahui, semua profesional boleh melakukan praktek profesi secara mandiri. Dokter bisa paktek mandiri tanpa harus dibantu siapapun juga, demikian dengan notaris, bidan dsb. Sedangkan apoteker didalam praktek mandiri tidak diijinkan, harus mempekerjakan AA. Disinilah bukti apoteker belum profesional, atau setidaknya belum diakui oleh pemerintah. Kondisi seperti ini menurut aku bisa saja dipersepsikan bahwa profesionalisme apoteker masih diragukan. Bila tidak diragukan kenapa apoteker tidak boleh praktek secara mandiri?
Saat ini saya sedang membantu sejawat apoteker yang ingin membuka apotek sendiri dengan modal obat kurang dari 15 juta, dan itu menurut perhitungan saya cukup, karena ada di desa dan daerah itu kosong. Bila harus menggaji seorang AA dan UMR daerah saya sekitar 900 ribu, berapa bulan kira kira modal akan habis? Bisa anda hitung sendiri. Apakah apoteker mandiri tidak diberi kesempatan? Apakah daerah kosong dibiarkan masyarakatnya dibodohkan terus? Pertanyaan pertanyaan ini yang sering terlintas dipikiran saya. Toh keberadaan apoteker ini justru membuka lapagan pekerjaan (setidaknya untuk dirinya sendiri) dan bermafaat bagi masyarakat sekitar.
Saya bisa merasakan perasaan apoteker tersebut, karena saya merasakan betapa beratnya menggaji seorang AA bila pada awal pembukaan apotek menggunakan modal yang ala kadarnya saja. Sebenanya apotek mandiri model begini justru memudahan pemerintah didalam penerapan TATAP, karena pemerintah tidak perlu mengawasi keberadaan apotekernya, karena memang mentalnya sudah terbentuk sebagai pelayan yang harus ada di apotek selama jam buka apotek. Bila dikemudian hari sampai ditemukan apotek buka dan apoteker tidak ada ditempat bolehlah ditutup tanpa peringatan.
Apakah keberadaan AA didalam apotek sedemikian penting sehingga harus ada? Bagaimana dengan kepentingan keberadaan apoteker itu sendiri? Atau mungkin karena pemerintah kita kurang paham akan praktek profesi kefarmasian sehingga membuat aturan aturan yang secara profesional justru tidak rasional. Seharusnya kenyataan lapangan adalah yang menjadi pertimbangan didalam proses perijinan, toh didalam permenkes apoteker diperbolehakn melakukan praktek profesi secara mandiri. Dan didalam PP51 juga diijinkan berpraktek profesi secara mandiri.
Menurut penilaian saya, masyarakat didaerah saya secara kualitas dan kuantitas mempunyai tingkat pendidikan kesehatan yang lebih tinggi dibandingkan daerah lain yang apotek disekitarnya tidak melakukan TATAP. Apalagi bila dibandingkan dengan daerah kosong yang memang masyarakatnya perlu di edukasi seperti daerah yang mau didirikan apotek oleh apoteker yang sekarang magang ditempat saya. Kenapa fungsi manfaat semacam ini kurang didukung?
Seharusnya Perguruan Tinggi Farmasi meningkatkan jumlah penelitian farmasi di apotek, sehingga datanya bisa digunakan oleh pemerintah untuk mebuat aturan yang lebih rasional. Mungkin karena sebagian dari pendidik apoteker yang bukan para praktisi aktif yang menyebabkan apoteker tidak dipercayai. Kalau para pendidik bukan para praktisi aktif bagaimana mereka tahu permasalahan pengelolaan apotek? Bahkan kasus seperti ini mungkin juga terlewatkan, dan mungkin juga sampai saat ini Perguruan Tinggi Farmasi belum punya solusi.
Kita tahu peran AA didalam pelayanan kefarmasian mempunyai sejarah yang panjang, tetapi bukan berarti AA boleh menghambat perkembangan pembangunan kesehatan dan mengurangi hak seseorang untuk praktek mandiri. Nilai manfaat dan perundang undangan seharusnya disikapi dengan benar dan cermat. Banyak apotek besar yang rasio pelayanan per tenaga kesehatan tidak rasional atau tidak seimbang tidak pernah ditegur karena memang saat ini baik pemerintah organisasi profesi atau Perguruan Tinggi Farmasi tidak mempunyai data seberapa jauh tingkat kerasionalan sebuah pekerjaan kefarmasin. Seharusnya rasionalisasi pekerjaan farmasi inilah yang diperjuangkan sehingga lapangan pekerjaan bagi AA akan lebih terbuka. Dan pertimbangan lain adalah sangat sulitnya mencari tenaga AA yang disebabkan oleh berbagai hal.
Semoga, kedepan profesionalisme apoteker lebih dihargai dan apoteker lebih dapat eksis dengan lebih dimudahkannya perijinan bagi apoteker mandiri. Semoga juga apoteker mandiri menjadi salah satu program dari organisasi profesi, pemerintah dan Perguruan Tinggi farmasi dalam mempercepat pembangunan kesehatan seutuhnya dibidang kefarmasian.
Label:
APOTEK,
APOTEKER,
APOTEKER BELUM PROFESIONAL,
BISNIS APOTEK,
HISFARMA,
ISFI
Minggu, 06 Desember 2009
KONGGRES ISFI
KONGGRES ISFI
Pada konggres kali ini ISFI seharusnya lebih menitik beratkan pada program meningkatkan SDM apoteker. SDM apoteker lulusan lama ataupun SDM lulusan baru. Selama ini, menurut penilaian saya kualitas lulusan apoteker dalam hal kemadirian profesi kurang. Sehingga kualitas SDM harus mendapatkan perhatian khusus pada konggres kali ini.
Sebenarnya tanpa PP51 pun, apoteker seharusnya sudah mampu menerapkan TATAP, tetapi kenyataannya belum semua apteker mampu. Ketidak mampuan ini lebih didominasi oleh karena kualitas kemandirian apoteker yang kurang. Kekurang mandirian dalam profesi sebagian diakibatkan sistem pendidikan profesi yang kurang mengakomodasi kenyataan praktek profesi dan sistem pelatihan dan pendidikan berkelanjutan bagi apoteker yang sudah melakukan praktek profesi di apotek yang kurang sesuai dengan kebutuhan profesi.
Kualitas lulusan yang kurang, karena sangat rendahnya para pengajar apoteker yang juga merupakan praktisi aktif di apotek, sehingga para apoteker lebih banyak diajarkan tentang teori teori dan imajinasi profesi. Seharusnya, para apoteker yang menjadi pembina di dalam PKP dilakukan standarisasi dan apotek tempat PKP juga dilakukan stadarisasi. Dengan demikian kualitas lulusan dapat diharapkan lebih sesuai dengan kebutuhan profesi.
Dengan sistem pendidikan apoteker yang baik, maka akan terjadi sistem pendidikan yang efektif. Dengan sistem pendidikan yang efektif maka kualitas lulusan yang baik dapat dicapai dengan waktu yang sesuai dengan masa pedidikan. Banyak hal yang menurut saya kurang efektif didalam sistem pendidikan profesi apoteker, sehingga waktu PKP di apotek yang hanya kurang lebih satu bulan dianggap kurang oleh sebagian apoteker, padahal menurut saya waktu itu cukup bila dilakukan dengan efektif. Memang kualitas input sangat berpengaruh, tetapi kualitas pengelolaan input agar output berkualitas adalah lebih berpengaruh lagi. Pengelolaan input disini adalah sitem pendidikan yang efektif.
Kalau kita belajar dari kenyataan di apotek saat ini, untuk mengelola apotek tidak dibutuhkan kualitas manusia apoteker yang brilian, biasa biasa saja tidak masalah. Karena pekerjaan kefarmasian diapotek atau praktek profesi kefarmasian di apotek lebih diutamakan ketekunan. Seorang pengajar pada profesi apoteker tidak cukup hanya sekedar S2 atau profesor, tetapi mereka harus juga merupakan praktisi aktif diapotek. Bagaimanapun juga pengajaran yang efektif pada pendidikan profesi adalah sangat penting.
Para pengajar pada tingkat profesi selama ini kurang efektif, karena para pengajarnya bukan praktisi aktif. Dan sering kali yang terjadi adalah kecenderungan pengajaran yang bersifat imajinatif. Hasilnya tentu saja seperti sekarang, sebagian apoteker kurang mandiri didalam menjalankan profesi. Oleh karena itu ada baiknya bila pada konggres kali ini, ketua terpilih adalah orang orang yang benar benar tahu akan pendidikan, atau setidaknya bisa mengapresiasi kualitas SDM.
Menurut saya, SDM adalah hal yang paling utama didalam praktek profesi yang mandiri, sedangkan modal adalah hal yang ada diurutan berikutnya. Banyak apoteker yang membuat apotek dengan modal obat kurang dari 20 juta, dan sebagian dari mereka juga tidak mengeluh dan masih dapat eksis. Sebagian lagi bahkan lebih eksis dari para praktisi yang ada di industri. Padahal mereka bukanlah dari golongan mahasiswa yang terbaik dimasa kuliahnya bahkan sering kali sebagian dari mereka adalah tergolong ada dirangking bawah. Tetapi kenyataannya setelah melakukan praktek profesi mereka bisa menjadi salah satu produk apoteker yang paling berkualitas didalam hal kemandirian profesi.
Seharusnya ISFI mengapresiasikan para praktisi yang seperti itu, yang setidaknya tidak pernah mengeluh kepada ISFI dengan meminta jasa yang besar (bahasa halus dari gaji, karena sampai sekarang ISFI belum bisa mengapresiasi tentang jasa yang rasional dari suatu prakek profesi). Berbeda dengan para apoteker praktisi imajinasi (hanya mengimajinasikan praktek dari tempat yang jauh, sambil tertawa tawa menghitung gaji bulanan meskipun tidak paham akan apa itu praktek profesi) yang hanya bisa meminta perlindungan dengan alasan jasa tidak standar, tetapi praktek profesinya nol. Bagaimana jasa bisa distandar, kalau praktek profesi tidak jelas?
Mungkin ISFI selama ini seharusnya merasa berdosa kepada para praktisi aktif di apotek yang kepentingannya mungkin nyaris tidak diperjuangkan. Sebagian dari mereka hanya merasa membayar iuran saja tanpa pernah dibahas agar bagaimana mereka dapat lebih eksis lagi. Selama ini selalu saja dibahas masalah standar jasa, jasa dan jasa. Apa kontribusi dari ISFI terhadap para praktisi aktif? Mungkin tidak ada atau setidaknya tidak pernah dirasakan oleh para praktisi aktif. Padahal para praktisi aktif juga membutuhkan perhatian dari organisasi profesi didalam praktik profesinya agar dapat berkembang.
Ada beberapa hal yang mungkin tidak pernah dialami oleh para pengurus ISFI pusat yaitu merasakan menjadi praktisi aktif yang lebih dari separo hidupnya ada diruangan apotek. Hal yang mungkin tidak pernah dirasakan bila tidak menjadi praktisi aktif adalah “perasaan”, perasaan yang berat dan penuh stres yang dirasakan diapotek selama apotek buka. Perasaan dibutuhkan banyak orang, perasaan dikenal banyak orang, perasaan dihujat orang bila pelayanan tidak memuaskan, perasaan dikejar kejar setoran dan banyak lagi yang menjadi suka duka para praktisi aktif diapotek. Bahkan tidak jarang kita harus mengelus dada bila kita menemukan banyak pembodohan masyarakat, yang mana bila masyarakat itu kita edukasi, tidak lama lagi menjadi menjadi korban pembodohan lagi karena jumlah yang membodohkan masyarakat sering kali justru lebih banyak dari jumlah apoteker yang melakukan edukasi.
Disinilah pentingnya membentuk SDM yang benar benar mengerti praktek profesi. Menrut saya, mungkin tidak ada gunanya PP51 kalau tidak ada usaha dari ISFI untuk memperbaiki kualitas SDM. Janganlah dipaksakan menproduksi apoteker besar besaran bila tidak mampu menciptakan produk yang mampu melakukan praktek profesi.
Saat ini yang paling penting dari para pengurus pusat ISFI adalah bagaimana meningkatkan kualitas SDM, baik yang baru ataupun yang lama. Oleh karena itu sebagian para pimpinan pusat ISFI seharusnya adalah para akademisi. Sebagian itu bisa rektor atau dekan, karena mereka inilah yang saat ini mempunyai akses secara langsung terhadap kualitas SDM. Dan kenyataannya merekalah yang saat ini bisa diharapkan mampu untuk itu. Dan bila dari para akademisi tidak ada yang mau atau berkehedak, sebaiknya dipilih ketua yang mampu bekerja sama dengan para akademisi dalam membuat program profesi yang sesuai dengan kenyataan praktek profesi.
Dan sudah saatnya bila didalam membentuk praktisi yang berkualitas, para praktisi aktif dilibatkan didalam menyusun kebutuhan pendidikan profesi, karena para praktisi aktif inilah yang megetahui kebutuhan praktek profesi sehari hari. Karena setiap harinya, atau mungkin juga setiap denyut nadinya merasakan apa yang harus dilakukan oleh para praktisi, dan apa yang harus dipersiapkan dan bagaimana mengatasi semua masalah yang timbul dalam paktek profesi. Sehingga jalannya pendidikan profesi menjadi lebih efektif. Juga jalannya pelatihan dan pendidikan berkelanjutan menjadi lebih akomodatif.
Pada konggres ini, bila mau ganti AD/ART, atau mau ganti ketua atau ganti apa saja mungkin belum tentu menyentuh para praktisi aktif. Seperti kongres konggres yang lalu, para praktisi aktif umumnya merasa tidak di apresiasi. Semoga pada konggres kali ini, para praktisi aktif lebih di apresiasi dan lebih mendapat perhatian dari organisasi, agar tidak hanya merasa ditarik iuran bulanan saja. Dan umumnya para praktisi aktif inilah yang justru paling tertib dalam membayar iuran. Juga para praktisi aktif inilah yang umumnya juga lebih peduli terhadap profesi.
Dan satu lagi kepentingan klien adalah yang paling utama didalam suatu profesi, bila kepentingan klien diabaikan, maka profesi akan ditinggalkan oleh klien. Atau dengan kata lain masyarakat butuh pelayanan yang rasional agar profesi dapat eksis, dan apoteker akan hilang bila pelayanan yang seharusnya dilakukan justru ditinggalkan. dan akhirnya dapat ditarik suatu kesimpulan, PP51 tidak akan berpengaruh terhadap profesi apoteker bila SDM tidak diperbaiki. Dan didalam memperbaiki SDM ini peran Perguruan Tinggi Farmasi sangatlah besar dan peran praktisi aktif sangat dibutuhkan.
Selamat kongres, semoga dapat diproduksi program yang benar benar dapat mengakomodasi kepentingan para anggota dan kepentingan bangsa serta negara.
Pada konggres kali ini ISFI seharusnya lebih menitik beratkan pada program meningkatkan SDM apoteker. SDM apoteker lulusan lama ataupun SDM lulusan baru. Selama ini, menurut penilaian saya kualitas lulusan apoteker dalam hal kemadirian profesi kurang. Sehingga kualitas SDM harus mendapatkan perhatian khusus pada konggres kali ini.
Sebenarnya tanpa PP51 pun, apoteker seharusnya sudah mampu menerapkan TATAP, tetapi kenyataannya belum semua apteker mampu. Ketidak mampuan ini lebih didominasi oleh karena kualitas kemandirian apoteker yang kurang. Kekurang mandirian dalam profesi sebagian diakibatkan sistem pendidikan profesi yang kurang mengakomodasi kenyataan praktek profesi dan sistem pelatihan dan pendidikan berkelanjutan bagi apoteker yang sudah melakukan praktek profesi di apotek yang kurang sesuai dengan kebutuhan profesi.
Kualitas lulusan yang kurang, karena sangat rendahnya para pengajar apoteker yang juga merupakan praktisi aktif di apotek, sehingga para apoteker lebih banyak diajarkan tentang teori teori dan imajinasi profesi. Seharusnya, para apoteker yang menjadi pembina di dalam PKP dilakukan standarisasi dan apotek tempat PKP juga dilakukan stadarisasi. Dengan demikian kualitas lulusan dapat diharapkan lebih sesuai dengan kebutuhan profesi.
Dengan sistem pendidikan apoteker yang baik, maka akan terjadi sistem pendidikan yang efektif. Dengan sistem pendidikan yang efektif maka kualitas lulusan yang baik dapat dicapai dengan waktu yang sesuai dengan masa pedidikan. Banyak hal yang menurut saya kurang efektif didalam sistem pendidikan profesi apoteker, sehingga waktu PKP di apotek yang hanya kurang lebih satu bulan dianggap kurang oleh sebagian apoteker, padahal menurut saya waktu itu cukup bila dilakukan dengan efektif. Memang kualitas input sangat berpengaruh, tetapi kualitas pengelolaan input agar output berkualitas adalah lebih berpengaruh lagi. Pengelolaan input disini adalah sitem pendidikan yang efektif.
Kalau kita belajar dari kenyataan di apotek saat ini, untuk mengelola apotek tidak dibutuhkan kualitas manusia apoteker yang brilian, biasa biasa saja tidak masalah. Karena pekerjaan kefarmasian diapotek atau praktek profesi kefarmasian di apotek lebih diutamakan ketekunan. Seorang pengajar pada profesi apoteker tidak cukup hanya sekedar S2 atau profesor, tetapi mereka harus juga merupakan praktisi aktif diapotek. Bagaimanapun juga pengajaran yang efektif pada pendidikan profesi adalah sangat penting.
Para pengajar pada tingkat profesi selama ini kurang efektif, karena para pengajarnya bukan praktisi aktif. Dan sering kali yang terjadi adalah kecenderungan pengajaran yang bersifat imajinatif. Hasilnya tentu saja seperti sekarang, sebagian apoteker kurang mandiri didalam menjalankan profesi. Oleh karena itu ada baiknya bila pada konggres kali ini, ketua terpilih adalah orang orang yang benar benar tahu akan pendidikan, atau setidaknya bisa mengapresiasi kualitas SDM.
Menurut saya, SDM adalah hal yang paling utama didalam praktek profesi yang mandiri, sedangkan modal adalah hal yang ada diurutan berikutnya. Banyak apoteker yang membuat apotek dengan modal obat kurang dari 20 juta, dan sebagian dari mereka juga tidak mengeluh dan masih dapat eksis. Sebagian lagi bahkan lebih eksis dari para praktisi yang ada di industri. Padahal mereka bukanlah dari golongan mahasiswa yang terbaik dimasa kuliahnya bahkan sering kali sebagian dari mereka adalah tergolong ada dirangking bawah. Tetapi kenyataannya setelah melakukan praktek profesi mereka bisa menjadi salah satu produk apoteker yang paling berkualitas didalam hal kemandirian profesi.
Seharusnya ISFI mengapresiasikan para praktisi yang seperti itu, yang setidaknya tidak pernah mengeluh kepada ISFI dengan meminta jasa yang besar (bahasa halus dari gaji, karena sampai sekarang ISFI belum bisa mengapresiasi tentang jasa yang rasional dari suatu prakek profesi). Berbeda dengan para apoteker praktisi imajinasi (hanya mengimajinasikan praktek dari tempat yang jauh, sambil tertawa tawa menghitung gaji bulanan meskipun tidak paham akan apa itu praktek profesi) yang hanya bisa meminta perlindungan dengan alasan jasa tidak standar, tetapi praktek profesinya nol. Bagaimana jasa bisa distandar, kalau praktek profesi tidak jelas?
Mungkin ISFI selama ini seharusnya merasa berdosa kepada para praktisi aktif di apotek yang kepentingannya mungkin nyaris tidak diperjuangkan. Sebagian dari mereka hanya merasa membayar iuran saja tanpa pernah dibahas agar bagaimana mereka dapat lebih eksis lagi. Selama ini selalu saja dibahas masalah standar jasa, jasa dan jasa. Apa kontribusi dari ISFI terhadap para praktisi aktif? Mungkin tidak ada atau setidaknya tidak pernah dirasakan oleh para praktisi aktif. Padahal para praktisi aktif juga membutuhkan perhatian dari organisasi profesi didalam praktik profesinya agar dapat berkembang.
Ada beberapa hal yang mungkin tidak pernah dialami oleh para pengurus ISFI pusat yaitu merasakan menjadi praktisi aktif yang lebih dari separo hidupnya ada diruangan apotek. Hal yang mungkin tidak pernah dirasakan bila tidak menjadi praktisi aktif adalah “perasaan”, perasaan yang berat dan penuh stres yang dirasakan diapotek selama apotek buka. Perasaan dibutuhkan banyak orang, perasaan dikenal banyak orang, perasaan dihujat orang bila pelayanan tidak memuaskan, perasaan dikejar kejar setoran dan banyak lagi yang menjadi suka duka para praktisi aktif diapotek. Bahkan tidak jarang kita harus mengelus dada bila kita menemukan banyak pembodohan masyarakat, yang mana bila masyarakat itu kita edukasi, tidak lama lagi menjadi menjadi korban pembodohan lagi karena jumlah yang membodohkan masyarakat sering kali justru lebih banyak dari jumlah apoteker yang melakukan edukasi.
Disinilah pentingnya membentuk SDM yang benar benar mengerti praktek profesi. Menrut saya, mungkin tidak ada gunanya PP51 kalau tidak ada usaha dari ISFI untuk memperbaiki kualitas SDM. Janganlah dipaksakan menproduksi apoteker besar besaran bila tidak mampu menciptakan produk yang mampu melakukan praktek profesi.
Saat ini yang paling penting dari para pengurus pusat ISFI adalah bagaimana meningkatkan kualitas SDM, baik yang baru ataupun yang lama. Oleh karena itu sebagian para pimpinan pusat ISFI seharusnya adalah para akademisi. Sebagian itu bisa rektor atau dekan, karena mereka inilah yang saat ini mempunyai akses secara langsung terhadap kualitas SDM. Dan kenyataannya merekalah yang saat ini bisa diharapkan mampu untuk itu. Dan bila dari para akademisi tidak ada yang mau atau berkehedak, sebaiknya dipilih ketua yang mampu bekerja sama dengan para akademisi dalam membuat program profesi yang sesuai dengan kenyataan praktek profesi.
Dan sudah saatnya bila didalam membentuk praktisi yang berkualitas, para praktisi aktif dilibatkan didalam menyusun kebutuhan pendidikan profesi, karena para praktisi aktif inilah yang megetahui kebutuhan praktek profesi sehari hari. Karena setiap harinya, atau mungkin juga setiap denyut nadinya merasakan apa yang harus dilakukan oleh para praktisi, dan apa yang harus dipersiapkan dan bagaimana mengatasi semua masalah yang timbul dalam paktek profesi. Sehingga jalannya pendidikan profesi menjadi lebih efektif. Juga jalannya pelatihan dan pendidikan berkelanjutan menjadi lebih akomodatif.
Pada konggres ini, bila mau ganti AD/ART, atau mau ganti ketua atau ganti apa saja mungkin belum tentu menyentuh para praktisi aktif. Seperti kongres konggres yang lalu, para praktisi aktif umumnya merasa tidak di apresiasi. Semoga pada konggres kali ini, para praktisi aktif lebih di apresiasi dan lebih mendapat perhatian dari organisasi, agar tidak hanya merasa ditarik iuran bulanan saja. Dan umumnya para praktisi aktif inilah yang justru paling tertib dalam membayar iuran. Juga para praktisi aktif inilah yang umumnya juga lebih peduli terhadap profesi.
Dan satu lagi kepentingan klien adalah yang paling utama didalam suatu profesi, bila kepentingan klien diabaikan, maka profesi akan ditinggalkan oleh klien. Atau dengan kata lain masyarakat butuh pelayanan yang rasional agar profesi dapat eksis, dan apoteker akan hilang bila pelayanan yang seharusnya dilakukan justru ditinggalkan. dan akhirnya dapat ditarik suatu kesimpulan, PP51 tidak akan berpengaruh terhadap profesi apoteker bila SDM tidak diperbaiki. Dan didalam memperbaiki SDM ini peran Perguruan Tinggi Farmasi sangatlah besar dan peran praktisi aktif sangat dibutuhkan.
Selamat kongres, semoga dapat diproduksi program yang benar benar dapat mengakomodasi kepentingan para anggota dan kepentingan bangsa serta negara.
Kamis, 03 Desember 2009
MODAL MENDIRIKAN APOTEK
MODAL MENDIRIKAN APOTEK
Banyak yang beranggapan bila salah satu penyebab rendahnya kepemilikan apotek oleh apoteker disebabkan karena modal. Tetapi dari pantauan saya dilapangan justru bukan modal yang menjadi penyebab utamanya. Seandainya semua apoteker saat ini diberi modal untuk mendirikan apotek sendiri dalam hitungan saya hanya sekitar 20% saja yang mampu mengelola apotek dengan benar secara manajemen.
Sebenarnya banyak modal yang bisa ditangkap oleh para apoteker, bisa dari swasta, bank atau pihak lain yang mempunyai dana. Tetapi kepercayaan terhadap apoteker untuk mengelola modal yang tidak ada. Karena memang sebagian besar apoteker saat ini tidak siap kerja mandiri. Tetapi kalau ditanya kesiapan untuk menerima gaji, sebagian besar mereka siap. Inilah yag menjadi salah satu akar permasalahan didalam mengembangkan profesi apoteker.
Mungkin karena kesalahan didalam mendesain kurikulum apoteker tempo dulu, yang mana kuliah sulit dan susah lulus, sehingga waktu dan tenaganya habis untuk memikirkan bagaimana bisa lulus, tanpa bisa memikirkan bagaimana profesi bisa berkembang. Secara umum penyebab kesalahan ini bukan ada di individu apoteker, tetapi pengkondisian perkuliahan juga ikut dalam andil. Pernah ada teman sejawat yang mengatakan sebaiknya kurikulum dalam pendidikan profesi porsi manajemen untuk ditambah. Meski manajemen porsinya ditambah juga belum tentu berhasil, kalau penambahan hanya pada teori teori yang tidak aplikatif.
Apapun solusi yang diambil saat ini dalam meningkatkan kemampuan manajemen profesi masih dilakukan secara empiris. Termasuk masalah modal ini. Belum dilakukannya penelitian secara mendalam juga menjadi permasalahan. Bisa kita analogkan dengan dokter, bisa dikatakan semua dosen pengajar para dokter adalah praktisi yang mandiri, tetapi dosen para apoteker tidak. Dan mungkin sebagian masih hanya mengelola dari jarak jauh saja, tanpa pernah tahu arti perjuangan profesi secara utuh.
Banyak hal yang menjadikan profesi apoteker kurang berkembang. Dan manajemen adalah salah satu faktor yang menyebabkannya. Sampai sekarangpun saya masih ragu terhadap kemampuan Perguruan Tinggi Farmasi didalam pengajaran manajemen. Bisa jadi yang diajarkan saat ini masih teori teori yang bukunya tebal yang penerapan dilapangannya mungkin masih perlu dikembangkan dan disesuaikan dengan daerah dimana apoteker nanti menjalankan praktek profesi. Dan kenyataannya tidak semua apoteker mampu mengembangkan manajemen mentah yang diberikan dibangku kuliah.
Sebenarnya alasan modal adalah alasan mengada ada dari sebagian apoteker yang sebenarnya memang tdak mampu berpraktek profesi secara mandiri. Dan sebagian lagi apoteker mampu berpraktek secara mandiri meskipun hanya bermodal sediaan farmasi yang relatif sangat kecil. Dan keyataannya para apoteker pemodal kecil banyak yang berkembang dan eksis.
Dan sampai saat ini saya tidak yakin bila ada badan yang mendanai pendirian apotek sebagai pemilik modal, apoteker akan mampu berpraktek secara mandiri. Kecuali sistem pendidikan apoteker yang diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi farmasi dilakukan perbaikan. Atau setidaknya diadakan dulu pelatihan sebelum apoteker dilepas secara mandiri menggunakan modal milik pihak lain.
Dan masih banyak kelemahan dalam sitem pendidikan profesi apoteker. Semoga ke depan apoteker lebih mampu meningkatkan perannya didalam pembangunan kesehatan nasional.
Banyak yang beranggapan bila salah satu penyebab rendahnya kepemilikan apotek oleh apoteker disebabkan karena modal. Tetapi dari pantauan saya dilapangan justru bukan modal yang menjadi penyebab utamanya. Seandainya semua apoteker saat ini diberi modal untuk mendirikan apotek sendiri dalam hitungan saya hanya sekitar 20% saja yang mampu mengelola apotek dengan benar secara manajemen.
Sebenarnya banyak modal yang bisa ditangkap oleh para apoteker, bisa dari swasta, bank atau pihak lain yang mempunyai dana. Tetapi kepercayaan terhadap apoteker untuk mengelola modal yang tidak ada. Karena memang sebagian besar apoteker saat ini tidak siap kerja mandiri. Tetapi kalau ditanya kesiapan untuk menerima gaji, sebagian besar mereka siap. Inilah yag menjadi salah satu akar permasalahan didalam mengembangkan profesi apoteker.
Mungkin karena kesalahan didalam mendesain kurikulum apoteker tempo dulu, yang mana kuliah sulit dan susah lulus, sehingga waktu dan tenaganya habis untuk memikirkan bagaimana bisa lulus, tanpa bisa memikirkan bagaimana profesi bisa berkembang. Secara umum penyebab kesalahan ini bukan ada di individu apoteker, tetapi pengkondisian perkuliahan juga ikut dalam andil. Pernah ada teman sejawat yang mengatakan sebaiknya kurikulum dalam pendidikan profesi porsi manajemen untuk ditambah. Meski manajemen porsinya ditambah juga belum tentu berhasil, kalau penambahan hanya pada teori teori yang tidak aplikatif.
Apapun solusi yang diambil saat ini dalam meningkatkan kemampuan manajemen profesi masih dilakukan secara empiris. Termasuk masalah modal ini. Belum dilakukannya penelitian secara mendalam juga menjadi permasalahan. Bisa kita analogkan dengan dokter, bisa dikatakan semua dosen pengajar para dokter adalah praktisi yang mandiri, tetapi dosen para apoteker tidak. Dan mungkin sebagian masih hanya mengelola dari jarak jauh saja, tanpa pernah tahu arti perjuangan profesi secara utuh.
Banyak hal yang menjadikan profesi apoteker kurang berkembang. Dan manajemen adalah salah satu faktor yang menyebabkannya. Sampai sekarangpun saya masih ragu terhadap kemampuan Perguruan Tinggi Farmasi didalam pengajaran manajemen. Bisa jadi yang diajarkan saat ini masih teori teori yang bukunya tebal yang penerapan dilapangannya mungkin masih perlu dikembangkan dan disesuaikan dengan daerah dimana apoteker nanti menjalankan praktek profesi. Dan kenyataannya tidak semua apoteker mampu mengembangkan manajemen mentah yang diberikan dibangku kuliah.
Sebenarnya alasan modal adalah alasan mengada ada dari sebagian apoteker yang sebenarnya memang tdak mampu berpraktek profesi secara mandiri. Dan sebagian lagi apoteker mampu berpraktek secara mandiri meskipun hanya bermodal sediaan farmasi yang relatif sangat kecil. Dan keyataannya para apoteker pemodal kecil banyak yang berkembang dan eksis.
Dan sampai saat ini saya tidak yakin bila ada badan yang mendanai pendirian apotek sebagai pemilik modal, apoteker akan mampu berpraktek secara mandiri. Kecuali sistem pendidikan apoteker yang diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi farmasi dilakukan perbaikan. Atau setidaknya diadakan dulu pelatihan sebelum apoteker dilepas secara mandiri menggunakan modal milik pihak lain.
Dan masih banyak kelemahan dalam sitem pendidikan profesi apoteker. Semoga ke depan apoteker lebih mampu meningkatkan perannya didalam pembangunan kesehatan nasional.
Label:
APOTEK,
APOTEKER,
BISNIS APOTEK,
HISFARMA,
ISFI,
MODAL MENDIRIKAN APOTEK
Minggu, 29 November 2009
STANDARISASI APOTEK PKP
STANDARISASI APOTEK PKP
Keberahasilan dari produk apoteker baru, salah satunya ada pada PKP di apotek. Dan dari hasil diskusi saya dari berbagai pihak, kenyataannya apotek PKP sangat beragam. Keberagaman ini sebenarnya bisa dimaklumi, mengingat cara kelola apotek bisa bermacam-macam. Tetapi yang menjadi permasalahan adalah materi yang diajarkan pada apotek PKP adalah sangat beragam dan bisa jadi akan terjadi “standar yang berbeda” dari produk apoteker yag dihasilkan.
Sangat pentingnya profesi apoteker seperti yang diapresiasi oleh PP51 sudah sewajarnya bila kita semua berbenah diri untuk menyesuaikan. Guna mendukung TATAP yang lebih ideal dan meningkatkan jumlah apoteker yang mandiri, yang selanjutnya lebih mampu membuka lapagan pekerjaan buat orang lain tak terbatas hanya apoteker itu sendiri, maka Perguruan Tinggi Farmasi adalah langkah awal dalam pembenahan ini.
Karena TATAP kedepan tidak akan berhasil bila produk yang dihasilkan hanya bermutu substandar. Substandar yang dimaksud, bisa jadi apoteker melakukan TATAP tapi tak berkualitas, atau berkualitas tapi tak mampu melakukan TATAP. Dari hal lain yang saya tahu, banyak apoteker berkualitas tetapi tidak mempunyai jiwa kemandirian profesi. Dan mungkin ada juga yang kualitasnya pas2an saja tetapi mempunyai jiwa kemandirian profesi yag bagus. Yang menjadi pertanyaan adalah, kenapa hal ini bisa terjadi?
Dari beberapa kasus seperti ini, seharusnya Perguruan Tinggi Farmasi selalu melakukan perbaikan yang salah satunya dengan penelitian, baik pada tingkat skripsi atau yang lebih tinggi. Skripsi pada tingkat layanan kefarmasian seharusnya sudah menjadi target yang lebih jelas, bila apoteker ingin diakui sebagai pelayan kesehatan primer. Saat ini apoteker dalam SKN belum dianggap sebagai pelayan kesehatan primer, meskipun perannya sangat jelas dalam pelayanan kesehatan primer.
Dari uraian diatas, seharusnya Perguruan Tinggi Farmasi melakukan standarisasi kurikulum PKP, apoteker pembimbing PKP, sampai apotek PKP. Karena mencari apotek PKP yang memenuhi standart sulit, ada baiknya PKP apotek dilakukan pada lebih dari satu apotek agar saling melengkapi. Karena target produk yang bagus adalah tujuan utama, maka hal ini seharusnya dilakukan secara nasional.
Saat ini, kualitas apoteker pembimbing PKP sangat beragam dan apotek tempat PKP juga sangat beragam. Mengingat PKP di apotek adalah pembelajaran terhadap permasalahan nyata apotek, maka tidak mungkin calon apoteker hanya mendapatkan teori teori semata. Sehingga tidak ada bedanya antara bangku kuliah dan PKP.
Tingkat keberhasilan PKP bisa ditentukan banyak hal, yang al:
1. pembekalan sebelum PKP, disini sangat tergantung penguasaan mahasiswa secara individu dan kurikulum pendidikan sebelum PKP. Jangan sampai pada waktu PKP calon apoteker tidak memahami tablet salut enterik. Karena pemahaman salut enterik mulai dari bahan pembuat salut sampai cara kerja tetap dibutuhkan oleh apoteker diapotek agar konseling atau PIO dapat berjalan dengan lancar.
2. Jumlah kasus di apotek, jumlah kasus diapotek sangat mempengaruhi calon apoteker didalam praktek profesinya nanti. Kalau apotek yang digunakan PKP mempunyai kasus yang kurang, tentu saja apoteker hanya akan mendapatkan teori teori sebagai pelengkapnya. Dan kalau diapotek PKP hanya mendapatkan teori teori lagi buat apa ada PKP?
3. Kualitas apoteker pembina PKP, saat ini tidak semua apoteker pembina PKP mau membongkar semua ilmu yang dimilkinya. Semisal dalam kemandirian profesi apoteker sangat tergantung dengan kemampuan memanajemen apotek dengan benar, sering kali manajemen merupakan rahasia perusahaan. Bila hal ini terjadi bagaimana calon apoteker bisa mandiri secara profesi?
4. Evaluasi, evaluasi harus selalu dilakukan sebagai umpat balik dari semua yang telah dilakukan.
Dari uraian saya diatas, saya berpendapat TATAP sesuai dengan PP51 akan lebih dapat berhasil, bila perencanaan TATAP dimulai dari Perguruan tinggi Farmasi dengan lebih mengkondisikan kemadirian profesi. Dengan lebih memperhatikan kualitas produk yang dihasilkan yang lebih sesuai dengan keadaan lapangan. Dan untuk produk yang sudah keluar, Perguruan Tinggi Farmasi bisa bekerjasama dengan organisasi profesi untuk melakukan pendidikan berkelanjutan dan pelatihan pelatihan guna memperbaharui kemampuan iptek yang dikuasai oleh para apoteker.
Saat yang lalu belum semua apoteker mau memperbaharui penguasaan iptek terkait layanan kefarmasian diapotek karena belum menjadi kewajiban. Tetapi sejak diterapkannya uji kompetensi, para apoteker sudah mulai menyadari akan pentingnya pemperbaharui kemampuan ipteknya terkait pengelolaan kefarmasian di apotek. Dengan memperbaharui kemampuannya yang disesuaikan dengan perkembangan iptek itu sendiri, dengan harapan apoteker yang dulunya kurang aktif diapotek bisa menjadi lebih aktif diapotek.
Untuk meningkatkan kemapuan Iptek apoteker, bisa dilakukan dengan pendidikan berkelanjutan atau pelatihan pelatihan mungkin, dan mungkin tetap perguruan tinggi yang bisa dijadikan pilihan utama, oleh karena itu Perguruan Tinggi Farmasi harus selalu memperbaharui juga sain yang terkait hal tersebut dan meningkatkan jumlah penelitian dibidang perapotekan atau klinis farmasi perapotekan baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Bagaimanapun juga peran Perguruan Tinggi Farmasi didalam meningkatkan kualitas profesi apoteker tidak dapat diabaikan. Semoga TATAP kedepan dapat berjalan sesuai dengan harapan masyarakat. Yang mana apoteker sebagai pelayan kesehatan dapat melakukan layanan dengan baik, benar dan berkualitas serta penuh rasa kemanusiaan. Dan bagaimanapun juga pembangunan kesehatan secara umum tidak bisa dilepaskan dari kualitas layanan kefarmasian.
Keberahasilan dari produk apoteker baru, salah satunya ada pada PKP di apotek. Dan dari hasil diskusi saya dari berbagai pihak, kenyataannya apotek PKP sangat beragam. Keberagaman ini sebenarnya bisa dimaklumi, mengingat cara kelola apotek bisa bermacam-macam. Tetapi yang menjadi permasalahan adalah materi yang diajarkan pada apotek PKP adalah sangat beragam dan bisa jadi akan terjadi “standar yang berbeda” dari produk apoteker yag dihasilkan.
Sangat pentingnya profesi apoteker seperti yang diapresiasi oleh PP51 sudah sewajarnya bila kita semua berbenah diri untuk menyesuaikan. Guna mendukung TATAP yang lebih ideal dan meningkatkan jumlah apoteker yang mandiri, yang selanjutnya lebih mampu membuka lapagan pekerjaan buat orang lain tak terbatas hanya apoteker itu sendiri, maka Perguruan Tinggi Farmasi adalah langkah awal dalam pembenahan ini.
Karena TATAP kedepan tidak akan berhasil bila produk yang dihasilkan hanya bermutu substandar. Substandar yang dimaksud, bisa jadi apoteker melakukan TATAP tapi tak berkualitas, atau berkualitas tapi tak mampu melakukan TATAP. Dari hal lain yang saya tahu, banyak apoteker berkualitas tetapi tidak mempunyai jiwa kemandirian profesi. Dan mungkin ada juga yang kualitasnya pas2an saja tetapi mempunyai jiwa kemandirian profesi yag bagus. Yang menjadi pertanyaan adalah, kenapa hal ini bisa terjadi?
Dari beberapa kasus seperti ini, seharusnya Perguruan Tinggi Farmasi selalu melakukan perbaikan yang salah satunya dengan penelitian, baik pada tingkat skripsi atau yang lebih tinggi. Skripsi pada tingkat layanan kefarmasian seharusnya sudah menjadi target yang lebih jelas, bila apoteker ingin diakui sebagai pelayan kesehatan primer. Saat ini apoteker dalam SKN belum dianggap sebagai pelayan kesehatan primer, meskipun perannya sangat jelas dalam pelayanan kesehatan primer.
Dari uraian diatas, seharusnya Perguruan Tinggi Farmasi melakukan standarisasi kurikulum PKP, apoteker pembimbing PKP, sampai apotek PKP. Karena mencari apotek PKP yang memenuhi standart sulit, ada baiknya PKP apotek dilakukan pada lebih dari satu apotek agar saling melengkapi. Karena target produk yang bagus adalah tujuan utama, maka hal ini seharusnya dilakukan secara nasional.
Saat ini, kualitas apoteker pembimbing PKP sangat beragam dan apotek tempat PKP juga sangat beragam. Mengingat PKP di apotek adalah pembelajaran terhadap permasalahan nyata apotek, maka tidak mungkin calon apoteker hanya mendapatkan teori teori semata. Sehingga tidak ada bedanya antara bangku kuliah dan PKP.
Tingkat keberhasilan PKP bisa ditentukan banyak hal, yang al:
1. pembekalan sebelum PKP, disini sangat tergantung penguasaan mahasiswa secara individu dan kurikulum pendidikan sebelum PKP. Jangan sampai pada waktu PKP calon apoteker tidak memahami tablet salut enterik. Karena pemahaman salut enterik mulai dari bahan pembuat salut sampai cara kerja tetap dibutuhkan oleh apoteker diapotek agar konseling atau PIO dapat berjalan dengan lancar.
2. Jumlah kasus di apotek, jumlah kasus diapotek sangat mempengaruhi calon apoteker didalam praktek profesinya nanti. Kalau apotek yang digunakan PKP mempunyai kasus yang kurang, tentu saja apoteker hanya akan mendapatkan teori teori sebagai pelengkapnya. Dan kalau diapotek PKP hanya mendapatkan teori teori lagi buat apa ada PKP?
3. Kualitas apoteker pembina PKP, saat ini tidak semua apoteker pembina PKP mau membongkar semua ilmu yang dimilkinya. Semisal dalam kemandirian profesi apoteker sangat tergantung dengan kemampuan memanajemen apotek dengan benar, sering kali manajemen merupakan rahasia perusahaan. Bila hal ini terjadi bagaimana calon apoteker bisa mandiri secara profesi?
4. Evaluasi, evaluasi harus selalu dilakukan sebagai umpat balik dari semua yang telah dilakukan.
Dari uraian saya diatas, saya berpendapat TATAP sesuai dengan PP51 akan lebih dapat berhasil, bila perencanaan TATAP dimulai dari Perguruan tinggi Farmasi dengan lebih mengkondisikan kemadirian profesi. Dengan lebih memperhatikan kualitas produk yang dihasilkan yang lebih sesuai dengan keadaan lapangan. Dan untuk produk yang sudah keluar, Perguruan Tinggi Farmasi bisa bekerjasama dengan organisasi profesi untuk melakukan pendidikan berkelanjutan dan pelatihan pelatihan guna memperbaharui kemampuan iptek yang dikuasai oleh para apoteker.
Saat yang lalu belum semua apoteker mau memperbaharui penguasaan iptek terkait layanan kefarmasian diapotek karena belum menjadi kewajiban. Tetapi sejak diterapkannya uji kompetensi, para apoteker sudah mulai menyadari akan pentingnya pemperbaharui kemampuan ipteknya terkait pengelolaan kefarmasian di apotek. Dengan memperbaharui kemampuannya yang disesuaikan dengan perkembangan iptek itu sendiri, dengan harapan apoteker yang dulunya kurang aktif diapotek bisa menjadi lebih aktif diapotek.
Untuk meningkatkan kemapuan Iptek apoteker, bisa dilakukan dengan pendidikan berkelanjutan atau pelatihan pelatihan mungkin, dan mungkin tetap perguruan tinggi yang bisa dijadikan pilihan utama, oleh karena itu Perguruan Tinggi Farmasi harus selalu memperbaharui juga sain yang terkait hal tersebut dan meningkatkan jumlah penelitian dibidang perapotekan atau klinis farmasi perapotekan baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Bagaimanapun juga peran Perguruan Tinggi Farmasi didalam meningkatkan kualitas profesi apoteker tidak dapat diabaikan. Semoga TATAP kedepan dapat berjalan sesuai dengan harapan masyarakat. Yang mana apoteker sebagai pelayan kesehatan dapat melakukan layanan dengan baik, benar dan berkualitas serta penuh rasa kemanusiaan. Dan bagaimanapun juga pembangunan kesehatan secara umum tidak bisa dilepaskan dari kualitas layanan kefarmasian.
Label:
APOTEK,
APOTEKER,
BISNIS APOTEK,
HISFARMA,
I,
ISFI,
STANDARISASI APOTEK PKP
Selasa, 24 November 2009
PRAKTEK PROFESI APOTEKER DI APOTEK
PRAKTEK PROFESI APOTEKER DI APOTEK
Didalam praktek profesi apoteker di apotek, sering kali dikaitkan dengan keberadaan apoteker di apotek di jam buka apotek. Suatu hal yang tidak berlebihan bila keberadaan apoteker di jam buka apotek dipertanyakan dan dituntut demi layanan kepada masyarakat. Dan salah satu alasan ketidak beradaan apoteker di apotek pada jam buka apotek adalah hanya ada satu apoteker padahal jam buka apotek 10-14 jam dalam sehari.
Dalam menyikapi hal ini tentunya kita bisa menganalogikan apotek dengan praktek profesi lain. Semisal praktek dokter, kita bisa menganalogikan apotek seperti praktek dokter atau seperti rumah sakit. Bila kita menganalogkan dengan praktek dokter, maka satu apotek bisa diisi hanya dengan satu apoteker dan dapat dibantu dengan tenaga lain yang jam bukanya hanya beberapa jam saja dalam satu hari. Bila apoteker berhalangan hadir, maka apotek harus tutup seperti praktek dokter.
Bila kita analogikan dengan praktek dokter, apotek tidak harus buka 10 jam dalam sehari. Mungkin apotek cukup buka 5-7 jam dalam satu hari pada jam jam tertentu saja. Dan tidak perlu dipaksakan untuk buka lebih lama. Mungkin apotek model ini baik diterapkan pada daerah pinggiran atau terpencil.
Bila kita analogikan dengan rumah sakit, maka apotek bisa dikelola oleh 2 orang apoteker atau lebih. Yang mana pada jam buka apotek bisa dikelola oleh apoteker secara langsung secara bergantian. Bila apotek buka tuju hari dalam satu minggu suatu misal, apotek harus dikelola setidaknya oleh tiga orang apoteker. Dengan perhitungan, dalam satu minggu ada 14 sip dan 3 apoteker bisa mengisi 15-18 sip dalam satu minggu. Bila apotek buka 24 jam, maka ada 21 sip,dan seharusnya diperlukan setidaknya 4 orang apoteker.
Dari analogi di atas, kenapa tidak dicoba model apotek yang hanya buka beberapa jam saja per hari? Toh kalau bicara omset, pada apotek model ini tidak dibutuhkan omset yang terlalu besar karena biaya operasional yang juga tidak terlalu besar. Mungkin ada yag meragukan eksistensi apotek yang hanya buka beberapa jam dalam sehari. Tetapi kenyataannya ada yang eksis meski apotek model ini hanya sangat sangat sedikit, dan kenapa tidak kita coba untuk dikembangkan? Toh bila dikembangkan apotek model ini hanya dibutuhkan modal yang tidak terlalu besar dan pengelolaannya tidak terlalu rumit.
Dan pada ujung ujungnya tetap masyarakat diuntungkan karena ada pemerataan pelayanan kefarmasian yang dilakukan secara langsung oleh apoteker. Bagaimanapun juga layayanan kepada masyarakat selalu harus kita utamakan, dan apotek model ini adalah salah satu solusi.
Didalam praktek profesi apoteker di apotek, sering kali dikaitkan dengan keberadaan apoteker di apotek di jam buka apotek. Suatu hal yang tidak berlebihan bila keberadaan apoteker di jam buka apotek dipertanyakan dan dituntut demi layanan kepada masyarakat. Dan salah satu alasan ketidak beradaan apoteker di apotek pada jam buka apotek adalah hanya ada satu apoteker padahal jam buka apotek 10-14 jam dalam sehari.
Dalam menyikapi hal ini tentunya kita bisa menganalogikan apotek dengan praktek profesi lain. Semisal praktek dokter, kita bisa menganalogikan apotek seperti praktek dokter atau seperti rumah sakit. Bila kita menganalogkan dengan praktek dokter, maka satu apotek bisa diisi hanya dengan satu apoteker dan dapat dibantu dengan tenaga lain yang jam bukanya hanya beberapa jam saja dalam satu hari. Bila apoteker berhalangan hadir, maka apotek harus tutup seperti praktek dokter.
Bila kita analogikan dengan praktek dokter, apotek tidak harus buka 10 jam dalam sehari. Mungkin apotek cukup buka 5-7 jam dalam satu hari pada jam jam tertentu saja. Dan tidak perlu dipaksakan untuk buka lebih lama. Mungkin apotek model ini baik diterapkan pada daerah pinggiran atau terpencil.
Bila kita analogikan dengan rumah sakit, maka apotek bisa dikelola oleh 2 orang apoteker atau lebih. Yang mana pada jam buka apotek bisa dikelola oleh apoteker secara langsung secara bergantian. Bila apotek buka tuju hari dalam satu minggu suatu misal, apotek harus dikelola setidaknya oleh tiga orang apoteker. Dengan perhitungan, dalam satu minggu ada 14 sip dan 3 apoteker bisa mengisi 15-18 sip dalam satu minggu. Bila apotek buka 24 jam, maka ada 21 sip,dan seharusnya diperlukan setidaknya 4 orang apoteker.
Dari analogi di atas, kenapa tidak dicoba model apotek yang hanya buka beberapa jam saja per hari? Toh kalau bicara omset, pada apotek model ini tidak dibutuhkan omset yang terlalu besar karena biaya operasional yang juga tidak terlalu besar. Mungkin ada yag meragukan eksistensi apotek yang hanya buka beberapa jam dalam sehari. Tetapi kenyataannya ada yang eksis meski apotek model ini hanya sangat sangat sedikit, dan kenapa tidak kita coba untuk dikembangkan? Toh bila dikembangkan apotek model ini hanya dibutuhkan modal yang tidak terlalu besar dan pengelolaannya tidak terlalu rumit.
Dan pada ujung ujungnya tetap masyarakat diuntungkan karena ada pemerataan pelayanan kefarmasian yang dilakukan secara langsung oleh apoteker. Bagaimanapun juga layayanan kepada masyarakat selalu harus kita utamakan, dan apotek model ini adalah salah satu solusi.
Kamis, 19 November 2009
PENGELOLAAN OBAT
Artikel ini dikirimkan oleh Mr Totok Sudjianto, sebagai bahan diskusi buat kita seua para apoteker dan mungkin juga oleh profesi lain yang memang bersentuhan dengan sediaan farmasi. Dan apresiasinya sangat diperluakan guna meningkatkan kualitas layanan kefarmasian (GPP).
Selama ini hanya apoteker yang berkompeten didalam pengelolaan obat. Dan seharusnya tidak tergantikan bila menginginkan pembangunan kesehatan yang seutuhnya. Dan sekali lagi terimakasih buat Mr Sudjianto.
Naskah yang cukup banyak saya simpan di http://sites.google.com/site/hisfarma/Home/pengelolaan-obat dan semoga tidak mengurangi semangat diskusi di blog ini. silahkan mengapresiasi
PENGELOLAAN OBAT
Pengantar
Pengelolaan merupakan suatu proses yang dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang dilakukan secara efektif dan efisien. Proses pengelolaan dapat terjadi dengan baik bila dilaksanakan dengan dukungan kemampuan menggunakan sumber daya yang tersedia dalam suatu sistem.
Tujuan utama pengelolaan obat adalah tersedianya obat dengan mutu yang baik, tersedia dalam jenis dan jumlah yang sesuai kebutuhan pelayanan kefarmasian bagi masyarakat yang membutuhkan.
Secara khusus pengelolaan obat harus dapat menjamin :
a. Tersedianya rencana kebutuhan obat dengan jenis dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan pelayanan kefarmasian di Apotek
b. Terlaksananya pengadaan obat yang efektif dan efisien
c. Terjaminnya penyimpanan obat dengan mutu yang baik
d. Terjaminnya pendistribusian / pelayanan obat yang efektif
e. Terpenuhinya kebutuhan obat untuk mendukung pelayanan kefarmasian sesuai jenis, jumlah dan waktu yang dibutuhkan
f. Tersedianya sumber daya manusia dengan jumlah dan kualifikasi yang tepat
g. Digunakannya obat secara rasional
BACA SELANJUTNYA
Selama ini hanya apoteker yang berkompeten didalam pengelolaan obat. Dan seharusnya tidak tergantikan bila menginginkan pembangunan kesehatan yang seutuhnya. Dan sekali lagi terimakasih buat Mr Sudjianto.
Naskah yang cukup banyak saya simpan di http://sites.google.com/site/hisfarma/Home/pengelolaan-obat dan semoga tidak mengurangi semangat diskusi di blog ini. silahkan mengapresiasi
PENGELOLAAN OBAT
Pengantar
Pengelolaan merupakan suatu proses yang dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang dilakukan secara efektif dan efisien. Proses pengelolaan dapat terjadi dengan baik bila dilaksanakan dengan dukungan kemampuan menggunakan sumber daya yang tersedia dalam suatu sistem.
Tujuan utama pengelolaan obat adalah tersedianya obat dengan mutu yang baik, tersedia dalam jenis dan jumlah yang sesuai kebutuhan pelayanan kefarmasian bagi masyarakat yang membutuhkan.
Secara khusus pengelolaan obat harus dapat menjamin :
a. Tersedianya rencana kebutuhan obat dengan jenis dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan pelayanan kefarmasian di Apotek
b. Terlaksananya pengadaan obat yang efektif dan efisien
c. Terjaminnya penyimpanan obat dengan mutu yang baik
d. Terjaminnya pendistribusian / pelayanan obat yang efektif
e. Terpenuhinya kebutuhan obat untuk mendukung pelayanan kefarmasian sesuai jenis, jumlah dan waktu yang dibutuhkan
f. Tersedianya sumber daya manusia dengan jumlah dan kualifikasi yang tepat
g. Digunakannya obat secara rasional
BACA SELANJUTNYA
Label:
APOTEK,
APOTEKER,
BISNIS APOTEK,
HISFARMA,
ISFI,
OBAT,
PENGELOLAAN OBAT
Selasa, 17 November 2009
KONSELING PADA PELAYANAN ATAS RESEP
KONSELING PADA PELAYANAN ATAS RESEP
Salah satu faktor didalam keberhasilan didalam pelayanan obat atas resep adalah keberhasilan didalam konseling. Secara umum tehnik konseling pada swamedikasi lebih sulit dibandingkan dengan tehnik konseling pada pelayanan atas resep. Karena pada swamedikasi memiliki lebih banyak faktor yang mempengaruhi. Yang salah satunya kebutuhan obatnya lebih heterogen baik dalam klas terapi, merek dsb.
Tehnik konseling pada pelayanan atas resep sebaiknya juga diawali dengan tehnik eksplorasi, baru diikuti tehnik tehnik lain dan di tutup dengan tehnik pemberian informasi. Pada penyerahan resep konseling secara umum lebih susah pada penguasaan farmakoterapi, bukan pada tehniknya, tetapi bukan berarti pada penyerahan resep tehnik konseling tidak ada masalah. Dan secara umum yang saya tahu saat ini penguasaan oleh para apoteker muda terhadap tehnik konseling ini masih sangat perlu diasah.
Eksplorasi menjadi sangat penting didalam konseling kefarmasian, karena dengan tehnik ini kita bisa mengetahui pemahaman pasien terhadap obat dan penyakit. Setelah itu apoteker baru mengambil keputusan tentang apa yang harus dikonselingkan dan tehnik apa yang digunakan dalam konseling. Dengan konseling yang tepat, maka tujuan terapi akan menjadi lebih berhasil.
Siapapun juga yang mengambil obat, jalannya konseling tetap harus berjalan. Meskipun yang mengambil orang lain. Dan pesan didalam konseling juga harus tetap disampaikan. Selain konseling bisa meningkatkan keberhasilan pengobatan, konseling juga bisa meningkatkan tingkat pendidikan kesehatan masyarakat secara umum. Dan dengan semakin tinggi tingkat pendidikan kesehatan masyarakat, maka jalannya konseling pada tahap berikutnya juga akan menjadi lebih mudah.
Konseling pada kadang kala tidak cukup hanya dilakukan dalam satu pertemuan, dan sering kali harus diulang ulang pada kunjungan berikutnya. Terutama pada pengobatan jangka panjang, seperti TB dan penyakit degeneratif. Dan bila perlu pada keluarga pasien juga dilakukan konseling.
Pada pelayanan atas dasar resep, konseling juga dilakukan untuk mengamankan pasien dari bahaya obat dan penyakit, dan juga untuk meningkatkan keberhasilan tujuan terapi. Dan untuk menjadikan konseling efektif diperlukan pengalaman yang cukup dan penguasaan sain dan tehnik yang cukup pula. Karena didalam konseling, mempunyai tehnik tanpa penguasaan sain mungkin jalannya konseling tidak akan berhasil. Dan sebaliknya, mempunyai sain tanpa tehnik konseling bisa jadi juga akan gagal.
Dan kesimpulannya, kemampuan tehnik konseling seharusnya ditingkatkan, terutama untuk apoteker baru. Karena bagaimanapun juga tehnik konseling adalah salah satu permasalahan tersendiri didalam keberhasilan dalam terapi. Baik pada swamedikasi ataupun pada pelayanan atas dasar resep.
Salah satu faktor didalam keberhasilan didalam pelayanan obat atas resep adalah keberhasilan didalam konseling. Secara umum tehnik konseling pada swamedikasi lebih sulit dibandingkan dengan tehnik konseling pada pelayanan atas resep. Karena pada swamedikasi memiliki lebih banyak faktor yang mempengaruhi. Yang salah satunya kebutuhan obatnya lebih heterogen baik dalam klas terapi, merek dsb.
Tehnik konseling pada pelayanan atas resep sebaiknya juga diawali dengan tehnik eksplorasi, baru diikuti tehnik tehnik lain dan di tutup dengan tehnik pemberian informasi. Pada penyerahan resep konseling secara umum lebih susah pada penguasaan farmakoterapi, bukan pada tehniknya, tetapi bukan berarti pada penyerahan resep tehnik konseling tidak ada masalah. Dan secara umum yang saya tahu saat ini penguasaan oleh para apoteker muda terhadap tehnik konseling ini masih sangat perlu diasah.
Eksplorasi menjadi sangat penting didalam konseling kefarmasian, karena dengan tehnik ini kita bisa mengetahui pemahaman pasien terhadap obat dan penyakit. Setelah itu apoteker baru mengambil keputusan tentang apa yang harus dikonselingkan dan tehnik apa yang digunakan dalam konseling. Dengan konseling yang tepat, maka tujuan terapi akan menjadi lebih berhasil.
Siapapun juga yang mengambil obat, jalannya konseling tetap harus berjalan. Meskipun yang mengambil orang lain. Dan pesan didalam konseling juga harus tetap disampaikan. Selain konseling bisa meningkatkan keberhasilan pengobatan, konseling juga bisa meningkatkan tingkat pendidikan kesehatan masyarakat secara umum. Dan dengan semakin tinggi tingkat pendidikan kesehatan masyarakat, maka jalannya konseling pada tahap berikutnya juga akan menjadi lebih mudah.
Konseling pada kadang kala tidak cukup hanya dilakukan dalam satu pertemuan, dan sering kali harus diulang ulang pada kunjungan berikutnya. Terutama pada pengobatan jangka panjang, seperti TB dan penyakit degeneratif. Dan bila perlu pada keluarga pasien juga dilakukan konseling.
Pada pelayanan atas dasar resep, konseling juga dilakukan untuk mengamankan pasien dari bahaya obat dan penyakit, dan juga untuk meningkatkan keberhasilan tujuan terapi. Dan untuk menjadikan konseling efektif diperlukan pengalaman yang cukup dan penguasaan sain dan tehnik yang cukup pula. Karena didalam konseling, mempunyai tehnik tanpa penguasaan sain mungkin jalannya konseling tidak akan berhasil. Dan sebaliknya, mempunyai sain tanpa tehnik konseling bisa jadi juga akan gagal.
Dan kesimpulannya, kemampuan tehnik konseling seharusnya ditingkatkan, terutama untuk apoteker baru. Karena bagaimanapun juga tehnik konseling adalah salah satu permasalahan tersendiri didalam keberhasilan dalam terapi. Baik pada swamedikasi ataupun pada pelayanan atas dasar resep.
Senin, 16 November 2009
SWAMEDIKASI BUKAN PENGOBAT
SWAMEDIKASI BUKAN PENGOBAT
Setiap kal saya menceritakan tentang target omset apotek saya yang didominasi oleh penjualan swamedikasi, selalu banyak pertanyaan yang mengarahkan kepada saya yang menuding saya sebagai pengobat.
Dalam swamedikasi filosofi utamanya adalah mengamankan pasien dari bahaya penyakit dan bahaya obat, juga bahaya dari penggunaan sediaan farmasi lain. Dengan filosofi itu kita sebagai apoteker sebaiknya tidak melepas langsung obat atau sediaan farmasi lain begitu saja, tetapi kita harus melakukan pengecekan terhadap kerasionalan keinginan masyarakat tersebut. Meskipun hal ini ribet, sebaiknya tetap dilakukan demi keamanan akibat penggunaan obat dan sediaan farmasi lain juga demi keselamatan pasien dari bahaya penyakit.
Pengusaan apoteker terhadap obat tidak perlu diragukan lagi, secara umum lebih dari cukup. Tetapi usaha untuk konseling sering kali kurang diperhatikan karena banyak hal yang mempengaruhi. Salah satu misal adalah biaya operasional konseling. Sebagai gambaran, gaji apoteker pendamping per jam sekitar Rp10.000;- dan konseling sering kali memakan waktu lebih dari 15 menit dan tak jarang membutuhkan waktu yang lebih. Selanjutnya bila apoteker hanya memberikan keputusan dengan menyarankan penggunaan obat dengan harga kurang dari Rp10.000;- dengan margin laba 10% maka apotek telah merugi. Selain disebabkan oleh hal2 lain
Dan masih banyak alasan lain yang menyebabkan konseling tidak berjalan terhadap masalah diatas. Tetapi secara umum karena apresiasi masyarakat terhadap kebutuhan konseling kurang.
Hal kedua yang penting adalah penguasaan terhadap penyakit. Sangat penting apoteker memahami penyakit dan sifat sifat penyakit. Guna menyelamatkan masyarakat dari bahaya penyakit. Dengan penguasaan terhadap ilmu penyakit, bukan berarti apoteker harus menjadi pengobat (dokter). Tetapi lebih diarahkan agar apoteker mampu merujuk pasien kepada dokter pada saat yang tepat, selain juga menyelamatkan masyarakat akibat penggunaan obat sembarangan yang memungkinkan terjadinya ESO atau mungkin justru memperparah penyakit.
Semisal pada saat pasien meminta obat turun panas, apoteker harus mengenal penyakit yang umumnya bisa menyebabkan suhu badan naik, sehingga bila panas tidak reda sampai waktu tertentu harus menyarankan untuk mengunjungi dokter keluarganya. Semisal pada DB, apoteker juga harus tahu, bagaimana pemeriksaan laboratoirumnya dan menyampaikan ini kepada masyarakat. Sekali lagi disini apoteker bukan pengobat, karena derajat sakit bukan kompetensi dari apoteker. Bolehlah masyarakat secara umum atau apoteker mengenali penyakit dan gejalanya, tetapi penegakan diagnosa tetap menjadi wilayah dari pada seorang dokter.
Contoh lain yang paling banyak kita temui adalah penderita hipertensi yang meminta PPA, apoteker harus mampu mengarahkan untuk menghindari PPA. Kasus semacam ini selalu ada saja, pernah sekitar satu bulan yang lalu ada yang meminta obat PPA, padahal saat datang keapotek jalannya sudah tidak tegak lagi karena strok. Disinilah peran apoteker dalam mengamankan masyarakat dibutuhkan, meskipun itu hanya obat bebas terbatas.
Memang didalam konseling apoteker tidak selamanya mampu merubah perilaku masyarakat kearah hidup yang lebih sehat, tetapi peran ini tetap harus dilakukan dengan sabar dan terampil.
Dalam swamedikasi saya selalu menekankan untuk mengawal masyarakat dalam penggunaan obat bebas sampai obat bebas terbatas juga OWA. Dan apoteker juga harus siap sebagai konsultan nutrisi dan kosmetik. Semisal susu untuk penderita GGT, apoteker harus mampu menjelaskan perbedaannya dengan susu biasa dsb. Dan masih banyak lagi peran apoteker didalam swamedikasi.
Kewaspadaan apoteker terhadap bahaya obat dan penyakit sangat penting didalam swamedikasi, meskipun bukan berarti pengobat.
Setiap kal saya menceritakan tentang target omset apotek saya yang didominasi oleh penjualan swamedikasi, selalu banyak pertanyaan yang mengarahkan kepada saya yang menuding saya sebagai pengobat.
Dalam swamedikasi filosofi utamanya adalah mengamankan pasien dari bahaya penyakit dan bahaya obat, juga bahaya dari penggunaan sediaan farmasi lain. Dengan filosofi itu kita sebagai apoteker sebaiknya tidak melepas langsung obat atau sediaan farmasi lain begitu saja, tetapi kita harus melakukan pengecekan terhadap kerasionalan keinginan masyarakat tersebut. Meskipun hal ini ribet, sebaiknya tetap dilakukan demi keamanan akibat penggunaan obat dan sediaan farmasi lain juga demi keselamatan pasien dari bahaya penyakit.
Pengusaan apoteker terhadap obat tidak perlu diragukan lagi, secara umum lebih dari cukup. Tetapi usaha untuk konseling sering kali kurang diperhatikan karena banyak hal yang mempengaruhi. Salah satu misal adalah biaya operasional konseling. Sebagai gambaran, gaji apoteker pendamping per jam sekitar Rp10.000;- dan konseling sering kali memakan waktu lebih dari 15 menit dan tak jarang membutuhkan waktu yang lebih. Selanjutnya bila apoteker hanya memberikan keputusan dengan menyarankan penggunaan obat dengan harga kurang dari Rp10.000;- dengan margin laba 10% maka apotek telah merugi. Selain disebabkan oleh hal2 lain
Dan masih banyak alasan lain yang menyebabkan konseling tidak berjalan terhadap masalah diatas. Tetapi secara umum karena apresiasi masyarakat terhadap kebutuhan konseling kurang.
Hal kedua yang penting adalah penguasaan terhadap penyakit. Sangat penting apoteker memahami penyakit dan sifat sifat penyakit. Guna menyelamatkan masyarakat dari bahaya penyakit. Dengan penguasaan terhadap ilmu penyakit, bukan berarti apoteker harus menjadi pengobat (dokter). Tetapi lebih diarahkan agar apoteker mampu merujuk pasien kepada dokter pada saat yang tepat, selain juga menyelamatkan masyarakat akibat penggunaan obat sembarangan yang memungkinkan terjadinya ESO atau mungkin justru memperparah penyakit.
Semisal pada saat pasien meminta obat turun panas, apoteker harus mengenal penyakit yang umumnya bisa menyebabkan suhu badan naik, sehingga bila panas tidak reda sampai waktu tertentu harus menyarankan untuk mengunjungi dokter keluarganya. Semisal pada DB, apoteker juga harus tahu, bagaimana pemeriksaan laboratoirumnya dan menyampaikan ini kepada masyarakat. Sekali lagi disini apoteker bukan pengobat, karena derajat sakit bukan kompetensi dari apoteker. Bolehlah masyarakat secara umum atau apoteker mengenali penyakit dan gejalanya, tetapi penegakan diagnosa tetap menjadi wilayah dari pada seorang dokter.
Contoh lain yang paling banyak kita temui adalah penderita hipertensi yang meminta PPA, apoteker harus mampu mengarahkan untuk menghindari PPA. Kasus semacam ini selalu ada saja, pernah sekitar satu bulan yang lalu ada yang meminta obat PPA, padahal saat datang keapotek jalannya sudah tidak tegak lagi karena strok. Disinilah peran apoteker dalam mengamankan masyarakat dibutuhkan, meskipun itu hanya obat bebas terbatas.
Memang didalam konseling apoteker tidak selamanya mampu merubah perilaku masyarakat kearah hidup yang lebih sehat, tetapi peran ini tetap harus dilakukan dengan sabar dan terampil.
Dalam swamedikasi saya selalu menekankan untuk mengawal masyarakat dalam penggunaan obat bebas sampai obat bebas terbatas juga OWA. Dan apoteker juga harus siap sebagai konsultan nutrisi dan kosmetik. Semisal susu untuk penderita GGT, apoteker harus mampu menjelaskan perbedaannya dengan susu biasa dsb. Dan masih banyak lagi peran apoteker didalam swamedikasi.
Kewaspadaan apoteker terhadap bahaya obat dan penyakit sangat penting didalam swamedikasi, meskipun bukan berarti pengobat.
Label:
APOTEK,
APOTEKER,
BISNIS APOTEK,
HISFARMA,
ISFI,
KONSELING APOTEKER,
OBAT,
SWAMEDIKASI
Kamis, 12 November 2009
SWAMEDIKASI
SWAMEDIKASI
Dalam asuhan kefarmasian, swamedikasi adalah salah satu hal yang harus dilakukan dengan baik. Seperti kita ketahui saat pasien mengusahakan untuk mendapatkan obat, seharusnya apoteker tidak melepaskan obat begitu saja, meskipun obat bebas. Hal yang harus dicermati adalah mengamankan pasien dari obat dan penyakit, sebagai tujuan utama dalam swamedikasi.
Pada swamedikasi, pemahaman apoteker tentang obat dan penyakit merupakan hal yang harus dikuasai dan tidak bisa ditawar. Karena tidak mungkin kita bisa mengamankan masyarakat dari keduanya bila apoteker tak memahami keduanya. Pemahaman apoteker terhadap obat secara umum tidak menjadi masalah, tetapi pemahaman terhadap penyakit umumnya sangat kurang. Bukannya kita ingin menjadi pengobat seperti doker, tetapi diharapkan kita bisa mengawal masyarakat dan tahu kapan masyarakat harus ke dokter.
Sering kali pasien memaksakan diri agar apoteker mampu mengobati penyakitnya, tetapi bila dirasakan penyakit harus dirujuk, apoteker harus mampu merujuk pada saat yang tepat. Philosofi yang saya gunakan dalam swamedikasi adalah keamanan lebih penting dari pada semuanya, semisal manjur, tetapi tidak aman juga tidak ada gunanya. Sering kali saya harus menjelaskan kepada pasien, bahwa obat yang bagus selalu dengan urutan aman, efektif dan efisien. Keamanan selalu diletakan pada posisi pertama. Dan kalau dalam usaha swamedikasi tidak berhasil pasien harus mengunjungi dokter.
Saya selalu mengatakan bahwa kemanan adalah hal yang sangat penting. Dan saya sangat menghargai dokter bila ukuran klinis adalah hak mereka. Boleh kita bicara gejala penyakit, diagnosa dan lain sebagainya, tetapi derajat sakit bukanlah wilayah kita. Sebaiknya kita berhati hati didalam swamedikasi dan tetap mengutamakan kepentingan pasien yaitu selamat dalam penggunaan obat dan sediaan farmasi lain.
Dalam asuhan kefarmasian, swamedikasi adalah salah satu hal yang harus dilakukan dengan baik. Seperti kita ketahui saat pasien mengusahakan untuk mendapatkan obat, seharusnya apoteker tidak melepaskan obat begitu saja, meskipun obat bebas. Hal yang harus dicermati adalah mengamankan pasien dari obat dan penyakit, sebagai tujuan utama dalam swamedikasi.
Pada swamedikasi, pemahaman apoteker tentang obat dan penyakit merupakan hal yang harus dikuasai dan tidak bisa ditawar. Karena tidak mungkin kita bisa mengamankan masyarakat dari keduanya bila apoteker tak memahami keduanya. Pemahaman apoteker terhadap obat secara umum tidak menjadi masalah, tetapi pemahaman terhadap penyakit umumnya sangat kurang. Bukannya kita ingin menjadi pengobat seperti doker, tetapi diharapkan kita bisa mengawal masyarakat dan tahu kapan masyarakat harus ke dokter.
Sering kali pasien memaksakan diri agar apoteker mampu mengobati penyakitnya, tetapi bila dirasakan penyakit harus dirujuk, apoteker harus mampu merujuk pada saat yang tepat. Philosofi yang saya gunakan dalam swamedikasi adalah keamanan lebih penting dari pada semuanya, semisal manjur, tetapi tidak aman juga tidak ada gunanya. Sering kali saya harus menjelaskan kepada pasien, bahwa obat yang bagus selalu dengan urutan aman, efektif dan efisien. Keamanan selalu diletakan pada posisi pertama. Dan kalau dalam usaha swamedikasi tidak berhasil pasien harus mengunjungi dokter.
Saya selalu mengatakan bahwa kemanan adalah hal yang sangat penting. Dan saya sangat menghargai dokter bila ukuran klinis adalah hak mereka. Boleh kita bicara gejala penyakit, diagnosa dan lain sebagainya, tetapi derajat sakit bukanlah wilayah kita. Sebaiknya kita berhati hati didalam swamedikasi dan tetap mengutamakan kepentingan pasien yaitu selamat dalam penggunaan obat dan sediaan farmasi lain.
Minggu, 18 Oktober 2009
KEBERADAAN PENDAMPING BISA MELAKUKAN PRAKTEK SAMPAI DI 3 APOTEK PADA PP NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN
KEBERADAAN PENDAMPING BISA MELAKUKAN PRAKTEK SAMPAI DI 3 APOTEK PADA PP NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN
Pasal 54
(1) Apoteker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf a hanya dapat melaksanakan praktik di 1 (satu) Apotik, atau puskesmas atau instalasi
farmasi rumah sakit.
(2) Apoteker pendamping sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf b hanya dapat melaksanakan praktik paling banyak di 3 (tiga) Apotek, atau puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit.
Ada banyak beberapa keuntungan dengan diperbolehkannya apoteker pendamping melakukan praktek sampai pada 3 apotek, yang antara lain :
1. Dengan adanya pendamping dan pendamping boleh melakukan praktek sampai 3 tempat pratek, akan meningkatkan komunikasi profesi antar apoteker yang ujung ujungnya justru akan menguntungkan apoteker itu sendiri. Karena akan menjadikan apoteker lebih mudah untuk saling bertukar pikiran dan selanjutnya kualitas apoteker akan menjadi lebih baik. Dampak selanjutnya tentu saja pelayanan kepada pasien juga akan menjadi lebih bagus, karena apoteker menjadi lebih berkualitas.
2. memudahkan apotek dalam mencari pendamping, terutama pada masa peralihan ini dan pada apotek yang berada di daerah pinggiran. Seperti kita ketahui saat ini, umumnya para apoteker inginnya bekerja pada apotek yang berada di kota dan pada apotek besar. Pada apotek yang terletak di daerah pinggiran saat ini sulit mencari apoteker pendamping bahkan mencari asisten apotekerpun di daerah pinggiran terkadang sulit.
3. Pemerataan apotek dalam memenuhi rasio jumlah apoteker terhadap jumlah penduduk. Pada daerah yang jumlah penduduknya hanya membutuhkan apoteker satu lebih setengah atau dua sepertiga dan lain sebagainya, kekurangan apoteker bisa diisi oleh apoteker pendamping. Suatu misal apotek yang ada dipinggiran yang melayani penduduk dengan jumlah sekitar 15.000 orang, bila rasio 1:10.000, maka secara teoritis dibutuhkan 1 lebih setengah apoteker. Pada daerah semacam ini bisa jadi apoteker pendamping dalam bekerja membantu APA tidak harus satu minggu penuh, mungkin cukup 3 hari saja dalam satu minggu. Selanjutnya harapan pemerataan apotek dan apoteker menjadi lebih mudah terpenuhi.
4. dan mungkin akan masih ada beberaa kelebihan lagi dari diijinkanya apoteker pendamping bisa bekerja pada lebih dari satu tempat layanan kefarmasian/apotek. Dan semoga kesempatan ini bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh kita para apoteker.
Dengan pengaturan apoteker pendamping ini, maka kerja sama antar apoteker akan menjadi sesuatu hal yang menjadi penting. Karena tidak menutup kemungkinan pada satu apotek akan diisi oleh lebih dari 4 atau 5 apoteker. Dan bagaimanapun juga dengan adanya pendamping yang boleh melakukan praktek lebih dari satu apotek akan menjadikan beberapa permasalahan profesi lebih mudah terselesaikan.
Pasal 54
(1) Apoteker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf a hanya dapat melaksanakan praktik di 1 (satu) Apotik, atau puskesmas atau instalasi
farmasi rumah sakit.
(2) Apoteker pendamping sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf b hanya dapat melaksanakan praktik paling banyak di 3 (tiga) Apotek, atau puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit.
Ada banyak beberapa keuntungan dengan diperbolehkannya apoteker pendamping melakukan praktek sampai pada 3 apotek, yang antara lain :
1. Dengan adanya pendamping dan pendamping boleh melakukan praktek sampai 3 tempat pratek, akan meningkatkan komunikasi profesi antar apoteker yang ujung ujungnya justru akan menguntungkan apoteker itu sendiri. Karena akan menjadikan apoteker lebih mudah untuk saling bertukar pikiran dan selanjutnya kualitas apoteker akan menjadi lebih baik. Dampak selanjutnya tentu saja pelayanan kepada pasien juga akan menjadi lebih bagus, karena apoteker menjadi lebih berkualitas.
2. memudahkan apotek dalam mencari pendamping, terutama pada masa peralihan ini dan pada apotek yang berada di daerah pinggiran. Seperti kita ketahui saat ini, umumnya para apoteker inginnya bekerja pada apotek yang berada di kota dan pada apotek besar. Pada apotek yang terletak di daerah pinggiran saat ini sulit mencari apoteker pendamping bahkan mencari asisten apotekerpun di daerah pinggiran terkadang sulit.
3. Pemerataan apotek dalam memenuhi rasio jumlah apoteker terhadap jumlah penduduk. Pada daerah yang jumlah penduduknya hanya membutuhkan apoteker satu lebih setengah atau dua sepertiga dan lain sebagainya, kekurangan apoteker bisa diisi oleh apoteker pendamping. Suatu misal apotek yang ada dipinggiran yang melayani penduduk dengan jumlah sekitar 15.000 orang, bila rasio 1:10.000, maka secara teoritis dibutuhkan 1 lebih setengah apoteker. Pada daerah semacam ini bisa jadi apoteker pendamping dalam bekerja membantu APA tidak harus satu minggu penuh, mungkin cukup 3 hari saja dalam satu minggu. Selanjutnya harapan pemerataan apotek dan apoteker menjadi lebih mudah terpenuhi.
4. dan mungkin akan masih ada beberaa kelebihan lagi dari diijinkanya apoteker pendamping bisa bekerja pada lebih dari satu tempat layanan kefarmasian/apotek. Dan semoga kesempatan ini bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh kita para apoteker.
Dengan pengaturan apoteker pendamping ini, maka kerja sama antar apoteker akan menjadi sesuatu hal yang menjadi penting. Karena tidak menutup kemungkinan pada satu apotek akan diisi oleh lebih dari 4 atau 5 apoteker. Dan bagaimanapun juga dengan adanya pendamping yang boleh melakukan praktek lebih dari satu apotek akan menjadikan beberapa permasalahan profesi lebih mudah terselesaikan.
Sabtu, 10 Oktober 2009
ASUHAN KEFARMASIAN PADA PP NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN
ASUHAN KEFARMASIAN PADA PP NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN
Pada ketentuan umum, Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan
obat dan obat tradisional.
Dan pada pasal 5 Pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian meliputi antara lain Pekerjaan Kefarmasian dalam Pelayanan Sediaan Farmasi.
Asuhan kefarmasian diapotek secara umum dapat digambarkan oleh kedua pernyataan tersebut. Yang mana pekerjaan kefarmasian diapotek bisa meliputi antara lain : produksi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian atau penyaluran obat, pelayanan obat atas resep dokter dan informasi obat. Sedangkan pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional kelihatannya belum dimungkinkan. Pada pengembangan ini, yang mungkin bisa melibatkan para praktisi di apotek hanya masalah formulasi (komposisi yang disesuaikan dengan kebutuhan lapangan).
Mungkin ada yang menanyakan tentang swamedikasi dalam PP ini. Karena tidak diterjemahkan secara harfiah. Swamedikasi sudah termasuk dalam penyaluran obat kepada masyarakat, karena penyaluran obat kepada masyarakat bisa meliputi penyerahan obat baik atas dasar resep atau permintaan pasien sendiri. Dan pada penyalurannya tentu saja tetap harus disertakan dengan memberikan informasi secukupnya atau dengan kata lain sesuai kebutuhan pasien. Sesuai dengan kebutuhan pasien adalah sesuai dengan apa yang seharusnya pasien butuhkan agar dalam penggunaannya hal-hal yang seharusnya tidak diinginkan dapat ditekan.
Saat pasien datang ke apotek bisa jadi pasien mengerti atau tidak mengerti akan kebutuhannya. Kebutuhan akan obat yang dinginkan, informasi atau pun harga dan lain sebagainya. Disinilah peran konseling diperlukan. Terkadang kita tidak bisa memaksakan memberikan infomasi tanpa kita mengedukasikan dulu kepada masyarakat akan pentingnya informasi. Yang selanjutnya diharapkan dapat mempengaruhi tingkat pendidikan kesehatan kearah yang lebih baik.
Pada pernyataan pasal 5 tentang pekerjaan kefarmasian dalam pelayanan sediaan farmasi tidak boleh hanya diartikan kita menyerahkan obat begitu saja. Karena yang namanya proses tetap harus dilalui dan semua proses tidak bisa dipisahkan. Proses mulai pengadaan sampai penyerahan. Yang mana penyerahan itu sendiri meliputi KIE dan edukasi. Semua hal itu harus diartikan sebagai satu kesatuan proses pelayanan kefarmasian, yang mana pelayanan kefarmasian juga merupakan pelayanan kesehatan dasar. Bila hal tersebut hanya dilakukan dengan sebagian saja, maka proses pelayanan kefarmasian tidak bisa dikatakan profesional.
Bagaimanapun juga didalam menerjemahkan PP 51 tentang pekerjaan kefarmasian ini, kita tidak bisa meninggalkan ilmu kefarmasian atau pemahaman tentang ilmu kefarmasian. Oleh karena itu didalam menerjemahkan PP ini harus dilakukan oleh para praktisi aktif. Untuk pekerjaan kefarmasian di apotek hanya dapat diterjemahkan oleh praktisi aktif di apotek yang memang hidupnya tegantung dari apotek. Dan Untuk pekerjaan kefarmasian di industri farmasi hanya dapat diterjemahkan oleh praktisi aktif di industri yang memang hidupnya tegantung dari industri. Demikian juga dengan yang di pemerintahan.
Tidak mungkin para dosen yang bukan menjadi praktisi aktif meskipun apoteker tiba-tiba diangap sebagai praktisi dan boleh menerjemahkannya sekehedaknya sendiri. Bila untuk tujuan pendidikan, maka PT sudah sewajarnya bila seperti saat ini sudah mulai melibatkan para praktisi aktif dibidangnya masing - masing. Demikian juga tidak mungkin masalah industri diajarkan oleh praktisi dirumah sakit dan sebaliknya.
Harapan kita semua tentunya adalah profesionalisme para apoteker demi kepentingan masyarakat dan kepentingan profesi itu sendiri, yang berarti pula kepentingan bangsa. Maka sudah sewajarnya bila didalam menerjemahkan PP ini dilakukan oleh pihak pihak yang kompeten dibidangnya. Suatu misal praktisi di apotek dan di RS bisa dikatakan memiliki dasar yang sama yaitu layanan kepada masyarakat, tetapi pada penerapan ilmunya bisa berbeda, karena pembobotan pada ilmu sosialnya berbeda. Diapotek lebih sarat dengan ilmu sosial, sehingga kompetensi yang diperlukan juga akan sedikit lebih berbeda.
Kesimpulan saya, meskipun pada PP hanya di ungkapkan secara garis besar, tetapi penjabarannya tetap tidak boleh keluar dari nilai-nilai profesi. Demi kepentingan masyarakat dan profesi itu sendiri.
Pada ketentuan umum, Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan
obat dan obat tradisional.
Dan pada pasal 5 Pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian meliputi antara lain Pekerjaan Kefarmasian dalam Pelayanan Sediaan Farmasi.
Asuhan kefarmasian diapotek secara umum dapat digambarkan oleh kedua pernyataan tersebut. Yang mana pekerjaan kefarmasian diapotek bisa meliputi antara lain : produksi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian atau penyaluran obat, pelayanan obat atas resep dokter dan informasi obat. Sedangkan pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional kelihatannya belum dimungkinkan. Pada pengembangan ini, yang mungkin bisa melibatkan para praktisi di apotek hanya masalah formulasi (komposisi yang disesuaikan dengan kebutuhan lapangan).
Mungkin ada yang menanyakan tentang swamedikasi dalam PP ini. Karena tidak diterjemahkan secara harfiah. Swamedikasi sudah termasuk dalam penyaluran obat kepada masyarakat, karena penyaluran obat kepada masyarakat bisa meliputi penyerahan obat baik atas dasar resep atau permintaan pasien sendiri. Dan pada penyalurannya tentu saja tetap harus disertakan dengan memberikan informasi secukupnya atau dengan kata lain sesuai kebutuhan pasien. Sesuai dengan kebutuhan pasien adalah sesuai dengan apa yang seharusnya pasien butuhkan agar dalam penggunaannya hal-hal yang seharusnya tidak diinginkan dapat ditekan.
Saat pasien datang ke apotek bisa jadi pasien mengerti atau tidak mengerti akan kebutuhannya. Kebutuhan akan obat yang dinginkan, informasi atau pun harga dan lain sebagainya. Disinilah peran konseling diperlukan. Terkadang kita tidak bisa memaksakan memberikan infomasi tanpa kita mengedukasikan dulu kepada masyarakat akan pentingnya informasi. Yang selanjutnya diharapkan dapat mempengaruhi tingkat pendidikan kesehatan kearah yang lebih baik.
Pada pernyataan pasal 5 tentang pekerjaan kefarmasian dalam pelayanan sediaan farmasi tidak boleh hanya diartikan kita menyerahkan obat begitu saja. Karena yang namanya proses tetap harus dilalui dan semua proses tidak bisa dipisahkan. Proses mulai pengadaan sampai penyerahan. Yang mana penyerahan itu sendiri meliputi KIE dan edukasi. Semua hal itu harus diartikan sebagai satu kesatuan proses pelayanan kefarmasian, yang mana pelayanan kefarmasian juga merupakan pelayanan kesehatan dasar. Bila hal tersebut hanya dilakukan dengan sebagian saja, maka proses pelayanan kefarmasian tidak bisa dikatakan profesional.
Bagaimanapun juga didalam menerjemahkan PP 51 tentang pekerjaan kefarmasian ini, kita tidak bisa meninggalkan ilmu kefarmasian atau pemahaman tentang ilmu kefarmasian. Oleh karena itu didalam menerjemahkan PP ini harus dilakukan oleh para praktisi aktif. Untuk pekerjaan kefarmasian di apotek hanya dapat diterjemahkan oleh praktisi aktif di apotek yang memang hidupnya tegantung dari apotek. Dan Untuk pekerjaan kefarmasian di industri farmasi hanya dapat diterjemahkan oleh praktisi aktif di industri yang memang hidupnya tegantung dari industri. Demikian juga dengan yang di pemerintahan.
Tidak mungkin para dosen yang bukan menjadi praktisi aktif meskipun apoteker tiba-tiba diangap sebagai praktisi dan boleh menerjemahkannya sekehedaknya sendiri. Bila untuk tujuan pendidikan, maka PT sudah sewajarnya bila seperti saat ini sudah mulai melibatkan para praktisi aktif dibidangnya masing - masing. Demikian juga tidak mungkin masalah industri diajarkan oleh praktisi dirumah sakit dan sebaliknya.
Harapan kita semua tentunya adalah profesionalisme para apoteker demi kepentingan masyarakat dan kepentingan profesi itu sendiri, yang berarti pula kepentingan bangsa. Maka sudah sewajarnya bila didalam menerjemahkan PP ini dilakukan oleh pihak pihak yang kompeten dibidangnya. Suatu misal praktisi di apotek dan di RS bisa dikatakan memiliki dasar yang sama yaitu layanan kepada masyarakat, tetapi pada penerapan ilmunya bisa berbeda, karena pembobotan pada ilmu sosialnya berbeda. Diapotek lebih sarat dengan ilmu sosial, sehingga kompetensi yang diperlukan juga akan sedikit lebih berbeda.
Kesimpulan saya, meskipun pada PP hanya di ungkapkan secara garis besar, tetapi penjabarannya tetap tidak boleh keluar dari nilai-nilai profesi. Demi kepentingan masyarakat dan profesi itu sendiri.
Sabtu, 03 Oktober 2009
DAERAH TERPENCIL PADA PP NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN
DAERAH TERPENCIL PADA PP NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN
Daerah terpencil, dalam PP belum dijelaskan makna dari daerah terpencil. Sehingga pada peraturan dibawahnya seharusnya dijelaskan secara detil arti dari daerah terpencil, mengingat dalam penjabarannya bisa jadi akan terjadi perbedaan.
Pada PP ini daerah terpencil menurut saya dimaksudkan untuk memberikan pemerataan pelayanan kefarmasian mengingat keberadaan layanan publik umumnya lebih suka berjubel di kota besar. Sehingga rasio pelayanan terjadi banyak ketimpangan antara masyarakat kota dan masyarakat pelosok. Hal semacam ini tentu saja harus diatasi oleh pemerintah dengan kebijakan yang lebih mendorong pemerataan, yang salah satunya pernyataan daerah terpencil pada PP no 51 ini. Meskipun tujuannya pemerataan, dalam penerapannya jangan sampai memberikan kualitas layanan yang jelek, sehingga ujung-ujungnya justru masyarakat yang dirugikan. Disinilah letak permasalahan yang seharusnya diperhatikan.
Saat awal saya mendirikan apotek, jumlah apotek di kota Surabaya kurang lebih separo dari jumlah apotek di Jawa Timur, dan jumlah apotek di kota madya lebih banyak dari pada jumlah apotek di kabupaten. Saat ini mungkin masih seperti itu, mengingat jumlah apotek dikota madya ditempat saya masih lebih banyak dari pada jumlah apotek di kabupaten yang secara kewilayahan lebih luas. Dampaknya banyak penjual obat keliling yang mengambil kesempatan karena ketidak merataan ini dengan menyalurkan obat palsu atau menjual obat dengan tidak rasional.
Dengan pengaturan daerah terpencil ini tentu saja dampaknya akan terjadi pemerataan yang lebih baik dan menekan kerugiaan masyarakat akibat ketidak meraataan ini. Tetapi yang harus dicermati adalah jangan sampai kota besar seperti Surabaya atau kota madya mempunyai daerah terpencil, sehingga tujuan dari meningkatkan kualitas atau mutu dari layanan kefarmasian atau penyelenggaraan pekerjaan kefarmasian tidak tercapai.
Bila kita melihat data dilapangan, sudah banyak apotek yang berdiri di kota kecamatan yang menerapkan TATAP (Tiada Apoteker Tidak Ada pelayanan), sehingga sangat tidak rasional bila kedepan sampai ada apotek dikota besar dimasukan sebagai daerah terpencil. Dengan demikian kebijakan selanjutnya sudah seharusnya bila ISFI ikut memikirkan dan dimintai masukannya agar tujuan dari diterbitkan PP ini dapat berjalan.
Daerah terpencil menurut saya adalah, daerah yang rasio pelayanan kefarmasiannya tidak tercukupi. Bila kita menggunakan rasio 1:10.000 antara jumlah tenaga kefarmasian dibadingkan jumlah penduduk, maka bila pada suatu daerah yang rasionya terlampaui TATAP harus diterapkan. Sehingga pada perijinannya untuk apotek baru, setidaknya harus menyertakan apoteker pendamping. Dan untuk apotek yang buka lebih dari 14 sip dalam satu minggu setidaknya mempunyai 2 apoteker pendamping.
Bagaimanapun juga daerah terpencil masih harus diperhatikan, tetapi jangan sampai istilah ini dimanfaatkan sebagai alasan untuk tidak menjalankan profesi secara profesional. Dan meskipun terpencil tetap harus mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan baik.
Daerah terpencil, dalam PP belum dijelaskan makna dari daerah terpencil. Sehingga pada peraturan dibawahnya seharusnya dijelaskan secara detil arti dari daerah terpencil, mengingat dalam penjabarannya bisa jadi akan terjadi perbedaan.
Pada PP ini daerah terpencil menurut saya dimaksudkan untuk memberikan pemerataan pelayanan kefarmasian mengingat keberadaan layanan publik umumnya lebih suka berjubel di kota besar. Sehingga rasio pelayanan terjadi banyak ketimpangan antara masyarakat kota dan masyarakat pelosok. Hal semacam ini tentu saja harus diatasi oleh pemerintah dengan kebijakan yang lebih mendorong pemerataan, yang salah satunya pernyataan daerah terpencil pada PP no 51 ini. Meskipun tujuannya pemerataan, dalam penerapannya jangan sampai memberikan kualitas layanan yang jelek, sehingga ujung-ujungnya justru masyarakat yang dirugikan. Disinilah letak permasalahan yang seharusnya diperhatikan.
Saat awal saya mendirikan apotek, jumlah apotek di kota Surabaya kurang lebih separo dari jumlah apotek di Jawa Timur, dan jumlah apotek di kota madya lebih banyak dari pada jumlah apotek di kabupaten. Saat ini mungkin masih seperti itu, mengingat jumlah apotek dikota madya ditempat saya masih lebih banyak dari pada jumlah apotek di kabupaten yang secara kewilayahan lebih luas. Dampaknya banyak penjual obat keliling yang mengambil kesempatan karena ketidak merataan ini dengan menyalurkan obat palsu atau menjual obat dengan tidak rasional.
Dengan pengaturan daerah terpencil ini tentu saja dampaknya akan terjadi pemerataan yang lebih baik dan menekan kerugiaan masyarakat akibat ketidak meraataan ini. Tetapi yang harus dicermati adalah jangan sampai kota besar seperti Surabaya atau kota madya mempunyai daerah terpencil, sehingga tujuan dari meningkatkan kualitas atau mutu dari layanan kefarmasian atau penyelenggaraan pekerjaan kefarmasian tidak tercapai.
Bila kita melihat data dilapangan, sudah banyak apotek yang berdiri di kota kecamatan yang menerapkan TATAP (Tiada Apoteker Tidak Ada pelayanan), sehingga sangat tidak rasional bila kedepan sampai ada apotek dikota besar dimasukan sebagai daerah terpencil. Dengan demikian kebijakan selanjutnya sudah seharusnya bila ISFI ikut memikirkan dan dimintai masukannya agar tujuan dari diterbitkan PP ini dapat berjalan.
Daerah terpencil menurut saya adalah, daerah yang rasio pelayanan kefarmasiannya tidak tercukupi. Bila kita menggunakan rasio 1:10.000 antara jumlah tenaga kefarmasian dibadingkan jumlah penduduk, maka bila pada suatu daerah yang rasionya terlampaui TATAP harus diterapkan. Sehingga pada perijinannya untuk apotek baru, setidaknya harus menyertakan apoteker pendamping. Dan untuk apotek yang buka lebih dari 14 sip dalam satu minggu setidaknya mempunyai 2 apoteker pendamping.
Bagaimanapun juga daerah terpencil masih harus diperhatikan, tetapi jangan sampai istilah ini dimanfaatkan sebagai alasan untuk tidak menjalankan profesi secara profesional. Dan meskipun terpencil tetap harus mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan baik.
Jumat, 02 Oktober 2009
BISNIS APOTEK SETELAH KELUARNYA PP NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN
BISNIS APOTEK SETELAH KELUARNYA PP NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN
Keluarnya PP no 51 yang mengatur tentang pekerjaan farmasi sedikit banyak akan mempengaruhi cara kelola dari sebagian apotek. Meskipun pada beberapa apotek mungkin hampir tidak terpengaruh sama sekali. Apotek yang hampir tidak terpengaruh adalah apotek yang selama ini sudah menerapkan TATAP.
Secara umum cara pengelolaan apotek tidak ada perubahan, cuman yang berubah adalah keberadaan apoteker pada jam buka apotek yang lebih dituntut dengan adanya PP ini. Bila saat ini apotek sudah menggaji apoteker satu sip, dengan adanya PP ini maka apotek harus menyediakan setidaknya apoteker dua sip. Atau dengan kata lain setidaknya apotek menyiapkan 2 orang apoteker.
Dengan demikian, secara manajemen selisih biaya opresional antara sebelum ada PP dan sesudah ada PP hanya beberapa ratus ribu saja. Bila dulu menggaji AA dua orang yang masing masing sebesar UMR, sekarang bisa dikurangi satu digantikan oleh apoteker pendamping. Toh gaji apoteker pendamping selama ini tidak jauh dari UMR. Secara manajemen pengelolaan apotek tidak jauh berbeda, sehingga tidak ada alasan bagi pemilik apotek untuk tidak mematuhi PP ini.
Saat ini banyak apotek yang kesulitan menari AA, karena sangat pesatnya pertumbuhan apotek, yang salah satunya disebabkab sangat pesatnya produksi apoteker sehingga banyak dibuka apotek baru. Dengan adanya penggantian sebagian AA dengan apoteker pendamping pada sebagian apotek, maka distribusi AA menjadi lebih merata. Selama ini ada apotek yang hampir semua karyawannya AA atau mungkin malah semuanya AA, tetapi pada sebagian apotek justru tidak punya AA dan apotekernya harus bekerja penuh selama jam buka apotek.
Dengan demikian, secara umum mungkin tidak terlalu ada masalah pada pengelolaan apotek dengan adanya PP ini, tetapi pada beberapa apotek ada apoteker yang merangkap kerja diindustri yang apotekernya memang tidak pernah hadir di apotek, pada apotek seperti ini mungkin akan ada perubahan pola kelola dengan menggantikan apoteker dengan apoteker baru yang siap bekerja.
Keluarnya PP no 51 yang mengatur tentang pekerjaan farmasi sedikit banyak akan mempengaruhi cara kelola dari sebagian apotek. Meskipun pada beberapa apotek mungkin hampir tidak terpengaruh sama sekali. Apotek yang hampir tidak terpengaruh adalah apotek yang selama ini sudah menerapkan TATAP.
Secara umum cara pengelolaan apotek tidak ada perubahan, cuman yang berubah adalah keberadaan apoteker pada jam buka apotek yang lebih dituntut dengan adanya PP ini. Bila saat ini apotek sudah menggaji apoteker satu sip, dengan adanya PP ini maka apotek harus menyediakan setidaknya apoteker dua sip. Atau dengan kata lain setidaknya apotek menyiapkan 2 orang apoteker.
Dengan demikian, secara manajemen selisih biaya opresional antara sebelum ada PP dan sesudah ada PP hanya beberapa ratus ribu saja. Bila dulu menggaji AA dua orang yang masing masing sebesar UMR, sekarang bisa dikurangi satu digantikan oleh apoteker pendamping. Toh gaji apoteker pendamping selama ini tidak jauh dari UMR. Secara manajemen pengelolaan apotek tidak jauh berbeda, sehingga tidak ada alasan bagi pemilik apotek untuk tidak mematuhi PP ini.
Saat ini banyak apotek yang kesulitan menari AA, karena sangat pesatnya pertumbuhan apotek, yang salah satunya disebabkab sangat pesatnya produksi apoteker sehingga banyak dibuka apotek baru. Dengan adanya penggantian sebagian AA dengan apoteker pendamping pada sebagian apotek, maka distribusi AA menjadi lebih merata. Selama ini ada apotek yang hampir semua karyawannya AA atau mungkin malah semuanya AA, tetapi pada sebagian apotek justru tidak punya AA dan apotekernya harus bekerja penuh selama jam buka apotek.
Dengan demikian, secara umum mungkin tidak terlalu ada masalah pada pengelolaan apotek dengan adanya PP ini, tetapi pada beberapa apotek ada apoteker yang merangkap kerja diindustri yang apotekernya memang tidak pernah hadir di apotek, pada apotek seperti ini mungkin akan ada perubahan pola kelola dengan menggantikan apoteker dengan apoteker baru yang siap bekerja.
Label:
APOTEK,
APOTEK YANG BAIK,
APOTEKER,
BISNIS APOTEK,
H,
HISFARMA,
ISFI
APOTEK MOBILE
APOTEK MOBILE
Pada saat saudara kita terkena bencana akibat apa saja, seperti gempa bumi saat ini, rasa sakit juga akan menimpa seluruh bangsa. Mungkin juga seluruh dunia. Semua ingin ikut berpartisipasi termasuk para apoteker sebagai salah satu dari tenaga kesehatan.
Seringkali apoteker tidak dilibatkan dalam masalah bencana seperti ini, karena peran apoteker kurang dirasakan oleh masyarakat, mungkin juga karena sepertinya peran apoteker dapat tergantikan oleh profesi lain. Bagaimanapun juga pada masalah kesehatan seperti gempa bumi atau gunung meletus akan timbul masalah kesehatan yang ujung-ujungnya memerlukan obat. Dengan demikian disadari atau tidak, apoteker diperlukan untuk ikut membantu. Karena bagaimanaun juga masalah obat meskipun diberikan secara gratis seharusnya tetap ditangani dengan profesional.
Satu hal yang saya usulkan, seharusnya pemerintah atau organisasi para apoteker (ISFI) membuat apotek yang bersifat mobile. Karena dengan apotek mobile penanganan obat bisa menjadi lebih baik. Dan hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang terbaik dan profesional tetap dapat terpenuhi.
Bila rumah sakit mobile, entah dengan bentuk apa saja sudah dibuat, meskipun biayanya sangat mahal demi sebagian saudara kita yang terkena bencana. Maka alangkah baiknya juga disiapkan apotek mobile yang memenuhi persyaratan kefarmasian agar penanganan bencana juga akan menjadi lebih baik lagi.
Semoga saudara kita yang sedang terkena bencana diberikan ketabahan oleh Tuhan.
Pada saat saudara kita terkena bencana akibat apa saja, seperti gempa bumi saat ini, rasa sakit juga akan menimpa seluruh bangsa. Mungkin juga seluruh dunia. Semua ingin ikut berpartisipasi termasuk para apoteker sebagai salah satu dari tenaga kesehatan.
Seringkali apoteker tidak dilibatkan dalam masalah bencana seperti ini, karena peran apoteker kurang dirasakan oleh masyarakat, mungkin juga karena sepertinya peran apoteker dapat tergantikan oleh profesi lain. Bagaimanapun juga pada masalah kesehatan seperti gempa bumi atau gunung meletus akan timbul masalah kesehatan yang ujung-ujungnya memerlukan obat. Dengan demikian disadari atau tidak, apoteker diperlukan untuk ikut membantu. Karena bagaimanaun juga masalah obat meskipun diberikan secara gratis seharusnya tetap ditangani dengan profesional.
Satu hal yang saya usulkan, seharusnya pemerintah atau organisasi para apoteker (ISFI) membuat apotek yang bersifat mobile. Karena dengan apotek mobile penanganan obat bisa menjadi lebih baik. Dan hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang terbaik dan profesional tetap dapat terpenuhi.
Bila rumah sakit mobile, entah dengan bentuk apa saja sudah dibuat, meskipun biayanya sangat mahal demi sebagian saudara kita yang terkena bencana. Maka alangkah baiknya juga disiapkan apotek mobile yang memenuhi persyaratan kefarmasian agar penanganan bencana juga akan menjadi lebih baik lagi.
Semoga saudara kita yang sedang terkena bencana diberikan ketabahan oleh Tuhan.
Minggu, 27 September 2009
PP no 51 Tahun 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN
PP no 51 Tahun 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN
Bagaimanapun juga keluarnya PP no 51 Tahun 2009 adalah apresiasi positif pemerintah terhadap layanan kesehatan dibidang kefarmasian. Demi pembangunan kesehatan manusia seutuhnya, maka PP ini bisa dikatakan sebagai bagian dari langkah pemerintah berbenah dalam pemabangunan kesehatan, sehingga pembangunan kesehatan tidak hanya terkesan hanya bertumpu pada satu pilar, yaitu ilmu kedokteran saja.
Seperti kita ketahui, tidak mungkin dalam menjalankan pembangunan dibidang kesehatan, kita hanya bertumpu pada satu pilar saja, tetapi kita harus bisa saling melengkapi dan bersinergis. Peran apoteker diapotek yang selama ini masih ada yang hanya numpang nama saja, dengan PP ini diharapkan bisa lebih lagi dalam mengapresiasikan profesinya dengan lebih berperan aktif didalam pembangunan kesehatan dengan menjalankan profesinya secara utuh. Sehingga peran para apoteker lebih bisa dirasakan oleh masyarakat secara lebih luas.
Dengan adanya PP ini pekerjaan kefarmasian oleh apoteker secara otomatis menjadi lebih berat dan lebih dituntut untuk lebih bertanggung jawab didalam menjalankan profeinya. Oleh karena itu sudah sewajarnya bila dari sebagian kita yang terlibat didalam pelayanan kesehatan dibidang kefarmasian untuk lebih mempersiapkan diri agar tidak terlalu “terkejut” dengan adanya perkembangan peraturan. Bagaimanapun juga penyelenggaraan upaya kesehatan oleh swasta tidak bisa hanya dinilai dengan nilai bisnis semata, dan usaha dibidang ini sudah sewajarnya bila sarat dengan peraturan yang mengikat. Sarat dengan peraturan demi nilai kemanusiaan dan kepentingan masyarakat.
Setiap kali ada perubahan didalam peraturan bisa jadi akan merubah pola kelola. Sehingga dampaknya bisa jadi akan sangat mempengaruhi usaha itu sendiri. Tetapi sekali lagi demi nilai kemanusiaan sudah sewajarnya bila peraturan didalam bidang kefarmasian selalu tumbuh kearah yang lebih baik, kearah yang lebih mendukung pembangunan kesehatan seutuhnya tetapi tetap memperhatikan nilai investasi agar tidak ditinggalkan oleh para investor. Mengigat keberadaan apotek di negara kita sebagian besar diusahakan oleh peran serta masyarakat pemilik modal. Yang juga seharusnya menjadi catatan bagi pemilik modal dalam peran sertanya adalah tetap menghargai profesionailsme dari profesi dan kepentingan masyarakat akan layanan demi kepentingan masyarakat luas.
Bila selama ini ada pemilik modal yang terkesan lebih menguasai apotek dengan tidak atau kurang memperhatikan nilai-nilai layanan, seharusna dengan PP ini pengusaha lebih dapat berlaku bijak. Sudah sewajarnya bila pemilik modal juga tunduk keada aturan-aturan yang berkembang. Toh semua itu juga demi kemajuan bangsa.
Peraturan yang mendorong berjalannya profesionalisme didalam layanan kesehatan dibidang kefarasian seharusnya menjadi sesuatu hal yang ditunggu tunggu oleh masyarakat. Dan seharusnya masyarakat juga ikut mengapresiasikannya dengan tidak mencari obat di apotek yang tidak ada apotekernya dan selalu menanyakan informasi mengenai obat kepada apoteker di apotek. Sudah sewajarnya bila masyarakat mulai diajarkan untuk mulai sadar dalam menggunakan obat dengan tepat dan aman.
Selama ini belum semua masyarakat merasa membutuhka informasi tentang obat yang digunakan yang salah satunya disebabkan karena rendahnya tingkat pendidikan kesehatan masyarakat dibidang kefarmasian. Dengan PP ini semoga masyarakat menjadi lebih sadar dan lebih cerdas dalam menghadapi masalah kesehatan terutama dalam bidang kefarmasian.
Selanjutnya, marilah kita mengapresiasikan PP ini dengan penuh dedikasi. Demi kemajuan kita bersama. Semoga langkah bijak dari pemerintah ini menjadikan semua pihak mengambil tempatnya masing-masing agar PP ini bisa lebih optimal dalam memberikan arti dari nilai pemangunan kesehatan bangsa.
Bagaimanapun juga keluarnya PP no 51 Tahun 2009 adalah apresiasi positif pemerintah terhadap layanan kesehatan dibidang kefarmasian. Demi pembangunan kesehatan manusia seutuhnya, maka PP ini bisa dikatakan sebagai bagian dari langkah pemerintah berbenah dalam pemabangunan kesehatan, sehingga pembangunan kesehatan tidak hanya terkesan hanya bertumpu pada satu pilar, yaitu ilmu kedokteran saja.
Seperti kita ketahui, tidak mungkin dalam menjalankan pembangunan dibidang kesehatan, kita hanya bertumpu pada satu pilar saja, tetapi kita harus bisa saling melengkapi dan bersinergis. Peran apoteker diapotek yang selama ini masih ada yang hanya numpang nama saja, dengan PP ini diharapkan bisa lebih lagi dalam mengapresiasikan profesinya dengan lebih berperan aktif didalam pembangunan kesehatan dengan menjalankan profesinya secara utuh. Sehingga peran para apoteker lebih bisa dirasakan oleh masyarakat secara lebih luas.
Dengan adanya PP ini pekerjaan kefarmasian oleh apoteker secara otomatis menjadi lebih berat dan lebih dituntut untuk lebih bertanggung jawab didalam menjalankan profeinya. Oleh karena itu sudah sewajarnya bila dari sebagian kita yang terlibat didalam pelayanan kesehatan dibidang kefarmasian untuk lebih mempersiapkan diri agar tidak terlalu “terkejut” dengan adanya perkembangan peraturan. Bagaimanapun juga penyelenggaraan upaya kesehatan oleh swasta tidak bisa hanya dinilai dengan nilai bisnis semata, dan usaha dibidang ini sudah sewajarnya bila sarat dengan peraturan yang mengikat. Sarat dengan peraturan demi nilai kemanusiaan dan kepentingan masyarakat.
Setiap kali ada perubahan didalam peraturan bisa jadi akan merubah pola kelola. Sehingga dampaknya bisa jadi akan sangat mempengaruhi usaha itu sendiri. Tetapi sekali lagi demi nilai kemanusiaan sudah sewajarnya bila peraturan didalam bidang kefarmasian selalu tumbuh kearah yang lebih baik, kearah yang lebih mendukung pembangunan kesehatan seutuhnya tetapi tetap memperhatikan nilai investasi agar tidak ditinggalkan oleh para investor. Mengigat keberadaan apotek di negara kita sebagian besar diusahakan oleh peran serta masyarakat pemilik modal. Yang juga seharusnya menjadi catatan bagi pemilik modal dalam peran sertanya adalah tetap menghargai profesionailsme dari profesi dan kepentingan masyarakat akan layanan demi kepentingan masyarakat luas.
Bila selama ini ada pemilik modal yang terkesan lebih menguasai apotek dengan tidak atau kurang memperhatikan nilai-nilai layanan, seharusna dengan PP ini pengusaha lebih dapat berlaku bijak. Sudah sewajarnya bila pemilik modal juga tunduk keada aturan-aturan yang berkembang. Toh semua itu juga demi kemajuan bangsa.
Peraturan yang mendorong berjalannya profesionalisme didalam layanan kesehatan dibidang kefarasian seharusnya menjadi sesuatu hal yang ditunggu tunggu oleh masyarakat. Dan seharusnya masyarakat juga ikut mengapresiasikannya dengan tidak mencari obat di apotek yang tidak ada apotekernya dan selalu menanyakan informasi mengenai obat kepada apoteker di apotek. Sudah sewajarnya bila masyarakat mulai diajarkan untuk mulai sadar dalam menggunakan obat dengan tepat dan aman.
Selama ini belum semua masyarakat merasa membutuhka informasi tentang obat yang digunakan yang salah satunya disebabkan karena rendahnya tingkat pendidikan kesehatan masyarakat dibidang kefarmasian. Dengan PP ini semoga masyarakat menjadi lebih sadar dan lebih cerdas dalam menghadapi masalah kesehatan terutama dalam bidang kefarmasian.
Selanjutnya, marilah kita mengapresiasikan PP ini dengan penuh dedikasi. Demi kemajuan kita bersama. Semoga langkah bijak dari pemerintah ini menjadikan semua pihak mengambil tempatnya masing-masing agar PP ini bisa lebih optimal dalam memberikan arti dari nilai pemangunan kesehatan bangsa.
Selasa, 01 September 2009
MENCERMATI RANCANGAN FINAL SKN 2009 (bagian IV, tamat) (www.hisfarma.blogspot.com)
MENCERMATI RANCANGAN FINAL SKN 2009
(bagian IV, tamat) (www.hisfarma.blogspot.com)
Banyak hal yang mungkin harus dicermati didalam Rancangan Final SKN beberapa hal tersebut juga terkadang menjadi pertanyaan didalam praktek profesi sehari-hari saya yang mana seakan-akan SKN seringkali saya anggap kurang tepat. Kekurang tepatan itu akan saya cermati dalam blog saya secara seri yang bersambung disela-sela saya menjalankan profesi saya. Pada seri terakhir ini hanya saya bahas mengenai apotek sebagai sarana kesehatan penunjang.
Sarana penujang seri IV
Pelayanan kesehatan perorangan primer akan didukung oleh fasilitas kesehatan penunjang,
antara lain: Apotik, Optik, laboratorium dan lain sebagainya.
Masuknya apotek sebagai sarana kesehatan penunjang didalam SKN menunjukan kekurang pahaman dari pemerintah dan masyarakat, mungkin juga dari profesi apoteker sendiri terhadap peran apotek secara utuh sehingga apotek tidak diikut sertakan secara aktif didalam pembangunan kesehatan secara utuh pula. Atau dengan kata lain apotek masih ditempatkan sebagai tempat penyaluran obat, padahal peran apotek saat ini adalah juga sebagai tempat informasi mengenai kesehatan yang tidak hanya mengenai sediaan farmasi saja, tetapi juga penyakit dalam artian luas yang bisa diakses siapa saja. Dan artian lebih luasnya apotek sebagai sarana kesehatan juga bisa dijadikan tempat akses informasi kesehatan, utamanya akses informasi terkait obat dan sediaan farmasi lain yang mana peran apotek bisa diakses siapa saja termasuk tenaga kesehatan diluar tenaga kefarmasian, dan peran apoteker diapotek bisa sampai memberikan edukasi, yang mana edukasi diharapkan bisa sampai merubah perilaku salah dalam penggunaan obat dan sediaan farmasi lain oleh masyarakat.
Berbeda dengan laboratorium dan optik, pada keduanya bisa dikatakan sebagai sarana rujukan, pada apotek perannya lebih luas, bahkan pada beberapa kasus swamedikasi justru apotek yang merujuk pasien kepada dokter. Bukannya apoteker tidak menguasai pengobatan pada beberapa kasus sederhana, tetapi perlunya penegasan diagnosa demi kepentingan pasien itu sendiri. Lebih dari 40% masyarakat mengusahakan obat sendiri atau swamedikasi, oleh karena itu sudah sewajarnya bila apoteker juga dikatakan sebagai pengobat untuk kasus-kasus penyakit sederhana dan harus dirujuk kesarana yang lebih tinggi bila ternyata kasus tersebut memang perlu rujukan dengan penanganan dokter atau tenaga kesehatan lain.
Pada saat pasien datang dengan keluhan sakit mata karena debu suatu misal, pada umumnya pasien akan meminta obat seperti pada iklan di berbagai media masa atau pasien menyatakan keluahan kepada apoteker. Secara awam masyarakat akan menyerahkan keptusan kepada apoteker, tetapi bila mata merah akibat debu tersebut tidak kunjung hilang tentu saja apoteker harus menyertakan informasi agar pasien mengunjungi dokter spesialis mata. Karena bisa jadi kasusnya tidak hanya sesederhana yang diduga oleh pasien.
Demikian juga denga beberapa kasus yang lain. Apoteker tentu saja akan menjadi pengobat seperti dokter, tetapi dengan kewenangan hanya untuk kasus ringan yang secara umum hanya membutuhkan obat bebas sampai obat wajib apotek. Pada kasus kencing batu suatu misal, apoteker bisa saja menjadi pengobat dengan memberikan sediaan obat tradisioal yang diperuntukan untuk penyakit tersebut. Pada kasus ini umumnya saya tidak pernah memberikan obat nyeri apapun juga, dan bila nyeri tidak hilang atau batu tidak keluar saya sarankan untuk sesegera mungkin mengunjungi dokter terdekat.
Dari beberapa uraian tersebut kelihatan bila peran apoteker di apotek tidak sesederhana sebagai penyalur obat belaka, tetapi juga sebagai tempat edukasi dan informasi obat. Sebagai tempat informasi obat apoteker tidak hanya memberikan informasi kepada masyarakat awam tetapi juga kepada tenaga kesehatan lain termasuk dokter. Peran ini sering kali saya jalankan. Informasi itu bisa terkait apa saja tekait obat dan sedian farmasi lain.
Alangkah baiknya bila apotek juga dilibatkan dalam upaya kesehatan yang lebih aktif terutama prekuentif dari berbagai penyakit menular seperti malaria atau TBC. Hal ini karena apotek lebih mudah diakses oleh masyarakat karena secara umum mempunyai jam praktek yang lebih panjang dan keberadaan apoteker yang berpraktek profesi lebih lama dan juga yang lebih penting adalah saat ini untuk mengakses informasi diapotek dilakukan dengan Cuma-Cuma.
Bila apotek tetap dimasukan kepada sarana penunjang saya mengawatirkan apotek hanya akan lebih berorientasi bisnis semata, padahal dari sisi kemanusia dari peran apoteker tidak hanya sebagai penyalur perbekalan farmasi saja tetapi juga KIE dan edukasi.
Pada contoh yang lain, pada kasus penyakit ispa non spesifik, masyarakat umumnya akan meinta obat seperti yang ada diiklan (masyarakat menjadi korban iklan). Padahal obat tersebut sering kali tidak sesuai dengan kondisi pasien, semisal pasien sedang minum obat yang lain, adanya penyakit yang lain atau apa saja. Disinilah peran apoteker sangat diperukan untuk mengamankan masyarakat dari bahaya penggunaan obat dan sediaan farmasi. Pada beberapa contoh diatas bukannya apotek hanya sebagai tempat rujukan, tetapi peran dan fungsi apoteker adalah sangat luas dan tentu saja akan lebih berkembang lagi bila pemerintah mau memanfaatkan apotek lebih lagi dalam pembangunan kesehatan.
Apotek seharusnya juga mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah meskipun pengadaannya kebanyakan diusahakan oleh pihak swasta. Dan apotek sudah seharusnya juga mematuhi aturan yang juga ditetapkan oleh pemerintah, yang selanjutnya mau atau tidak mau apotek tidak boleh hanya berorientasi sebagai tempat bisnis semata. Fungsi dan peran apoteker dan apotek seharusnya lebih dioptimalkan lagi demi kepentingan masyarakat luas. Dengan lebih melibatkan apotek pada banyak hal dalam usaha-usaha kesehatan. Sering juga apoteker diapotek memberikan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat disekitar apotek dengan berbagai macam penyuluhan kesehatan. Peran yang sudah berjalan ini seharusnya lebih dioptimalkan lagi dan diorganisasi serta lebih distandarisasi oleh pemerintah dan lebih diusahakan agar jalannya peran apoteker dan apotek tidak “semrawut”.
Sebagai penutup dari semua ulasan dari pencermatan rancangan final SKN adalah sudah seharusnya bila pemerintah lebih mengintegrasikan pembangunan kesehatan dengan melibatkan semua tenaga kesehatan secara adil dan profesional dan tidak perlu lagi mengkotak-kotakkan dengan menganggap salah satu tenaga kesehatan sebagai tenaga kesehatan yang paling superior. Sebagai masyarakat modern yang lebih modern dan masusiawi, sudah saatnya bila kita mulai untuk lebih menghargai peran dari masing-masing tenaga kesehatan sesuai dengan kompetensinya. Sehingga harapan pembangunan kesehatan manusia seutuhnya lebih mudah tercapai dan ilmu kesehatan dari berbagai profesi dapat berkembang secara maksimal.
Penempatan apotek sebagai sarana kesehatan penunjang bukannya kesalahan dari pemerintah atau masyarakat, tetapi kesalahan kolektif dari para apoteker sendiri yang tidak mampu mengapresiasikan profesinya. Sehingga banyak pihak yang kurang bisa memahami pentingnya keberadaan apotek didalam SKN. Demi keberadaan masyarakat yang lebih dari 40% yang melakukan pengobatan sendiri, seharusnya para apoteker lebih bisa memulai untuk dapat mengapresiasikan profesinya didalam pembangunan kesehatan manusia seutuhnya. Dan pemerintah seharusnya lebih memfasilitasi apotek sebagai sarana kesehatan primer meskipun keberadaannya sebagian besar diadakan oleh swasta. PT farmasi seharusnya juga lebih mengembangkan profesi yang berbasis kompetensi sebagai produknya demi keberadaan PT farmasi itu sendiri.
Dan sebagai akhir kata, keberadaan suatu profesi akan lebih berkembang bila didalam menjalankan profesi dilakukan dengan penuh dedikasi kepada masyarakat sebagai apresiasi dari profesi itu sendiri.
(bagian IV, tamat) (www.hisfarma.blogspot.com)
Banyak hal yang mungkin harus dicermati didalam Rancangan Final SKN beberapa hal tersebut juga terkadang menjadi pertanyaan didalam praktek profesi sehari-hari saya yang mana seakan-akan SKN seringkali saya anggap kurang tepat. Kekurang tepatan itu akan saya cermati dalam blog saya secara seri yang bersambung disela-sela saya menjalankan profesi saya. Pada seri terakhir ini hanya saya bahas mengenai apotek sebagai sarana kesehatan penunjang.
Sarana penujang seri IV
Pelayanan kesehatan perorangan primer akan didukung oleh fasilitas kesehatan penunjang,
antara lain: Apotik, Optik, laboratorium dan lain sebagainya.
Masuknya apotek sebagai sarana kesehatan penunjang didalam SKN menunjukan kekurang pahaman dari pemerintah dan masyarakat, mungkin juga dari profesi apoteker sendiri terhadap peran apotek secara utuh sehingga apotek tidak diikut sertakan secara aktif didalam pembangunan kesehatan secara utuh pula. Atau dengan kata lain apotek masih ditempatkan sebagai tempat penyaluran obat, padahal peran apotek saat ini adalah juga sebagai tempat informasi mengenai kesehatan yang tidak hanya mengenai sediaan farmasi saja, tetapi juga penyakit dalam artian luas yang bisa diakses siapa saja. Dan artian lebih luasnya apotek sebagai sarana kesehatan juga bisa dijadikan tempat akses informasi kesehatan, utamanya akses informasi terkait obat dan sediaan farmasi lain yang mana peran apotek bisa diakses siapa saja termasuk tenaga kesehatan diluar tenaga kefarmasian, dan peran apoteker diapotek bisa sampai memberikan edukasi, yang mana edukasi diharapkan bisa sampai merubah perilaku salah dalam penggunaan obat dan sediaan farmasi lain oleh masyarakat.
Berbeda dengan laboratorium dan optik, pada keduanya bisa dikatakan sebagai sarana rujukan, pada apotek perannya lebih luas, bahkan pada beberapa kasus swamedikasi justru apotek yang merujuk pasien kepada dokter. Bukannya apoteker tidak menguasai pengobatan pada beberapa kasus sederhana, tetapi perlunya penegasan diagnosa demi kepentingan pasien itu sendiri. Lebih dari 40% masyarakat mengusahakan obat sendiri atau swamedikasi, oleh karena itu sudah sewajarnya bila apoteker juga dikatakan sebagai pengobat untuk kasus-kasus penyakit sederhana dan harus dirujuk kesarana yang lebih tinggi bila ternyata kasus tersebut memang perlu rujukan dengan penanganan dokter atau tenaga kesehatan lain.
Pada saat pasien datang dengan keluhan sakit mata karena debu suatu misal, pada umumnya pasien akan meminta obat seperti pada iklan di berbagai media masa atau pasien menyatakan keluahan kepada apoteker. Secara awam masyarakat akan menyerahkan keptusan kepada apoteker, tetapi bila mata merah akibat debu tersebut tidak kunjung hilang tentu saja apoteker harus menyertakan informasi agar pasien mengunjungi dokter spesialis mata. Karena bisa jadi kasusnya tidak hanya sesederhana yang diduga oleh pasien.
Demikian juga denga beberapa kasus yang lain. Apoteker tentu saja akan menjadi pengobat seperti dokter, tetapi dengan kewenangan hanya untuk kasus ringan yang secara umum hanya membutuhkan obat bebas sampai obat wajib apotek. Pada kasus kencing batu suatu misal, apoteker bisa saja menjadi pengobat dengan memberikan sediaan obat tradisioal yang diperuntukan untuk penyakit tersebut. Pada kasus ini umumnya saya tidak pernah memberikan obat nyeri apapun juga, dan bila nyeri tidak hilang atau batu tidak keluar saya sarankan untuk sesegera mungkin mengunjungi dokter terdekat.
Dari beberapa uraian tersebut kelihatan bila peran apoteker di apotek tidak sesederhana sebagai penyalur obat belaka, tetapi juga sebagai tempat edukasi dan informasi obat. Sebagai tempat informasi obat apoteker tidak hanya memberikan informasi kepada masyarakat awam tetapi juga kepada tenaga kesehatan lain termasuk dokter. Peran ini sering kali saya jalankan. Informasi itu bisa terkait apa saja tekait obat dan sedian farmasi lain.
Alangkah baiknya bila apotek juga dilibatkan dalam upaya kesehatan yang lebih aktif terutama prekuentif dari berbagai penyakit menular seperti malaria atau TBC. Hal ini karena apotek lebih mudah diakses oleh masyarakat karena secara umum mempunyai jam praktek yang lebih panjang dan keberadaan apoteker yang berpraktek profesi lebih lama dan juga yang lebih penting adalah saat ini untuk mengakses informasi diapotek dilakukan dengan Cuma-Cuma.
Bila apotek tetap dimasukan kepada sarana penunjang saya mengawatirkan apotek hanya akan lebih berorientasi bisnis semata, padahal dari sisi kemanusia dari peran apoteker tidak hanya sebagai penyalur perbekalan farmasi saja tetapi juga KIE dan edukasi.
Pada contoh yang lain, pada kasus penyakit ispa non spesifik, masyarakat umumnya akan meinta obat seperti yang ada diiklan (masyarakat menjadi korban iklan). Padahal obat tersebut sering kali tidak sesuai dengan kondisi pasien, semisal pasien sedang minum obat yang lain, adanya penyakit yang lain atau apa saja. Disinilah peran apoteker sangat diperukan untuk mengamankan masyarakat dari bahaya penggunaan obat dan sediaan farmasi. Pada beberapa contoh diatas bukannya apotek hanya sebagai tempat rujukan, tetapi peran dan fungsi apoteker adalah sangat luas dan tentu saja akan lebih berkembang lagi bila pemerintah mau memanfaatkan apotek lebih lagi dalam pembangunan kesehatan.
Apotek seharusnya juga mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah meskipun pengadaannya kebanyakan diusahakan oleh pihak swasta. Dan apotek sudah seharusnya juga mematuhi aturan yang juga ditetapkan oleh pemerintah, yang selanjutnya mau atau tidak mau apotek tidak boleh hanya berorientasi sebagai tempat bisnis semata. Fungsi dan peran apoteker dan apotek seharusnya lebih dioptimalkan lagi demi kepentingan masyarakat luas. Dengan lebih melibatkan apotek pada banyak hal dalam usaha-usaha kesehatan. Sering juga apoteker diapotek memberikan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat disekitar apotek dengan berbagai macam penyuluhan kesehatan. Peran yang sudah berjalan ini seharusnya lebih dioptimalkan lagi dan diorganisasi serta lebih distandarisasi oleh pemerintah dan lebih diusahakan agar jalannya peran apoteker dan apotek tidak “semrawut”.
Sebagai penutup dari semua ulasan dari pencermatan rancangan final SKN adalah sudah seharusnya bila pemerintah lebih mengintegrasikan pembangunan kesehatan dengan melibatkan semua tenaga kesehatan secara adil dan profesional dan tidak perlu lagi mengkotak-kotakkan dengan menganggap salah satu tenaga kesehatan sebagai tenaga kesehatan yang paling superior. Sebagai masyarakat modern yang lebih modern dan masusiawi, sudah saatnya bila kita mulai untuk lebih menghargai peran dari masing-masing tenaga kesehatan sesuai dengan kompetensinya. Sehingga harapan pembangunan kesehatan manusia seutuhnya lebih mudah tercapai dan ilmu kesehatan dari berbagai profesi dapat berkembang secara maksimal.
Penempatan apotek sebagai sarana kesehatan penunjang bukannya kesalahan dari pemerintah atau masyarakat, tetapi kesalahan kolektif dari para apoteker sendiri yang tidak mampu mengapresiasikan profesinya. Sehingga banyak pihak yang kurang bisa memahami pentingnya keberadaan apotek didalam SKN. Demi keberadaan masyarakat yang lebih dari 40% yang melakukan pengobatan sendiri, seharusnya para apoteker lebih bisa memulai untuk dapat mengapresiasikan profesinya didalam pembangunan kesehatan manusia seutuhnya. Dan pemerintah seharusnya lebih memfasilitasi apotek sebagai sarana kesehatan primer meskipun keberadaannya sebagian besar diadakan oleh swasta. PT farmasi seharusnya juga lebih mengembangkan profesi yang berbasis kompetensi sebagai produknya demi keberadaan PT farmasi itu sendiri.
Dan sebagai akhir kata, keberadaan suatu profesi akan lebih berkembang bila didalam menjalankan profesi dilakukan dengan penuh dedikasi kepada masyarakat sebagai apresiasi dari profesi itu sendiri.
Sabtu, 29 Agustus 2009
MENCERMATI RANCANGAN FINAL SKN 2009 (bagian III) (www.hisfarma.blogspot.com)
MENCERMATI RANCANGAN FINAL SKN 2009
(bagian III) (www.hisfarma.blogspot.com)
Banyak hal yang mungkin harus dicermati didalam Rancangan Final SKN beberapa hal tersebut juga terkadang menjadi pertanyaan didalam praktek profesi sehari-hari saya yang mana seakan-akan SKN seringkali saya anggap kurang tepat. Kekurang tepatan itu akan saya cermati dalam blog saya secara seri yang bersambung disela-sela saya menjalankan profesi saya.
Sediaan farmasi seri 3
4. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Makanan
Minuman
Pasar sediaan farmasi masih didominasi oleh produksi
domestik, bahan baku impor mencapai 85% dari
kebutuhan. Sementara itu di Indonesia terdapat 9.600
jenis tanaman berpotensi mempunyai efek
pengobatan, dan baru 300 jenis tanaman yang telah
digunakan sebagai bahan baku.
Pemerintah telah berusaha untuk menurunkan harga
obat, namun masih banyak kendala yang dihadapi.
Upaya perlindungan masyarakat terhadap
penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan
makanan minuman telah dilakukan secara
komprehensif.
Penggunaan obat rasional belum dilaksanakan di
seluruh fasilitas pelayanan kesehatan, masih banyak
pengobatan yang dilakukan tidak sesuai dengan
formularium.
Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) telah disusun
sejak tahun 1980 dan direvisi secara berkala sampai
tahun 2008. DOEN digunakan sebagai dasar
penyediaan obat di pelayanan kesehatan publik.
Lebih dari 90% obat yang diresepkan di Puskesmas
merupakan obat esensial generik. Namun tidak diikuti
oleh sarana pelayanan kesehatan lainnya, seperti: di
rumah sakit pemerintah kurang dari 76%, rumah sakit
swasta 49%, dan apotek kurang dari 47%. Hal ini
menunjukkan bahwa konsep obat esensial generik
belum sepenuhnya dipahami dan diterapkan.
10
Bukannya obat esensial generik belum sepenuhnya dipahami dan diterapkan, tetapi karena memang kebijakan pemerintah tentang obat atau sediaan farmasi belum mendukung praktek profesi kefarmasian. Formularium dan DOEN seharusya memang menjadi dasar dalam pelayanan kuratif kesehatan. Tetapi kebijakan yang menurut saya kurang tepat yang menyebabkan formularium sering kali kurang digunakan sebagai acuan dalam pelayanan kesehatan kuratif.
Pelayanan kesehatan yang bersifat kuratif seringkali masih menjadi primadona didalam layanan kesehatan pada sebagian sarana kesehatan, karena mampu menghasilkan uang yang lebih. Sehingga banyak kebijakan yang sering kali hanya lebih berpihak pada layanan kuratif dan layanan prekuentif sering kali justru tidak tampak pada sebagian dari layanan kesehatan oleh sarana kesehatan. Seharusnya layanan kesehatan lebih bersinergis lagi agar tujuan dari SKN lebih maksimal.
Seperti pernyataan obat tradisional, 300 tanaman telah menjadi bahan baku. Kalau tidak semua sarana kesehatan primer menggunakan tanaman obat pada layanan kesehatan baik pada kuratif dan prekuentif apa gunanya pernyataan tersebut? Dan apa gunanya bila sarana kesehatan primer seperti apotek yang mengunakan obat tradisional sebagai layanan kesehatan baik pada kuratif maupun prekuentif tidak diakui sebagai sarana kesehatan primer? Kebijakan yang kurang tepat seperti ini yang menyebabkan penggunaan obat tradisional tidak berkembang dengan baik.
Mungkin saat ini bisa dikatakan secara umum hanya profesi apoteker satu satunya profesi kesehatan yang bisa diangap paling kompeten didalam layanan kesehatan yang menggunakan tanamam obat, sedangan dokter dan tenaga kesehatan lain sangat minim didalam kurikulumnya. Tetapi kenyataannya apoteker didalam menjalankan pelayanannya belum bisa dikatakan primer didalam SKN karena orientasi pembangunan kesehatan kita masih berdiri pada satu pilar ilmu kedokteran saja dan dokter dianggap satu satunya tenaga kesehatan yang paling superior, sehingga sebagai dampaknya ilmu kesehatan lain kurang atau tidak berkembang. Seharusnya bisa kita cermati bila pada awalnya pemisahan ilmu kefarmasian dan kedokteran adalah untuk mengoptimalkan layanan kesehatan, dan ilmu kefarmasian bisa dikatakan adalah spesialisasi dari ilmu kedokteran.
Oleh karena itu adalah sangat wajar bila sebagian apoteker merasa bisa mengobati pasien dan sebagian dokter merasa bisa meracik obat, karena dasar ilmu yang dikuasai sama dan yang membedakan dokter lebih mengarah pada ilmu penyakit dan apoteker lebih mengarah pada ilmu obat (formuasi). Sebagian dari para apoteker juga merasa bahwa dirinya juga bisa dikatakan sebagai dokter yang mengambil spesialis ilmu obat sehingga merasa juga mampu memberikan pengobatan.
Kenyataannya memang apoteker seringkali melakukan pengobatan di apotek dan umumnya hanya menggunakan obat-obat sederhana (obat bebas sampai obat wajib apotek, juga obat tradisional) dan karena apoteker memang diberi kewenangan untuk itu. Dan sudah sepatasnya bila apoteker adalah satu satunya tenaga kesehatan yang paling pantas mengawal swamedikasi. Mengingat swamedikasi melibatkan lebih dari 40% anggota masyarakat. Dan tidak mungkin kita akan membiarkan masyarakat melakukan swamedikasi dengan cara sembarangan sampai terjadi kecelakaan akibat swamedikasi. Oleh karena itu peran apoteker dalam edukasi sangat-sangat diperlukan baik pada swamedikasi ataupun pada saat pengambilan obat atas resep.
Disinilah peran apoteker didalam SKN, adalah berperan pada “Upaya perlindungan masyarakat terhadap penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan minuman telah dilakukan secara komprehensif” seperti yang dinyatakan didalam SKN. Seharusnya ungkapan melindungi ini diartikan sebagai praktek profesi kefarmasian yang berbasiskan kompetensi. Megingat jumlah apoteker yang telah melampaui angka 27.000, saya rasa kedepan sudah saatnya bila pemerintah mulai memfasilitasi berdirinya apotek sampai pada tinggkat desa. Agar usaha pemerintah dalam melindungi masyarakat terhadap pengunaan sediaan farmasi lebih dapat dimaksimalkan.
5. Manajemen dan Informasi Kesehatan
Perencanaan antara Pusat dan Daerah belum sinkron
dan begitu juga dengan perencanaan jangka
panjang/menengah belum menjadi acuan dalam
menyusun perencanaan jangka pendek. Demikian
juga dengan kebijakan yang belum banyak disusun
berbasis bukti. Banyak kebijakan yang menimbulkan
kesenjangan dan tidak sinergi baik di Pusat dan atau
Daerah.
Sistem informasi kesehatan setelah desentralisasi
menjadi lemah. Data dan informasi kesehatan untuk
perencanaan tidak tersedia tepat waktu. Sistem
Informasi Kesehatan Nasional (Siknas) yang berbasis
fasilitas sudah mencapai tingkat kabupaten/kota
namun belum dimanfaatkan. Hasil penelitian
kesehatan, seperti: Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas), belum banyak dimanfaatkan sebagai
dasar perumusan kebijakan dan perencanaan
program. Surveilans belum dilaksanakan secara
menyeluruh.
Hukum kesehatan belum tertata secara sistematis dan
belum mendukung pembangunan kesehatan secara
utuh, terutama dalam menghadapi desentralisasi dan
globalisasi. Regulasi bidang kesehatan pada saat ini
belum cukup, baik jumlah, jenis, maupun
efektifitasnya.
Pemerintah belum sepenuhnya dapat
menyelenggarakan pembangunan kesehatan yang
efektif, efisien, dan bermutu sesuai dengan prinsipprinsip
kepemerintahan yang baik (Good Governance).
11
Bila kita kutip pernyataan “Pemerintah belum sepenuhnya dapat menyelenggarakan pembangunan kesehatan yang efektif, efisien, dan bermutu sesuai dengan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik (Good Governance)” dikarenakan kebijakan pemerintah yang masih terpotong-potong dan kurang bersinergis. Dan sering kali justru saling menghambat. Juga dikarenakan dalam pembangunan kesehatan masih bertumpu pada satu pilar ilmu kedokteran saja.
Bila kita mencermati uraian “Manajemen dan Informasi Kesehatan”, tidak pernah apotek dilibatkan didalam program informasi kesehatan meskipun itu dalam informasi yan terkait obat dan sediaan farmasi lain sekalipun. Padahal bisa dikatakan bila setiap apotek bisa menjadi pusat informasi obat yang lebih baik dari pada sarana kesehatan lain. Karena memang apotek seharusna dikawal oleh apoteker yang mempunyai kompetensi untuk itu. Tetapi sangat kelihatan bila praktek profesi kesehatan bidang kefarasian seperti informasi obat belum menjadi target didalam SKN. Apakah menunggu sampai masyarakat celaka akibat penggunaan obat? Saya rasa janganlah kita menunggu sampai terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Dan sudah saatnya bila peran dari tenaga kesehatan selain dokter lebih diberi peran dan “otonomi profesi” yang lebih baik agar jalannya pembangunan kesehatan lebih optimal.
Banyak kasus kecelakaan akibat kesalahan penggunaan obat oleh masyarakat, mulai penggunaan obat bebas sampai obat keras. Disinilah seharusnya peran apoteker didalam meningkatkan pendidikan kesehatan dilibatkan. Peran pendidikan kesehatan adalah tangung jawab dari semua profesi kesehatan, oleh karena itu peran mulia ini seharusnya diemban dengan penuh dedikasi. Pendidikan kesehatan tidak selalu identik dengan informasi, tetapi lebih jauh dari itu. Peran pendidikan kesehatan bisa saja untuk kuratif dan prekuentif. Salah satu penyebab kecelakaan penggunaan obat dan sediaan farmasi lain salah satunya akibat rendahnya tingkat pendidikan kesehatan masyarakat.
Pada masyarakat, semakin rendah tingkat pendidikannya, maka kecenderungan kecelakaan akibat obat atau penyakit atau apa saja terkait kesehatan akan semakin besar yang ujung-ujungnya justru akan meningkatkan biaya kuratif. Disinilah seharusnya peran tenaga kesehatan dalam meningkatkatkan derajat kesehatan semakin diperhatikan.
Dari uraian saya diatas seharusnya mualilah peran setiap tenaga kesehatan lebih disinergiskan dan janganlah menjadikan salah satu atau salah dua tenaga kesehatan dijadikan superior. Seperti pada ungkapan “tidak bisa seorang pembalap pada formula I bisa menjadi juara bila tidak didukung oleh mesin yang handal, mekanik yang handal, tim yang handal, ban yang handal dan lain sebagainya”. Janganlah kita merasa yang paling superior, padahal tanpa orang lain kita tidak ada apa-apanya. Oleh karena itu setiap tenaga kesehatan harus berlaku profesional sesuai kompetensinya masing-masing dan janganlah diintervensi oleh kepentingan-kepentingan ekonomi semata. Denga demikian biaya kesehatan bisa ditekan karena kesadaran akan profesionalisme dari tenaga kesehatan yang semakin baik dan kesadaran masyarakat utuk meningkatkan derajat kesehatan juga semakin baik. Harga obat bukan satu-satunya mekanisme didalam menurunkan biaya pengobatan, tetapi profesionalisme dari masing-masing tenaga kesehatan inilah yang merupakan faktor yang paling dominan didalam menurunkan biaya pengobatan dan biaya kesehatan secara umum.
Bagaimanapun juga sediaan farmasi adalah bagian dari sistem kesehatan yang berperan sebagai alat dari suatu profesi dalam menjalakan praktek profesi kefarmasian, sehingga keberadaan sediaan farmasi sudah seharusnya menjadi perhatian khusus yang kebijaksanaannya disusun berdasarkan bukti profesi kefarmasian.
(bagian III) (www.hisfarma.blogspot.com)
Banyak hal yang mungkin harus dicermati didalam Rancangan Final SKN beberapa hal tersebut juga terkadang menjadi pertanyaan didalam praktek profesi sehari-hari saya yang mana seakan-akan SKN seringkali saya anggap kurang tepat. Kekurang tepatan itu akan saya cermati dalam blog saya secara seri yang bersambung disela-sela saya menjalankan profesi saya.
Sediaan farmasi seri 3
4. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Makanan
Minuman
Pasar sediaan farmasi masih didominasi oleh produksi
domestik, bahan baku impor mencapai 85% dari
kebutuhan. Sementara itu di Indonesia terdapat 9.600
jenis tanaman berpotensi mempunyai efek
pengobatan, dan baru 300 jenis tanaman yang telah
digunakan sebagai bahan baku.
Pemerintah telah berusaha untuk menurunkan harga
obat, namun masih banyak kendala yang dihadapi.
Upaya perlindungan masyarakat terhadap
penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan
makanan minuman telah dilakukan secara
komprehensif.
Penggunaan obat rasional belum dilaksanakan di
seluruh fasilitas pelayanan kesehatan, masih banyak
pengobatan yang dilakukan tidak sesuai dengan
formularium.
Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) telah disusun
sejak tahun 1980 dan direvisi secara berkala sampai
tahun 2008. DOEN digunakan sebagai dasar
penyediaan obat di pelayanan kesehatan publik.
Lebih dari 90% obat yang diresepkan di Puskesmas
merupakan obat esensial generik. Namun tidak diikuti
oleh sarana pelayanan kesehatan lainnya, seperti: di
rumah sakit pemerintah kurang dari 76%, rumah sakit
swasta 49%, dan apotek kurang dari 47%. Hal ini
menunjukkan bahwa konsep obat esensial generik
belum sepenuhnya dipahami dan diterapkan.
10
Bukannya obat esensial generik belum sepenuhnya dipahami dan diterapkan, tetapi karena memang kebijakan pemerintah tentang obat atau sediaan farmasi belum mendukung praktek profesi kefarmasian. Formularium dan DOEN seharusya memang menjadi dasar dalam pelayanan kuratif kesehatan. Tetapi kebijakan yang menurut saya kurang tepat yang menyebabkan formularium sering kali kurang digunakan sebagai acuan dalam pelayanan kesehatan kuratif.
Pelayanan kesehatan yang bersifat kuratif seringkali masih menjadi primadona didalam layanan kesehatan pada sebagian sarana kesehatan, karena mampu menghasilkan uang yang lebih. Sehingga banyak kebijakan yang sering kali hanya lebih berpihak pada layanan kuratif dan layanan prekuentif sering kali justru tidak tampak pada sebagian dari layanan kesehatan oleh sarana kesehatan. Seharusnya layanan kesehatan lebih bersinergis lagi agar tujuan dari SKN lebih maksimal.
Seperti pernyataan obat tradisional, 300 tanaman telah menjadi bahan baku. Kalau tidak semua sarana kesehatan primer menggunakan tanaman obat pada layanan kesehatan baik pada kuratif dan prekuentif apa gunanya pernyataan tersebut? Dan apa gunanya bila sarana kesehatan primer seperti apotek yang mengunakan obat tradisional sebagai layanan kesehatan baik pada kuratif maupun prekuentif tidak diakui sebagai sarana kesehatan primer? Kebijakan yang kurang tepat seperti ini yang menyebabkan penggunaan obat tradisional tidak berkembang dengan baik.
Mungkin saat ini bisa dikatakan secara umum hanya profesi apoteker satu satunya profesi kesehatan yang bisa diangap paling kompeten didalam layanan kesehatan yang menggunakan tanamam obat, sedangan dokter dan tenaga kesehatan lain sangat minim didalam kurikulumnya. Tetapi kenyataannya apoteker didalam menjalankan pelayanannya belum bisa dikatakan primer didalam SKN karena orientasi pembangunan kesehatan kita masih berdiri pada satu pilar ilmu kedokteran saja dan dokter dianggap satu satunya tenaga kesehatan yang paling superior, sehingga sebagai dampaknya ilmu kesehatan lain kurang atau tidak berkembang. Seharusnya bisa kita cermati bila pada awalnya pemisahan ilmu kefarmasian dan kedokteran adalah untuk mengoptimalkan layanan kesehatan, dan ilmu kefarmasian bisa dikatakan adalah spesialisasi dari ilmu kedokteran.
Oleh karena itu adalah sangat wajar bila sebagian apoteker merasa bisa mengobati pasien dan sebagian dokter merasa bisa meracik obat, karena dasar ilmu yang dikuasai sama dan yang membedakan dokter lebih mengarah pada ilmu penyakit dan apoteker lebih mengarah pada ilmu obat (formuasi). Sebagian dari para apoteker juga merasa bahwa dirinya juga bisa dikatakan sebagai dokter yang mengambil spesialis ilmu obat sehingga merasa juga mampu memberikan pengobatan.
Kenyataannya memang apoteker seringkali melakukan pengobatan di apotek dan umumnya hanya menggunakan obat-obat sederhana (obat bebas sampai obat wajib apotek, juga obat tradisional) dan karena apoteker memang diberi kewenangan untuk itu. Dan sudah sepatasnya bila apoteker adalah satu satunya tenaga kesehatan yang paling pantas mengawal swamedikasi. Mengingat swamedikasi melibatkan lebih dari 40% anggota masyarakat. Dan tidak mungkin kita akan membiarkan masyarakat melakukan swamedikasi dengan cara sembarangan sampai terjadi kecelakaan akibat swamedikasi. Oleh karena itu peran apoteker dalam edukasi sangat-sangat diperlukan baik pada swamedikasi ataupun pada saat pengambilan obat atas resep.
Disinilah peran apoteker didalam SKN, adalah berperan pada “Upaya perlindungan masyarakat terhadap penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan minuman telah dilakukan secara komprehensif” seperti yang dinyatakan didalam SKN. Seharusnya ungkapan melindungi ini diartikan sebagai praktek profesi kefarmasian yang berbasiskan kompetensi. Megingat jumlah apoteker yang telah melampaui angka 27.000, saya rasa kedepan sudah saatnya bila pemerintah mulai memfasilitasi berdirinya apotek sampai pada tinggkat desa. Agar usaha pemerintah dalam melindungi masyarakat terhadap pengunaan sediaan farmasi lebih dapat dimaksimalkan.
5. Manajemen dan Informasi Kesehatan
Perencanaan antara Pusat dan Daerah belum sinkron
dan begitu juga dengan perencanaan jangka
panjang/menengah belum menjadi acuan dalam
menyusun perencanaan jangka pendek. Demikian
juga dengan kebijakan yang belum banyak disusun
berbasis bukti. Banyak kebijakan yang menimbulkan
kesenjangan dan tidak sinergi baik di Pusat dan atau
Daerah.
Sistem informasi kesehatan setelah desentralisasi
menjadi lemah. Data dan informasi kesehatan untuk
perencanaan tidak tersedia tepat waktu. Sistem
Informasi Kesehatan Nasional (Siknas) yang berbasis
fasilitas sudah mencapai tingkat kabupaten/kota
namun belum dimanfaatkan. Hasil penelitian
kesehatan, seperti: Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas), belum banyak dimanfaatkan sebagai
dasar perumusan kebijakan dan perencanaan
program. Surveilans belum dilaksanakan secara
menyeluruh.
Hukum kesehatan belum tertata secara sistematis dan
belum mendukung pembangunan kesehatan secara
utuh, terutama dalam menghadapi desentralisasi dan
globalisasi. Regulasi bidang kesehatan pada saat ini
belum cukup, baik jumlah, jenis, maupun
efektifitasnya.
Pemerintah belum sepenuhnya dapat
menyelenggarakan pembangunan kesehatan yang
efektif, efisien, dan bermutu sesuai dengan prinsipprinsip
kepemerintahan yang baik (Good Governance).
11
Bila kita kutip pernyataan “Pemerintah belum sepenuhnya dapat menyelenggarakan pembangunan kesehatan yang efektif, efisien, dan bermutu sesuai dengan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik (Good Governance)” dikarenakan kebijakan pemerintah yang masih terpotong-potong dan kurang bersinergis. Dan sering kali justru saling menghambat. Juga dikarenakan dalam pembangunan kesehatan masih bertumpu pada satu pilar ilmu kedokteran saja.
Bila kita mencermati uraian “Manajemen dan Informasi Kesehatan”, tidak pernah apotek dilibatkan didalam program informasi kesehatan meskipun itu dalam informasi yan terkait obat dan sediaan farmasi lain sekalipun. Padahal bisa dikatakan bila setiap apotek bisa menjadi pusat informasi obat yang lebih baik dari pada sarana kesehatan lain. Karena memang apotek seharusna dikawal oleh apoteker yang mempunyai kompetensi untuk itu. Tetapi sangat kelihatan bila praktek profesi kesehatan bidang kefarasian seperti informasi obat belum menjadi target didalam SKN. Apakah menunggu sampai masyarakat celaka akibat penggunaan obat? Saya rasa janganlah kita menunggu sampai terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Dan sudah saatnya bila peran dari tenaga kesehatan selain dokter lebih diberi peran dan “otonomi profesi” yang lebih baik agar jalannya pembangunan kesehatan lebih optimal.
Banyak kasus kecelakaan akibat kesalahan penggunaan obat oleh masyarakat, mulai penggunaan obat bebas sampai obat keras. Disinilah seharusnya peran apoteker didalam meningkatkan pendidikan kesehatan dilibatkan. Peran pendidikan kesehatan adalah tangung jawab dari semua profesi kesehatan, oleh karena itu peran mulia ini seharusnya diemban dengan penuh dedikasi. Pendidikan kesehatan tidak selalu identik dengan informasi, tetapi lebih jauh dari itu. Peran pendidikan kesehatan bisa saja untuk kuratif dan prekuentif. Salah satu penyebab kecelakaan penggunaan obat dan sediaan farmasi lain salah satunya akibat rendahnya tingkat pendidikan kesehatan masyarakat.
Pada masyarakat, semakin rendah tingkat pendidikannya, maka kecenderungan kecelakaan akibat obat atau penyakit atau apa saja terkait kesehatan akan semakin besar yang ujung-ujungnya justru akan meningkatkan biaya kuratif. Disinilah seharusnya peran tenaga kesehatan dalam meningkatkatkan derajat kesehatan semakin diperhatikan.
Dari uraian saya diatas seharusnya mualilah peran setiap tenaga kesehatan lebih disinergiskan dan janganlah menjadikan salah satu atau salah dua tenaga kesehatan dijadikan superior. Seperti pada ungkapan “tidak bisa seorang pembalap pada formula I bisa menjadi juara bila tidak didukung oleh mesin yang handal, mekanik yang handal, tim yang handal, ban yang handal dan lain sebagainya”. Janganlah kita merasa yang paling superior, padahal tanpa orang lain kita tidak ada apa-apanya. Oleh karena itu setiap tenaga kesehatan harus berlaku profesional sesuai kompetensinya masing-masing dan janganlah diintervensi oleh kepentingan-kepentingan ekonomi semata. Denga demikian biaya kesehatan bisa ditekan karena kesadaran akan profesionalisme dari tenaga kesehatan yang semakin baik dan kesadaran masyarakat utuk meningkatkan derajat kesehatan juga semakin baik. Harga obat bukan satu-satunya mekanisme didalam menurunkan biaya pengobatan, tetapi profesionalisme dari masing-masing tenaga kesehatan inilah yang merupakan faktor yang paling dominan didalam menurunkan biaya pengobatan dan biaya kesehatan secara umum.
Bagaimanapun juga sediaan farmasi adalah bagian dari sistem kesehatan yang berperan sebagai alat dari suatu profesi dalam menjalakan praktek profesi kefarmasian, sehingga keberadaan sediaan farmasi sudah seharusnya menjadi perhatian khusus yang kebijaksanaannya disusun berdasarkan bukti profesi kefarmasian.
Label:
APO,
APOTEKER,
HISFARMA,
ISFI,
MENCERMATI RANCANGAN FINAL SKN 2009
Kamis, 20 Agustus 2009
MENCERMATI RANCANGAN FINAL SKN 2009 (bagian II) (www.hisfarma.blogspot.com)
MENCERMATI RANCANGAN FINAL SKN 2009
(bagian II) (www.hisfarma.blogspot.com)
Banyak hal yang mungkin harus dicermati didalam Rancangan Final SKN beberapa hal tersebut juga terkadang menjadi pertanyaan didalam praktek profesi sehari-hari saya yang mana seakan-akan SKN seringkali saya anggap kurang tepat. Kekurang tepatan itu akan saya cermati dalam blog saya secara seri yang bersambung disela-sela saya menjalankan profesi saya.
Seri 2
Pemberdayaan masyarakat
Pemberdayaan masyarakat juga perlu dicermati agar jalannya pemberdayaan masyarakat justru tidak kontra produktif. Bagaimanapun juga didalam pemberdayaan masyarakat, masyarakat yang berperan serta secara aktif tetap harus mengikuti kaidah-kaidah yag berlaku dan bukannya mengikuti keinginan sendiri-sendiri yang akhirnya justru kontra produktif. Disinilah pemerintah harus berlakuk bijak dan cerdas sehingga seluruh lapisan masyarakat merasa ikut andil didalam pembangunan kesehatan sehingga menimbulkan kebanggaan, meningatkan nasionalisme, dan sebagainya sehingga jalannya SKN akan terasakan dampaknya oleh masyarakat. Sehigga timbul kesadaran yang lebih baik pada dari masyarakat itu sendiri baik secara individu atau kelompok.
Uraian dari SKN sebagaimana berikut :
6. Pemberdayaan Masyarakat
Rumah tangga yang telah melaksanakan perilaku
hidup bersih dan sehat (PHBS) meningkat dari 27%
pada tahun 2005 menjadi 36,3% pada tahun 2007
namun masih jauh dari sasaran yang harus dicapai
pada tahun 2009 yakni dengan target 60%.
Jumlah UKBM, seperti Posyandu dan Poskesdes
semakin meningkat, tapi pemanfaatan dan kualitasnya
masih rendah. Hingga tahun 2007 sudah terbentuk
33.910 Desa Siaga dimana terdapat 20.986 buah Pos
Kesehatan Desa (Poskesdes). UKBM lainnya yang
terus berkembang pada tahun 2007 adalah Posyandu
yang telah berjumlah 269.202 buah, dan 600 Pos
Kesehatan Pesantren (Poskestren). Di samping itu,
Pemerintah telah memberikan pula bantuan stimulan
untuk pengembangan 229 Musholla Sehat. Sampai
dewasa ini dirasakan bahwa masyarakat masih lebih
banyak sebagai objek dari pada sebagai subjek
pembangunan kesehatan.
Hasil Riskesdas tahun 2007 menunjukkan bahwa
alasan utama rumah tangga tidak memanfaatkan
Posyandu/Poskesdes walaupun sebenarnya sangat
memerlukan adalah karena: pelayanannya tidak
lengkap (49,6%), lokasinya jauh (26%), dan tidak
tersedianya Posyandu/Poskesdes (24%).
Dari uraian diatas, masyarakat diuraikan secara sempit, hanya sebatas masyarakat awam belaka. Padahal masyarakat bisa berarti lebih luas lagi, semisal masyarakat profesi kesehatan, masyarakat kota, dan lain sebagainya. Oleh karena itu peran masyarakat seharusnya bisa untuk lebih digali lagi dan di sinergiskan didalam pembangunan kesehatan yang lebih baik dan lebih merata.
Seperti juga pada uraian dibawah ini :
2. Pemberdayaan dan Kemandirian
Setiap orang dan masyarakat bersama dengan
pemerintah berperan, berkewajiban dan bertanggung
jawab untuk memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan perorangan, keluarga, masyarakat, dan
lingkungannya. Pembangunan kesehatan harus
mampu membangkitkan dan mendorong peran aktif
masyarakat. Pembangunan kesehatan dilaksanakan
dengan berlandaskan pada kepercayaan atas
kemampuan dan kekuatan sendiri serta kepribadian
bangsa dan semangat solidaritas sosial serta gotongroyong.
Pembangunan kesehatan diarahkan memberi
manfaat yang sebesar-besarnya bagi peningkatan
derajat kesehatan masyarakat dengan perhatian
khusus pada penduduk rentan, antara lain: ibu, bayi,
anak, manusia usia lanjut dan keluarga miskin.
Pada uraian diatas kata bergotong royong tidak bisa dilakukan oleh masyarakat awam saja, tetapi tetap harus melibatkan masyarakat profesi. Ibarat bergotong royong membangun rumah, kita tetap melibatkan tukang sebagai tenaga ahli, bukannya masyarakat awan disuruh membuat rumah yang ujung-ujungnya akan saling menyalahkan bila rumah itu roboh. Seharusnya ada penekanan tentang siapa masyarakat itu secara lebih luas.
Uraian lain :
3. Adil dan Merata
Dalam pembangunan kesehatan setiap orang
mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya, tanpa memandang
suku, golongan, agama, dan status sosial ekonominya.
Setiap orang berhak memperoleh pelayanan
kesehatan. Setiap anak berhak atas kelangsungan
hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Disini akan tercapai bila sistem yang kita terapkan mengarah ke arah yang lebih ideal dengan saling mensinergiskan unsur-unsur yang terlibat dalam SKN..
4. Kedudukan SKN terhadap berbagai sistem
kemasyarakatan termasuk swasta
Keberhasilan pembangunan kesehatan sangat
ditentukan oleh dukungan sistem nilai dan budaya
masyarakat yang secara bersama terhimpun dalam
berbagai sistem kemasyarakatan. Di pihak lain,
berbagai sistem kemasyarakatan merupakan bagian
integral dari SKN. Dalam kaitan ini SKN dipergunakan
sebagai acuan bagi masyarakat dalam berbagai upaya
kesehatan.
Keberhasilan pembangunan kesehatan juga ditentukan
oleh peran aktif swasta. Dalam kaitan ini potensi
swasta merupakan bagian integral dari SKN. Untuk
keberhasilan pembangunan kesehatan perlu digalang
kemitraan yang setara, terbuka, dan saling
menguntungkan dengan berbagai potensi swasta. SKN
dapat mewarnai potensi swasta, sehingga sejalan
dengan tujuan pembangunan nasional yang
berwawasan kesehatan.
Dengan mengacu terutama pada kedudukan SKN diatas
dan pencapaian tujuan nasional, dalam Gambar 1
dikemukakan alur pikir dari SKN termaksud.
Peran swata diatas tetap harus dicermati dengan kewajiban swasta untuk tetap memegang aturan yang berlaku dan tidak boleh justru kontra produktif dengan arah pembangunan kesehatan. Ada baiknya bila peran swasta yag tetap harus mengikuti peraturan juga dimunculan didalam SKN. Dan seharusnya definisi masyarakat swasta juga tidak dipisahkan dari masyarakat awam, karena semua yang diluar pemerintah bisa diartikan sebagai swasta. Dengan lebih memberikan arti masyarakat yang lebih luas, masyarakat secara umum bisa merasa ikut memiliki dan bertanggung jawab terhadap pembangunan kesehatan.
6. Subsistem Pemberdayaan Masyarakat
SKN akan berfungsi optimal apabila ditunjang oleh
pemberdayaan masyarakat. Masyarakat termasuk
swasta bukan semata-mata sebagai sasaran
pembangunan kesehatan, melainkan juga sebagai
subjek atau penyelenggara dan pelaku pembangunan
kesehatan. Oleh karenanya pemberdayaan masyarakat
menjadi sangat penting, agar masyarakat termasuk
swasta dapat mampu dan mau berperan sebagai
pelaku pembangunan kesehatan. Dalam pember-
dayaan masyarakat meliputi pula upaya peningkatan
lingkungan sehat dari masyarakat sendiri.
Pemberdayaan masyarakat dan upaya kesehatan pada
hakekatnya merupakan fokus dari pembangunan
kesehatan.
Masyarakat dan termasuk masyarakat profesi kesehatan dan swasta seharusnya memang bukan sebagai obyek, tetapi juga sebagai subyek. Agar masyarakat bisa sebagai subyek maka arah pembangunan harus lebih jelas dan lebih mengarahkan pada pendidikan kesehatan sebagai pondasi dalam membangun kesehatan bangsa. Seperti pada jaminan kesehatan, jaminan kesehatan hanya bisa diterapkan bila tingkat pendidikan kesehatan masyarakat cukup. Bila tingkat pendidikan kesehatan masyarakat rendah, maka masyarakat aka engan menjaga kesehatannya termasuk kesehatan lingkungan. Bila kesadaran tinggi, maka masyarakat akan lebih mampu menjaga dirinya dan lebih mampu menjaga kesehatan linkungannya. Harapan kedepannya masalah kuratif lebih dapat diminimalkan dan dananya sebagian harus diarahkan kepada pendidikan kesehatan.
F. SUBSISTEM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
1. Pengertian
Subsistem pemberdayaan masyarakat adalah bentuk
dan cara penyelenggaraan berbagai upaya kesehatan,
baik perorangan, kelompok, maupun masyarakat
secara terencana, terpadu, dan berkesinambungan
guna tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya.
2. Tujuan
Tujuan subsistem pemberdayaan masyarakat adalah
meningkatnya kemampuan masyarakat untuk
berperilaku hidup sehat, mampu mengatasi masalah
kesehatan secara mandiri, berperanserta dalam setiap
upaya kesehatan serta dapat menjadi penggerak
dalam mewujudkan pembangunan berwawasan
kesehatan.
Meningkatkan kemampuan masyarakat untuk berperilaku hidup sehat adalah peran dari pendidikan kesehatan. Bila arah tujuannya adalah menaikan tingkat pendidikan kesehatan seharusnya lebih ditekankan pada hal ini adalah masalah pendidikan kesehatan.
3. Unsur-unsur
Subsistem pemberdayaan masyarakat terdiri dari
empat unsur, yaitu:
a. Penggerak Pemberdayaan
Pemerintah, masyarakat, dan swasta menjadi
inisiator, motivator dan fasilitator yang mempunyai
kompetensi memadai dan dapat membangun
komitmen dengan dukungan para pemimpin, baik
formal maupun non formal.
b. Sasaran Pemberdayaan
Perorangan (tokoh masyarakat, tokoh agama,
politisi, figur masyarakat, dan sebagainya),
kelompok (organisasi kemasyarakatan, organisasi
profesi, kelompok masyarakat) dan masyarakat
luas, serta pemerintah yang akan berperan sebagai
agen perubahan untuk penerapan perilaku hidup
sehat (subjek pembangunan kesehatan).
c. Kegiatan Hidup Sehat
Kegiatan hidup sehat yang dilakukan sehari-hari
oleh masyarakat, sehingga membentuk kebiasaan
dan pola hidup, tumbuh dan berkembang, serta
melembaga dan membudaya dalam kehidupan
bermasyarakat.
d. Sumberdaya
Potensi yang dimiliki oleh masyarakat, swasta dan
pemerintah yang meliputi dana, sarana dan
prasarana, budaya, metode, pedoman, dan media
untuk terselenggaranya proses pemberdayaan di
bidang kesehatan.
4. Prinsip
Terdapat enam prinsip dalam mewujudkan
pemberdayaan masyarakat, yaitu:
72
a. Berbasis Masyarakat
Pembangunan kesehatan berbasis pada tata nilai
perorangan, keluarga dan masyarakat, sesuai
dengan keragaman sosial budaya, kebutuhan,
permasalahan, serta potensi masyarakat (modal
sosial).
b. Edukatif
Pemberdayaan masyarakat dilakukan atas dasar
untuk menumbuhkan kesadaran, kemauan dan
kemampuannya, serta menjadi penggerak dalam
pembangunan kesehatan.
c. Kesempatan Mengemukakan Pendapat dan
Memilih Pelayanan Kesehatan
Masyarakat mempunyai kesempatan untuk
menerima pembaharuan tanggap terhadap aspirasi
masyarakat dan bertanggungjawab, serta
kemudahan akses informasi, mengemukakan
pendapat dan terlibat dalam proses pengambilan
keputusan yang berkaitan dengan kesehatan diri,
keluarga, masyarakat, dan lingkungannya.
d. Kemitraan
Semua pelaku pembangunan kesehatan baik
sebagai penyelenggara maupun sebagai pengguna
jasa kesehatan, dengan masyarakat yang dilayani,
kebersamaan, kesetaraan dan saling memperoleh
manfaat.
73
e. Kemandirian
Kemampuan masyarakat untuk mengoptimalkan
dan menggerakkan segala sumberdaya setempat
serta tidak bergantung kepada pihak lain.
Kemandirian bermakna sebagai upaya kesehatan
dari, oleh, dan untuk masyarakat.
f. Gotong-royong
Tumbuhnya rasa kepedulian, tenggang rasa,
solidaritas, empati, dan kepekaan masyarakat
dalam menghadapi potensi dan masalah
kesehatan, yang akhirnya bermuara dalam
semangat gotong-royong sesuai dengan nilai luhur
bangsa.
Kesimpulan saya pada pemberdayaan masyarakat, pada pemberdayaan masyarakat, masyarakat seharusnya bisa diartikan dalam artian yang lebih luas sehingga peran pemerintah bisa lebih kelihatan karena peran masyarakat yang lebih luas lebih dapat difasilitasi dan lebih berharga diri. Sehingga peran swasta tidak hanya diartikan sebagai bisnis saja, tetapi juga sebagai rasa tangung jawab moral bersama terhadap setiap permasalahan kesehatan yang muncul disetiap sendi hidup berbangsa.
(bagian II) (www.hisfarma.blogspot.com)
Banyak hal yang mungkin harus dicermati didalam Rancangan Final SKN beberapa hal tersebut juga terkadang menjadi pertanyaan didalam praktek profesi sehari-hari saya yang mana seakan-akan SKN seringkali saya anggap kurang tepat. Kekurang tepatan itu akan saya cermati dalam blog saya secara seri yang bersambung disela-sela saya menjalankan profesi saya.
Seri 2
Pemberdayaan masyarakat
Pemberdayaan masyarakat juga perlu dicermati agar jalannya pemberdayaan masyarakat justru tidak kontra produktif. Bagaimanapun juga didalam pemberdayaan masyarakat, masyarakat yang berperan serta secara aktif tetap harus mengikuti kaidah-kaidah yag berlaku dan bukannya mengikuti keinginan sendiri-sendiri yang akhirnya justru kontra produktif. Disinilah pemerintah harus berlakuk bijak dan cerdas sehingga seluruh lapisan masyarakat merasa ikut andil didalam pembangunan kesehatan sehingga menimbulkan kebanggaan, meningatkan nasionalisme, dan sebagainya sehingga jalannya SKN akan terasakan dampaknya oleh masyarakat. Sehigga timbul kesadaran yang lebih baik pada dari masyarakat itu sendiri baik secara individu atau kelompok.
Uraian dari SKN sebagaimana berikut :
6. Pemberdayaan Masyarakat
Rumah tangga yang telah melaksanakan perilaku
hidup bersih dan sehat (PHBS) meningkat dari 27%
pada tahun 2005 menjadi 36,3% pada tahun 2007
namun masih jauh dari sasaran yang harus dicapai
pada tahun 2009 yakni dengan target 60%.
Jumlah UKBM, seperti Posyandu dan Poskesdes
semakin meningkat, tapi pemanfaatan dan kualitasnya
masih rendah. Hingga tahun 2007 sudah terbentuk
33.910 Desa Siaga dimana terdapat 20.986 buah Pos
Kesehatan Desa (Poskesdes). UKBM lainnya yang
terus berkembang pada tahun 2007 adalah Posyandu
yang telah berjumlah 269.202 buah, dan 600 Pos
Kesehatan Pesantren (Poskestren). Di samping itu,
Pemerintah telah memberikan pula bantuan stimulan
untuk pengembangan 229 Musholla Sehat. Sampai
dewasa ini dirasakan bahwa masyarakat masih lebih
banyak sebagai objek dari pada sebagai subjek
pembangunan kesehatan.
Hasil Riskesdas tahun 2007 menunjukkan bahwa
alasan utama rumah tangga tidak memanfaatkan
Posyandu/Poskesdes walaupun sebenarnya sangat
memerlukan adalah karena: pelayanannya tidak
lengkap (49,6%), lokasinya jauh (26%), dan tidak
tersedianya Posyandu/Poskesdes (24%).
Dari uraian diatas, masyarakat diuraikan secara sempit, hanya sebatas masyarakat awam belaka. Padahal masyarakat bisa berarti lebih luas lagi, semisal masyarakat profesi kesehatan, masyarakat kota, dan lain sebagainya. Oleh karena itu peran masyarakat seharusnya bisa untuk lebih digali lagi dan di sinergiskan didalam pembangunan kesehatan yang lebih baik dan lebih merata.
Seperti juga pada uraian dibawah ini :
2. Pemberdayaan dan Kemandirian
Setiap orang dan masyarakat bersama dengan
pemerintah berperan, berkewajiban dan bertanggung
jawab untuk memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan perorangan, keluarga, masyarakat, dan
lingkungannya. Pembangunan kesehatan harus
mampu membangkitkan dan mendorong peran aktif
masyarakat. Pembangunan kesehatan dilaksanakan
dengan berlandaskan pada kepercayaan atas
kemampuan dan kekuatan sendiri serta kepribadian
bangsa dan semangat solidaritas sosial serta gotongroyong.
Pembangunan kesehatan diarahkan memberi
manfaat yang sebesar-besarnya bagi peningkatan
derajat kesehatan masyarakat dengan perhatian
khusus pada penduduk rentan, antara lain: ibu, bayi,
anak, manusia usia lanjut dan keluarga miskin.
Pada uraian diatas kata bergotong royong tidak bisa dilakukan oleh masyarakat awam saja, tetapi tetap harus melibatkan masyarakat profesi. Ibarat bergotong royong membangun rumah, kita tetap melibatkan tukang sebagai tenaga ahli, bukannya masyarakat awan disuruh membuat rumah yang ujung-ujungnya akan saling menyalahkan bila rumah itu roboh. Seharusnya ada penekanan tentang siapa masyarakat itu secara lebih luas.
Uraian lain :
3. Adil dan Merata
Dalam pembangunan kesehatan setiap orang
mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya, tanpa memandang
suku, golongan, agama, dan status sosial ekonominya.
Setiap orang berhak memperoleh pelayanan
kesehatan. Setiap anak berhak atas kelangsungan
hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Disini akan tercapai bila sistem yang kita terapkan mengarah ke arah yang lebih ideal dengan saling mensinergiskan unsur-unsur yang terlibat dalam SKN..
4. Kedudukan SKN terhadap berbagai sistem
kemasyarakatan termasuk swasta
Keberhasilan pembangunan kesehatan sangat
ditentukan oleh dukungan sistem nilai dan budaya
masyarakat yang secara bersama terhimpun dalam
berbagai sistem kemasyarakatan. Di pihak lain,
berbagai sistem kemasyarakatan merupakan bagian
integral dari SKN. Dalam kaitan ini SKN dipergunakan
sebagai acuan bagi masyarakat dalam berbagai upaya
kesehatan.
Keberhasilan pembangunan kesehatan juga ditentukan
oleh peran aktif swasta. Dalam kaitan ini potensi
swasta merupakan bagian integral dari SKN. Untuk
keberhasilan pembangunan kesehatan perlu digalang
kemitraan yang setara, terbuka, dan saling
menguntungkan dengan berbagai potensi swasta. SKN
dapat mewarnai potensi swasta, sehingga sejalan
dengan tujuan pembangunan nasional yang
berwawasan kesehatan.
Dengan mengacu terutama pada kedudukan SKN diatas
dan pencapaian tujuan nasional, dalam Gambar 1
dikemukakan alur pikir dari SKN termaksud.
Peran swata diatas tetap harus dicermati dengan kewajiban swasta untuk tetap memegang aturan yang berlaku dan tidak boleh justru kontra produktif dengan arah pembangunan kesehatan. Ada baiknya bila peran swasta yag tetap harus mengikuti peraturan juga dimunculan didalam SKN. Dan seharusnya definisi masyarakat swasta juga tidak dipisahkan dari masyarakat awam, karena semua yang diluar pemerintah bisa diartikan sebagai swasta. Dengan lebih memberikan arti masyarakat yang lebih luas, masyarakat secara umum bisa merasa ikut memiliki dan bertanggung jawab terhadap pembangunan kesehatan.
6. Subsistem Pemberdayaan Masyarakat
SKN akan berfungsi optimal apabila ditunjang oleh
pemberdayaan masyarakat. Masyarakat termasuk
swasta bukan semata-mata sebagai sasaran
pembangunan kesehatan, melainkan juga sebagai
subjek atau penyelenggara dan pelaku pembangunan
kesehatan. Oleh karenanya pemberdayaan masyarakat
menjadi sangat penting, agar masyarakat termasuk
swasta dapat mampu dan mau berperan sebagai
pelaku pembangunan kesehatan. Dalam pember-
dayaan masyarakat meliputi pula upaya peningkatan
lingkungan sehat dari masyarakat sendiri.
Pemberdayaan masyarakat dan upaya kesehatan pada
hakekatnya merupakan fokus dari pembangunan
kesehatan.
Masyarakat dan termasuk masyarakat profesi kesehatan dan swasta seharusnya memang bukan sebagai obyek, tetapi juga sebagai subyek. Agar masyarakat bisa sebagai subyek maka arah pembangunan harus lebih jelas dan lebih mengarahkan pada pendidikan kesehatan sebagai pondasi dalam membangun kesehatan bangsa. Seperti pada jaminan kesehatan, jaminan kesehatan hanya bisa diterapkan bila tingkat pendidikan kesehatan masyarakat cukup. Bila tingkat pendidikan kesehatan masyarakat rendah, maka masyarakat aka engan menjaga kesehatannya termasuk kesehatan lingkungan. Bila kesadaran tinggi, maka masyarakat akan lebih mampu menjaga dirinya dan lebih mampu menjaga kesehatan linkungannya. Harapan kedepannya masalah kuratif lebih dapat diminimalkan dan dananya sebagian harus diarahkan kepada pendidikan kesehatan.
F. SUBSISTEM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
1. Pengertian
Subsistem pemberdayaan masyarakat adalah bentuk
dan cara penyelenggaraan berbagai upaya kesehatan,
baik perorangan, kelompok, maupun masyarakat
secara terencana, terpadu, dan berkesinambungan
guna tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya.
2. Tujuan
Tujuan subsistem pemberdayaan masyarakat adalah
meningkatnya kemampuan masyarakat untuk
berperilaku hidup sehat, mampu mengatasi masalah
kesehatan secara mandiri, berperanserta dalam setiap
upaya kesehatan serta dapat menjadi penggerak
dalam mewujudkan pembangunan berwawasan
kesehatan.
Meningkatkan kemampuan masyarakat untuk berperilaku hidup sehat adalah peran dari pendidikan kesehatan. Bila arah tujuannya adalah menaikan tingkat pendidikan kesehatan seharusnya lebih ditekankan pada hal ini adalah masalah pendidikan kesehatan.
3. Unsur-unsur
Subsistem pemberdayaan masyarakat terdiri dari
empat unsur, yaitu:
a. Penggerak Pemberdayaan
Pemerintah, masyarakat, dan swasta menjadi
inisiator, motivator dan fasilitator yang mempunyai
kompetensi memadai dan dapat membangun
komitmen dengan dukungan para pemimpin, baik
formal maupun non formal.
b. Sasaran Pemberdayaan
Perorangan (tokoh masyarakat, tokoh agama,
politisi, figur masyarakat, dan sebagainya),
kelompok (organisasi kemasyarakatan, organisasi
profesi, kelompok masyarakat) dan masyarakat
luas, serta pemerintah yang akan berperan sebagai
agen perubahan untuk penerapan perilaku hidup
sehat (subjek pembangunan kesehatan).
c. Kegiatan Hidup Sehat
Kegiatan hidup sehat yang dilakukan sehari-hari
oleh masyarakat, sehingga membentuk kebiasaan
dan pola hidup, tumbuh dan berkembang, serta
melembaga dan membudaya dalam kehidupan
bermasyarakat.
d. Sumberdaya
Potensi yang dimiliki oleh masyarakat, swasta dan
pemerintah yang meliputi dana, sarana dan
prasarana, budaya, metode, pedoman, dan media
untuk terselenggaranya proses pemberdayaan di
bidang kesehatan.
4. Prinsip
Terdapat enam prinsip dalam mewujudkan
pemberdayaan masyarakat, yaitu:
72
a. Berbasis Masyarakat
Pembangunan kesehatan berbasis pada tata nilai
perorangan, keluarga dan masyarakat, sesuai
dengan keragaman sosial budaya, kebutuhan,
permasalahan, serta potensi masyarakat (modal
sosial).
b. Edukatif
Pemberdayaan masyarakat dilakukan atas dasar
untuk menumbuhkan kesadaran, kemauan dan
kemampuannya, serta menjadi penggerak dalam
pembangunan kesehatan.
c. Kesempatan Mengemukakan Pendapat dan
Memilih Pelayanan Kesehatan
Masyarakat mempunyai kesempatan untuk
menerima pembaharuan tanggap terhadap aspirasi
masyarakat dan bertanggungjawab, serta
kemudahan akses informasi, mengemukakan
pendapat dan terlibat dalam proses pengambilan
keputusan yang berkaitan dengan kesehatan diri,
keluarga, masyarakat, dan lingkungannya.
d. Kemitraan
Semua pelaku pembangunan kesehatan baik
sebagai penyelenggara maupun sebagai pengguna
jasa kesehatan, dengan masyarakat yang dilayani,
kebersamaan, kesetaraan dan saling memperoleh
manfaat.
73
e. Kemandirian
Kemampuan masyarakat untuk mengoptimalkan
dan menggerakkan segala sumberdaya setempat
serta tidak bergantung kepada pihak lain.
Kemandirian bermakna sebagai upaya kesehatan
dari, oleh, dan untuk masyarakat.
f. Gotong-royong
Tumbuhnya rasa kepedulian, tenggang rasa,
solidaritas, empati, dan kepekaan masyarakat
dalam menghadapi potensi dan masalah
kesehatan, yang akhirnya bermuara dalam
semangat gotong-royong sesuai dengan nilai luhur
bangsa.
Kesimpulan saya pada pemberdayaan masyarakat, pada pemberdayaan masyarakat, masyarakat seharusnya bisa diartikan dalam artian yang lebih luas sehingga peran pemerintah bisa lebih kelihatan karena peran masyarakat yang lebih luas lebih dapat difasilitasi dan lebih berharga diri. Sehingga peran swasta tidak hanya diartikan sebagai bisnis saja, tetapi juga sebagai rasa tangung jawab moral bersama terhadap setiap permasalahan kesehatan yang muncul disetiap sendi hidup berbangsa.
Rabu, 05 Agustus 2009
ADAKAH HAL YANG BARU TENTANG "TEORI PHARMACEUTICAL CARE"
Tiga tahun yang lalu saya Pernah mengikuti pelatihan Kefarmasian dan salah satu materi yang dipaparkan adalah tentang pharmaceutical care. DIdalam materi Pharmaceutical care dibahas tentang pendahuluan, konsep dasar konseling, tahapan konseling, kepatuhan penggunaan obat, peran apoteker/farmasis dll.
Di dalam kesempatan lain saya juga mendapat undangan tentang Pharmaceutical care didalam pokok bahasannya menyinggung tentang aturan dasar pendukung pharmaceutical care “SK menkes 1027/Menkes/SK/2004 – tentang standat pelayanan kefarmasian di apotek, SK Menkes no: 1197/Menkes/SK/X/2004 – tentang standart pelayanan farmasi di RS”, standar kemampuan SDM Apoteker harus bagaimana, dibumbuhi sedikit tentang Pelayanan dan penggunaan obat secara rasional, pelayanan farmasi klinik dsb…
Kalau kita cermati teori dasar yang dipakai tentang bahasan Pharmaceutical Cere adalah berasal dari Daftar Pustaka seputar Hepler, Strand, ASHP yang terbit sekitar tahun 1990-2000 ditambah SK menkes Tentang Standart pelayanan Kefarmasian di Apotek/RS. Teori ini bagi sejawat apoteker pemula atau calon apoteker tentunya sangat menarik untuk diperbincangkan & dibahas lebih detail.
Namun bagi sejawat apoteker yang sudah malang melintang mengikuti Seminar, pelatihan, di tambah bekal perkuliahan S1 atau bahkan S2 mungkin akan terlihat stagnan bila mengikuti teori tentang Pharmaceutical Care.
Belum lagi dengan semakin banyaknya seminar tentang kefarmasian akhir-akhir ini sebagai nara sumber tentunya dituntut untuk menampilkan teori/paparan yang lebih berbobot agar tidak terkesan paparan yang disampaikan bisa dikatakan “basi” (karena sudah terlalu sering di bahas) atau ada peserta apoteker baru yang mengomentari setelah mengikuti seminar “materinya sama dengan yang dikuliahkan” karena kebetulan yang memaparkan bekas dosennya. …
Adakah yang Salah dengan Fenomena seperti diatas …Teori mana lagi yang akan kita bahas?
Ada masukan Sejawat?
Di dalam kesempatan lain saya juga mendapat undangan tentang Pharmaceutical care didalam pokok bahasannya menyinggung tentang aturan dasar pendukung pharmaceutical care “SK menkes 1027/Menkes/SK/2004 – tentang standat pelayanan kefarmasian di apotek, SK Menkes no: 1197/Menkes/SK/X/2004 – tentang standart pelayanan farmasi di RS”, standar kemampuan SDM Apoteker harus bagaimana, dibumbuhi sedikit tentang Pelayanan dan penggunaan obat secara rasional, pelayanan farmasi klinik dsb…
Kalau kita cermati teori dasar yang dipakai tentang bahasan Pharmaceutical Cere adalah berasal dari Daftar Pustaka seputar Hepler, Strand, ASHP yang terbit sekitar tahun 1990-2000 ditambah SK menkes Tentang Standart pelayanan Kefarmasian di Apotek/RS. Teori ini bagi sejawat apoteker pemula atau calon apoteker tentunya sangat menarik untuk diperbincangkan & dibahas lebih detail.
Namun bagi sejawat apoteker yang sudah malang melintang mengikuti Seminar, pelatihan, di tambah bekal perkuliahan S1 atau bahkan S2 mungkin akan terlihat stagnan bila mengikuti teori tentang Pharmaceutical Care.
Belum lagi dengan semakin banyaknya seminar tentang kefarmasian akhir-akhir ini sebagai nara sumber tentunya dituntut untuk menampilkan teori/paparan yang lebih berbobot agar tidak terkesan paparan yang disampaikan bisa dikatakan “basi” (karena sudah terlalu sering di bahas) atau ada peserta apoteker baru yang mengomentari setelah mengikuti seminar “materinya sama dengan yang dikuliahkan” karena kebetulan yang memaparkan bekas dosennya. …
Adakah yang Salah dengan Fenomena seperti diatas …Teori mana lagi yang akan kita bahas?
Ada masukan Sejawat?
Sabtu, 25 Juli 2009
MENERMATI RANCANGAN FINAL SKN 2009 BAGIAN 1
MENERMATI RANCANGAN FINAL SKN 2009
(bagian I) (www.hisfarma.blogspot.com)
Banyak hal yang mungkin harus dicarmati didalam Rancangan Final SKN beberapa hal tersebut juga terkadang menjadi pertanyaan didalam praktek profesi sehari-hari saya yang mana seakan-akan SKN seringkali saya anggap kurang tepat. Kekurang tepatan itu akan saya cermati dalam blog sayaS secara seri yang bersambung disela-sela saya menjalankan profesi saya.
Upaya pelayanan kesehatan didalam SKN dijelaskan sebagai berikut :
Upaya Kesehatan
Pelayanan kesehatan meliputi peningkatan, pencegahan, pengobatan dan pemulihan, baik pelayanan kesehatan konvensional maupun pelayanan kesehatan yang terdiri dari pengobatan tradisional dan komplementer melalui pendidikan dan pelatihan dengan selalu mengutamakan keamanan dan efektifitas yang tinggi.
Upaya kesehatan diutamakan pada berbagai upaya yang mempunyai daya ungkit tinggi dalam pencapaian sasaran pembangunan kesehatan
utamanya penduduk rentan, antara lain ibu, bayi, anak, manusia usia lanjut, dan keluarga miskin.
Dari uraian diatas, maka peran apoteker diapotek memenui syarat sebagai salah satu tenaga kesehatan yang juga berperan secara aktif didalam upaya kesehatan secara langsung. Mengingat peran apoteker didalam swamedikasi sangat penting dan tak bisa dipandang sebelah mata oleh siapapun bila peran itu sangat dibutuhkan masyarakat. Pada swamedikasi sering kali juga meliputi pencegahan, pengobatan (meskipun pada penyakit ringan), juga mungkin pemulihan. Bahkan pengobatan dengan obat tradisional sering juga dilakukan diapotek dan sering kali juga memberikan dampak yang bagus bagi perkembangan pembangunan kesehatan.
Mungkin peran apoteker didalam swamedikasi masih dipandang sebelah mata, tetapi coba kita cermati hal berikut dari SKN, “ …kunjungan baru (contact rate) ke fasilitas pelayanan kesehatan meningkat dari 34,4% pada tahun 2005 menjadi 41,8% pada tahun 2007. Disamping itu, masyarakat yang mencari pengobatan sendiri sebesar 45% dan yang tidak berobat sama sekali sebesar 13,3% (2007).” Ada 45% anggota masyarakat yang mencari pengobatan sendiri, disinilah peran apoteker didalam swamedikasi akan sangat menonjol. Oleh karena itu seharusnya keberadaan apoteker diapotek didalam mengawal swamedikasi seharusnya sudah menjadi kebutuhan dan perhatian dari pemerintah agar peran apoteker dalam lebih bisa dirasakan oleh masyarakat.
Jumlah masyarakat yang melakukan swameduikasi justru lebih besar dari pada yang mengunjungi sarana kesehatan lain selain apotek. Seperti didalam praktek profesi yang saya lakukan jumlah resep yang saya terima baik dari segi nilai ataupun dari segi jumlah pelayanan tidak lebih dari 3%. Disini saya merasakan bahwa peran apoteker diapotek adalah sebagai pelayanan primer seperti didalam SKN.
Hal lain yang coba saya cermati adalah upaya kesehatan primer dalam SKN dijelaskan sebagai berikut :
1) Upaya Kesehatan Primer
Upaya Kesehatan Primer adalah upaya kesehatan dasar, yang terdiri dari pelayanan kesehatan perorangan dan masyarakat.
Pelayanan kesehatan perorangan primer
memberikan penekanan pada pelayanan pengobatan, pemulihan tanpa mengabaikan upaya peningkatan, dan pencegahan, termasuk di dalamnya pelayanan kebugaran dan gaya hidup sehat (healthy life style).
Diselenggarakan oleh tenaga kesehatan yang dibutuhkan dan mempunyai kompetensi yang ditetapkan sesuai ketentuan berlaku dan dapat
dilaksanakan di rumah, tempat kerja maupun fasilitas kesehatan perorangan primer baik
Puskesmas dan jaringannya, serta fasilitas kesehatan lainnya milik pemerintah, masyarakat maupun swasta. Dilaksanakan dengan dukungan pelayanan kesehatan perorangan sekunder dalam sistem rujukan yang timbal
balik. Diselenggarakan berdasarkan norma, standar, prosedur dan kriteria pelayanan yang ditetapkan oleh Pemerintah dengan memperhatikan
masukan dari organisasi profesi dan masyarakat. Pelayanan kesehatan perorangan primer akan didukung oleh fasilitas kesehatan penunjang,
antara lain: Apotik, Optik, laboratorium dan lain sebagainya.
Dapat diselenggarakan sebagai pelayanan yang bergerak (ambulatory) atau menetap, dapatdikaitkan dengan tempat kerja seperti; klinik
perusahaan, dapat disesuaikan dengan lingkungan atau kondisi tertentu (kesehatan matra seperti: kesehatan haji, kesehatan kelautan, kesehatan penerbangan, kesehatan wisata). Pemerintah wajib menyediakan pelayanan
kesehatan perorangan primer di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai kebutuhan, terutama bagi orang miskin, daerah terpencil, perbatasan, pulau-pulau terluar dan terdepan, serta yang tidak diminati swasta.
Pembiayaan pelayanan kesehatan perorangan primer untuk kelompok miskin dibiayai oleh pemerintah, sedangkan golongan ekonomi lainnya dibiayai dalam sistem pembiayaan yang diatur oleh pemerintah. Dalam pelayanan kesehatan perorangan termasuk pula pelayanan kesehatan berbasis masyarakat dalam bentuk seperti Pos Kesehatan Desa (Poskesdes), dan pengobatan tradisional serta pengobatan alternatif yang secara ilmiah telah terbukti terjamin keamanan
dan khasiatnya.
Upaya kesehatan masyarakat primer adalah
pelayanan peningkatan dan pencegahan tanpa mengabaikan pengobatan dan pemulihan dengan sasaran keluarga, kelompok dan masyarakat.
Penyelenggaraan upaya kesehatan masyarakat primer mendukung upaya kesehatan berbasis masyarakat dan didukung oleh upaya kesehatan
masyarakat sekunder Penyelenggaraan upaya kesehatan masyarakat
primer menjadi tanggung jawab Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang pelaksanaan operasionalnya dapat didelegasikan kepada Puskesmas. Masyarakat termasuk swasta dapat menyelenggarakan pelayanan kesehatan
masyarakat primer sesuai peraturan yang berlaku dan dapat berkerjasama dengan Pemerintah.
Pembiayaan kegiatan pelayanan kesehatan masyarakat primer ditanggung oleh pemerintah bersama dengan masyarakat. Pemerintah wajib membiayai pelayanan kesehatan masyarakat yang ditujukan untuk menangani masalah
kesehatan masyarakat yang menjadi prioritas pembangunan. Pemerintah dapat membentuk fasilitas kesehatan yang secara khusus ditugaskan untuk melaksanakan upaya kesehatan masyarakat sesuai keperluan.
Pemerintah wajib melaksanakan pelayanan kesehatan masyarakat primer yang
berhubungan dengan prioritas pembangunan melalui kegiatan perbaikan lingkungan, peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit dan kematian serta paliatif. Pelaksanaan pelayanan kesehatan masyarakat primer didukung upaya kesehatan penunjang seperti: surveilans, pencatatan dan pelaporan.
Seperti uraian diatas pekerjaan apoteker diapotek juga memenuhi syarat sebagai bagian dari upaya pelayanan kesehatan primer. Karena pekerjaan apoteker bukan hanya melayani resep saja oleh karena itu penempatan apotek sebagai upaya pelayanan kesehatan penunjang sangat tidak tepat. Demi 45% anggota masyarakat yang mencari pengoatan sendiri. Memang tidak disebutkan apoteker sebagai pengobat final, tetapi bagaimanapun juga 45% anggota masarakat itu mencari pengobatan yang sering kita kenal dengan swamedikasi. Dan saya slalu menyarankan agar apotek jangan sampai dijadikan pengobatan final sehingga peran apoteker dalam edukasi tidak hilang dan peran sinergisme dengan dokter lebih optimal karena pada kasus-kasus yag sudah masuk wilayah dokter harus kita rujuk e dokter.
Dari uraian saya diatas saya hanya ingin mencermati saja bahwa apa yang kita lakukan dan pahami didalam praktek profesi bisa jadi akan sangat berbeda apa yang dipahami oleh profesi lain sehingga dalam mendifinisikan perkerjaan kefarmasian bisa jadi sangat berbeda. Seperti pada uraian dari SKN dibawah :
Pelayanan Kefarmasian
Pelayanan kefarmasian ditujukan untuk dapat menjamin penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan, secara rasional, aman, dan bermutu di semua sarana pelayanan kesehatan dengan mengikuti norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan.
Pekerjaan kefarmasian yang kita pahami tidak sesederhana itu. Ada KIE, konseling dan sebagainya. Konseling yang dilakukan apoteker diapotek sangat berbeda dengan yang dilakukan oleh sejawat kita semisal dokter. Konseling apoteker di apotek, adalah upaya apoteker agar pasien memahami permasalahan yang dialami, yang terkait kesehatan dan sediaan farmasi, sehingga pasien mampu mengambil keputusan terbaik sesuai kemampuannya.
Pada saat pasien datang ke apotek seringkali pasien kurang mengerti dan bahkan sebagian tidak memahami apa sebenarnya permasalahan dan bagaimana seharusnya permasalahan diselesaikan. Untuk itu diperlukan suatu konseling kefarmasian. Dalam melakukan konseling di apotek, seorang apoteker harus mampu menguasai tehnik-tehnik konseling. Karena keberhasilan konseling salah satunya ditentukan oleh kemampuan apoteker dalam penguasaan tehnik-tehnik tersebut. Dan seringkali dalam konseling diperlukan beberapa tehnik sekaligus yang dikombinasi. selain itu keberhasilan konseling juga dipengaruhi oleh pengalaman apoteker dalam konseling.
Permasalahan dalam konseling apoteker diapotek seing kali lebih rumit dari pada yang diperkirakan kebanyakan orang. Karena tidak jarang kita harus erubah perilaku hidup sehat. Sudah sewajarnya bila dalam menjelaskan peran apotek didalam SKN ada redefinisi disesuaikan keadaan yang sesungguhnya dan tetap tidak boleh menyalahi aturan perundangan yang lain.
Disinilah salah satu perbedaan cara pandang sehingga didalam membuat kebijakan dan sebagainya sering kali kontra produktif dan sering kali justru sangat merugikan masyarakat itu sendiri termasuk masyarakat profesi. Semoga kedepan jerih payah para apoteker lebih dapat dihargai sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam upaya kesehatan.
(bagian I) (www.hisfarma.blogspot.com)
Banyak hal yang mungkin harus dicarmati didalam Rancangan Final SKN beberapa hal tersebut juga terkadang menjadi pertanyaan didalam praktek profesi sehari-hari saya yang mana seakan-akan SKN seringkali saya anggap kurang tepat. Kekurang tepatan itu akan saya cermati dalam blog sayaS secara seri yang bersambung disela-sela saya menjalankan profesi saya.
Upaya pelayanan kesehatan didalam SKN dijelaskan sebagai berikut :
Upaya Kesehatan
Pelayanan kesehatan meliputi peningkatan, pencegahan, pengobatan dan pemulihan, baik pelayanan kesehatan konvensional maupun pelayanan kesehatan yang terdiri dari pengobatan tradisional dan komplementer melalui pendidikan dan pelatihan dengan selalu mengutamakan keamanan dan efektifitas yang tinggi.
Upaya kesehatan diutamakan pada berbagai upaya yang mempunyai daya ungkit tinggi dalam pencapaian sasaran pembangunan kesehatan
utamanya penduduk rentan, antara lain ibu, bayi, anak, manusia usia lanjut, dan keluarga miskin.
Dari uraian diatas, maka peran apoteker diapotek memenui syarat sebagai salah satu tenaga kesehatan yang juga berperan secara aktif didalam upaya kesehatan secara langsung. Mengingat peran apoteker didalam swamedikasi sangat penting dan tak bisa dipandang sebelah mata oleh siapapun bila peran itu sangat dibutuhkan masyarakat. Pada swamedikasi sering kali juga meliputi pencegahan, pengobatan (meskipun pada penyakit ringan), juga mungkin pemulihan. Bahkan pengobatan dengan obat tradisional sering juga dilakukan diapotek dan sering kali juga memberikan dampak yang bagus bagi perkembangan pembangunan kesehatan.
Mungkin peran apoteker didalam swamedikasi masih dipandang sebelah mata, tetapi coba kita cermati hal berikut dari SKN, “ …kunjungan baru (contact rate) ke fasilitas pelayanan kesehatan meningkat dari 34,4% pada tahun 2005 menjadi 41,8% pada tahun 2007. Disamping itu, masyarakat yang mencari pengobatan sendiri sebesar 45% dan yang tidak berobat sama sekali sebesar 13,3% (2007).” Ada 45% anggota masyarakat yang mencari pengobatan sendiri, disinilah peran apoteker didalam swamedikasi akan sangat menonjol. Oleh karena itu seharusnya keberadaan apoteker diapotek didalam mengawal swamedikasi seharusnya sudah menjadi kebutuhan dan perhatian dari pemerintah agar peran apoteker dalam lebih bisa dirasakan oleh masyarakat.
Jumlah masyarakat yang melakukan swameduikasi justru lebih besar dari pada yang mengunjungi sarana kesehatan lain selain apotek. Seperti didalam praktek profesi yang saya lakukan jumlah resep yang saya terima baik dari segi nilai ataupun dari segi jumlah pelayanan tidak lebih dari 3%. Disini saya merasakan bahwa peran apoteker diapotek adalah sebagai pelayanan primer seperti didalam SKN.
Hal lain yang coba saya cermati adalah upaya kesehatan primer dalam SKN dijelaskan sebagai berikut :
1) Upaya Kesehatan Primer
Upaya Kesehatan Primer adalah upaya kesehatan dasar, yang terdiri dari pelayanan kesehatan perorangan dan masyarakat.
Pelayanan kesehatan perorangan primer
memberikan penekanan pada pelayanan pengobatan, pemulihan tanpa mengabaikan upaya peningkatan, dan pencegahan, termasuk di dalamnya pelayanan kebugaran dan gaya hidup sehat (healthy life style).
Diselenggarakan oleh tenaga kesehatan yang dibutuhkan dan mempunyai kompetensi yang ditetapkan sesuai ketentuan berlaku dan dapat
dilaksanakan di rumah, tempat kerja maupun fasilitas kesehatan perorangan primer baik
Puskesmas dan jaringannya, serta fasilitas kesehatan lainnya milik pemerintah, masyarakat maupun swasta. Dilaksanakan dengan dukungan pelayanan kesehatan perorangan sekunder dalam sistem rujukan yang timbal
balik. Diselenggarakan berdasarkan norma, standar, prosedur dan kriteria pelayanan yang ditetapkan oleh Pemerintah dengan memperhatikan
masukan dari organisasi profesi dan masyarakat. Pelayanan kesehatan perorangan primer akan didukung oleh fasilitas kesehatan penunjang,
antara lain: Apotik, Optik, laboratorium dan lain sebagainya.
Dapat diselenggarakan sebagai pelayanan yang bergerak (ambulatory) atau menetap, dapatdikaitkan dengan tempat kerja seperti; klinik
perusahaan, dapat disesuaikan dengan lingkungan atau kondisi tertentu (kesehatan matra seperti: kesehatan haji, kesehatan kelautan, kesehatan penerbangan, kesehatan wisata). Pemerintah wajib menyediakan pelayanan
kesehatan perorangan primer di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai kebutuhan, terutama bagi orang miskin, daerah terpencil, perbatasan, pulau-pulau terluar dan terdepan, serta yang tidak diminati swasta.
Pembiayaan pelayanan kesehatan perorangan primer untuk kelompok miskin dibiayai oleh pemerintah, sedangkan golongan ekonomi lainnya dibiayai dalam sistem pembiayaan yang diatur oleh pemerintah. Dalam pelayanan kesehatan perorangan termasuk pula pelayanan kesehatan berbasis masyarakat dalam bentuk seperti Pos Kesehatan Desa (Poskesdes), dan pengobatan tradisional serta pengobatan alternatif yang secara ilmiah telah terbukti terjamin keamanan
dan khasiatnya.
Upaya kesehatan masyarakat primer adalah
pelayanan peningkatan dan pencegahan tanpa mengabaikan pengobatan dan pemulihan dengan sasaran keluarga, kelompok dan masyarakat.
Penyelenggaraan upaya kesehatan masyarakat primer mendukung upaya kesehatan berbasis masyarakat dan didukung oleh upaya kesehatan
masyarakat sekunder Penyelenggaraan upaya kesehatan masyarakat
primer menjadi tanggung jawab Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang pelaksanaan operasionalnya dapat didelegasikan kepada Puskesmas. Masyarakat termasuk swasta dapat menyelenggarakan pelayanan kesehatan
masyarakat primer sesuai peraturan yang berlaku dan dapat berkerjasama dengan Pemerintah.
Pembiayaan kegiatan pelayanan kesehatan masyarakat primer ditanggung oleh pemerintah bersama dengan masyarakat. Pemerintah wajib membiayai pelayanan kesehatan masyarakat yang ditujukan untuk menangani masalah
kesehatan masyarakat yang menjadi prioritas pembangunan. Pemerintah dapat membentuk fasilitas kesehatan yang secara khusus ditugaskan untuk melaksanakan upaya kesehatan masyarakat sesuai keperluan.
Pemerintah wajib melaksanakan pelayanan kesehatan masyarakat primer yang
berhubungan dengan prioritas pembangunan melalui kegiatan perbaikan lingkungan, peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit dan kematian serta paliatif. Pelaksanaan pelayanan kesehatan masyarakat primer didukung upaya kesehatan penunjang seperti: surveilans, pencatatan dan pelaporan.
Seperti uraian diatas pekerjaan apoteker diapotek juga memenuhi syarat sebagai bagian dari upaya pelayanan kesehatan primer. Karena pekerjaan apoteker bukan hanya melayani resep saja oleh karena itu penempatan apotek sebagai upaya pelayanan kesehatan penunjang sangat tidak tepat. Demi 45% anggota masyarakat yang mencari pengoatan sendiri. Memang tidak disebutkan apoteker sebagai pengobat final, tetapi bagaimanapun juga 45% anggota masarakat itu mencari pengobatan yang sering kita kenal dengan swamedikasi. Dan saya slalu menyarankan agar apotek jangan sampai dijadikan pengobatan final sehingga peran apoteker dalam edukasi tidak hilang dan peran sinergisme dengan dokter lebih optimal karena pada kasus-kasus yag sudah masuk wilayah dokter harus kita rujuk e dokter.
Dari uraian saya diatas saya hanya ingin mencermati saja bahwa apa yang kita lakukan dan pahami didalam praktek profesi bisa jadi akan sangat berbeda apa yang dipahami oleh profesi lain sehingga dalam mendifinisikan perkerjaan kefarmasian bisa jadi sangat berbeda. Seperti pada uraian dari SKN dibawah :
Pelayanan Kefarmasian
Pelayanan kefarmasian ditujukan untuk dapat menjamin penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan, secara rasional, aman, dan bermutu di semua sarana pelayanan kesehatan dengan mengikuti norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan.
Pekerjaan kefarmasian yang kita pahami tidak sesederhana itu. Ada KIE, konseling dan sebagainya. Konseling yang dilakukan apoteker diapotek sangat berbeda dengan yang dilakukan oleh sejawat kita semisal dokter. Konseling apoteker di apotek, adalah upaya apoteker agar pasien memahami permasalahan yang dialami, yang terkait kesehatan dan sediaan farmasi, sehingga pasien mampu mengambil keputusan terbaik sesuai kemampuannya.
Pada saat pasien datang ke apotek seringkali pasien kurang mengerti dan bahkan sebagian tidak memahami apa sebenarnya permasalahan dan bagaimana seharusnya permasalahan diselesaikan. Untuk itu diperlukan suatu konseling kefarmasian. Dalam melakukan konseling di apotek, seorang apoteker harus mampu menguasai tehnik-tehnik konseling. Karena keberhasilan konseling salah satunya ditentukan oleh kemampuan apoteker dalam penguasaan tehnik-tehnik tersebut. Dan seringkali dalam konseling diperlukan beberapa tehnik sekaligus yang dikombinasi. selain itu keberhasilan konseling juga dipengaruhi oleh pengalaman apoteker dalam konseling.
Permasalahan dalam konseling apoteker diapotek seing kali lebih rumit dari pada yang diperkirakan kebanyakan orang. Karena tidak jarang kita harus erubah perilaku hidup sehat. Sudah sewajarnya bila dalam menjelaskan peran apotek didalam SKN ada redefinisi disesuaikan keadaan yang sesungguhnya dan tetap tidak boleh menyalahi aturan perundangan yang lain.
Disinilah salah satu perbedaan cara pandang sehingga didalam membuat kebijakan dan sebagainya sering kali kontra produktif dan sering kali justru sangat merugikan masyarakat itu sendiri termasuk masyarakat profesi. Semoga kedepan jerih payah para apoteker lebih dapat dihargai sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam upaya kesehatan.
Langganan:
Postingan (Atom)